Pesan Rahbar

Home » , » Saksi Ulama Lain: Nasab Umar Bin Khattab dan Kisah Yang Disembunyikan

Saksi Ulama Lain: Nasab Umar Bin Khattab dan Kisah Yang Disembunyikan

Written By Unknown on Saturday 5 July 2014 | 00:33:00


Dari 4 Khalifah Rasyidin, hanya Umar bin Khathab yang nasabnya tersembunyi dan tidak dipublikasikan secara luas ke publik. Mengapa?


BUDAK ABDUL MUTHTHALIB: NAFIL DAN SHOHHAK

Nafil adalah seorang budak dari Kilab bin Luay bin Ghalib al-Quraisy. Setelah majikannya wafat, dia pindah tangan pada majikan baru, Abdul Muththalib. Selain mempunyai budak baru Nafil, Abdul Muththalib mempunyai seorang budak wanita bernama Shohhak yang datang dari Negri Habasyah (Ethiopia). Tugas Nafil adalah menggembalakan unta-unta Abdul Mutthalib. Sedang tugas Shohhak adalah menggembalakan domba-dombanya.


LAHIRNYA KHATTAB

Abdul Muththalib memisahkan Nafil dan Shohhak ke dalam area penggembalaan yang berbeda.
Suatu hari mereka bertemu di suatu tempat. Melihat sosok fisik Shohhak, bangkitlah birahi Nafil. Gayung bersambut, mereka berdua melakukan hubungan intim. Setiap melakukan tugas pengembalaan mereka saling memadu kasih hingga Shohhak hamil.

Karena ketakutan akan ketahuan majikan mereka, begitu Shohhak melahirkan, orok yang diberi nama Khathab dibuang oleh Nafil. Pada tengah malam yang sunyi dan gelap, Nafil membuang orok ke tempat penimbunan sampah. Beruntung bagi si orok Khathab, dirinya ditemukan seorang pemulung wanita Yahudi dan selanjutnya dirawat di rumahnya hingga dewasa. Tugas Khathab adalah membelah kayu untuk dijadikan kayu bakar untuk kepentingan ibu pungutnya.

Suatu hari pada saat Khathab sedang istirahat dari keletihan membelah kayu, lewatlah Shohhak yang sedang menggiring domba-dombanya. Melihat sosok fisik Shohhak yang menawan, Khathab langsung jatuh birahi. Khathab tidak mengetahui bahwa sejatinya Shohhak adalah ibu kandungnya. Demikian pula Shohhak tidak mengetahui bahwa Khathab adalah anak kandungnya sendiri yang dulu dibuang ke tempat sampah.


KHATTAB BERHUBUNGAN DENGAN IBU KANDUNGNYA

Karena kerap bersua, akhirnya antara Khathab dengan Shohhak terjalin hubungan kasih. Keduanya melakukan hubungan intim hingga Shohhak pun hamil. Riwayat berlanjut mirip dengan kejadian saat Khathab lahir, hanya saja hubungan antara Khathab dengan Shohhak menghasilkan orok wanita.

Karena ketakutan akan ketahuan majikan mereka, begitu Shohhak melahirkan, orok yang diberi nama Hantamah dibuang oleh Khathab. Pada tengah malam yang sunyi dan gelap, Khathab membuang orok ke tempat penimbunan sampah di luar kota Makkah. Beruntung bagi si orok Hantamah, dirinya ditemukan oleh Hisyam bin al-Mughirah bin al-Walid.

Berbeda dengan si pemulung Yahudi yang menemukan Khathab, Hisyam mengadopsi dan mendidik Hantamah. Nasab Hantamah pun dinisbahkan pada nasab Hisyam, hingga dalam sejarah tercatat sebagai Hantamah binti Hisyam.


KHATTAB MENIKAH DENGAN CUCUNYA LAHIRLAH UMAR BIN KHATHAB

Khathab sering kali datang ke rumah Hisyam bin al-Mughirah bin Al-Walid untuk keperluan mengirim kayu bakar. Suatu saat tiba-tiba Khathab melihat Hantamah yang muda belia. Khathab terpesona dan sangat mengagumi. Khathab tidak mengetahui bahwa sejatinya Hantamah adalah anak dari hubungannya dengan Shohhak, yang juga tak lain adalah ibu kandungnya sendiri.

Berbeda dengan hubungannya dengan Shohhak (ibu kandungnya), kali ini Khathab mempunyai keberanian untuk meminang Hantamah. Khathab meminangnya pada Hisyam. Hisyam pun menikahkan Hantamah dengan Khathab.

Dari pernikahan Khathab dengan Hantamah, lahirlah Umar bin Khathab.

Referensi
(1) Idris Alhusainy Al- Maghriby, Lagad Syayya’atni Al-Husein, Hlm 176-177;
(2) Yusuf Al- Bahreiny , Kasykuul, Juz 3, Hlm 212-213; menukil dari Muhammad bin Saib Al-Kalby Al-Nassabah dan Abu Mukhannaf Luth bin Yahya Al- Azdy Al-Nassabah dalam kitab al-Sholabah Fi Ma’rifah Al- Shohabah;
(3) Mashodir Nasab’Umar dalam kitab Al- Dzari’ah, Hlm 141 dll dll.


UMAR MELARANG BERBICARA NASABNYA

Dalam kitab “Nadhoriyyat al-Khalifatain,” karya pemikir Islam Dr. Najah Al-Thoiy (Juz 1, Hlm 41-43) diriwayatkan: “Dalam salah satu peraturan yang dikeluarkan oleh Umar adalah larangan berbicara masalah nasab” [Lihat juga Syarah Nahjul al-Balaghah, Ibnu Abil al-Hadid, Juz 11, Hlm 68-69].

Kenapa Umar melarang berbicara nasabnya? Hal ini dimaksudkan agar orang-orang pada saat itu tidak menyelidiki nasabnya.

Dalam kenyataannya sosok Khathab adalah kakeknya Umar, juga ayahnya dan Khal (saudara ibu)nya,
(1) Alasan bahwa Khathab adalah kakek Umar karena Hantamah adalah ibu kandung Umar sebagaimana dikuatkan oleh Ibnu Qutaibah dalam kitabnya”Al-Ma’arif” bahwa dia (Hantamah) adalah putri dari Khathab, maka jadilah Khathab sebagai kakeknya Umar.
(2) Alasan bahwa Khathab adalah ayah dari Umar sangat jelas, karena dia adalah suami Hantamah, ibu kandungnya Umar.
(3) Alasan bahwa Khathab adalah Khal (saudara ibu) dari Umar adalah karena Khathab dan Hantamah adalah saudara dari ibunya yang bernama Shohhak. Saudara dari ibu dalam bahasa Arab dinamakan Khal.
(4) Nafil dan putranya Khathab keduanya mempunyai andil terhadap Shohhak. Sedangkan Shohhak adalah Ibu Khathab. Khathab mengawini Hantamah, sedangkan Hantamah adalah putrinya sendiri.

Referensi:

(1) Kalam Aby Muhnaf fi Nasab Umar,
(2) Al-Matsalib Muhammad bin Syahr Asyub;
(3) Al- Majlisy, Bihar Al- Anwar, Juz 31, Hlm 99;
(4) Al-Kalby, Al-Matsalib Al-’Arab.

Ibnu Katsir meriwayatkan: “Konon si Khathab adalah ayah dari Umar bin Khathab, juga sebagai saudara ayahnya (pamannya) dan merangkap sebagai saudara dari ibunya” [Ibnu Katsir, Sirah al-Nabawiyyah, Juz 1, Hlm 153, Cetakan ‘Isa Al-Baby Al-Halaby dkk Cairo. 1384 H/1964 M, dan cetakan Dar Al- Fikr, Beirut, Juz 1, Hlm 153 Tahun 1398 H/1978 M].


UPAYA “MELENYAPKAN” NASAB UMAR

Dengan demikian kitab “Matsalib Al-’Arab karya Ibnu Al-Kalby dan Mufagiyaat karya Zubair bin Bakar serta Sirah Ibnu Ishaq dan Al-Sirah Al-Nabawiyyah karya Ibnu Katsir keseluruhannya telah meriwayatkan nasab Umar bin Khathab.

Karena bahayanya permasalahan semacam ini jika sampai ke publik dan demi menjaga kredibilitas serta reputasi Umar kalau-kalau akan dikategorikan kedalam anak hasil perzinahan, beberapa penerbit telah menghapus sejarah ini dari kitab Mufaqiyaat dan kitab Sirah Ibnu Ishaq maka kini dicetak sesuai dengan kehendak mereka. [Sumber: “Nadhoriyat Al-Khalifatain,” karya cendekiawan Islam Dr. Najah Al-Thoiy, Juz 1, Hlm 41-43, Beirut: Al-Huda, Cetakan pertama Tahun 1998].

*****

Apakah orang-orang Syiah meyakini bahwa Umar bin Khattab itu adalah seorang banci?


Pertanyaan:

Ulama Syiah meyakini bahwa Umar bin Khattab adalah seorang banci dan tidak menemukan obat untuk mengobati penyakit tersebut kecuali dengan air sperma!


Jawaban Global:

Pandangan ulama Syiah terkait dengan khulafah al-rasyidun khususnya Umar adalah bersandar pandangan para Imam Maksum As. Tidak satu pun riwayat standar Syiah tentang kebancian Umar bin Khattab yang dinukil dari para Imam Maksum As. Kebanyakan penyandaran dan tudingan dilayangkan kepada Syiah ini tidak berdasar dan bukan merupakan keyakinan ulama Syiah.


Jawaban Detil:

Seiring dengan bermulanya risalah dan bersamaan dengan tersebarnya Islam maka proses perekaman dan penulisan hadis-hadis Rasulullah Saw juga dimulai. Pasca wafatnya Rasulullah Saw dan pada kondisi dimana kaum Muslimin didera dengan konflik internal, sebagian kaum Muslimin berusaha dan berupaya mengumpulkan khazanah berharga ini. Dalam kondisi sedemikian, pada kondisi khusus politik pada masa khalifah kedua terjadi pelarangan penulisan hadis. Pelarangan ini termasuk pukulan hebat bagi komunitas Muslimin. Setelah masa resesi penulisan hadis (yang sifatnya temporal dan seksional ini) pengaruh kecendrungan terhadap hadis semakin kuat. Dengan menyebarnya secara kuanitatif, perekaman dan penukilan hadis-hadis, kita menyaksikan munculnya para perawi hadis yang patut diragukan keberagamaan dan kejujuran mereka.


Di antara orang-orang ini terdapat orang-orang muallaf Yahudi yang menarik perhatian, dengan sedikit mencermati sebagian kumpulan riwayat kita akan jumpai hadis-hadis israiliyyat, riwayat-riwayat palsu dan hadis-hadis yang telah diselewengkan.

Perkara ini memiliki selaksa dalil, di antaranya adanya riwayat-riwayat muallaf Yahudi yang masih memelihara hubungannya dengan agama terdahulunya. Kelompok ini, didorong oleh kebenciannya terhadap Islam dengan mempreteli riwayat-riwayat atau menciptakan hadis, berusaha memasukkan keyakinan-keyakinan menyimpang mereka di kalangan kaum Muslimin.

Demikian juga, aliran kemunafikan, ghulat, muqassirah[1] dan kelompok ekstrem dari pelbagai suku yang turut dalam pengumpulan, penukilan dan penulisan hadis, demikian juga dalam menyelewengkan riwayat-riwayat, mengada-ngadakan hadis dan memasukkannya ke dalam kitab-kitab hadis atau menghapus sebagian riwayat.[2]

Para Imam Syiah senantiasa menyinggung aliran-aliran menyimpang ini dalam pelbagai kesempatan dan melaknat dan mencela mereka.[3]

Dalam kondisi seperti ini, orang-orang Syiah demikian juga Ahlusunnah mengumpulkan sekumpulan riwayat dimana di antar kumpulan riwayat tersebut dapat dijumpai hal-hal seperti ini.


Atas dasar itu, dalam proses penukilan dan pengumpulan hadis pada mazhab Syiah dan semenjak awal telah berupaya melakuan proses pengenalan dan pemilahan hadis.

Para Imam Maksum dalam banyak hal menyampaikan penjelasan dan penafsiran riwayat sehingga dapat mencegah pengambilan kesimpulan yang menyimpang dari riwayat-riwayat tersebut.

Pada abad 10 dan 11 Hijriah pengumpulan hadis-hadis menjadi semakin luas dan sebagai hasilnya aliran Akhbari bermunculan. Akan tetapi bersamaan dengan munculnya aliran Akhbari ini, ilmu-ilmu hadis juga dalam format kitab-kitab Rijal (biografi perawi), Dirâyat, Fiqh al-Hadits dan sebagainya dalam bentuk yang lebih terorganisir juga bermunculan.

Para penyusun dan penulis kitab-kitab hadis Syiah dalam pengumpulan dan editan sekumpulan hadis berusaha keras untuk mengumpulkan riwayat-riwayat sahih, dengan adanya usaha keras ini mereka tetap tidak pernah mengklaim bahwa seluruh riwayat ini adalah sahih; karena itu, ulama dalam menghadapi riwayat-riwayat dalam kumpulan riwayat ini memanfaatkan Ulûm al-Hadits (Rijal, Dirayah, Fiqh al-Hadits) untuk memisahkan riwayat-riwayat sahih dan non-sahih, selepas itu mereka bersandar pada hadis-hadis sahih.

Karena itu, dari apa yang disebutkan bahwa kumpulan-kumpulan riwayat Syiah dan Sunni tidak lepas dari isykalan (kritikan dan objeksi). Atas dasar itu, masing-masing dua mazhab ini berupaya menyingkirkan isykalan ini dengan mengedit kitab-kitab Sihah (plural dari sahih). Dengan memperhatikan kondisi seperti ini, maka harus dicermati bahwa masih ada bilangan riwayat non-sahih bahkan pada sebagian Kutub al-Arba'ah dan Shihah Ahlusunnah yang memerlukan pengkajian dan ketelian yang lebih tinggi.


Sebagai kesimpulan harus dikatakan bahwa:

1. Islam menentang apa pun bentuk sikap ekstrem walau hal itu ditunjukkan kepada pihak musuh. Adapun pelbagai sikap ekstrem ragam mazhab, seperti kelompok Ghulat yang menunjukan diri mereka Syiah secara lahir, tanpa memperhatikan nasihat ini, telah banyak menimbulkan masalah bagi mazhabnya sendiri.

2. Pada masa para Imam Maksum As terdapat sebagian riwayat yang dibuat oleh musuh-musuh mereka dimana sebagian dari riwayat tersebut menyebutkan keutamaan para Imam Maksum yang ternodai dengan ghulat. Atau serangan kaum ekstrem atas penetangan kepada mereka dimana keduanya mengarahkan masyarakat umum untuk menentang dan melawan para Imam Maksum As. Atas dasar itu, mendapat protes dari para imam As.[4]

3. Dengan mengkaji kitab-kitab riwayat Syiah, tidak satu pun riwayat standar yang menyebutkan ihwal kebancian khalifah kedua. Ulama Syiah juga tidak yakin terhadap masalah ini, apabila sebagian penulis menyandarkan tuduhan ini kepada Syiah maka sepatutnya mereka menunjukkannya dengan dalil-dalil.

4. Apa yang disebutkan pada kitab Anwâr al-Nu'maniyah merupakan beberapa riwayat dari Ahlusunah terkait dengan khalifah kedua yang harus dikaji dan dicermati kesahihan dan kebenarannya. Di antara riwayat semacam ini, sebagian tokoh Ahlusunnah mengemukakan masalah kebancian khalifah kedua yang disinggung oleh Syaikh Jazairi dalam kitabnya dan kemudian mencela riwayat seperti itu.[5] Poin yang harus dicermati di sini adalah bahwa ucapan-ucapan seperti ini dapat dijumpai dalam kitab-kitab Ahlusunnah yang mencela para khalifah atau sebagian sahabat yang tentu saja harus dikaji dan diteliti validitas dan kebenarannya.

5. Ulama Syiah dengan adanya perbedaan sejarah dan teologi dan sebagainya dengan Ahlusunnah dalam menetapkan kebenaran Ahlulbait, sekali-kali tidak pernah berpegang pada cara-cara tidak terpuji dan tercela seperti ini melainkan lebih memilih jidal ahsan (berdialektika dengan cara yang lebih baik).[6]

6. Apabila di antara dua kelompok terdapat orang-orang yang tanpa riset dan bersandar pada hadis-hadis lemah yang dinukil dari para perawi misterius (majhul) atau tidak dapat diandalkan (muattsaq) berusaha mengemukakan masalah yang tidak berdasar dan tidak ril, maka seharusnya perbuatan mereka itu tidak disandarkan kepada seluruh ulama Syiah atau Sunni dan memandang hal itu sebagai bagian dari keyakinan mereka.


Kesimpulan:

Kendati yang menjadi obyek pertanyaan Anda tidak kami jumpai pada kitab riwayat standar kami namun terkait dengan obyek pertanyaan seperti ini harus dikatakan bahwa kami mazhab Syiah tidak meyakini bahwa setiap hadis atau riwayat yang terdapat pada kitab-kitab riwayat itu sebagai sahih. Sebagiamana yang telah disinggung sebelumnya bahwa kami memiliki banyak riwayat yang lantaran selaksa dalil sehingga tidak mendapat afirmasi dari ulama Syiah, atas dasar itu mereka menetapkan banyak kriteria untuk menemukan riwayat-riwayat sahih dan non-sahih.


Referensi:

[1]. Salah satu firkah dalam Syiah yang muncul pasca Imam Shadiq dan sangat berlebihan dalam menilai Imam Shadiq.

[2]. Muhammad bin Umar Kassyi, Rijâl al-Kasysyi, hal. 250, Intisyarat-e Danesghah-e Masyhad, Masyhad Muqaddas, 1348 H.

[3]. Hasan Yusuf bin Hilli, al-Khulâsah, hal. 35, cetakan kedua, Dar al-Dzakhair, Qum, 1411 H.

[4]. “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Maidah [5]:8)

[5]. Muhammad bin Ali Shaduq, ‘Uyûn Akhbâr al-Ridhâ As, jil. 1, hal. 304, Intisyarat-e Jahan, 1378 H.

[6]. Sayid Ni’matullah Jazairi, Al-Anwâr al-Nu’maniyah, jil. 1, hal. 52, Dar al-Qari, Beirut, 1429 H.

*****
Tahun Baru Islam Diputuskan oleh Umar bin Khattab


Awal penentuan tahun Islami, dimulai pada jaman khalifah Amirul Mukminin Umar bin Khattab radliyallahu `anhu beliau mengumpulkan para ahli untuk membicarakan darimana dimulainya tahun Islami. Hal ini terjadi kurang lebih pada 16 H atau 17 H. Maka sempat muncul berbagai pendapat, di antaranya: 1) Dihitung dari kelahiran Rasulullah. 2) Dihitung dari tahun wafat beliau. 3) Dihitung dari hijrahnya beliau. 4) Dihitung sejak kerasulan beliau.5) perang Badar. 6)Perjanjian Hudaibiyah. dan 7) Fathu Mekkah.

Berbagai pendapat itu kemudian disimpulkan dan diputuskan oleh Amirul Mukminin bahwa dimulainya perhitungan tahun Islami adalah dari hijrahnya Rasulullah SAW karena sejak disyariatkannya hijrah, Allah Ta`ala memilah antara yang haq dan yang bathil. Pada waktu itu pula awal pendirian negara Islam.


Penentuan Bulan Muharram sebagai awal penanggalan Hijriyah

Agaknya perdebatan kembali muncul, setelah ditentukannya awal perhitungan tahun Islam. Silang pendapat untuk menentukan bulan apa yang dipakai sebagai pemula tahun baru lalu mencuat. Berbagai pendapat lalu dilontarkan, ada yang usul Rabi’ul Awwal karena di waktu itu dimulai perintah hijrah dari Makkah ke Madinah. Usul lain memilih bulan Ramadlan karena di bulan itu diturunkannya Al-Qur’ân.

Perdebatan kemudian berakhir setelah sebagian besar dari kalangan shahabat seperti Umar, Utsman dan Ali radliyallahu `anhum `ajma`in sepakat bahwa tahun baru Islami dimulai dari bulan Muharram. Kenapa?

Alasannya pada bulan itu banyak hal-hal atau aktifitas yang diharamkan di antaranya tidak boleh mengadakan peperangan. Kecuali dalam keadaan diserang maka diperbolehkan melawannya.

Sebagaimana firman Allah: “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan;

dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.” (Al-Baqarah:191).

Mengapa dikatakan Muharram sebagai bulan haram? Didasarkan pada ayat lain dimana Allah juga berfirman: “Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishash.

Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah berserta orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 194).

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36).

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah,

Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”.

Bulan-bulan tersebut disebut bulan haram, menurut Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah karena dua makna:

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan,

”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”

Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.”
*****

Umar bin Khattab; Meluaskan Islam, Dari Mesopotamia Sampai Romawi


Umar bin Khattab, salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang juga menjadi khalifah kedua (634-644) dari empat Khalifah Ar-Rasyidin, adalah seorang sahabat Rasul yang utama. Namanya harum dan melampui lebih dari separuh zamannya sendiri, bahkan sampai kini. Siapakah Umar bin Khattab?
Ia memiliki nama lengkap Umar bin Khattab bin Nafiel bin abdul Uzza, terlahir di Mekkah, dari Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy. Orangtuanya bernama Khaththab bin Nufail Al Mahzumi Al Quraisyi dan Hantamah binti Hasyim.

Keluarga Umar tergolong keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis. Pada masa membaca dan menulis merupakan sesuatu yang jarang. Umar juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah.

Sebelum Islam, sebagaimana tradisi kaum jahiliyah mekkah saat itu, Umar mengubur putrinya hidup-hidup. Sebagaimana yang ia katakan sendiri, “Aku menangis ketika menggali kubur untuk putriku. Dia maju dan kemudian menyisir janggutku”.

Mabuk-mabukan juga merupakan hal yang umum dilakukan Umar. Sebelum memeluk Islam, Umar suka meminum anggur. Setelah menjadi muslim, ia tidak menyentuh khamer sama sekali. Sehingga ada kisah, Pada malam hari, Umar bermabuk-mabukkan sampai Subuh. Ketika waktu Subuh tiba, beliau pergi ke masjid dan ditunjuk sebagai imam. Ketika membaca surat Al-Kafirun, karena ayat 3 dan 5 bunyinya sama, setelah membaca ayat ke 5, beliau ulang lagi ke ayat 4 terus menerus. Akhirnya, Allah menurunkan larangan bermabuk-mabukkan yang tegas.


Umar Memeluk Islam

Ketika Rasul pertama kali berdakwah, Umar adalah salah seorang yang sangat keras dalam melawan pesan Islam dan sering melakukan penyiksaan terhadap pemeluknya. Dikatakan bahwa pada suatu saat, Umar berketetapan untuk membunuh Muhammad saw. Saat mencarinya, ia berpapasan dengan seorang muslim (Nu’aim bin Abdullah) yang kemudian memberi tahu bahwa saudara perempuannya juga telah memeluk Islam. Umar terkejut atas pemberitahuan itu dan pulang ke rumahnya. Ia murka.

Di rumah, Umar menjumpai bahwa saudaranya sedang membaca ayat-ayat Al Qur’an (surat Thoha), ia menjadi marah akan hal tersebut dan memukul saudaranya. Ketika melihat saudaranya berdarah oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan tersebut dapat ia lihat. Ia kemudian menjadi sangat terguncang oleh isi Al-Quran tersebut dan kemudian langsung memeluk Islam pada hari itu juga.

Umar adalah salah seorang yang ikut pada peristiwa hijrah ke Yathrib (Madinah) pada tahun 622 Masehi. Ia ikut terlibat pada perang Badar, Uhud, Khaybar serta penyerangan ke Syria. Pada tahun 625, putrinya (Hafsah) menikah dengan Nabi Muhammad.


Menjadi Khalifah

Pada masa Abu Bakar menjabat sebagai khalifah, Umar merupakan salah satu penasihat kepalanya. Kemudian setelah Abu Bakar meninggal pada tahun 634, Umar ditunjuk menggantikannya.

Selama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium).

Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus pada tahun 636, 20 ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan. Pasukan Islam lainnya dalam jumlah kecil mendapatkan kemenangan atas pasukan Persia dalam jumlah yang lebih besar pada pertempuran Qadisiyyah (th 636), di dekat sungai Eufrat. Pada pertempuran itu, jenderal pasukan Islam yakni Sa`ad bin Abi Waqqas mengalahkan pasukan Sassanid dan berhasil membunuh jenderal Persia yang terkenal, Rustam Farrukhzad. Pada tahun 637, setelah pengepungan yang lama terhadap Yerusalem, pasukan Islam akhirnya mengambil alih kota tersebut.

Umar melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administratif untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Medinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam.

Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sebagaimana saat para pemeluk Islam masih miskin dan dianiaya.

Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun ke-empat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.

Umar bin Khattab dibunuh oleh Abu Lukluk, seorang budak pada saat ia akan memimpin shalat. Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lukluk terhadap Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M. Setelah kematiannya jabatan khalifah dipegang oleh Usman bin Affan.[Dari berbagai sumber]

*****
Shalat Tarawih Rasulullah & Umar Bin Khattab


“Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at,” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738).

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan.

Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/123).

Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9635).

Oleh karena itu, jumlah raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat.


Bolehkah Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih dari 11 Raka’at?

Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.” (At Tamhid, 21/70).


Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih

Shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat. Ada sebagian ulama yang membatasinya dengan 11 raka’at. Mayoritas ulama mengatakan shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir).

Al Kasaani mengatakan, “ ’Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636).

Ulama lainnya mengatakan lagi bahwa shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Juga ada yang mengatakan mengatakan bahwa shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan tanpa batasan bilangan.

Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at- raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.

Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.

Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272).

Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini. Sungguh tidaklah tepat kelakuan sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10 raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah. [Sumber: Panduan Ramadhan oleh Muhammad Abduh Tuasikal, Penerbit: Pustaka Muslim].


Seberapa Kaya Umar bin Khattab?


Selama ini, kita hanya mengetahui bahwa hanya ada dua sahabat Rasul yang benar-benar sangat kaya, yaitu Abdurrahman bin Auf dan Ustman bin Affan. Namun sebenarnya, sejarah juga sedikit banyak seperti “mengabaikan” kekayaan yang dipunyai oleh sahabat-sahabat yang lain.Ingat perkataan Umar bin Khattab bahwa ia tak pernah bisa mengalahkan amal sholeh Abu Bakar? Itu artinya, siapapun tak bisa menandingi jumlah sedekah dan infaqnya Abu Bakar As-Shiddiq.

Lantas, bagaimana dengan kekayaan Umar bin Khattab sendiri? Khalifah setelah Abu Bakar itu dikenal sangat sederhana. Tidur siangnya beralaskan tikar dan batu bata di bawah pohon kurma, dan ia hampir tak pernah makan kenyang, menjaga perasaan rakyatnya. Padahal, Umar adalah seorang yang juga sangat kaya.

Ketika wafat, Umar bin Khattab meninggalkan ladang pertanian sebanyak 70.000 ladang, yang rata-rata harga ladangnya sebesar Rp 160 juta—perkiraan konversi ke dalam rupiah. Itu berarti, Umar meninggalkan warisan sebanyak Rp 11,2 Triliun. Setiap tahun, rata-rata ladang pertanian saat itu menghasilkan Rp 40 juta, berarti Umar mendapatkan penghasilan Rp 2,8 Triliun setiap tahun, atau 233 Miliar sebulan.

Umar ra memiliki 70.000 properti. Umar ra selalu menganjurkan kepada para pejabatnya untuk tidak menghabiskan gajinya untuk dikonsumsi. Melainkan disisakan untuk membeli properti. Agar uang mereka tidak habis hanya untuk dimakan.

Namun begitulah Umar. Ia tetap saja sangat berhati-hati. Harta kekayaannya pun ia pergunakan untuk kepentingan dakwah dan umat. Tak sedikit pun Umar menyombongkan diri dan mempergunakannya untuk sesuatu yang mewah dan berlebihan.

Menjelang akhir kepemimpinan Umar, Ustman bin Affan pernah mengatakan, “Sesungguhnya, sikapmu telah sangat memberatkan siapapun khalifah penggantimu kelak.” Subhanallah! Semoga kita bisa meneladani Umar bin Khattab. [Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khattab dan khalifah].
*****

Aku Ingin Bertemu Umar Bin Khattab





Kesederhanaan penampilan Umar bin Khattab sesungguhnya merupakan nasihat dan ajakan berdakwah kepada siapa saja yang melihatnya.

Sepeninggal Rasulullah, sebenarnya tidak sedikit sahabat yang cenderung memilih Umar bin Khattab sebagai pengganti. Umar itu berani, gagah perkasa, jujur, dan adil. Bahkan pada waktu tengah dibicarakan siapa yang pantas menjadi pemimpin setelah Nabi wafat, Abu Bakar ash-Shiddiq mendekati Umar dan mengulurkan tangannya seraya berkata, “Berikan tanganmu, hai sahabatku. Kami akan membaiatmu sebagai khalifah pengganti Rasulullah.”

Umar menyodorkan tangannya. Tetapi untuk menyanggah. “Tidak,” ujarnya. “Akulah yang akan mengambil tanganmu. Sebab engkaulah yang akan kami baiat.”

“Engkau lebih baik dan lebih kuat dariku, Umar,” kilah Abu Bakar.

“Kebaikan dan kekuatanku akan menyertaimu sebagai pemimpin kami,” jawab Umar.

Maka para sahabat pun serempak menyetujui pendapat Umar untuk menahbiskan Abu Bakar selaku khalifah yang akan melanjutkan tampuk kepemimpinan Rasulullah demi kepentingan umat banyak.

Dan ketika tengah sakit keras menjelang ajanya, dengan meminta pertimbangan para sahabat yang lain, Abu Bakar menetapkan Umar supaya kelak menggantikan kedudukannya. Sebenarnya Umar ingin menolak mengingat tanggung jawab seorang pemimpin dianggapnya terlalu berat baginya. Apalagi dalam pandangan Umar, pemimpin suatu kaum, pada hakikatnya adalah pelayan kaum itu sendiri. Namun lantaran sudah dipilih secara bulat, maka ia tidak bisa lagi mengelak. Ia terpaksa menerima keputusan itu.

Satu tahun setelah kepemimpinannya, seorang pedagang Yahudi dari Mesir datang ke Madinah. Ia ingin menemui Khalifah Umar. Namun ia sungguh belum tahu, yang mana Umar bin Khattab, kepala pemerintahan negeri Islam yang wilayahnya makin meluas itu. Kepada seseorang yang ia temui di perjalanan, ia bertanya, “Di manakah istana raja negeri ini?”

Orang itu menjawab, “Lepas dhuhur nanti, ia akan berada di tempat istirahatnya di depan masjid. Dekat pohon kurma. Jika kau ingin menemuinya, pergilah ke tempat itu.”

Yahudi itu sesunguhnya membayangkan, alangkah indahnya istana Khalifah, dihiasi kebun kurma yang rindang, tempat berteduh merintang-rintang waktu. Maka tatkala tiba di muka masjid, ia kebingungan. Sebab di situ tidak ada bangunan megah yang mirip istana. Memang ada pohon kurma, tetapi cuma sebatang saja. Dan di bawahnya, tampak seorang lelaki kekar dengan jubah yang sudah luntur warnanya tengah tidur-tidur ayam. Yahudi itu mendatangainya dan bertanya, “Maaf, saya mau berjumpa dengan Umar bin Khattab.”

Sambil bangkit dan tersenyum Umar menjawab, “Akulah Umar bin Khattab.”

Yahudi itu terbengong-bengong, “Maksud saya Umar yang khalifah, pemimpin negeri ini.”

Umar menjelaskan, “Akulah Khalifah, pemimpin negeri ini.”

Yahudi itu makin kaget. Mulutnya terkatup rapat, tidak bisa bicara. Ia membandingkan dengan para rahib Yahudi yang hidupnya serba gemerlapan dan para raja Israel yang istananya juga tak kalah agung. Sungguh tidak masuk akal, kalau ada seorang pemimpin dari suatu negara yang begitu besar, tempat istirahatnya hanya di atas selembar tikar, di bawah pohon kurma di tengah langit yang terbuka.

“Di manakah istana Tuan?’ tanya sang Yahudi.

Umar menuding, “Di sudut jalan itu. Bangunan nomor tiga dari yang terakhir, kalau yang kaumaksudkan adalah kediamanku.”

“Maksud Tuan, yang kecil dan kusam itu?” SI Yahudi tambah keheranan.

“Ya. Namun itu bukan istanaku. Sebab istanaku berada dalam hati yang tenteram dengan ibadah kepada Allah swt,” sambut Umar sembari tetap tersenyum.

Yahudi itu kian tertunduk. Kedatangannya yang tadinya hendak melampiaskan kemarahan dan tuntutan-tuntutan, berubah menjadi kepasrahan dengan segenap jiwa raga. Sambil matanya berkaca-kaca ia berkata, “Tuan saksikanlah, sejak hari ini saya meyakini kebenaran agama Islam. Izinkah saya memeluk Islam sampai mati.”

Setelah mengikrarkan syahadat, orang itu akhirnya pergi dengan dadanya dipenuhi suka cita. Umar sendiri terus memperhatikannya dengan baik-baik. Ia memandangi pohon kurma di hadapannya. Ia juga memandangi pakaiannya sendiri—tidak baru, namun bersih dan masih sangat layak dikenakan. Baginya, sebagai seorang pemimpin penampilannya harus benar-benar mencerminkan kesederhanaan. Baginya, apalah artinya sebuah kekuasaan jika hanya harus menyakiti umatnya yang banyak?
*****

Krisis di Zaman Umar Bin Khattab


Umat Islam ternyata sejak dari dulu memang sudah tidak asing dengan krisis ekonomi. Setidaknya, sejak zaman Rasulullah, ada dua krisis ekonomi besar yang pernah dicatat oleh buku sejarah Islam.

Pertama, ketika umat Islam diboikot oleh kaum Yahudi dalam masa awal penyebaran Islam. Yang kedua, pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab. Apa penyebabnya dan bagaimana Khalifah Umar bin Khattab mengentaskannya?

Krisis itu terjadi tepatnya pada tahun 18 hijriah. Peristiwa besar ini kemudian disebut “Krisis Tahun Ramadah”. Saat itu di daerah-daerah terjadi kekeringan yang mengakibatkan banyak orang dan binatang yang mati. Orang-orang pun banyak yang menggali lubang tikus untuk mengeluarkan apa yang ada di dalmnya—saking langkanya makanan.

Khalifah Umar yang berkulit putih, saat itu terlihat hitam. Ia pun berdoa: “Ya Allah, jangan Engkau jadikan kebinasaan umat Muhammad pada tanganku dan di dalam kepemimpinanku.”

Beliau juga berkata kepada rakyatnya: “Sesungguhnya bencana disebabkan banyaknya perzinaan, dan kemarau panjang disebabkan para hakim yang buruk dan para pemimpin yang zalim… Carilah ridha Tuhan kalian dan bertobatlah serta berbuatlah kebaikan”.

Tidak lama kemudian berbagai krisis tersebut segera diatasi. Saking sejahteranya, tiap bayi yang lahir pada tahun ke-1, mendapat insentif 100 dirham (1 dirham perak kini sekitar Rp. 30 ribu, tahun ke-2 mednapatkan 200 dirham, dan seterusnya. Gaji guru pun per bulan mencapai 15 dinar (1 dinar emas kini sekitar Rp 1,5 juta).

Pada tahun 20 hijriah, khalifah Umar juga mencetak mata uang dirham perak dengan ornamen Islami. Ia mencantuman kalimah thayibah, setelah sblmnya umat Islam menggunakan dirham dari Persia yang di dalamnya terdapat gambar raja-raja Persia.

Adapun pencetakan dinar emas berornamen Islami diberlakukan pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan pada tahun 75 hijrah. (Sumber: Al-Fiqh al-Iqtishadi li Amir al-Mukminin Umar Ibn Khathab”).
*****

Aku Tidak Menerima Alasan Umar


Suatu hari Syuraih bin al-Harits al-Kindi kedatangan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab bersama seorang penjual kuda. Keduanya bermaksud mengadukan permasalahan yang sedang mereka hadapi dan meminta Qadhi (hakim) Syuraih untuk menuntaskannya.

Syuraih mempersilahkan si penjual kuda untuk menjelaskan maksud kedatangannya. Lalu ia menjelaskan bahwa suatu hari Khalifah Umar membeli seekor kuda darinya. Namun selang beberapa hari Umar megembalikan kuda tersebut dan menuntut ganti rugi.

Setelah mendengar penjelasan si penjual kuda, Syuraih kemudian mempersilahkan Khalifah Umar untuk memberikan penjelasan. Umar yang mengangkat Syuraih jadi hakim ini pun menjelaskan bahwa ia mengembalikan kuda tersebut dan menuntut ganti, karena kuda itu berpenyakit dan cacat sehingga larinya tidak kencang.

Syuraih kembali mempersilahkan si penjual kuda untuk memberikan jawaban.

“Saya tidak menerima alasan Khalifah Umar, karena saya menjualnya dalam keadaan sehat dan tidak cacat,” kata penjual kuda menyanggah.

Syuraih kemudian bertanya kepada Umar, “Apakah benar ketika Anda membeli kuda itu keadaannya sehat dan tidak cacat?”

Umar menjawab singkat , “Benar.”

Syuraih pun segera memberikan putusan terhadap perkara tersebut. Ia menyatakan bahwa Umar tidak berhak meminta ganti kepada si penjual kuda karena ketika bertransaksi, kuda itu dalam keadaan sehat dan tidak cacat.

Ia kemudian berkata kepada Umar, “Peliharalah apa yang Anda beli. Atau jika ingin mengembalikannya, kembalikanlah seperti ketika Anda menerimanya.”

Mendengar keputusan Syuraih, Umar bertanya, “Benarkah keputusan Anda?”

Syuriah mengangguk pasti.

Umar memandang kagum Syuraih lantas berkata, “Beginilah seharusnya putusan itu, ucapan yang pasti dan dan keputusan yang adil. Pergilah Anda ke Kufah, aku telah mengangkatmu sebagai hakim di sana.”

Sementara itu, pada masa kekalifahan Ali bin Abu Thalib, Syuraih yang masih menjadi hakim pernah juga didatangi oleh khalifah keempat itu bersama seorang Yahudi. Ali mengadu kepada Syuraih bahwa baju perangnya dicuri oleh si Yahudi. “Aku menemukan baju besiku dibawa oleh orang ini, tanpa melalui jual beli ataupun hibah,” terang Ali.

Mendengar pengaduan Ali, Syuraih kemudian mempersilahkan si Yahudi menyampaikan pembelaan. “Ini baju perangku, sebab sekarang berada di tanganku,” si Yahudi menyanggah tuduhan Ali.

Syuraih kemudian bertanya kepada kepada Ali, “bagaimana Anda yakin jika ini baju perang Anda?”

Kemudian Ali menjawab, “Karena orang yang memiliki baju perang seperti ini hanya aku.”

Syuraih kemudian berkata “Aku tidak meragukan bahwa Anda adalah orang yang jujur wahai Amirul Mukminin, dan aku yakin baju besi ini milik Anda, tetapi Anda harus mendatangkan dua orang saksi untuk menguatkan pengakuan Anda ini.”

Maka Ali mengajukan dua orang saksi, yakni pembantunya, Qanbar, dan anak kesayangannya Hasan. Tetapi Syuriah tidak mau menerima kesaksian Hasan dengan alasan dalam Islam kesaksian anak terhadap ayahnya tidak dapat diterima. Mendengar keputusan Syuriah itu Ali bertanya, “Apakah Anda tidak menerima kesaksian seorang calon penghuni surga? Apakah Anda tidak mendengar Rasullulah bersabda bahwa Hasan dan Husain adalah dua ahli surga?”

“Aku hanya tidak menerima kesaksian seorang anak terhadap ayahnya,” jawab Syuraih tegas sembari membacakan surah Al-Maidah ayat 8, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjasi orang-orang yang selalu menegakan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan Adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.”

Mendengar penjelasan Syuraih, Ali pun menerima keputusan itu dengan lapang dada.karena menurutnya apa yang diputuskan Syuraih adalah sesuai dengan ketentuan Alah Taala dan Rasul-Nya. Ia pun merasa bangga karena hakim yang dipilihnya dapat berlaku adil, termasuk kepada dirinya yang sedang memangku amanah sebagai Khalifah.

Ia kemudian menyerahkan baju perang itu kepada si Yahudi dan berkata, “Ambilah baju perang ini, karena aku tidak mempunyai saksi selain keduanya.”

Menyaksikan keadilan Syuraih dan keagungan Ali, yahudi itu terpana dan berkata, “Baju perang ini memang milik Anda, aku memungutnya ketika terjatuh di perang siffin. Hari ini saya menyaksikan seorang hakim yang sangat adil dan teguh menegakan ajaran Allah demi aku. Sungguh aku telah melihat kebenaran Islam. Maka saat ini juga aku menyatakan diri masuk Islam.”

Syuraih kemudian membimbingnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Sebagai rasa gembira atas keislaman si Yahudi, Ali menghadiahkan baju perang yang baru saja diperselisihkannya ditambah seekor kuda.

Keadilan dan keberanian Syuraih juga berlaku bagi keluarganya. Saat anaknya menghadapi suatu masalah, Syuraih menyuruh anaknya mengajukan ke pengadilan. Namun, ternyata di pengadilan Syuraih memenagkan lawan dari anaknya. [diambil dari majalah Hidayatullah].
*****

Terusan Suez; Master Piece Umar bin Khattab


Banyak yang belum tahu, ternyata Terusan Suez ternyata adalah sebuah karya agung berdasar ide dan gagasan cemerlang sekaligus membuktikan kejeniusan Amirul Mukminin Umar Bin Khaththab raddiyallahu’anhu.

Ide jenius beliau menghubungkan Laut Merah dan Laut Putih Tengah karena adanya berbagai potensi domestik yang sudah dikenal pada zamannya. Juga kejeniusan beliau patut kita berbangga karenanya, adalah kemampuan beliau mewujudkan proyek tersebut dalam waktu relatif singkat sehingga terusan tersebut bisa dilalui oleh kapal-kapal.

Di musim dingin tahun 641-642 M, Amru bin Ash ra. membuka terusan yang menghubungkan antara laut Qalzim dengan Laut Romawi atau di posisinya sekarang, dikenal dengan nama Terusan Amirul Mukminin.

Al Qadha’i bercerita, Umar bin Khattab ra. menginstruksikan pada Amru bin Ash ra. pada saat musim paceklik untuk mengeruk teluk yang berada di samping Fusthath kemudian dialiri air sungai Nil hingga laut Qalzim.

Belum setahun, teluk inipun sudah bisa dilalui oleh kapal dan digunakan untuk mengangkut logistik ke Mekkah dan Madinah. Teluk ini juga dimanfaatkan penduduk dua tanah suci itu hingga disebut Teluk Amirul Mukminin.

Al Kindi bertutur bahwa teluk tsb dikeruk pada tahun 32 H dan selesai hanya dalam waktu 6 bulan. Kapal-kapal sudah bisa lalu lalang menyusuri teluk hingga sampai di Hijaz bulan ke tujuhnya.

Terusan ini sangat membantu penduduk Mesir hingga era Khalifah Abu Ja’far Al Manshur , yang dibendungnya untuk memutus aliran dan dukungan Mesir terhadap perlawanan Muhammad bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib di Hijaz.

Sebagian sejarah juga menyebut, bahwa Amru bin Ash telah memikirkan untuk menghubungkan 2 laut putih dan Merah , namun tampaknya yang dimaksud adalah terusan lain, yang membelah antara Selat Timsah dengan Barzah, antara Mesir dan Sinai hingga Laut Tengah. Tapi rencana ini dibatalkan karena alasan pertimbangan militer yang ada pada zaman itu.

Pada masa Khilafah Utsmaniyyah, teluk ini dibersihkan tiap tahun. Musim dingin, teluk ini biasanya ditutup karena dikeruk dan dibersihkan seperti perayaan. (biasanya bulan Agustus). Lumpur yang dikeruk lalu diangkat dan ditimbun di samping kanan-kiri aliran teluk. dan ini sungguh menarik perhatian penduduk setempat. [Sumber: abidin wabula]
*****

Detik-Detik Umar Bin Khattab Masuk Islam


Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. 2:137).

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang.(Al Qur’an). Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang kepada (agama)-Nya, niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya. (Q.S. 4:174-175).

Dari Jubair bin Nuth’im r.a. berkata : Rasulullah saw. pernah bersabda : “Hendaklah kamu sekalian bergembira, karena sesungguhnya Al-Qur’an ini ujungnya (ada) di tangan Allah dan ujungnya yang lain di tangan kamu sekalian; maka dari itu hendaklah kamu berpegang teguh kepadanya, maka sungguh kamu tidak akan binasa dan tidak pula akan sesat selama-lamanya.” (Riwayat at-Thabrani).

Umar bin Khatthab adalah salah seorang sahabat terdekat Rasulullah saw. dan termasuk khulafaurasyidin. Ia merupakan pribadi yang dibekali tabiat yang peka dan kuat. Bila ia mengambil pendirian maka akan ia pegang hingga mencapai akhir. Semenjak belum mengenal Islam-pun, sifat dan tabiatnya sudah seperti itu. Dalam sebuah riwayat yang menceritakan bagaimana akhirnya Umar dapat tunduk terhadap ayat suci Al-Qur’an:

Pada suatu hari, Umar keluar dengan pedang terhunus dan melangkahkan kakinya ke rumah Arqam, tempat Rasulullah saw. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Nu’aim bin Abdillah. Nu’aim bertanya kepada Umar “Hendak ke mana hai Umar?”

“Mencari si murtad itu” jawab Umar, “yang telah memecah belah kesatuan negeri Quraisy serta mempersetankan cendekiawannya, menghina agamanya dan mencaci maki tuhan-tuhannya. Akan saya tamatkan riwayatnya!”

Umar merasa saat itu dirinyalah yang paling benar, bahkan sangat bencinya kepada Muhammad dan mengatakan bahwa Muhammad dan pengikutnya telah murtad dari agama kaumnya. Hingga kesabaran Umar habis dan dikejarnya Muhammad. Kemudian apa yang terjadi setelah itu? Ketika diketahuinya dari Nu’aim bahwa adiknya pun telah menjadi pengikut Muhammad, maka langkah kakinya kini diarahkan ke rumah adiknya itu. Dengan amarah yang menyala-nyala Umar pun sampai di sana. Akan tetapi ayat-ayat Allah mampu menundukkan Umar bin Khatthab. Ia pun akhirnya menjadi pembela Islam yang paling unggul.

Inilah gambaran bahwa petunjuk Allah datang dalam kondisi yang beragam. Ia dapat turun ke dalam berbagai macam komunitas dan kalangan. Bahkan terhadap orang yang teramat memusuhi petunjuk itu sekalipun. Kisah Umar di atas merupakan gambaran bahwa seorang manusia pun tidak lantas dengan mudah menilai manusia lainnya sebelum jelas bukti kebenarannya. Umar melakukan yang demikian itu pun karena Rasulullah saw. pun pernah mengatakan “Apakah kamu bisa membelah isi hati manusia?”.

Bagi seorang Umar bin Khatthab, rupa lahir yang tampak sekilas pandang tidaklah cukup untuk mengadakan penilaian terhadap orang lain. Pernah didengarnya seseorang menyanjung orang lain dengan ucapan:

“Ia seorang yang lurus”.

Maka ditanya oleh Umar:

“Pernahkah suatu hari kamu mengadakan perjalanan bersamanya?”

“Tidak”, jawabnya

“Ataukah pernah kamu suatu kali bermusuhan dengannya?”

“Tidak”

“Kalau begitu tidak ada pengetahuanmu mengenai orang itu; mungkin kamu melihatnya sedang shalat di masjid!”

Beginilah Umar mencontohkan bagaimana kita sebaiknya membuat pandangan dan penilaian terhadap orang lain yang belum kita kenal sepenuhnya. Apalagi kondisi zaman sekarang yang serba tidak menentu. Dalam sebuah hadits dikatakan:

Dari Abdullah bin Amr r.a. berkata: saya pernah Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut pengetahuan agama sesudah Ia memberikan kepada mereka dengan sekali cabut, tetapi Dia mencabutnya dari mereka itu beserta kematian orang-orang yang berpengetahuan agama dengan pengetahuan mereka, lalu tinggallah orang-orang yang bodoh, mereka meminta fatwa, lalu mereka memberikan fatwa dengan pikiran mereka, maka mereka sama sesat dan menyesatkan.” (Riwayat Bukhari)

Di riwayat yang lain: “Sehingga tidak ada lagi orang yang mengerti tentang urusan agama, segenap manusia mengangkat ketua orang-orang yang bodoh, lalu mereka ditanya, lantas memberi fatwa dengan tidak ada pengetahuan, maka sesatlah mereka dan menyesatkan.”

Berabad jaraknya antara hari ini dan zaman Rasulullah saw. Bahkan Rasulullah saw. mengatakan akan datang suatu zaman kekacauan yang digambarkan dalam hadits di atas. Lantas bagaimana caranya agar kita tetap bertahan dalam nilai kebenaran dan nilai petunjuk?

Petunjuk Nabi saw. adalah sebaik-baik petunjuk, seperti dikatakan oleh Umar ibnul Khaththab r.a., “Keduanya (Al-Qur’an dan sunnah) adalah kalam dan petunjuk, sebaik-baik kalam adalah kalam Allah SWT dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw..“

Umar mengutip redaksi ini dari sabda Rasulullah saw. yang diucapkan oleh beliau dalam khotbahnya, “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perbuatan bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”

Inilah yang dapat dilakukan oleh kita selaku umat Islam, yaitu dengan tetap berpegang teguh kepada apa yang telah disabdakan Nabi saw. seperti yang tertera dalam keterangan di atas. Ditambah lagi, kondisi umat Islam yang hari ini semakin kritis, maka sangatlah diperlukan hadirnya sebuah “petunjuk” yang betul-betul dapat menyelamatkan nasib umat Islam dunia.

Hadirnya petunjuk Allah dapat mengubah seorang Umar hingga ia jadi pembela Islam yang tangguh. Mudah-mudahan pula citra petunjuk itu dapat kita gali dan maknai, agar umat Islam mendapatkan kembali tempat kejayaannya di mata dunia. Manusia akan mencapai puncak peradabannya, menjadi umat yang satu manakala mereka kembali kepada petunjuk Allah yang hakiki, Al-Qur’an. Itulah jalan yang lurus yang dikehendaki oleh Allah.

Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (Q.S. 2:213). [Sumber: Iman Adipurnama].
*****

Enam Sifat Umar Bin Khattab

Umar bin Khattab bin Nafiel bin Abdul Uzza atau lebih dikenal dengan Umar bin Khattab adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang juga merupakan khalifah kedua Islam (634-644). Umar juga merupakan satu di antara empat orang Khalifah yang digolongkan sebagai Khalifah yang diberi petunjuk (Khulafaur Rasyidin).

Umar dilahirkan di kota Mekkah dari suku Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy, suku terbesar di kota Mekkah saat itu. Ayahnya bernama Khattab bin Nufail Al Shimh Al Quraisyi dan ibunya Hantamah binti Hasyim. Umar memiliki julukan yang diberikan oleh Nabi Muhammad S.A.W. yaitu Al-Faruk yang berarti orang yang bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.

Keluarga Umar tergolong dalam keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis, yang pada masa itu merupakan sesuatu yang langka. Umar juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah.

Sebelum memeluk Islam, Umar adalah orang yang sangat disegani dan dihormati oleh penduduk Mekkah, sebagaimana tradisi yang dijalankan oleh kaum jahiliyah Mekkah saat itu, Umar juga mengubur putrinya hidup-hidup sebagai bagian dari pelaksanaan adat Mekkah yang masih barbar. Setelah memeluk Islam di bawah Nabi Muhammad SAW., Umar dikabarkan menyesali perbuatannya dan menyadari kebodohannya saat itu sebagaimana diriwayatkan dalam satu hadits “Aku menangis ketika menggali kubur untuk putriku. Dia maju dan kemudian menyisir janggutku.”

Umar juga dulunya dikenal sebagai seorang peminum berat, beberapa catatan mengatakan bahwa pada masa pra-Islam, Umar suka meminum anggur. Setelah menjadi seorang Muslim, ia tidak menyentuh alkohol sama sekali, meskipun belum diturunkan larangan meminum khamar (yang memabukkan) secara tegas. Setelah masuk Islam, juga ada banyak sifat-sifat Umar yang sangat luar biasa. Di antaranya adalah:


1. Pemberani.

Sifat pemberani adalah sifat dasar yang dimiliki Umar bin Khattab sebelum masuk Islam. Maka ketika beliau masuk Islam sifat pemberani ini beliau arahkan dalam membela da`wah Rasulullah SAW. Orang yang berani terang-terangan melakukan hijrah ke kota Madinah adalah Umar bin Khattab.

Beliau malah menantang orang-orang kafir Quraisy dengan perkataan `Siapa yang ingin istrinya menjadi janda, anaknya menjadi yatim maka halangilah saya untuk hijrah` dan tidak ada orang kafir Quraisy yang berani menghalangi Umar bin Khattab melaksanakan hijrah.


2. Sederhana

Umar adalah pribadi yang sederhana ketika telah masuk Islam. Hal ini bisa dibuktikan ketika beliau menjabat sebagai khalifah. Umar tidak pernah tinggal di sebuah istana, rumah mentereng ataupu gedung yang tinggi, tapi beliau tinggal di sebuah bangunan sederhana dekat mesjid, dan lebih sering berada di mesjid; bahkan beliau lebih sering tidur di atas pelepah kurma daripada kasur yang empuk. Atau ketika beliau tidak melebihkan harta rampasan (ghanimah) yang dibagikan diantara kaum muslimin.

Ketika kaum muslimin dapat bagian satu kain perorang untuk dibuat baju, maka Umar pun mengambil satu; dan itu tidak cukup untuk bahan baju beliau yang memiliki badan yang besar, maka sebagai jalannya ia meminta kepada anaknya Abdullah, agar bagian anaknya diberikan kepada Umar untuk dibuat sebuah baju.

Atau ketika ia berkunjung ke daerah taklukan, ia berjalan dengan memakai pakaian yang sederhana dan terkesan kusam, diiringi oleh Patrik Yerusalem, Sophronius menggambarkan kesederhanaan Umar; sungguh inilah kesehajaan dan kegetiran yang dikabarkan oleh Daniel sang nabi ketika ia berdiri di tempat suci ini.


3. Adil

Umar juga dikenal sebagai pemimpin yang adil. Hal ini dirasakan oleh seorang kakek Yahudi, yang rumahnya berda di dekat mesjid. Pada saat itu Gubernur Mesir `Amr bin `Ash akan melakukan pelebaran Mesjid, dan rumah orang Yahudi tersebut harus dibongkar. Dengan kebijakan ganti rugi `Amr bin `Ash merayu orang yahudi tersebut untuk pindah, namun dia enggan. Namun `Amr bin `Ash bersikeras untuk membongkar rumah tersebut. Maka orang Yahudi tersebut mendatangi Khalifah Umar dan menceritakan apa yang terjadi kepada dirinya.

Maka Umar mengambil sebuah tulang dan membuat garis dengan pedang di atas tulang tersebut dan menyuruh orang Yahudi tersebut untuk membawa dan menyerahkannya kepada `Amr bin `Ash. Dengan penuh keheranan orang Yahudi tersebut pulang ke Mesir dan menghadap kepada `Amr bin `Ash sambil menyerahkan tulang yang diberikan oleh Umar bin Khattab. Ketika `Amr bin `Ash menerima tulang tersebut pucatlah wajah beliau dan menyuruh para pengawalnya untuk menghentikan pembongkaran. Dengan penuh keheranan orang Yahudi tersebut bertanya kepada `Amr bin `Ash tentang apa yang terjadi.

Maka `Amr menjawab bahwa Umar telah mengingatkan aku sebagai seorang pemimpin yang harus berlaku adil terhadap rakyatnya. Maka kagumlah orang Yahudi tersebut maka ia masuk Islam dan merelaka rumahnya untuk dibongkar.


4. Tegas

Salah satu bentuk ketegasan Umar bin Khattab adalah ketika beliau memecat Khalid bin Walid sebagai panglima perang dengan pemikiran bahwa Umar merasa takut kalaulah umat Islam terlalu mendewakan Khalid bin Walid yang telah berhasil memimpin pasukannya meraih kemenangan dalam beberapa pertempuran; dan hal itu diterima dengan lapang dada oleh Khalid bin Walid.


5. Loyalitas Tinggi

Umar adalah orang yang memiliki rasa cinta yang tinggi terhadap Allah, Rasulullah saw, dan agama Islam. Kecintaan terhadap Allah SWT dan agama Islam beliau buktikan dengan menginfakkan setengah harta beliau untuk da`wah Rasulullah saw. Dan yang paling mengharukan rasa cinta beliau adalah bagaimana ia tidak menerima kematian Rasulullah saw; sampai ia menghalangi persiapan penguburan dan mengancam orang yang berkata Rasulullah telah meninggal maka ia akan menemui ajalnya.

Para sahabat pun merasa kebingungan dengan keadaan seperti ini. Hal ini sampai ke telinga Abu Bakar, maka beliau berkata `Barang siapa yang menyembah Muhammad, sungguh dia telah meninggal; tapi barang siapa yang menyembah Allah SWT, maka Dia itu hidup selamanya takkan pernah mati`; kemudian beliau membaca surat Ali-imran ayat 144. Mendengar itu Umar tersadar dan menitikkan air mata pertanda kesedihannya.


6. Tanggung Jawab

Umar bin Khattab adalah seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Hal ini dibuktikan ketika beliau selalu berpatroli mengontrol rakyatnya sambil memikul keperluan rakyatnya. Pernah suatu waktu beliau melihat seorang ibu yang sedang membohongi anaknya yang kelaparan dengan pura-pura menanak beras, padahal batu yang ada dalam wadah tersebut. Melihat hal tersebut Umar mengambil gandum dan beliau pikul sendiri.

Ketika pengawalnya menawarkan untuk memikulnya, maka Umar berkata `Apakah kamu akan menjerumuskan aku ke dalam neraka karena telah menelantarkan rakyatku dan membiarkannya kelaparan? Itu adalah salah satu bukti sifat tanggung jawab Umar sebagai seorang pemimpin. []
*****

Tarbiyah Rasulullah Terhadap Umar bin Khattab


“Yang terbaik di masa jahiliyah, terbaik pula di masa Islam,” ungkapan itu terlontar dari lisan Rasulullah saat mengomentari pribadi Umar bin Khattab. Umar adalah sosok kontroversial yang bergabung dalam barisan dakwah Islam saat Islam berada di bawah tekanan hebat kafir Quraisy. Masuknya Umar tak hanya menjadi tameng bagi orang-orang yang lemah, juga menjadi salah seorang pelopor perkembangan Islam. Padahal, sebelumnya Umar dikenal sangat membenci Islam.

Dalam banyak kesempatan Rasulullah kerap memuji Umar setinggi langit. Nabi saw pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lidah dan hati Umar.” Banyak ayat yang diturunkan Allah SWT berkenaan dengan diri Umar, bahkan untuk menasihatinya, seperti pelarangan minum khamar, pemisahan istri nabi dari orang-orang, pengenaan hijab bagi mereka. Dari Umar pulalah usulan tidak memakai terompet untuk panggilan adzan. Ia yang pertama kali memikirkan pengumpulan al-Quran dan menyatukannya dalam sebuah mushaf. Tak berlebihan bila Rasulullah menggelari Umar dengan al-Faruq, sang pembeda antara hak dan bathil.

Selama sepuluh tahun menjabat khalifah menggantikan Abu Bakar, Umar dikenal sebagai pemimpin yang berpendirian keras, adil, sangat teliti, wara’ dan sangat sederhana hidupnya. Ia tak terpengaruh perolehan ghanimah (harta rampasan perang) yang terus mengalir seiring dengan makin meluasnya wilayah kekuasaan Islam. Di masa pemerintahan Umar pasukan Islam berhasil menguasai seluruh Persia lewat pertempuran Qadisiyah. Pasukan Islam kemudian menaklukkan Syam dan membebaskan Palestina dari cengkeraman Romawi. Penyebaran Islam pada masa kekuasaannya hingga Mesir dan wilayah Afrika Utara lainnya.

***

Dari kasus di atas tergambar, lewat tarbiyah islamiyah yang dilakukan Rasulullah potensi besar Umar bin Khattab terasah secara maksimal. Kekuatan fisik, kharisma, kecerdasan dan sikap keras Umar termanfaatkan bagi kepentingan dakwah. Tak ada yang tersisa pada diri Umar kecuali kebaikan. Tentu saja Umar bukan satu-satunya. Ribuan sahabat generasi awal dakwah mengalami lompatan serupa saat mereka memasuki Islam.

Apa rahasia keberhasilan tarbiyah Rasulullah? Dari sejumlah buku sirah tergambar bahwa Rasulullah dalam melakukan proses pembinaan mengembangkan konsep pendidikan yang integral. Yang dikembangkan Rasulullah tak hanya aspek ruhiyah (keimanan/mental), juga fikriyah (intelektual) dan jasadiyah (fisik-material). Konsep itu dibingkai oleh manhaj dakwah yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah, juga keteladanan yang langsung diperlihatkan Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari.

Di samping itu, hubungan yang dibangun oleh Rasulullah sebagai murobbi (pembina) dengan para mutarobbi (binaan) sangat dinamis. Sebagai murobbi, Rasulullah memiliki sejumlah peran, baik sebagai pemimpin, syaikh, guru, dan sahabat. Jadi, peran murobbi tak sekadar tranformasi pengetahuan, tapi semua aspek.

Pertemuan antara kepiawaian seorang murobbi dengan mutarobbi berkualitas inilah yang menghasilkan generasi awal dakwah yang gemilang. Bila salah satu dari dua faktor itu hilang, atau kurang berfungsi, maka tarbiyah sulit menggapai hasil maksimal. Boleh jadi inilah yang menjadi penyebab munculnya “kopral macet”, istilah yang digunakan sebagian aktivis dakwah, yang berarti orang yang stagnan (mandeg) dalam keilmuan maupun dalam interaksi dan kontribusinya dalam dakwah.

Masih adakah pembinaan model Rasulullah terhadap Umar bin Khattab sekarang ini? [Dari Berbagai saksi]
*****

Laporan Rakyat Homs Kepada Umar Bin Khattab Tentang Said Bin Amir


Akhirnya Khalifah Umar bin Khattab menyempatkan diri berkunjung ke Syria. Seperti biasanya ia menginspeksi semua wilayah kekhalifahan. Dalam kunjungan itu, beliau menyempatkan diri singgah ke Homs. Kota Homs ketika itu dinamai pula “Kuwaifah” yang berarti kufah kecil. Khalifah sering mendengar laporan-laporan miring dari rakyat Homs tentang Gubernur kota kecil itu, Said bin Amir.

Tatkala Umar sampai di sana, rakyat mengelu-ngelukannya. Mereka mengucapkan selamat datang. Khalifah bertanya kepada rakyat, “Bagaimana penilaian Saudara-Saudara terhadap kebijakan gubernur kalian?”

“Ya Khalifah, “ jawab rakyat. “Ada empat macam kelemahan yang hendak kami laporkan kepada Anda.”

“Baik, aku akan pertemukan kalian dengan gubernur kalian,” jawab Khalifah Umar sambil berdoa. Ia berharap, tidak ada yang salah dengan Said bin Amir.

Ketika semua pihak telah berkumpul, Khalifahpun kemudian bertanya kepada rakyat, “Bagaimana penilaian kalian tentang kebijakan gubernur kalian?”

Pertanyaan Khalifah kemudian dijawab oleh seorang juru bicara. “Pertama,” ujarnya. “Gubernur Said bin Amir selalu tiba di tempat tugas setelah matahari tinggi.”

Khalifah Umar bin Khattab melirik gubernurnya, “Bagaimana tanggapanmu mengenai laporan mereka, hai Said?”

Gubernur Said bin Amir diam sejenak. Kemudian dia berkata, “Sesungguhnya aku keberatan menanggapinya. Tapi, apa boleh buat. Keluargaku tidak mempunyai pembantu. Karena itu, tiap pagi aku harus membuat adonan roti lebih dahulu untuk mereka. Sesudah adonan itu siap dimasak, barulah aku membuat roti. Kemudian aku berwudhu, barulah berangkat ke tempat kerja untuk melayani masyarakat.”

“Nah, apalagi laporan kalian?” tanya Khalifah kepada hadirin, setelah menarik napas sejenak.

“Kedua, Gubernur tidak bersedia melayani kami pada malam hari.”

Said bin Amir langsung menjawab. “Hal itu sesungguhnya lebih berat bagi aku untuk menanggapinya—teruama di hadapan umum seperti ini. Aku telah membagi waktu, siang hari untuk melayani masyarakat, dan malam hari untuk bertaqarrub kepada Allah.”

“Apa lagi?” tanya Khalifah kepada hadirin.

“Ketiga, Gubernur tidak masuk kantor sehari penuh dalam sebulan.”

“Bagaimana tanggapanmu, hai Said?”

“Sebagaimana telah aku terangkan tadi, aku tidak mempunyai pembantu. Di samping itu, aku hanya memiliki sepasang pakaian saja. Aku mencucinya sebulan sekali. Bila aku mencucinya, aku terpaksa menunggu kering dahulu. Setelah itu barulah aku bisa keluar melayani masyarakat.”

“Nah, apalagi laporan selanjutnya?” tanya Khalifah.

“Terakhir, Gubernur sering menutup diri untuk bicara. Pada saat-saat seperti itu beliau biasanya meninggalkan majelis,”ujar juru bicara rakyat.

Said bin Amir langsung menjawab, “Masalah itu, ketika aku masih musyrik, aku pernah menyaksikan almarhum Khubaib bin Ady dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy. Aku menyaksikan mereka menyayat-nyayat tubuh Khubaib hingga berkeping-keping. Pada waktu itu, aku mengejek Khubaib, ‘Sukakah engkau bila Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau kami bebaskan?’ Ejekan itu dijawab oleh Khubaib, ‘Aku tidak sudi bersenang-senang sementara Nabi Muhammad tertusuk duri. ’ Demi Allah, jika aku teringat peristiwa itu, di mana ketika itu aku tidak sedikitpun membela Khubaib. Aku selalu merasa bahwa dosaku tidak akan diampuni Allah swt…”

“Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakanku,” ujar Khalifah Umar.

Sekembalinya ke Madinah, Khalifah Umar mengirimi Gubernur Said seribu dinar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Melihat jumlah uang sebanyak itu, istrinya berkata pada Said, “Segala puji bagi Allah. Aku ingin mempergunakan uang ini untuk membeli bahan pangan dan perlengkapan lain. Aku ingin pula menggaji seorang pembantu rumah tangga kita.”

“Adakah usul yang lebih baik daripada itu?” tanya Said bin Amir pada istrinya.

“Apa pulakah usul yang lebih baik daripada itu?” istrinya kembali balik bertanya.

“Kita bagi-bagikan saja uang ini kepada rakyat yang membutuhkannya. Itulah yang lebih baik bagi kita,” jawab Said.

“Mengapa?” tanya istrinya lagi.

“Dengan begitu, berarti kita menyimpan uang ini di sisi Allah. Itulah cara yang lebih baik,” jawab Said dengan mata berbinar-binar.

Istrinya setuju. Sebelum mereka meninggalkan majelis, uang itu di masukkan Said ke dalam beberapa pundi. Lalu diperintahkannya kepada salah seorang keluarganya. “Berikan pundi ini kepada janda si fulan. Berikan juga pundi ini kepada anak yatim si fulan. Ini kepada si fulan yang miskin. Ini untuk si fulan yang …”

Semoga Allah meridhai Said bin Amir. Ia menyadari bahwa cara terbaik untuk mensyukuri nikmat Allah, salah satunya, dengan membagi rezekinya. Menginfakkannya. Menyedekahkannya. Karena, pada kebahagiaan yang kita miliki, ada juga yang bisa disedekahkan untuk orang lain. Sebagai syukur terhadap Allah yang telah memberikan segalanya.

Baca Disini Pustakanya: https://ahlulbaitnabisaw.blogspot.com/2016/11/profil-dan-nasab-umar-bin-khattab-umar.html

(Facebook/Islam-Quest/Abidin-Wabula/Hidayatullah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: