Pesan Rahbar

Home » » Pembuktian Teologis atas Konsep Mahdiisme Menurut Ahlul Bait a.s

Pembuktian Teologis atas Konsep Mahdiisme Menurut Ahlul Bait a.s

Written By Unknown on Friday 4 July 2014 | 23:22:00

Argumentasi teologis atas konsep Mahdiisme terungkap dalam ratusan riwayat yang datang dari Rasulullah yang menunjukkan penentuan Imam Mahdi a.s. dan bahwa beliau dari Ahlul Bait a.s.

Pembuktian Teologis atas Konsep Mahdiisme Menurut Ahlul Bait a.s.
Argumentasi teologis atas konsep Mahdiisme terungkap dalam ratusan riwayat yang datang dari Rasulullah[1] yang menunjukkan penentuan Imam Mahdi a.s. dan bahwa beliau dari Ahlul Bait a.s.[2]
Dinyatakan juga bahwa beliau adalah dari ke-turunan Fathimah a.s.[3], dari keturunan imam Husain a.s.[4], keturunan ketujuh dari imam Husain a.s.[5], dan bahwa beliau adalah khalifah dan pengganti Rasulullah adalah 12 orang.[6]

Lima kelompok dan kategori riwayat ini,[7] satu sama lain berlomba menjelaskan konsep Mahdiisme dan mendefinisikan Imam Mahdi a.s. Sedang yang perlu dicermati di sana adalah analisis atas hal tersebut dari topik umum ke topik yang lebih khusus sehingga sampai kepada topik penentuan personal.
Sahid Baqir Shadr ra. menggarisbawahi riwayat-riwayat tersebut dan mengatakan: "Riwayat ini sangat-lah banyak dan tersebar, kendati para imam telah berhati-hati untuk memaparkan konsep ini pada konteks umum, sebagai upaya penyelamatan bagi pelanjut mereka (Imam Mahdi a.s.) dari konspirasi dan pembunuhan"[8].

Selain itu, perlu dipahami bahwa banyaknya riwayat bukan satu-satunya alasan yang cukup untuk menerima konsep ini. Akan tetapi di sana terdapat keistimewaan dan bukti-bukti lain yang menegaskan keabsahannya. Misalnya, hadis Rasulullah yang mulia tentang para imam dan khalifah atau amir setelah beliau dan ihwal mereka berjumlah 12 orang?dengan berbagai perbedaan riwayat yang datang dari jalur yang beragam?telah dihitung oleh sebagian para penulis hingga mencapai lebih dari 270 riwayat,[9] sebuah jumlah yang fantastik, di mana riwayat-riwayat tersebut diambil dari kitab hadis standar, baik dari kalangan Syi'ah maupun Ahli Sunnah, di antaranya Shahih Bukhari[10], Shahih Muslim[11], Sunan Tirmidzi[12], Sunan Abu Daud[13] dan Musnad Ahmad[14] serta Mustadrak Hakim.[15]

Yang menarik di sini, Bukhari yang menukil riwayat ini adalah orang yang hidup sezaman dengan imam Al-Jawad a.s. dan dengan dua imam yang lain; Imam Al-Hadi dan Imam Al-Askari a.s. Ini merupakan sebuah keunikan yang besar, karena ia berdalil bahwa hadis ini telah dinukil dari Rasulullah sebelum kandungannya terwujud dan sebelum konsep kepemimpinan dua belas Imam itu terjadi di dunia nyata. Tentunya, tidak bisa diragukan lagi, bahwa penukilan hadis ini tidak dipengaruhi oleh kondisi nyata di luar dari dua belas Imam ataupun refleksi darinya, sebab hadis-hadis palsu yang disandarkan kepada Rasulullah adalah cerminan atau justifikasi atas peristiwa yang nantinya akan terjadi di masa depan.

Maka itu, selagi kita memiliki dalil bahwa hadis yang disebutkan tadi telah melalui rentetan sejarah para Imam dua belas dan tercatat dalam kitab-kitab hadis sebelum menyempurnanya para personnya fakta kedua belas Imam, maka dapat kita tegaskan bahwa hadis ini bukanlah gambaran dari fakta yang terjadi di luar, akan tetapi ungkapan dari hakikat rabbani yang diucapkan oleh orang yang tidak pernah berucap selain wahyu dari Tuhan[16]. Beliau bersabda:
"Sesungguhnya khalifah sepeninggalku adalah dua belas orang".
Fakta dua belas imam ini telah nyata; diawali oleh Imam Ali a.s. dan diakhiri oleh Imam Mahdi sebagai misdaq (personifikasi) logis dari hadis mulia tersebut.[17]

Muslim telah meriwayatkan dalam Shahihnya dari Qutaibah ibn Said, dari Jabir ibn Samarah, dia berkata:
"Aku datang bertemu dengan Rasulullah bersama ayah-ku, maka aku mendengar beliau bersabda: ‘Sesungguhnya urusan ini (agama Islam) tidak akan berakhir kecuali dua belas khalifah berlalu". Jabir berkata: "Kemudian beliau bersabda dengan kata-kata yang tidak aku dengar, maka aku bertanya kepada ayahku, apa yang beliau sabdakan? Ayah menjawab semuanya dari bangsa Quraisy."[18]
Kemudian Muslim meriwayatkan dari jalur Ibnu Abu Umar, dari Abu Umar dari Hadab ibn Khalid, dari Nashr ibn Jahdhami, dan dari Muhammad ibn Rafi'e; semua dari satu jalur. Dia juga menguatkan riwayat Abu Bakar ibn Abu Syaibah dari dua jalur, dan riwayat Qutaibah ibn Said melalui dua jalur yang lain.
Dengan demikian, terdapat sembilan jalur dari hadis tersebut yang hanya terdapat dalam kitab Sahih Muslim. Belum lagi kalau kita mau membawakan hadis ini dari jalur-jalur yang beragam yang terdapat dalam kitab-kitab hadis yang lain dari mazhab Syi'ah maupun Ahli Sunnah.[19]

Kerancuan Ahli Sunnah Dalam Menafsirkan Hadis.
Pertanyaan di sini adalah, siapa mereka para khalifah tersebut? Sebelum memilih jawaban yang benar dari soal ini, kita akan memberikan dua alternatif yang dapat diasumsikan pada hadis itu dan maksud Rasul saw. darinya. Maka, di sini hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada pilihan ketiga di dalamnya. Kedua kemung-kinan tersebut adalah;
1. Maksud dari sabda Nabi tersebut adalah penjelasan fakta politik umat beliau yang akan terjadi sepe-ninggal beliau, dengan cara penyingkapan akan masa depan. Sebagaimana hal ini juga terjadi dalam berbagai hal yang lain. Dengan demikian maksud hadis ini adalah pemberitahuan beliau akan masa mendatang dan menimpa umat beliau, atau dapat kita istilahkan kemungkinan pertama ini dengan nama tafsir mustaqbali (futurologis).
2. Kemungkinan kedua adalah Nabi bermaksud menentukan kedua belas Imam dan penggantinya, maka tujuan hadis ini adalah pelantikan sesuai dengan tuntutan syariat bukan kabar akan masa mendatang. Kemungkinan ini disebut juga sebagai tafsir aqaidiyah (teologis).

Sejauh kajian ilmiah, kita dituntut untuk mencermati dua kemungkinan ini dan memilih apa yang sesuai dengan bukti logis maupun dogmatis. Hanya saja, karena Ahli Sunnah sejak awal telah meyakini teori khilafah dan menolak teori pelantikan serta membangun sistem akidah dan hukumnya di atas keyakinan ini, pada gilirannya mereka tidak menemukan alternatif selain kemungkinan atau tafsiran pertama, dan dengan segala cara berupaya menakwilkan apa-apa yang bertentangan dengannya. Kendati produk-produk penakwilan mereka itu jauh dari nalar yang lurus dan kearifan insani, namun demikian ini adalah konsekuensi yang tak terelakkan.

Semestinya, Ahli Sunnah memandang hadis ini secara ilmiah dan bebas dari asumsi sehingga kita dapat melihat kelemahan tafsir futuralistik itu. Maka, jika Nabi saw. bermaksud menjelaskan ihwal kejadian di masa depan, mengapa beliau hanya menentukan dua belas orang saja? Bukankah masa depan itu lebih panjang dari sekedar jumlah dua belas pemimpin? Dan jika Rasulullah melihatnya dengan kaca mata khilafah yang sah yang sesuai dengan norma-norma syariat, maka Ahli Sunnah tidak akan siap untuk meyakini Khulafa Rasyidin dan menolak legalitas kepemimpinan selain mereka. Oleh karena itu, mereka kebingungan dalam menentukan dua belas pribadi pengganti yang telah disinggung oleh Rasulullah saw.

Sejalan dengan ini, maka dua belas imam atau pemimpin?menurut Ibnu Katsir?adalah keempat khalifah awal, lalu Umar ibn Abdul Aziz, dan sebagian khalifah dari dinasti Abbasiyah, di mana Imam Mahdi yang dijanjikan berasal dari mereka.[20]

Menurut Qadhi Damaskus, mereka adalah Khulafa' Rasyidin, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Abdul Malik ibn Marwan dan keempat anaknya (Walid, Sulaiman, Yazid dan Hisyam), dan diakhiri oleh Umar ibn Abdul Aziz[21].

Menurut Waliyyullah, seorang Ahli Hadis dalam kitab Qurratul ‘Ainain, sebagaimana dinukil dalam kitab ‘Aunul Ma'bud, mereka adalah empat khalifah pertama muslimin, Abdul Malik ibn Marwan dan keempat anaknya, Umar ibn Abdul Aziz, Walid ibn Yazid ibn Abdul Malik. Kemudian Waliyyullah menukil dari Malik ibn Anas seraya memasukkan Abdullah ibn Zubair ke dalam dua belas orang tersebut, akan tetapi dia menolak perkataan Malik dengan dalil riwayat dari Umar dan Ustman dari Rasulullah saw. yang menunjukkan bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh Abdullah ibn Zubair adalah sebuah bencana dari sederet malapetaka yang diderita umat Islam. Ia juga menolak dimasukkannya Yazid dan menegaskan, bahwa dia adalah sosok yang berperilaku bejat.[22]

Ibnu Qayim Jauzi mengatakan: "Sedangkan jumlah khalifah itu dua belas orang; sekelompok orang yang di antaranya; Abu Hatim, Ibnu Hibban dan yang lain mengatakan bahwa yang terakhir dari mereka adalah Umar ibn Abdul Aziz. Mereka menyebut khalifah empat pertama, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Muawiyah ibn Yazid, Marwan ibn Hakam, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, Sulaiman ibn Abdul Malik, dan khalifah yang kedua belas Umar ibn Abdul Aziz. Khalifah yang terakhir ini wafat pada tahun seratus Hijriyah; di abad pertama dan paling awal dari abad-abad kalender Hijriah manapun, pada abad inilah agama berada di puncak kejayaan sebelum terjadi apa yang telah terjadi".[23]

Nurbasyti mengatakan: "Cara terbaik memaknai hadis ini adalah menerapkan maknanya pada mereka yang adil, karena pada dasarnya merekalah yang berhak menyandang gelar sebagai khalifah, dan tidak mesti mereka memegang kekuasaan, karena yang dimaksud dari hadis adalah makna metaforis saja. Begitulah yang disebutkan di dalam Al-Mirqat".[24]

Dan menurut Maqrizi, jumlah dua belas imam adalah khalifah empat pertama dan Hasan cucunda Nabi saw. Ia mengatakan: "Dan padanya (Imam Hasan a.s.), masa khalifah rasyidin pun berakhir". Maqrizi tidak memasukkan satu pun dari penguasa dinasti Umawiyah. Masih menurut penjelasannya, khilafah setelah Imam Hasan a.s. telah menjadi sistem kerajaan yang di dalamnya telah terjadi kekerasan dan kejahatan. Lebih lanjut, ia juga tidak memasukkan satu penguasa pun dari dinasti Abbasiyah, karena pemerintahan mereka telah memecah belah kalimat umat dan persatuan Islam, dan membersihkan kantor-kantor administrasi dari orang Arab lalu merekrut bangsa Turki. Yaitu, pertama-tama bangsa Dailam memimpin, lalu disusul bangsa Turki yang akhirnya menjadi sebuah bangsa yang begitu besar. Maka, terpecahlah kerajaan besar itu kepada berbagai bagian, dan setiap penguasa suatu kawasan mencaplok dan menguasainya dengan kekerasan dan kebrutalan.[25]

Dengan demikian, tampak jelas bagaimana kebingungan madrasah Khulafa' (Ahli Sunnah) dalam menafsirkan hadis tersebut; mereka tidak sanggup keluar dari keadaan ini selagi berpegang pada tafsir futuralistik itu.
Dalam kitab Al-Hawi lil Fatawa, As-Suyuthi mengatakan: "Sampai sekarang, belum ada kesepakatan dari umat Islam mengenai setiap pribadi dua belas imam."[26]

Oleh karena itu, jika tafsir futuralistik tersebut memang benar dan sesuai dengan kenyataan, maka pertama kali yang akan mengimaninya adalah para sahabat nabi, bukan yang lain, dan kita akan mendengar dampaknya secara langsung dari para khalifah itu sendiri. Khalifah pertama akan mengatakan, akulah khalifah pertama dari dua belas khalifah, khalifah kedua juga demikian, begitu pula khalifah ketiga hingga khalifah kedua belas. Tentunya, pengakuan senada ini akan menjadi kebanggaan dan bukti yang mendukung legalitas kedaulatan setiap khalifah. Namun, sejarah tidak pernah mencatat satu pengakuan pun dari nama-nama khalifah yang telah disebutkan di atas itu.

Kemudian, hadis juga mengatakan bahwa masa kepemimpinan mereka adalah mencakup sepanjang sejarah Islam hingga akhir gugusannya; di mana dunia akan hancur ketika mereka sudah tidak ada lagi di muka bumi. Ahli Sunnah meriwayatkan dari Rasulullah, bahwa beliau bersabda:
"Agama ini akan senantiasa tegak dan langgeng selama ada kedua belas pemimpin dari bangsa Quraisy. Tatkala mereka tiada, dunia akan hancur lebur."[27]

Di samping bukti sejarah, kita juga melihat dunia belum hancur kendati Umar ibn Abdul Aziz itu telah mati. Bahkan setelah ketiadaannya, ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu agama berkembang pesat, seperti fikih, hadis dan tafsir di abad ketiga dan keempat Hijriah. Lebih dari itu, dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu keislaman berkembang dan menyebar setelah meninggalnya dua belas imam versi Ahli Sunnah, sementara dunia masih saja tidak hancur lebur.

Diriwayatkan juga dari Jabir ibn Samarah:
"Umat ini akan tetap tegar menjalankan agamanya, menaklukkan para musuhnya sehingga dua belas khalifah berlalu; mereka semua dari bangsa Quraisy, kemudian tibalah kekacauan yang dahsyat."[28]
Jika maksud dari al-maraj dalam hadis itu kegalauan dan kemelut, maka ini seharusnya tidak terjadi sampai masa Umar ibn Abdul Aziz. Sejarah juga mencatat, tidak ada cobaan dan fitnah, kemelut yang sangat dahsyat, kekacauan antara hak dan batil yang lebih besar dari tampilnya Muawiyah sebagai khalifah kaum muslimin. Ini berarti bahwa maksud dari al-maraj ialah kegalauan terbesar dan kemelut akbar. Dan boleh jadi maksudnya adalah ditinggalkannya agama secara total. Tak syak lagi, kekacauan ini tidak akan terjadi kecuali saat Hari Kebangkitan telah dekat; yaitu kekacauan yang didahu-lui oleh kemakmuran yang dibawa oleh Imam Mahdi a.s.

Kemudian, apa maksud mereka memasukkan para raja ke dalam kategori khalifah kaum muslimin, padahal telah diriwayatkan oleh Ahli Sunnah dari Sa'ad ibn Abi Waqash; satu dari sepuluh sahabat pemberi harapan dan seorang juru runding yang telah ditentukan oleh Umar, bahwa ia pernah menemui Muawiyah setelah, sementara ia juga orang yang terlambat berbaiat kepadanya, dan berkata: "Salam sejahtera kepada rajaku!" Muawiyah menjawab: "Kenapa bukan orang lain? Kalian adalah hamba yang mukmin, dan akulah Amiril Mukminin kalian". "Memang demikian kalau kita menerimanya, dan kita juga disebut sebagai orang-orang yang beriman, hanya saja kami tidak mengangkatmu sebagai Amirul Mukminin".

Aisyah juga telah menolak klaim Muawiyah sebagai khalifah. Begitu pula Ibnu Abbas dan Imam Hasan a.s. melakukan hal yang sama. Bahkan, setelah perdamaian beliau dengannya,[29] Muawiyah adalah satu dari sekian manusia zalim yang disepakati umat, karena sabda nabi:
"Wahai Ammar! kamu akan dibunuh oleh golongan yang zalim".

Kami juga tidak memahami kenapa orang zalim menjadi khalifah Rasul saw. atas umat Islam?! Lalu, apa maksud mereka memasuk-masukkan anak Muawiyah; Yazid yang secara terbuka menyatakan maksiat dan kezaliman-nya, menginjak-injak kehormatan dan hukum Allah swt.?! Ini adalah hal yang sangat mengherankan sekali; bagaimana mungkin kaum muslimin menerima orang yang telah menumpahkan darah Ahlul Bait Nabi saw., orang yang bala tentaranya menghancurkan kota Madinah Munawwarah dan membantai sekitar sepuluh ribu penduduknya sehingga tidak tersisa lagi pejuang perang Badar setelah tragedi "Al-Hirrah", lalu tetap saja diperkenalkan sebagai khalifah Rasulullah saw.?! Dan begitulah halnya dengan para penguasa yang menurut Al-Quran sebagai pohon yang terlaknat.

Rasulullah juga pernah melihat mereka dalam mimpinya?dan kita ketahui mimpi para nabi itu benar dan jujur sejujur sinar surya di pagi hari?bahwa mereka (pohon terkutuk tersebut) akan bertengger dan bergelantungan di mimbar beliau layaknya monyet-monyet. Demikian ini sesuai pendapat mayoritas ahli tafsir dari Ahli Sunnah, yaitu ketika mereka menafsirkan ayat ke-60 dari surat Al-Isra', tanpa perlu dibawakan redaksi pernyataan mereka secara detail.

Dengan demikian, akan tampak jelas bagi kita tiga poin penting dan jelas berikut ini:
a. Kesalahan tafsir pemberitaan futuralistik atas hadis kepemimpinan dua belas orang imam.
b. Faktor dan motif politis yang memaksa dan mengarahkan Ahli Sunnah kepada tafsir tersebut.
c. Kebenaran tafsir teologis yang menjelaskan pelantikan Rasulullah saw. atas dua belas imam kaum muslimin. Tafsir ini bersandar pada dalil logis, quranik serta hadis yang banyak sekali dan sering kita jumpai dalam pusaka ajaran para imam, yang kuno maupun yang terbaru, di berbagai bidang tafsir, hadis, kalam dan sejarah.

Selain itu, sejarah tetap bersikeras bahwa dua belas imam dari Ahlul Bait a.s. adalah manifestasi tunggal yang tak terbantahkan dari hadis tersebut, walaupun hanya melalui pengakuan tegas. Mereka diawali oleh Amirul Mukminin Ali ibn Abi Tahlib a.s. dan diakhiri oleh Imam Zaman, Al-Mahdi Al-Muntadzar a.s.
Dalam hal ini, telah banyak hadis mulia yang tak terhitung jumlahnya, yang menunjukkan manifestasi tersebut. Di sini, kami akan menyebutkan satu di antara hadis-hadis itu, yaitu sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Juwaini As-Syafi'i dalam kitab Faraidus Samthain, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah saw.; beliau bersabda:
"Aku adalah penghulu para nabi, dan Ali ibn Abi Thalib penghulu para washi (khalifah), dan washi-washi setelahku berjumlah dua belas; yang pertama Ali ibn Abi Thalib, dan yang terakhir Al-Mahdi."[30]
Atas dasar ini, sebagian para peneliti[31] mengasumsikan bahwa apa yang telah tertera dalam kitab-kitab hadis?yang menyebutkan bahwa tatkala Jabir ibn Samarah tidak mendengar dan tidak memahami sabda Nabi saw. kemudian bertanya kepada ayahnya yang segera memberi jawaban, bahwa Rasulullah bersabda: "Semuanya dari bangsa Quraisy"?telah mengalami tahrif dan penyensoran terhadap jawaban sang ayah. Demikian pula, sebagian riwayat telah membongkar sebab ketaktegasan jawaban tersebut, misalnya; "Lantas kaum muslimin yang hadir di sana gaduh dan berbicara satu sama lain", atau "Orang-orang berteriak", atau "Rasulullah mengatakan sesuatu yang membuat manusia hingga menulikan telingaku", atau "Kemudian manusia berteriak sehingga aku tidak mendengar yang disab-dakan Nabi", atau "Manusia bertakbir dan berteriak", atau "Tiba-tiba orang-orang berdiri dan duduk".

Semua sebab-sebab ketaktegasan jawaban itu tidak sesuai dengan apa yang didengar oleh perawi, karena penetapan kepemimpinan pada bangsa Quraisy adalah pernyataan yang mudah dan tidak perlu diteriakkan dan diherankan. Maka dari itu, apa yang sesuai dengan kondisi yang kita gambarkan dalam riwayat ialah bahwa kepemimpinan ilahi itu adalah kewenangan kelompok tertentu, bukan pada bangsa Quraisy secara umum. Inilah yang telah dibawakan oleh Al-Qanduzi dalam kitab Yanabiul Mawaddah. Di sana, ia menegaskan bahwa kalimat yang disabdakan oleh Rasulullah saw. menyata-kan bahwa semua pemimpin itu dari Bani Hasyim.[32]

Maka, tatkala tampak kesalahan tafsir pemberitaan futuralistik atas hadis kepemimpinan dua belas imam dari satu sisi, dan tampak kebenaran tafsir teologis dari sisi kedua, serta tampak nama Al-Mahdi dalam silsilah dua belas imam Ahlul Bait a.s. sebagai Imam Kedua Belas yang dengannya Allah swt. memperbaiki dunia setelah kehancurannya dari sisi ketiga, tentu tidak ada keraguan lagi mengenai validitas konsep Mahdiisme yang ditekankan oleh mazhab Ahlul Bait a.s. lantaran adanya relasi yang sangat erat antara prinsip Imamah Dua Belas Imam dan konsep Mahdiisme; di mana relasi ini memperlihatkan tiga poin di atas itu dari dalam konsep Mahdiisme.

Sesungguhnya kegagalan tafsir futuralistik atas prinsip Imamah Dua Belas Imam berarti juga kegagalan tafsir demikian ini atas konsep Mahdiisme, sebagaimana kebenaran acuan politis pada tafsir ini mengenai prinsip Imamah Dua Belas Imam merupakan kebenaran acuan tersebut sekaitan dengan konsep Mahdiisme. Sebab, selain kalangan Ahli Sunnah memandang hadis ‘Khilafah Itsna Asyariyah' sebagai pemberitaan masa depan berdasarkan teori Saqifah dan Khilafah serta legalitasnya, mereka juga memandang perlunya meletakkan konsep Mahdiisme dalam kerangka tafsir futuralistik sebagai upaya menghindari konsekuensi dari hak kepemimpinan Ahlul Bait a.s. dan dari ilegalitas sistem khilafah.

Tentu sebaliknya juga benar, bahwa terbuktinya kebenaran tafsir teologis atas hadis ‘Imamah Itsna Asyariyah' berarti juga terbuktinya kebenaran muatan teologis dari konsep Mahdiisme.[]

Rujuk:
[1] Lihat Mu'jam Imam Mahdi a.s., juz 1 hadis-hadis Nabi saw.
[2] Musnad Imam Ahmad juz 1, hal. 84, hadis ke-646 dan Ibnu Abi Syaibah juz 8 hal. 678, kitab ke-40, bab 2, hadis ke-90, Ibnu Majah dan Naim ibn Hamad di dalam fitnah-fitnah tentang Imam Ali a.s. berkata: "Rasulullah saw. bersabda: ‘Imam Mahdi dari kami Ahlul bait di mana Allah akan menyiapkan segalanya dalam semalam". Lihat Sunan Ibnu Majah 2/ 1367, hadis ke-4085, Al- Hawi lil fatawa, karya As-Suyuthi: 2/213, 215. Di sana juga disebutkan, bahwa Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah dan Abu Daud meriwayatkan dari Imam Ali a.s. dari Nabi saw.; beliau bersabda: "Jika zaman sudah tak tersisa lagi kecuali satu hari saja, maka Allah akan mengutus seorang hambanya dari Ahlul baitku yang akan memenuhi dunia ini dengan keadilan seperti telah dipenuhi oleh kezaliman dan kelaliman." Lihat Shahih Sunan al- Mustafa 2/207. Lihat juga Mu'jam Hadis Imam Mahdi: 1/147 dan setelahnya, di mana telah dinukil riwayat yang begitu banyak dari kitab-kitab Ash-Shihah dan musnad dengan kandungan seperti ini.
Lihat juga Ensiklopedia Imam Mahdi a.s. karya Mahdi Faqih Imani, juz pertama. Di sana terdapat penukilan dari puluhan kitab-kitab ulama Ahli Sunnah dan para Ahlul Hadis tentang Imam Mahdi a.s. dan sifat-sifatnya dan apa yang berkaitan dengannya, di sana juga terdapat artikel yang telah dikopi dari keterangan Syeikh Al-‘Ibad tentang hadis-hadis yang dan karya-karya ihwal Imam Mahdi a.s.
[3] Al-Hawi lil fatawa, Jalaludin As-Suyuthi; juz 2 hal. 214, dia berkata: "Abu Daud, Ibnu Majah, Thabrani, dan Hakim dari Ummi Salamah; beliau berkata: "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: "Mahdi dari Itrahku dari keturunan Fatimah." Lihat Sahih Sunanul Musthafa, karya Abi Daud: juz 2 hal. 208, dan Sunan Ibnu Majah: juz 2/1378 hadis ke-4086.
[4] ‘Hadisul Mahdi min Durriyatil Husain a.s., sebagaimana terdapat dalam sumber-sumber berikut ini, juga dinukil oleh Mu'jam Hadis Mahdi, dan itu 40 hadis dari Abu Nu'aim, Al-Isfahani sebagaimana disebutkan oleh ‘Aqdu Ad-Durar, Muqaddisi Syafii. Thabrani juga meriwayatkan dalam Al-Ausath seperti yang dinukil al-Manarul Munif karya Ibnu Qayyim, dan di Sirah Halabiyah juz 1 hal. 193, dan di Al-Qaul Al-Mukhtashar, Ibnu Hajar Al-Haitsami. Lihat Muntakhabaul Atsar, Syeikh Luthfullah Ash-Shafi tentang apa yang ia nukil dari kitab-kitab Syi'ah. Lihat pula dalil-dalil kelemahan riwayat yang mengatakan bahwa beliau dari keturunan Imam Hasan a.s., kitab Sayyid Al-‘Amidi, Difa' ‘Anil Kafi; juz 1, hal. 296.
[5] Lihat riwayat yang menandaskan bahwa beliau keturunan ke-tujuh dari Imam Husain a.s. di Yanabi'ul Mawaddah, Al-Qanduzi Al-Hanafi, hal. 492, Maqtalul Imam Husain as Kharazmi juz 1 hal. 196, Faraidu Simthain Juwaini Syafii; juz 2 halaman 310-315, hadis-hadis dari 561-569, lihat pula Muntakhabul Atsar karya Ash-Shafi, di saat ia meriwayatkan dari dua jalur.

[7] Hadis "Para pengganti setelahku berjumlah dua belas orang, kesemuanya dari bangsa Quraisy", atau hadis "Agama ini senan-tiasa akan langgeng dengan keberadaan 12 pemimpin yang berasal dari suku Quraisy" adalah mutawatir, dan diriwayatkan oleh kitab-kitab Shahih dan Musnad dengan berbagai jalan, kendati terdapat perbedaan sedikit dari sisi kandungannya. Memang mereka berbeda pendapat dalam penafsirannya dan tampak kebingungan. Lihat Sahih Bukhari; juz 9, hal. 101, Kitabul Ahkam - bab ‘Al-Istikhlaf', Sahih Muslim juz 6, halaman 4 kitab ‘Al-Imarah', bab ‘Al-Istikhlaf', Musnad Ahmad juz 5 hal. 90, 93 dan 97.
[8] Lihat Al-Gaibah Kubra, Sayyid Shadr: hal. 272, dan seterusnya.
[9] Lihat At-Tajul Jami' lil Ushul: juz 3 halaman 40. dia berkata
[10] Shahih Bukhari, jild 3: 9/101, kitab ‘Al-Ahkam, bab Al-Istikhlaf', cetakan Dar- Ihya' Turats Al-Arabi, Beirut.
[11] Lihat At-Tajul Jami' lil Usul 3/40.
[12] Lihat At-Tajul Jami' lil Usul 3/40.
[13] Lihat At-Tajul Jami' lil Usul 3/40.
[14] Musnad Ahmad; 6/ 99 hadis ke 20359.
[15] Al-Musatadrak: 3/ 618.
[16] Hal ini sesuai dengan firman Allah:"dia tidak pernah berbicara atas dasar hawa nafsu, akan tetapi wahyu semat". An-Najm 3-4.
[17] Para ulama merasa kebingungan dalam menerapkan hadis tersebut, dan apa yang mereka bawakan dari person-person tidak dapat diterima, bahkan sebagian tidak masuk akal sama sekali seperti dimasuk-masukkannya Yazid putra Muawiyah orang yang terang-terangan melakukan kemaksiatan dan kefasikan, orang yang divonis sebagai murtad, kafir atau mereka yang selevel dengannya.
[18] Sahih Muslim: 6 / 3 kitab ‘Al-Imarah'.
[19] Lihat Sahih Bukhari 4: 164, kitab Al-Ahkam, bab Istiklaf, Musnad Ahmad: 6/94, hadis ke-325, 20366, 20367, 20416, 20443, 20503, 20534, Sunan Abi Daud 4:107 4279-4280, Al-Mu'jamul Kabir, Thabrani : 2/238/1996, Sunan Tirmizi: 4/501, Mustadrak Hakim : 3/618, Hilyatul Auliya, Abu Nu'aim: 4/333, Fathul Bari: 13/211, Syarah Sahih Muslim karya Nawawi: 12/201, Al-Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir: 1/153, Tafsir Ibnu Katsir: 2/24 -dalam menafsirkan ayat ke-12 dari surat Al-Maidah, kitab Suluk fi Duali Muluk, Al-Maqrizi: 1/13-15 pada bagian pertama, Syarah Hafiz Ibnu Qayim Jauzi atas Sunan Ibnu Daud: 11/363, Syahrul Hadis 4259, Syarhul Aqidah Ath-Thahawiyah: 2/736, Al-Hawi lil Fatawa, As-Suyuti: 2/85, ‘Aunul Ma'bud, Syarh Abi Daud, Al-‘Adhim Abadi: 11/362, Syarhul Hadis 4259, Misykatl Mashabih, At-Tabrizi: 3/327, 5983, As-Silsilatu Sahihah, Al-Albani, hadis ke-376, Kanzul Ummal: 12/32, 33484 dan 12/33/33858 dan 12/34/33861. Hadis ini juga diriwayatkan oleh para tokoh hadis Syi'ah. Di antara mereka adalah Syeikh Shaduq ra. dalam Kamaluddin, 1:172, Al-Khishal, 2:469 dan 475, dan telah diperiksa jalur-jalur hadis ini secara cermat, di mana para perawinya dari kalangan sahabat yang disebutkan dalam Ihqaqul Haq: 13/1-50.
[20] Tafsir Al-Quran Karim, Ibnu Kasir: 2/34, saat menafsirkan ayat ke 12 dari surah Maidah.
[21] Syarhul Aqidah Thahawiyah, Qadhi Damaskus: 2 / 736.
[22] ‘Aunul Ma'bud fi Syarhi Sunani Abi Daud: 11/246, pada pen-jelasan hadis 427, kitab ‘Al-Mahdi', cet. Darul Kutub ‘Ilmiyah.
[23] ‘Aunul Ma'bud fi Syarhi Sunani Abi Daud:11/245.
[24] ‘Aunul Ma'bud fi Syarhi Sunani Abi Daud: 11/244.
[25] As-Suluk lima'rifati Dualil Muluk: 1 / 13-15 bagian pertama.
[26] Al-Hawi lil Fatawa: 2/85.
[27] Kanzul Ummal: 12.34, hadis ke-33861, diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dari Anas.
[28] Kanzul Ummal: 12 / 32, hadis 32848.
[29] Lihat Al-Ghadir, Allamah Amini: 1/ 26-27.
[30] Faraidus Samthain: 2/313, hadis ke-564.
[31] Al-Ghadir wa Mu'aridhun, Sayyid Ja'far Murtadha Al-‘Amili:70-72.
[32] Yanabi'ul Mawaddah: 3/104, bab 77.
Sumber: almonji.com





 Imam Mahdi, Sang Juru Selamat


Malam 15 Sya'ban 255 Hijriah atau dikenal dengan malam nisfu Sya'ban, Hakimah, bibi Imam Hasan Askari as berkunjung ke rumah Imam untuk bersilaturahmi. Di saat Hakimah hendak minta izin untuk pulang, Imam berkata kepadanya, Bibi ! malam ini menginaplah di rumah kami. Hakimah berkata, hari ini, saya sudah cukup merepotkan kalian. Imam menjawab, malam ini akan lahir seorang bayi laki-laki dari keluarga kami yang akan menerangi bumi dengan ilmu, iman dan petunjuknya setelah bumi diliputi kezaliman dan kegelapan. Hakimah dengan heran bercampur gembira bertanya: bayi tersebut anak Nargis ? Imam menjawab, benar anak tersebut dilahirkan Nargis.

Setidaknya ada dua versi ihwal jatidiri juru selamat dunia ini. Sebagian besar golongan Ahlusunnah menganggap bahwa Imam Mahdi itu bernama Muhammad bin Abdullah, yang akan muncul menjelang hari kiamat tiba. Ini berdasarkan sebuah hadis dari Nabi saw yang mengatakan bahwa nama Imam Mahdi itu sama dengan namaku, ayahnya sama dengan nama ayahku.


Sementara, di pihak lain, kalangan Syiah Imamiyah meyakini bahwa Imam Mahdi itu adalah gelar untuk Muhammad bin Hasan Askari bin Ali Hadi bin Muhammad Jawad bin Ali Ridha bin Musa Kazhim bin Jafar Shadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah saw. Ulama Sunni yang mengurutkan dua belas imam dari jalur Ahlulbait ini adalah Syekh Qanduzi al-Hanafi dalam kitab Yanabi al-Mawaddah.

Telah berabad-abad umat manusia menanti datangnya penyelamat yang dijanjikan. Orang-orang yang terzalimi pun mengharap penuh kedatangan sang penyelamat untuk mengentas mereka dari kezaliman. Penantian dan harapan ini dari satu sisi meniupkan ruh segar ke hati manusia dan dari sisi lain, perdamaian serta kebahagiaan segera terwujud dengan kedatangannya.

Imam Mahdi, anak dari Imam Hasan Askari as merupakan anak cucu dari Rasulullah Saw (Ahlul Bait). Ibunda beliau masih cucu dari raja Romawi yang menjadi istri Imam Hasan melalui proses yang menakjubkan. Setelah Imam Mahdi lahir, ayah beliau, Imam Hasan merawat sang bayi dan menjaganya secara ketat. Imam keduabelas umat Syiah ini lebih banyak disembunyikan karena ancaman yang datangnya dari pemerintah zalim saat itu.

Sejak masa kanak-kanak, Imam Mahdi telah dianugerahi oleh Allah swt hikmah dan ilmu pengetahuan serta menjadikannya sebagai tanda bagi umat manusia. Namun karena selalu mendapat ancaman dari pemerintah saat itu, Imam Mahdi tidak tampil ke publik dan dijaga dengan ketat oleh ayah beliau. Untuk beberapa waktu, umat Islam jika ingin berhubungan dengan Imam Mahdi melalui orang-orang kepercayaan beliau. Setelah membimbing umat dalam waktu yang singkat di zaman ghaibah shugra (kegaiban kecil), Imam Mahdi kemudian mengalami ghaibah kubro (kegaiban besar).

Kegaiban pertama dimaksudkan, di antara beberapa alasan, untuk menghindari terjadinya pembunuhan pada diri Imam Mahdi, yang kabar tentang kelahirannya telah masyhur di kalangan umat Islam, termasuk penguasa Bani Abbasiyah saat itu. Mereka memata-matai rumah Imam Hasan Askari yang dinubuatkan sebagai tempat kelahiran Imam Mahdi. Alasan lain adalah untuk mempersiapkan umat Syiah dalam menerima otoritas ulama yang kompeten selama kegaiban beliau.

Pada masa kegaiban pendek, umat Syiah menyampaikan masalah-masalah mereka kepada wakil khusus Imam as, yang terkenal sebanyak empat orang. Empat wakil ini kemudian menyampaikan permasalahan tersebut kepada Imam Mahdi as. Pasca kegaiban pendek, yang ditandai dengan berakhirnya perwakilan khusus Imam, akhirnya umat Syiah terbiasa untuk menerima kepemimpinan ulama mereka dalam kegaiban panjang ini.

Kabar tentang datangnya juru selamat dunia telah dikenal manusia sepanjang sejarah. Berita gembira ini dan isyarat kedatangan juru selamat dapat ditemukan disabda dan ajaran para Nabi. Konsep soal datangnya juru selamat ketika dunia mendekati hari Kiamat merupakan ideologi agama Samawi termasuk, Yahudi, Kristen, Zoroaster dan khususnya Islam.

Di dalam Alquran yang mulia tidak terdapat ayat-ayat yang jelas dan tegas tentang imamah, khilafah, dan kepemimpinan Al-Imam Al-Mahdi ‘alaihissalam, tetapi isyarat-isyarat ke arah itu ada, misalnya, saja dalam firman-firman Allah Azza wa Jalla berikut ini :
"Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukainya." (QS At-Taubah, 9 : 32).
"Dia yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan ajaran yang benar untuk dimenangkan-Nya atas seluruh ajaran, kendatipun orang-orang musyrik membencinya," (QS At-Taubah, 9 : 33).
"Dia yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan ajaran yang benar untuk dimenangkan-Nya atas seluruh ajaran, kendatipun orang-orang musyrik membencinya," (QS Ash-Shaff, 61: 9).
"Dia yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan ajaran yang benar untuk dimenangkannya atas ajaran seluruhnya, dan cukuplah Allah sebagai saksi, " (QS Al-Fath, 48 : 28).

Di kitab suci Zoroaster disebutkan musnahnya kezaliman dan kegelapan serta munculnya pewaris orang saleh. Di kitab ini diisyaratkan peperangan perkepanjangan antara kebaikan dan kejahatan. Di kitab agama Hindu juga menyebutkan juru selamat yang dijanjikan. Pengikut agama Yahudi yang menganggap dirinya pengikut Nabi Musa as juga memiliki keyakinan soal konsep juru selamat. Mereka senantiasa menunggu kedatangan sosok yang dijanjikan ini. Di kitab suci mereka seperti Taurat dan kitab lainnya ditekankan soal juru selamat tersebut. Adapun agama Kristen melalui kitab Injilnya baik itu Injil Matius, Lukas, Markus dan Barnabas serta injil Yohanes juga menyebutkan banyak isyarat tentang juru selamat akhir zaman.

Keyakinan akan konsep juru selamat di akhir zaman ketika dilontarkan Islam memiliki dimensi khusus. Dalam pandangan Islam juru selamat dunia memiliki kriteria khusus. Juru selamat ini termasuk janji Islam untuk mengakhiri kezaliman yang memenuhi bumi. Islam senantiasa menjanjikan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup dibarengi dengan keadilan, kebebasan serta keamanan. Dan ini bukan sekedar mimpi dan pasti terwujud.

Salah satu kriteria penting Imam Mahdi adalah menghancurkan diskriminasi, ketidakadilan dan penyelewengan. Di sisi lain, juru selamat ini akan mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan dan kehidupan yang penuh keadilan serta kebebasan dan keamanan. Ia akan membangun tatanan dunia baru yang dipenuhi keamanan dan keadilan. Pada akhirnya kekuasaan dunia akan diperintah oleh orang-orang saleh.

Sementara itu, harapan dan penantian (intizar) kemunculan Imam Mahdi selain memberikan spirit bagi manusia juga mempersiapkan jalan masa depan. Penantian mampu memberi manusia kekuatan stabil dan spirit ini diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya hingga masa kemunculan Imam Mahdi. Hal inilah yang membuat manusia memiliki semangat kuat untuk menentang kezaliman sepanjang masa.

Sejatinya, penantian berarti tidak puas akan kondisi yang ada. Manusia menanti kebaikan menguasai dunia. Ketika manusia memiliki keyakinan seperti ini. Penantian adalah sebuah kondisi psikologis yang memunculkan persiapan terhadap sesuatu yang dinantikan dan lawan kata dari hal itu adalah putus asa. Setiap kali penantian meningkat, maka persiapan semakin banyak. Tidakkah Anda merasakan jika menanti seseorang yang akan datang, maka akan bertambah pula persiapan Anda ketika kedatangan seseorang itu semakin dekat.

Dari sisi ini, setiap kali tingkatan penantian mengalami perbedaan maka terjadi pula perbedaan kecintaan terhadap orang yang Anda nantikan. Manakala kecintaan semakin besar maka bertambah besar pula persiapan menyambut kedatangan orang yang dicintai. Perpisahan dengan sang kekasih membuatnya sedih. Sampai-sampai orang yang menanti melupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan penjagaan dirinya, dia tidak lagi merasakan apa yang menimpa dirinya dari rasa sakit ataupun tekanan yang menyayat.

Seorang mukmin yang menanti pemimpinnya, manakala penantiannya semakin besar maka semakin besar pula upaya dirinya untuk mempersiapkan baik dengan berbuat warak, berupaya sungguh-sungguh, melakukan pembenahan diri, menghindari akhlak-akhlak yang buruk, menghiasi dengan akhlak-akhlak yang terpuji sehingga ia berhasil menjumpai pemimpinnya, menyaksikan keindahannya di masa kegaibannya. Sebagaimana hal ini terjadi pada sejumlah besar orang saleh. Karena itu, para imam maksum memerintahkan para pengikut mereka, sesuai dengan yang tercantum dalam riwayat-riwayat, untuk melakukan upaya pembenahan diri dan melaksanakan segala bentuk ketaatan.

Sumber: IRIB.IR
Bagaimana Al-Mahdi bisa berumur panjang?

Melirik Sanggahan-sanggahan terhadap Mahdisme



Pertama: mengetahui sanggahan dan isykalan yang ditujukan kepada Mahdawiyah, menjawab, dan bergelut dengan masalah seperti ini, termasuk sebuah dimensi penting pendidikan inthidar. 

Jika memang Mahdisme merupakan poros dan dasar pendidikan person dan social, dan memang begitu adanya, maka mengenal isykalan dan sanggahan terhadap mujud mahdawiyah, adalah salah satu hal sangat penting yang harus dipahami dan dipahamkan secara mendalam. 

Tanpa diragukan lagi, pendirian sebuah yayasan, lembaga, atau apa saja yang berkenaan dengan pengenalan terhadap sanggahan-sanggahan mahdawiyah proses jawabannya tak ayal lagi merupakan sebuah kelaziman.

Jika kita ingin membahas hal ini secara detail dan terperinci, terpaksa kita harus membahasnya dari pelbagai segi dan sisi. Sanggahan-sanggahan itu harus diklasifikasikan dan dipilah-pilah, dan poros dari semua sanggahan yang berkembang dan muncul di tengah-tengah masyarakat harus kita teliti lebih seksama, dan minimal jawaban atas sanggahan yang paling pokok tersebut kita paparkan walaupun secara global. Oleh karena itu dalam kesempatan ini kita akan membahas tentang urgensitas pengecekan  sanggahan-sanggahan terhadap mahdawiyah (mehdisme)

Bagaimana Mungkin Beliau Hidup Sampai Saat Ini

Sebelumnya, dapat kita katakan kalau diskusi dan perdebatan tentang topik umur panjang yang dialami oleh Imam Mahdi as, bukanlah diskusi dan perdebatan yang memiliki signifikasi dan urgensitas, malah bisa dibilang diskusi tentang hal tersebut sebagai salah satu bentuk penentangan dan kekeras kepalaan, argumen yang dapat kita ajukan adalah, tiada seorangpun yang menganggap aneh dan memperdebatkan panjangnya umur para Malaikat, umur Iblis atau umur Khidir as yang setelah meminum air kehidupan yang membuatnya kekal dan hidup semenjak zaman nabi Musa as sampai sekarang. 

Oleh karena itu, sebuah renungan bagi kita semua, kenapa pertanyaan ini harus muncul? Apakah kerena kebencian mereka terhadap keluarga nabi saw? Ataukah mereka masih meragukan kekuasaan Allah SWT? Lalu, bernilaikah sebuah keraguan yang muncul dan berlandaskan kedunguan dan kekeras kepalaan? 

Sesungguhnya panjangnya umur imam Mahdi as adalah sebuah fakta yang tak dapat terbantahkan dan diragukan lagi, dan segala syubhah tentang hal ini tidak bernilai sama sekali, karena keraguan tentangnya seperti keraguan akan potensi membakar yang dimiliki api, atau hal tersebut sudah gamblang dan jelas sekali, sejelas mentari di siang bolong. 

Setelah mukadimah di atas, mari kita melihat persfektif Al-Quran mengenai panjang umur seorang anak manusia, juga bagaimana topik ini dipandang dengan kaca mata teologis dan sain moderen. 

Panjang Umur dalam Persefektif Al-Quran

Jika kita meminta "komentar" Al-Quran berkenaan dengan masalah umur panjang seorang anak manusia, maka kita akan mendapatkan beberapa contoh dari pribadi-pribadi yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT untuk menghirup udara kehidupan berabad-abad lamanya, yang dengan demikian panjangnya umur imam Mahdi as adalah hal biasa, bahkan bisa jadi umur panjang manusia adalah hal yang biasa yang tak perlu ditanyakan dan diragukan kembali.

Berikut ini contoh-contoh dari Al-Quran:

Allah SWT berfirman:" Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh as kepada kaumnya, dia berada di tengah-tengah mereka selama 950 tahun kemudian Kami siksa mereka dengan topan (banjir) sedang mereka dalam keadaan zalim. (QS: Ankabut, ayat 14). Ayat di atas menjelaskan kepada kita, bahwa masa yang dihabiskan Nuh as saat menyeru umatnya adalah selama 950 tahun, lalu berapa usia beliau saat dilantik sebagai seorang nabi? Juga berapa sisa usia beliau pasca banjir bandang itu? 

Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Imam Shadiq as disebutkan: nabi Nuh as hidup selama 2300 tahun, dengan perincian 850 tahun usia beliau sebelum diutus sebagai seorang nabi, 950 tahun masa dakwah beliau, lalu 500 tahun lagi sisa umur beliau pasca banjir… [1]
 
Dalam riwayat lain juga disebutkan, bahwa nabi Nuh as hidup selama 2500 tahun. Alhasil,  kita sepakat kalau beliau hidup berabad-abad lamanya berkat takdir dan kuasa Allah SWT. Imam Zainal Abidin as bersabda:" ada satu sunnah Nuh as yang dijalankan oleh Imam Mahdi as, yaitu berupa panjang umur". [2] 
 
Manifestasi dan perwujudan kuasa ilahi dalam topik ini –panjang umur-, lebih dapat kita rasakan dan pahami melalui cerita nabi Yunus as, Al-Quran menyatakan:" Dia (Yunus) telah ditelan oleh sebuah Ikan dan dia dalam keadaan …" dhahir ayat tersebut menyatakan bahwa andai Yunus as bukan termasuk pribadi yang gemar bertasbih, niscaya dia akan mendekam di dalam perut ikan sampai hari kiamat menjelang. 

Adapun pendapat sebagian para ahli tafsir yang mengatakan bahwa perut ikan itu merupakan kuburan baginya atau ungkapan mereka bahwa nabi Yunus as telah mati dan jasadnya akan kekal di dalamnya hingga kiamat tiba, adalah ungkapan dan penafsiran yang tidak dapat dibenarkan, karena bertentangan dengan dhahir ayat. Sebagaimana dikatakan oleh Zamkhsyari dalam kitab Kasyafnya, juga oleh Baidhawi.
Mungkin arti dari ayat tersebut adalah, sesungguhnya Yunus as tetap hidup dan terperangkap dalam perut ikan – tentunya ikan juga tetap hidup - sampai hari kiamat. 

Maka, dapat ditarik kesimpulan dari ayat tersebut bahwa Allah SWT itu Maha Kuasa dan mampu menjaga manusia dari kematian di tempat yang tiada bahan makanan, udara dan oksigen sekalipun, bahkan tanpa sesuatu yang dibutuhkan oleh seorang manusia di tempat biasa untuk menyambung kehidupannya, malahan dalam kasus ini, Allah SWT akan menjaganya dari lumatan dan kunyahan ikan dan tetap menjaganya untuk tidak melebur dan menjadi salah satu organ tubuhnya ikan sampai berjuta-juta abad lamanya.

[1] Kamaludin , Syekh Shaduq, juz 2, hal 523.
[2] Kamaludin , Syekh Shaduq, juz 1, hal 322 dan 324.

Umur Panjang dari Sisi Teologis

Jika kita melihat topik umur panjang ini melalui kaca mata teologi, maka kita akan mendapati bahwa hal ini adalah hal yang biasa sekali, karena setiap orang mukmin akan menyakini kalau ajal manusia di tangan Allah SWT, artinya Dialah yang menentukan ajal dari setiap sesuatu yang bernafas dan yang memiliki kehidupan, Dia mampu memanjangkan umur seseorang, sebagimana Ia juga Kuasa untuk memendekkannya. Jika Allah SWT telah berkehendak untuk memanjangkan umur seseorang, maka secara pasti Dia akan menyiapkan segala persyaratan- persyaratan dan hal-hal yang membuatnya panjang umur, baik dari sisi alamiyah maupun non alamiyah secara bersamaan, sebagaimana terdapat beberapa sarana dan faktor untuk memeprcepat umur, di sana juga terdapat sarana untuk memanjangkan umur, dan kedua sarana tersebut bagi Allah SWT sama saja tidak ada yang sulit atau tidak ada yang lebih mudah. 

Untuk penjelasan lebih lanjut, dapat dikatakan: dari sisi alamiyah (natural) setelah kematian, jasad dan tubuh manusia pada akhirnya akan hancur dan musnah, akan tercerai berai,  akan tetapi di negeri Mesir, kita melihat berpuluh-puluh jasad manusia yang dimumikan dari zaman Fir’aun sampai sekarang, beribu-ribu tahun jasad itu tetap menyatu tidak hancur dan tidak terpisah dari satu dengan yang lain, hal ini tidak dibilang hal yang luar biasa, namun hal ini adalah peristiwa dan proses alamiyah yang menentang proses alamiyah lainnya, dengan kata lain pemumian mencegah kehancuran organ tubuh. 

Lebih dari mumi tadi, kita lebih diherankan oleh jasad-jasad para hamba-hamba Allah SWT yang selama bertahun-tahun dikuburkan, tapi ternyata jasad-jasad tersebut masih segar dan tanpa perubahan sama sekali. Sebagaimana kita mendengar bahwa jasad Syekh Shaduq saat perenovasian makamnya, tubuh beliau terbongkar, namun tubuh yang sudah terpendam selama kurang lebih 900 tahun itu tetap segar layaknya seorang mayit yang masih belum dingin. [1]   Baru-baru ini, di Bagdad, saat orang-orang ingin memindahkan makam seorang sahabat nabi Khudaifah Yamani dari tepi sungai Dajlah ke samping makam sahabat setia rasul yang lain Salman Al-Farisi di kota Madain, kuburan itu terbongkar dan tampaklah jasad beliau, saat itu jasad beliau layaknya seseorang yang baru meninggal hari itu, tanpa perubahan sedikitpun, padahal beliau wafat pada tahun 36 hijriyah, dan kita yakin beliau tidak dimumikan. Namun satu hal yang pasti, jasad beliau terlihat segar bugar sampai sekarang berkat izin dan restu dari Allah SWT. 

Dan yang masyhur diantara orang-orang mukmin adalah barangsiapa rajin mandi di hari jumat, maka jasadnya tidak akan hancur dan tercerai berai. 

Dengan demikian, bisa jadi Imam Mahdi as, dalam kehidupannya, sangat memperhatikan kesehatan, beliau menggunakan hal yang sarat guna dan manfaat dan menjauhi hal-hal yang berbahaya, sehingga beliau hidup sehat dan terbebas dari segala penyakit dan virus, organ tunbuh beliau bekerja dengan semestinya tanpa gangguan, yang dengan demikian masa tua, lemas, lesu, dan… tidak pernah berkunjung, selalu segar, bugar dan penuh energik, semua itu berkat potensi dan kekuatan jasmani yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada beliau as. 

Kongklusi dari apa yang kita jelaskan tadi adalah Allah SWT adalah penjaga Imam mahdi as, Dialah yang menjaga beliau dari gilingan roda zaman dan waktu, Dia pula yang memanjangkan umur beliau dan yang menjaga jasmani beliau dari berbagai penyakit.

[1] Cerita ini dapat dilihat di: Tanqihul Maqal, karya Mamqani, Qishashul Ulama, karya Tankabini dan Khunsari dalam bukunya Raudhatul Jannat.

Umur Panjang Ditinjau Dari Ilmu Pengetahuan Dan Sain Moderen

Sebelum kita memasuki inti pembahasan alangkah baiknya jika kita utarakan mukadimah berikut ini. Salah satu yang patut disayangkan adalah sebagian dari generasi muda pelanjut Islam, merasa puas dan menikmati apa yang didoktrinkan oleh barat dan musuh Islam, mereka menerima semuanya dengan penuh percaya diri dan rasa bangga, walau hal tersebut keluar dari jangkauan akal sehat sekalipun dan anehnya lagi mereka ikut-ikutan meragukan hal-hal non-materi. 

Hal ini jelas menunjukan impreliasasi baru yang diterima oleh dunia Islam berupa penjajahan pemikiran dan budaya. Dan akan melenyapkan keyakinan dan iman dari hati para generasi muda. 

Imprealisasi baru telah menghantam para gemerasi muda Islam dan mendorong mereka kepada pemikiran materailistik dan penolakan terhadap non-materi. 

Jika seorang Mr atau seorang professor menulis sebuah buku, jika seorang filsuf berargumentasi, jika seorang ahli Jerman, peniliti Prancis, ilmuwan Amerika menganalisa, atau dosen di universitas ini dan itu berkomentar, jika penulis yahudi atau kristiani dan lain-lain berpendapat, mereka dengan penuh decak kagum dan tanpa pikir panjang menerimanya dengan lapang dada, layaknya sebuah wahyu yang turun yang tak dapat salah sedikitpun. 

Namun jika mereka mendengar bahwa Allah SWT berfirman, Rasul saw bersabda, Ali as berkata, atau kita menyebut sebuah mukjizat atau keutamaan salah satu imam, dengan berat hati mereka terima atau bahkan tak jarang mereka yang mencari-cari alasan yang ujung-ujungnya adalah menolak dan mengingkari kebenaran ucapan dan perkataan tersebut. 

Bukankah Rasul saw adalah seorang yang pintar, bijak, filsuf, penuh eksperimen dan selalu berhubungan dengan wahyu dan berinteraksi dengan Sang Maha Pencipta Yang Maha Tahu.? 

Jika kita katakan usia Imam Mahdi as  melebihi 1200 tahun, mereka sepontan bertanya; bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Namun, jika pendapat tersebut dilontarkan oleh seseorang yang memiliki embel-embel barat, profesor, dosen atau yang lainnya, dan mengatakan bahwa seorang manusia dengan menjaga makanan dan kesehatan mampu hidup beribu-ribu tahun lamanya, maka mereka akan langsung menganggukkan kepala sebagai tanda percaya dan takjub akan eksperimernnya. 

Jika kita menyebut ucapan atau pendapat Darwin, Freud  dan Einstin yang semuanya berdarah yahudi dan ilmuwan-ilmuwan lain yang mengingkari Sang Pencipta dan menolak segala macam bentuk agama, kita melihat para generasi muda kita menerima dan menganggapnya sebagai semuah fakta yang tak terbantahkan lagi. 

Oleh karena itu, kerap kali kita lihat para penulis kita terpaksa berargumentasikan pendapat para ilmuwan di atas demi untuk memuaskan pemuda dan generasi semacam ini, yang disayangkan jumlah mereka tidak sedikit. 

******

Kita kembali kepada inti pembahasa kita, mengenai umur panjang Imam Mahdi as: sesungguhnya umur panjang termasuk permasalahan yang belum dan tidak memiliki batasan yang jelas. Jika ada seseorang yang hidup beratus-ratus tahun atau beribu-ribu tahun, maka itu bukan berarti batas maksimal umur manusia adalah sampai di situ. Karena menurut inovasi dan riset terakhir umur manusia tidak dapat ditentukan.

Di dalam majalah Al-muqtathaf yang terbit di Mesir, di halaman 239 disebutkan: ...akan tetapi para ilmuwan yang dapat dipercaya berkata : sesungguhnya sistem organ tubuh seekor hewan bisa bertahan dan kekal, dan bisa jadi manusia bertahan hidup beribu-ribu tahun lamanya, andai tidak ada peristiwa-peristiwa dan insiden yang memutus kehidupannya. 

Di halaman 240 pada majalah dan edisi tersebut juga dikatakan : apa yang disepakati dari berbagai eksperimen yang ada adalah manusia tidak akan mati karena telah menginjak usia 80 tahun atau 100 tahun, akan tetapi kematian manusia itu disebabkan oleh seseuatu yang mencegah fungsi dan peran masing-masing organ tubuh, dan interaksi antara organ satu dengan yang lain, jika sain dan ilmu pengetahuan mampu menghilangkan gangguan tersebut maka kita akan menyaksikan manusia akan mampu hidup beratus-ratus tahun lamanya. 

Kita juga belum mendengar ada sebuah buku, sebuah pernyataan dari seorang dokter atau  filsuf  yang menentukan batas akhir usia manusia serta mengatakan bahwa kehidupan manusia tidak akan melebihi usia tertentu atau mustahil manusia mampu hidup seribu tahun.

Akan tetapi yang kita dapati akhir-akhir ini adalah medis moderen berupaya mendapatkan obat dan trapi untuk hidup abadi, awet muda, dan menjaga kebugaran sel-sel tubuh.

Memang, umur panjang di zaman kita sekarang sangat jarang terjadi, mengingat usia pendek yang dialami oleh orang pada zaman ini, akan tetapi perlu dicamkan bahwa jika ada sesuatu yang jarang terjadi, bukan berarti hal itu mustahil untuk terjadi. Sebagaimana, di masa-masa yang lalu kita melihat manusia membutuhkan waktu sebulan untuk menempuh rute 1000 kilo meter namun sekarang dengan adanya pesawat terbang manusia memerlukan waktu tak kurang dari 1 jam untuk menempuhnya. Jika seseorang dari masa ini mengabarkan orang pra sejarah misalnya dan mengatakan bahwa jarak sejauh itu dapat ditempuh dengan waktu 1 jam, niscaya mereka tidak akan membenarkan ucapan orang tersebut karena jarang dan tidak biasa.

Sesungguhnya manusia –di era ini- mengenal sesuatu melalui kebiasaan yang telah dan sedang berlangsung, bukan berdasarkan ushul ilmiyah, bahkan mereka-mereka yang mengenal ushul ilmiyah sekalipun tidak mengklaim diri telah mengetahui segala sebab dan cikal bakal segala sesuatu, bahkan mereka mengatakan kalau dirinya masih di awal perjalanan dan mengakui kalau ushul ilmiyah itu lebih banyak yang masih terselubung ketimbang yang telah disingkap oleh para ilmuwan.

Dengan demikian banyak rumus-rumus ilmiyah yang masih terselubung dan belum disingkap oleh manusia, manusia hanya mampu memahami hal-hal yang dhahir tanpa mengetahui sebab musababnya, segala sesuatu memiliki sebab dan ilalat, dan sebab tersebut memiliki sebab lain dan begitu seterusnya, mereka tidak akan mampu mengatahui sebab utama; kecuali manusia hanya dapat berkata; itu adalah kuasa tuhan Yang Maha Kuasa.
Siapakah Imam Mahdi as Itu?


Menurut pendapat para ahli sejarah dan hadis, Imam Mahdi as dilahirkan pada malam Jumat, 15 Sya'ban 255 atau 256 H. Ayahanda beliau adalah Imam Hasan al-'Askari dan ibunda beliau—menurut beberapa riwayat—bernama Narjis, Shaqil, Raihanah, atau Susan. Akan tetapi, beragamnya nama yang dimiliki oleh ibunda beliau ini tidak mengindikasikan keberagaman diri sebagai seorang wanita. Karena, tidak menutup kemungkinan beliau memiliki nama-nama yang beragam sebagaimana layaknya orang-orang besar lainnya. [1] Tempat kelahiran beliau adalah Samirra`, sebuah kota besar di Irak dan pada masa kekhilafahan Bani Abbasiah pernah menjadi ibu kota kerajaan. 

Silsilah nasab beliau secara terperinci adalah Muhammad al-Mahdi bin Hasan al-‘Askari bin Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawad bin Ali ar-Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja’far as-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali as-Sajjad bin Husain as-Syahid bin Ali bin Abi Thalib as. 


Kelahiran beliau adalah sebuah realita yang tidak dapat dipungkiri. Banyak sekali bukti historis dan tekstual yang menegaskan hal itu. 

Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata: 
“Tidak akan meninggal dunia salah seorang dari kami kecuali ia akan meninggalkan seseorang yang akan meneruskan missinya, berjalan di atas sunnahnya dan melanjutkan dakwahnya.” [2]
 
Hakimah, bibi Imam Hasan al-‘Askari as pernah menggendong beliau dan melihat di bahu sebelah kanannya tertulis “Kebenaran telah datang dan kebatilan telah sirna”. (QS. Al-Isrâ`: 81). 

Kurang lebih enam puluh lima ulama Ahlussunnah dalam buku-buku mereka juga menegaskan hal itu. Syeikh Najmuddin al-‘Askari dalam bukunya al-Mahdi al-Mau’ûd al-Muntazhar menyebutkan empat puluh nama mereka dan Syeikh Luthfullah ash-Shafi dalam bukunya Muntakhab al-Atsar menyebtukan dua puluh enam nama. [3] Di antara mereka adalah: 

a. Ali bin Husain al-Mas’udi. Ia menulis: 
“Pada tahun 260, Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib as meninggal dunia pada masa kekhilafahan al-Mu’tamid al-Abbasi. Ketika meninggal dunia, ia baru berusia dua puluh sembilan tahun. Ia adalah ayah Mahdi al-Muntazhar.” [4] 
 
b. Syamsuddin bin Khalakan. Ia menulis: 
“Abul Qasim Muhammad bin Hasan al-‘Askari bin Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawad adalah imam Syi’ah yang kedua belas. Julukannya yang terkenal adalah al-Hujjah. Syi’ah menjulukinya dengan al-Muntazhar, al-Qâ`im dan al-Mahdi. Ia dilahirkan pada hari Jumat, 15 Sya’ban 255. Ketika ayahnya meninggal dunia, usianya baru lima tahun. Nama ibunya adalah Khamth, dan menurut pendapat sebagian ulama, Narjis.” [5] 
 
c. Syeikh Abdullah asy-Syabrawi. Ia menulis: 
“Imam kesebelas adalah Hasan al-‘Askari. Ia lahir di Madinah pada tanggal 8 Rabi’ul Awal 232, dan pada tanggal 8 Rabi’ul Awal 260 meninggal dunia pada usia dua puluh delapan tahun. Cukuplah menjadi sebuah kebanggaan baginya bahwa ia adalah ayah Imam Mahdi al-Muntazhar ... Mahdi dilahirkan di Samirra` pada malam nishfu Sya’ban 255, lima tahun sebelum kewafatan ayahnya. Dari sejak dilahirkan, ayahnya selalu menyembunyikannya dari pandangan umum karena beberapa problem (yang  menuntut) dan kekhawatiran terhadap ulah para khalifah Abbasiah. Karena Bani Abbas selalu mencari-cari keluarga Rasulullah dan menjatuhkan hukuman terhadap mereka, membunuh atau menggantung mereka. Hal itu dikarenakan mereka berkeyakinan bahwa dinasti kerajaan mereka akan musnah di tangan keluarga Muhammad. Yaitu, di tangan Imam Mahdi as. Dan mereka mengetahui realita ini dari hadis-hadis yang mereka dengar dari Rasulullah SAWW.” [6] 
 
d. Syeikh Abd. Wahhab asy-Sya’rani. Ia menegaskan: 
“Mahdi adalah salah seorang dari putra-putra Imam Hasan al-‘Askari as. Ia dilahirkan pada malam nishfu Sya’ban 255. Ia hidup (hingga sekarang) sehingga ia berjumpa dengan Nabi Isa as (kelak).” [7]
 
e. Syeikh Sulaiman al-Qunduzi al-Hanafi. Ia menulis: 
“Satu berita yang pasti dan paten di kalangan orang-orang yang dapat dipercaya adalah, bahwa kelahiran al-Qâ`im terjadi pada malam nishfu Sya’ban 255 di kota Samirra`.” [8]

Manipulasi Hadis

Ketika kita merujuk kepada buku-buku referensi hadis dan sejarah, yang kita dapati adalah, bahwa Imam Mahdi as adalah putra Imam Hasan al-‘Askari, sebagaimana hal itu dapat kita simak pada sekilas pembahasan di atas. Akan tetapi, kita akan menemukan satu hadis dalam buku-buku referensi Ahlussunnah yang berlainan dengan hadis-hadis tersebut. Di dalam hadis ini terdapat penambahan sebuah frase yang—mungkin—memang disengaja untuk memanipulasi dan menciptakan keraguan dalam menilai hadis-hadis tersebut. 

Anehnya, sebagian orang memegang teguh satu hadis ini dan meninggalkan hadis-hadis lain yang lebih dapat dipercaya, mungkin karena hadis itu sejalan dengan ide dan kiprah politik-sosialnya.
Hadis itu adalah sebagai berikut: 

عَنْ أَبِيْ دَاوُدَ، عَنْ زَائِدَةَ، عَنْ عَاصِمٍ، عَنْ زُرٍّ، عَنْ عَبْدِ اللهِ، عَنِ النَّبِيِّ (ص) أَنَّهُ قَالَ: "لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ يَوْمٌ وَاحِدٌ، لَطَوَّلَ اللهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ حَتَّى يَبْعَثَ اللهُ رَجُلاً مِنِّيْ (أَوْ: مِنْ أَهْلِ بَيْتِيْ) يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِيْ وَ اسْمُ أَبِيْهِ اسْمَ أَبِيْ ، يَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ ظُلْمًا وَ جَوْرًا."

Diriwayatkan dari Abu Daud, dari Zaidah, dari ‘Ashim, dari Zurr, dari Abdullah, dari Nabi saw bahwa beliau bersabda, 
“Seandainya tidak tersisa dari (usia) dunia ini kecuali hanya sehari, niscaya Allah akan memanjangkan hari itu hingga Ia membangkitkan seseorang dariku (dari Ahlulbaitku) yang namanya sama dengan namaku dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku . Ia akan memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana ia telah dipenuhi oleh kezaliman dan kelaliman.” 

Hadis di atas tidak dapat kita jadikan pijakan, baik dari sisi sanad maupun dari sisi kandungan. 

Dari sisi sanad, hadis ini diriwayatkan dari Zaidah. Jika kita merujuk kepada buku-buku ilmu Rijal, akan kita dapatkan bahwa semua nama Zaidah memiliki catatan negatif dalam sejarah hidupnya; Zaidah bin Sulaim adalah seorang yang tidak diketahui juntrungannya (majhûl), Zaidah bin Abi ar-Ruqad adalah seorang yang lemah (dha’îf), menurut Ziyad an-Numairi dan hadisnya harus ditinggalkan, menurut Bukhari, dan Zaidah bin Nasyid tidak dikenal kecuali melalui riwayat putranya darinya, menurut Ibnu al-Qatthan. Sementara Zaidah (dengan tidak disebutkan nama ayahnya), hadisnya harus ditinggalkan, menurut Abu Hatim dan hadisnya tidak bisa diikuti, menurut Bukhari, atau ia ahli dalam menyisipkan kata-kata baru ke dalam hadis, menurut sebagian ulama Rijal. [9]
 
Dari sisi kandungan, tidak hanya Zaidah yang meriwayatkannya dari jalur Zurr. Bahkan, ada beberapa jalur lain selaian Zaidah, dan hadis-hadis itu tidak memiliki tambahan “dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku”. Dari sini dapat diketahui bahwa tambahan frase tersebut adalah ulah tangan Zaidah. Di samping itu, hadis-hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw mengenai Imam Mahdi as tidak memiliki tambahan frase tersebut. Ditambah lagi ijmâ’ Muslimin yang menegaskan bahwa Imam Mahdi adalah putra Imam Hasan al-‘Askari as. 

Al-Hâfizh al-Kunji as-Syafi’i menulis, 
“Semua hadis yang datang dari saw tidak memiliki tambahan frase ‘dan nama ayahnya sama dengan nama ayahu’. ... Tirmidzi telah menyebutkan hadis tersebut dan tidak menyebutkan frase ‘dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku’, dan di dalam kebanyakan hadis-hadis para perawi hadis yang dapat dipercaya hanya terdapat frase ‘namanya sama dengan namaku’. Pendapat penentu dalam hal ini adalah, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal dengan ketelitiannya telah meriwayatkan hadis tersebut di dalam Musnadnya di beberapa kesempatan, dan ia hanya menyebutkan frase ‘namanya sama dengan namaku’.” [10]
 
Yang perlu kita simak di sini adalah mengapa penambahan frase itu harus terjadi? Adakah tujuan tertentu di balik itu? 

Minimal ada dua kemungkinan di balik penambahan frase tersebut: 

Pertama, ada usaha untuk melegitimasi salah satu penguasa dinasti Abbasiah yang bernama Muhammad bin Abdullah. Ia memiliki julukan al-Mahdi, dan dengan hadis picisan tersebut mereka ingin mengaburkan opini umum tentang al-Mahdi yang sebenarnya. 

Kedua, ada usaha untuk melegitimasi Muhammad bin Abdullah bin Hasan yang memiliki julukan an-Nafs az-Zakiyah (jiwa yang suci). Karena ia memberontak kepada penguasa Bani Abbasiah waktu itu, para pembuat hadis itu ingin memperkenalkannya—sesuai dengan kepentingan politis-sosialnya—kepada khalayak bahwa ia adalah al-Mahdi yang sedang ditunggu-tunggu. [11]

Kisah Kelahiran

Kisah kelahiran orang-orang besar selalu menyimpan rahasia dan misteri tersendiri. Betapa banyak peristiwa yang terjadi pada saat seorang agung lahir yang sungguh di luar kemampuan akal kepala kita untuk memahami dan “mempercayaninya”. Tapi, hal itu bukanlah seuatu hal yang aneh jika dikaitkan dengan kehendak Ilahi. Karena selama suatu peristiwa masih bersifat mungkin, bukan mustahil, hal itu masih berada di bawah ruang lingkup kehendak Ilahi meskipun termasuk kategori sesuatu yang aneh menurut akal kita. 

Kisah kelahiran Imam Mahdi as adalah salah atu dari sekian kisah aneh (baca: ajaib) yang pernah terjadi di sepanjang sejarah manusia. Mari kita simak bersama. 

Sayidah Hakimah binti Imam Muhammad al-Jawad as bercerita: 
 Abu Muhammad Hasan bin Ali (al-‘Askari) datang ke rumahku seraya berkata: “Wahai bibiku, berbuka puasalah di rumah kami malam ini. Malam ini adalah malam nishfu Sya’ban. Allah Ta’ala akan menampakkan hujjah-Nya di atas bumi pada malam ini.” “Siapakah ibunya?”, tanyaku “Narjis”, jawabnya singkat. “Sepertinya ia tidak memiliki tanda-tanda kehamilan?”, tanyaku lagi. “Hal itu akan terjadi seperti yang telah kukatakan”, katanya menimpali.
Setelah sampai di rumahnya, kuucapkan salam dan duduk. Tidak lama Narjis datang menemuiku untuk melepaskan sandalku seraya berkata: “Wahai junjunganku, izinkanlah kulepaskan sandal Anda.” “Tidak! Engkaulah junjunganku. Demi Allah, aku tidak akan mengizinkan engkau melepaskan sandalku dan berkhidmat kepadaku. Seharusnya akulah yang harus berkhidmat kepadamu”, tegasku. Abu Muhammad mendengar ucapanku itu. Ia berkata: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan wahai bibiku.”
Kukatakan kepada Narjis: “Pada malam ini Allah akan menganugrahkan kepadamu seorang putra yang akan menjadikan junjungan di dunia dan akhirat.” Ia duduk sambil menahan malu.
Setelah selesai mengerjakan shalat Isya`, aku berbuka puasa dan setelah itu, pergi ke tempat tidur. Ketika pertengahan malam tiba, aku bangun untuk mengerjakan shalat. Setelah aku selesai mengerjakan shalat, Narjis masih tertidur pulas dan tidak ada kejadian khusus terhadap dirinya. Akhirnya aku duduk-duduk sambil membaca wirid. Setelah itu, aku terbaring hingga tertidur pulas. Tidak lama kemudian, aku terbangun dalam keadaan tertegun, sedangkan ia masih tertidur pulas. Tidak lama berselang, ia terbangun dari tidurnya dalam keadaan ketakutan. Ia keluar untuk berwudhu. Ia kembali ke kamar dan mengerjakan shalat. Ketika ia sedang mengerjakan rakaat witir, aku merasa bahwa fajar sudah mulai menyingsing. Aku keluar untuk melihat fajar. Ya, fajar pertama telah menyingsing. (Melihat tidak ada tanda-tanda ia akan melahirkan), keraguan terhadap janji Abu Muhammad mulai merasuki kalbuku. Tiba-tiba Abu Muhammad menegorku dari kamarnya: “Janganlah terburu-buru wahai bibiku. Karena janji itu telah dekat.” Aku merasa malu kepadanya atas keraguan yang telah menghantuiku. Di saat aku sedang kembali ke kamar, Narjis telah selesai mengerjakan shalat. Ia keluar dari kamar dalam keadaan ketakutan, dan aku menjumpainya di ambang pintu. “Apakah engkau merasakan sesuatu?”, tanyaku. “Ya, bibiku. Aku merasakan berat sekali”, jawabnya. “Ingatlah Allah selalu. Konsentrasikan pikiranmu. Hal itu seperti yang telah kukatakan padamu. Engkau tidak perlu takut”, kataku menguatkannya.
Lalu, aku mengambil sebuah bantal dan kuletakkannya di tengah-tengah kamar. Kududukkannya di atasnya dan aku duduk di hadapannya layaknya seorang wanita yang sedang menangani seseorang yang ingin melahirkan. Ia memegang telapak tanganku dan menekannya sekuat tenaga. Ia menjerit karena kesakitan dan membaca dua kalimat syahadah. Abu Muhammad berkata dari balik kamar: “Bacalah surah al-Qadr untuknya.” Aku mulai membacanya dan bayi yang masih berada di dalam perut itu menirukan bacaanku. Aku ketakutan terhadap apa yang kudengar. Abu Muhammad berkata lagi: “Janganlah merasa heran terhadap urusan Allah. Sesungguhnya Allah membuat kami berbicara dengan hikmah pada waktu kami masih kecil dan menjadikan kami hujjah di atas bumi-Nya ketika kami sudah besar.”
Belum selesai ucapannya, tirai cahaya menutupiku untuk dapat melihatnya. Aku berlari menuju Abu Muhammad sambil menjerit. “Kembalilah wahai bibiku. Engkau akan mendapatkannya masih di tempatnya”, katanya padaku.
Aku kembali. Tidak lama kemudian, tirai cahaya itu tersingkap. Tiba-tiba aku melihatnya dengan seunggun cahaya yang menyilaukan mataku. Kulihat wali Allah dalam kondisi sujud. Di lengan kanannya tertulis: “Telah datang kebenaran dan sirna kebatilan. Sesungguhnya kebatilan telah sirna”. Ia berkata dalam keadaan sujud: “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, kakekku Muhammad adalah Rasulullah, dan ayahku Amirul Mukminin wali Allah.” Selanjutnya ia menyebutkan nama para imam satu-persatu hingga sampai pada dirinya. Kemudian, ia berdoa: “Ya Allah, wujudkanlah untukku apa yang telah Kau janjikan padaku, sempurnakanlah urusanku, kokohkanlah langkahku, dan penuhilah bumi ini karenaku dengan keadilan.” Setelah itu, ia mengangkat kepalanya seraya membaca ayat, “Allah bersaksi dalam keadaan menegakkan keadilan bahwa tiada tuhan selain Ia, dan begitu juga para malaikat dan orag-orang yang diberi ilmu. Tiada tuhan selian Ia yang Maha Perkasa nan Bijaksana. Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam”. (QS. Ali ‘Imran : 18-19) Kemudian, ia bersin. Ia berkata: “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga Allah mencurahkan shalawat atas Muhammad dan keluarganya. Orang-orang zalim menyangka bahwa hujjah Allah telah sirna.”
Aku menggendongnya dan mendudukknnya di pangkuanku. Sungguh anak yang bersih dan suci. Abu Muhammad berkata: “Bawalah putraku kemari wahai bibiku.” Aku membawanya kepadanya. Ia menggendongnya seraya memasukkan lidahnya ke dalam mulutnya dan mengelus-elus kepala, kedua mata, telinga dan seluruh sikunya. Lalu, ia berkata kepadanya: “Berbicaralah wahai putraku.” Ia membaca dua kalimat syahadah dan mengucapkan shalawat untuk Rasulullah dan para imam satu-persatu. Setelah sampai di nama ayahnya ia diam sejenak. Ia memohon perlindungan dari setan yang terkutuk seraya membaca ayat: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan Kami akan memberikan anugrah kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi, menjadikan mereka para pemimpin dan para pewaris. Dan Kami akan menjayakan mereka di muka bumi dan memperlihatkan kepada Fir’aun, Haman dan bala tentara mereka apa yang mereka takutkan.”
Setelah itu, Abu Muhammad memberikannya kepadaku kembali seraya berkata: “Wahai bibiku, kembalikanlah kepada ibundanya supaya ia berbahagia dan tidak susah. Sesungguhnya janji Allah adalah benar. Akan tetapi, mayoritas umat manusia tidak mengetahui.”
Kukembalikan ia kepada ibunya dan fajar telang menyingsing waktu itu. Setelah mengerjakan shalat Shubuh, aku mohon pamit kepadanya. [12]

Kelahiran Yang Tersembunyi

Meskipun bukti-bukti tekstual dan historis di atas sangat gamblang dan jelas, kelahiran beliau masih menjadi misteri bagi sebagian orang. Mereka malah mengingkari bahwa beliau telah lahir dan menganggapnya masih belum lahir. Mungkin faktor utama atas klaim mereka itu adalah kelahiran beliau yang terjadi secara tersembunyi dan tidak pernah melihat beliau kecuali sahabat-sahabat dekat Imam Hasan al-‘Askari as. Tapi, ketika kita memperhatikan situasi dan kondisi politik yang dominan dan sangat genting di masa-masa terakhir kehidupan Imam Hasan al-‘Askari, kita akan memaklumi kelahiran beliau yang terjadi secara tersembunyi itu. Karena hal itu memang terjadi karena tuntutan sikon yang ada waktu itu mengingat Imam Mahdi as adalah hujjah Ilahi yang terakhir, dan seandainya penguasa waktu itu berhasil membunuh beliau, niscaya dunia ini sudah tutup usia. 

Mungkin pendapat seorang penulis kenamaan berikut ini layak kita renungkan bersama, paling tidak hal itu dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Ia menulis, “Rahasia di balik kelahiran beliau yang terjadi secara tersembunyi itu adalah, bahwa ketika dinasti Abbasiah mengetahui melalui hadis-hadis Nabi dan para imam Ahlulbait as bahwa Imam Mahdi adalah imam kedua belas yang akan meratakan keadilan di atas bumi ini, menghancurkan benteng-benteng kesesatan, membasmi pemerintahan thaghut dan menguasai Barat dan Timur, mereka ingin untuk memadamkan cahaya Allah itu dengan cara membunuhnya. Oleh karena itu, mereka mengirim mata-mata dan para dukun bayi untuk menggeledah dan memeriksa rumah Imam Hasan al-‘Askari as. Akan tetapi, Allah masih berkehendak untuk menyempurnakan cahaya-Nya dan menyembunyikan kehamilan ibunda beliau, Narjis. 

Disebutkan dalam beberapa referensi bahwa al-Mu’tamid al-Abbasi memerintahkan para dukun bayi untuk memasuki rumah-rumah Bani Hasyim, khususnya Imam Hasan al-‘Askari tanpa harus meminta izin sebelumnya barangkali mereka dapat menemukan beliau telah lahir. Akan tetapi, Allah masih menghendaki untuk memberlakukan apa yang pernah terjadi pada kisah kelahiran Nabi Musa as. Pihak penguasa mengetahui bahwa kerajaan mereka akan musnah di tangan salah seorang dari keturunan Bani Israil. Oleh karena itu, mereka selalu mengawasi setiap wanita keturunan Bani Israil yang sedang hamil. Ketika melihat anak yang lahir dari mereka adalah lelaki, mereka langsung membunuhnya. Tapi, dengan kehendak Allah Musa tetapi lahir dengan selamat dan Ia menyembunyikan kelahirannya. 

Dalam beberapa hadis disebutkan bahwa kelahiran Imam Mahdi as memiliki keserupaan dengan kelahiran Nabi Musa dan Ibrahim as.” [13] 
 
Dari sekilas pembahasan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Imam Mahdi as sudah lahir. Karenan jika tidak demikian, mengapa para penguasa Abbasiah memberlakukan pengontrolan ketat terhadap keturunan Bani Hasyim, khususnya istri Imam Hasan al-‘Askari? Mengapa mereka memerintahkan para dukun-dukun bayi untuk memasuki rumah beliau tanpa harus meminta izin terlebih dahulu? Pada peristiwa syahadah Imam Hasan al-‘Askari pada tanggal 8 Rabi’ul Awal 260, Ja’far al-Kadzzâb, saudara beliau ingin menjadi imam di saat shalat janazah hendak dilaksanakan. Karena sunnah Ilahi bahwa seorang imam tidak dapat dishalati kecuali oleh imam setelahnya, Imam Mahdi menampakkan dirinya dan menyingkirkan Ja’far dari tempat imam shalat jenazah. Tidak lama, berita kemunculan beliau di hadapan khalayak tersebar dan hal itu pun sampai ke telinga al-Mu’tamid, penguasa dinasti Abbasiah kala itu. Akhirnya, ia memerintahkan bala tentaranya untuk menggeledah rumah Imam Hasan al-‘Askari demi menangkap Imam Mahdi dan menyerahkannya kepada Khalifah [14]

Meskipun kelahiran terjadi secara tersembunyi, tapi hal itu tidak menutup kemungkinan adanya sebagian orang yang pernah melihat beliau. Berikut ini nama-nama orang yang pernah melihat beliau dengan mata kepala mereka sendiri: [15] 
 
a. Sayidah Hakimah binti Ali al-Hadi, bibi Imam Hasan al-‘Askari. Beliaulah yang menemani Narjis saat melahirkan Imam Mahdi as.
b. Abu Ghanim, pembantu setia Imam Hasan al-‘Askari as
c. Nasim, seorang pembantu di rumah Imam Hasan al-‘Askari as.
d. Kamil bin Ibrahim al-Madani, seorang agung yang pernah menganut mazhab al-Mufawwidhah dan kemudian meninggalkannya. Ia bercerita, 
“Para sahabat Imam al-‘Askari pernah mengutusku untuk menanyakan beberapa masalah dan supaya aku mengetahui tentang anak beliau yang baru lahir. Aku masuk ke rumah beliau. Setelah mengucapkan salam, aku duduk di pinggir sebuah pintu yang ditutupi oleh kain. Tiba-tiba angin bertiup dan menyingkap ujung kain itu. Kulihat seorang anak kecil (di balik pintu itu) yang sangat tampan bagaikan rembulan. Ia kira-kira masih berusia empat tahun. Ia berkata kepadaku, ‘Hai Kamil bin Ibrahim!’ Buluku merinding mendengar suara itu dan aku diberi ilham untuk mengucapkan, ‘Ya junjunganku!’ Ia melanjutkan, ‘Engkau datang kepada wali Allah untuk menanyakan kepadanya tentang statemen bahwa tidak akan masuk surga kecuali orang yang berkeyakinan seperti keyakinanmu?’ ‘Betul, demi Allah’, jawabku. ‘Jika begitu, amat sedikit orang yang akan memasukinya. Demi Allah! Pasti akan masuk surga kaum yang dikenal dengan sebutan al-Haqqiyah’, tandasnya. ‘Wahai junjunganku! Siapakah mereka itu?’, tanyaku. ‘Mereka adalah sekelompok kaum yang karena kecintaan mereka kepada Ali, mereka siap untuk bersumpah demi haknya, meskipin mereka tidak mengetahui hak dan keutamannya’, tandasnya. Kemudian, ia melanjutkan, ‘Engkau datang juga ingin menanyakan tentang keyakinan mazhab al-Mufawwidhah. Mereka telah berbohong. Sebenarnya hati kami adalah wadah bagi kehendak Allah. Ketika Allah berkehendak, kami pun berkehendak. Allah berfirman, ‘Dan kalian tidak mungkin berkehendak kecuali jika Allah berkehendak’.’ Kain itu pun tertutup kembali dan aku tidak dapat untuk menyingkapnya kembali. Ayahnya melihatku sembari tersenyum. Ia berkata kepadaku, ‘Kenapa engkau masih duduk di sini sedangkan hujjah setelahku telah menjawab pertanyaanmu?’”
e. Abul Fadhl Hasan bin Husain al-‘Askari.
f. Ahmad bin Ishaq al-Asy’ari al-Qomi, wakil Imam Hasan al-‘Askari di Qom.
g. Ya’qub bin Manqusy.
h. Isa bin Mahdi al-Jawahiri.
i. Ibrahim bin Muhammad at-Tabrizi.
j. Utusan kota Qom.
k. Ibrahim bin Idris. 

Nama dan Julukan

Orang-orang besar biasanya memiliki nama dan julukan lebih dari satu. Rasulullah SAWW memiliki nama dan julukan Muhammad, Ahmad, Thaha, Yasin, al-Basyir, an-Nadzir, dan lain sebagainya. Imam Ali dan seluruh imam dari keturunan beliau juga demikian. Hal itu bukanlah suatu hal yang kebetulan. Akan tetapi, menyingkap satu sisi dari sekian sisi kepribadian dan spiritual yang mereka miliki. 

Imam Mahdi pun tak luput dari kaidah di atas. Beliau pun memiliki nama dan julukan lebih dari satu, seperti al-Mahdi, al-Hujjah, al-Qâ`im, al-Muntazhar, al-Khalaf as-Shâlih, Shâhib al-Amr, dan As-Sayid. Pada kesempatan ini, kami akan menyebutkan sebagiannya saja beserta alasan yang ditegaskan oleh hadis-hadis mengapa beliau memiliki nama dan julukan tersebut. 

a. Al-Mahdi.

Dalam beberapa hadis, beliau dijuluki dengan al-Mahdi. Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda, “Nama al-Mahdi adalah namaku.” Hadis serupa juga pernah diucapkan oleh Amirul Mukminin as. 

Mengapa beliau diujuluki demikian? Hal itu dikarenakan Allah selalu menunjukkannya kepada hal-hal ghaib yang tidak diketahui oleh siapa pun. Berkenaan dengan hal ini Imam Muhammad al-Baqir as berkata, “Jika al-Mahdi kami telah bangkit, ia akan membagi-bagikan (harta) dengan sama rata dan berbuat adil terhadap rakyat jelata. Barangsiapa menaatinya, maka ia telah menaati Allah dan barangsiapa menentangnya, maka ia telah menentang Allah. Ia diberi nama al-Mahdi, karena Ia selalu menunjukkannya kepada sesuatu yang rahasia.” [16]
 
b. Al-Qâ`im 

Julukan beliau ini mengungkap sebuah makna yang sangat signifikan. Al-Qâ`im adalah orang yang berdiri atau bangkit. Kebangkitan beliau kelak di akhir zaman berbeda sekali dengan seluruh kebangkitan yang pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Bisa diasumsikan bahwa kebangkitan beliau adalah satu-satunya kebangkitan yang belum pernah disaksikan oleh makhluk Allah. Jika kebangkitan-kebangkitan yang pernah terjadi sepanjang sejarah hanya bersifat parsial dan teritorial, kebangkitan beliau ini bersifat universal dan mendunia. Beliau akan menebarkan semerbak wangi kebenaran ke seluruh penjuru dunia sehingga setiap orang pasti dapat menikmatinya dengan penuh keleluasaan. 

Dalam sebuah hadis Imam Ja’far as-Shadiq as pernah berkata, “Ia dinamai al-Qâ`im karena ia akan menegakkan kebenaran (dengan kebangkitannya).” [17]
 
Abu Hamzah ats-Tsumali pernah bertanya kepada Imam al-Baqir as: “Wahai putra Rasulullah, bukankah kalian semua adalah orang-orang yang menegakkan kebenaran (qâ`imîn bil-haq)?”
“Ya”, jawab beliau.
“Mengapa hanya Imam Mahdi yang dijuluki al-Qâ`im?”, tanyanya lagi.
Beliau menjawab: “Ketika kakekku Husain as terbunuh, para malaikat menangis meraung-raung di hadapan Allah ‘azza wa jalla ... Setelah itu, Allah menunjukkan para imam dari keturunan Husain as (kepada mereka). Mereka menjadi gembira dengan hal itu. (Pada waktu itu), salah seorang dari mereka sedang berdiri (qâ`im) mengerjakan shalat. Lantas Ia berfirman: ‘Dengan (perantara) orang yang sedang berdiri itu Aku akan membalas dendam kepada mereka (para pembunuhnya)’.” [18] 
 
c. Al-Muntazhar 

Jika dalam keyakinan masyarakat dunia pekerjaan menunggu dan menanti adalah sebuah kegiatan yang menjemukan, menunggu kedatangan seorang juru penyelamat dari segala penderitaan adalah sebuah harapan yang dapat memberikan energi baru bagi kegiatan seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam konteks ini beliau diberi julukan al-Muntazhar, orang yang selalu dinantikan kedatangannya. 

Imam al-Jawad as pernah ditanya: “Wahai putra Rasulullah, mengapa ia dijuluki al-Qâ`im?” “Karena ia akan bangkit setelah dilupakan dan mayoritas orang yang meyakini imâmahnya murtad”, jawab beliau. “Mengapa diberi julukan al-Muntazhar?”, beliau ditanya kembali. “Karena ia memiliki sebuah ghaibah yang sangat panjang. Orang-orang yang tulus akan selalu meunggu kehadirannya dan orang-orang yang kotor akan mengingkarinya”, jawab beliau tegas. 

d. Al-Hujjah 

Dalam keyakinan Islam, hujjah Allah pasti selalu ada pada setiap masa. Tidak pernah berlalu sebuah masa yang hujjah Allah absen di situ. Karena ia adalah satu-satunya perantara faidh (anugrah dan karunia) Ilahi untuk seluruh makhluknya. Tanpa hujjah, faidh Ilahi akan terputus dan seluruh alam semesta akan luluh-lantak.

[1] Muhammad Kazhim al-Qazwini, al-Imam al-Mahdi min al-Mahd ilâ azh-Zhuhûr, hal. 22-23.
[2] Ushûl al-Kâfî, jilid 1, hal. 397.
[3] Untuk telaah lebih luas mengenai hal ini,silakan merujuk ke buku al-Imam al-Mahdi min al-Mahdi ilâ azh-Zhuhûr, karya Allamah Muhammad Kazhim al-Qazwini, hal. 97-100, cetakan pertama, penerbitan an-Nur, Beirut.
[4] Murûj adz-Dzahab, jilid 4, hal. 199, cetakan Mesir 1377 M.
[5] Tarikh Ibnu Khalakan (Wafayât al-A’yân), jilid 3, hal. 316, cetakan Mesir, Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah.
[6] Al-Ittihâf bi Hubb al-Asyrâf, hal. 178, cetakan Mesir 1316 H. menukil dari al-Mahdi al-Mau’ûd al-Muntazhar, karya Syeikh Najmuddin Ja’far al-‘Askari, jilid 1, hal. 200-201, cetakan Beirut 1397 H.
[7] Al-Yawâqît wa al-Jawâhir, hal. 145, cetakan Mesir 1307 M.
[8] Yanâbî’ al-Mawaddah, hal. 452, menukil dari al-Mahdi al-Mau’ûd, jilid 1, hal. 212-213.
[9] Syamsuddin Ahmad bin Muhammad adz-Dzahabi, Mîzân al-I’tidâl, jilid 2, hal. 52; al-Imam al-Mahdi min al-Mahd ilâ azh-Zhuhûr, hal. 24.
[10] Al-Imam al-Mahdi min al-Mahd ilâ azh-Zhuhûr, hal. 24 menukil dari al-Bayân fî Akhbâr Shâhib az-Zamân, hal. 93-94.
[11] Ibid. hal. 25.
[12] Al-Imam al-Mahdi min al-Mahd ilâ azh-Zhuhûr, hal. 114-118; Kamil Sulaiman, Yaum al-Khalâsh, hal. 67-86.
[13] Luthfullah ash-Shafi al-Gulpaigani, Muntakhab al-Atsar fî al-Imam ats-Tsânî ‘Asyar, hal. 286, cetakan ketiga, penerbitan ash-Shadr, Tehran.
[14] Muhammad Reza Hakimi, Khoshîd-e Maghreb, hal, 24-26.
[15] Untuk menelaah lebih lanjut tentang hal ini, silakan merujuk ke buku Yaum al-Khalâsh, hal. 67-86.
[16] Muttaqi al-Hindi al-Hanafi, al-Burhân ‘Alamât Mahdi Âkhir az-Zamân, bab 3, hadis ke-8 dan 9.
[17] Allamah al-Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 51, hal. 30, cetakan Tehran 1393 H.
[18] Ibid. jilid 51, hal. 28-29.
Sumber: http://imamalmahdi.com  
Kitab "Imam Mahdi Menurut Ahlusunnah" Siap Terbit.



Cetakan ke-tiga kitab " الإمام المهدى(عج) عند اهل السنة" (Imam Mahdi menurut Ahlusunnah) yang dikarang oleh Syaikh Mahdi Faqih al-Imani siap untuk diterbitkan di Lebanon dengan dukungan Majma' Ahlul Bait.

Menurut Kantor Berita ABNA, Buku berjudul " الإمام المهدى(عج) عند اهل السنة" (Imam Mahdi menurut Ahlusunnah) yang menampilkan pembahasan mengenai Mahdawiyat berkaitan dengan kelahiran, kehidupan, keghaiban Shughra dan Kubra, kemunculan dan syarat-syaratnya, pembantu Imam Mahdi menurut aqidah, ajaran Ahlul Bait, Tarikh Islam, ayat-ayat al-Quran serta riwayat para Imam sedang menunggu untuk dicetak dan beredar di Lebanon.
Pembahasan Mahdawiyat merupakan salah satu pembahasan penting dalam berbagai firqah dan mazhab dalam Islam dan telah mendapat penjelasan panjang lebar oleh sarjana Islam dan banyak ditemui dalam bebagai makalah, ceramah-ceramah dan kitab-kitab.
Syaikh Mahdi Faqih Imani pengarang kitab " الإمام المهدى(عج) عند اهل السنة" telah menampilkan intisari kitabnya dengan himpunan riwayat-riwayat dari Kitab-kitab Ahlusunnah tentang perkara yang berkaitan dengan kelahiran, keghaiban dan kemunculan Imam Mahdi.
Mukadimah kitab ini menerangkan bahwa, "Banyak masalah Tahrif, pemalsuan, penipuan dalam tarikh Islam berkenaan Hadis yang ditulis antara ahli hadis dan sejarahwan demi kepentingan politik sesuai pesanan penguasa dan pemerintah. Mereka coba menimbulkan kesimpangsiuran dalam perkara penting Islam dengan membuat keraguan, penolakan dan merekayasa fakta. Salah satu masalah ini berkaitan dengan kelahiran, keghaiban dan kemunculan Imam Mahdi (ajs) menurut keterangan nabi Muhammad (s.a.w.) serta tokoh-tokoh Muslim yang lain yang tak mungkin dapat dipungkiri lagi. Kitab ini menukilkan berbagai sumber tentang Mahdawiyat menurut kelompok Ahlusunnah Wal Jamaah sepanjang 12 abad lalu.
Kitab ini diawal beredarnya sangat mendapat respon positif dari berbagai kalangan. Dan sekarang melalui dukungan Majma' Ahlul Bait, kitab dengan ketebalan 672 halaman ini dicetak untuk ketiga kalinya.
 Rahbar: Masa Imam Mahdi Adalah Masa Kedaulatan Tauhid dan Keadilan.
 


Menurut Kantor Berita ABNA, Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei Sabtu pagi (9/7/2011) dalam pertemuan dengan para ulama, cendekiawan, penulis dan alumnus program ‘Mahdawiyah' menyebut ‘Mahdawiyah' sebagai masalah yang sangat penting, seraya menegaskan bahwa Mahdawiyah adalah tujuan dari gerakan dan perjuangan para nabi sepanjang sejarah.

Seraya menyatakan bahwa tema penantian tak bisa dipisahkan dari masalah ‘Mahdawiyah', beliau mengatakan, salah satu tugas penting yang mesti dilaksanakan terkait masalah ‘Mahdawiyah' adalah meningatkan pekerjaan yang mendalam, cermat dan kuat dengan melibatkan para pakar yang benar-benar menguasai masalah ini dan menghindari langkah-langkah yang dangkal, bodoh, tidak otentik dan hanya didasarkan oleh khayalan dan dugaan semata.


Di awal pembicaraannya, Ayatollah al-Udzma Khamenei menjelaskan signifikansi masalah ‘Mahdawiyah' sebagai isu paling mendasar dalam ajaran Islam, seraya mengungkapkan, tujuan gerakan para nabi dan pengutusan mereka adalah untuk membangun dunia yang dilandasi oleh tauhid dan keadilan dengan mengembangkan segala potensi yang dimiliki manusia. Masa ‘dhuhur' (kedatangan) Imam Mahdi (aj) adalah masa kedaulatan hakiki tauhid, spritualitas, agama, dan keadilan pada semua sisi kehidupan individu dan sosial umat manusia.

Pemimpin Besar Revolusi Islam menandaskan, tanpa ‘Mahdawiyah' semua kerja keras dan perjuangan para nabi tidak ada artinya.

Seraya menyinggung bahwa ‘Mahdawiyah' juga diyakini oleh semua agama Ilahi, beliau menambahkan, "Semua agama Ilahi secara umum meyakini akan hakikat ‘Mahdawiyah'. Akan tetapi dalam Islam ‘Mahdawiyah' adalah masalah keyakinan yang diterima secara penuh. Dan dari seluruh madzhab dalam Islam, Syiah meyakini masalah ‘Mahdawiyah' dengan rincian kriteria dan sosok pribadinya yang dinantikan itu sesuai dengan riwayat-riwayat sahih yang terdapat dalam literatur riwayat Syiah dan non-Syiah."

Rahbar lebih lanjut menjelaskan tentang prinsip ‘penantian' yang tidak bisa dipisahkan dari masalah ‘Mahdawiyah'. Beliau mengatakan, "Penantian berarti menanti kedatangan sosok manusia yang hidup dan hakikat yang pasti. Penantian seperti ini meniscayakan beberapa hal diantaranya persiapan diri secara spiritual dan kejiwaan serta kondisi sosial yang sesuai dengan masa yang bakal terjadi dan kondisinya yang istimewa."

Orang yang menanti, kata beliau, harus selalu memiliki, menjaga dan memperkuat sejumlah kriteria masa penantian, sehingga tidak menganggap bahwa masa penantian ini akan berlangsung sangat lama dan dari sisi lain tidak beranggapan bahwa masa itu sudah sangat dekat.

Pemimpin Besar Revolusi Islam mengenai kondisi di masa dhuhur Imam Mahdi mengatakan, masa dhuhur adalah masa kedaulatan tauhid, keadilan, kebenaran, ketulusan, dan penghambaan kepada Allah Swt. Karena itu seorang penanti harus selalu mendekatkan dirinya pada kriteria-kriteria tersebut dan tidak merasa puas dengan kondisi yang ada.

Beliau juga menekankan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mendalam dan ilmiah dalam masalah ‘Mahdawiyah'.

Ayatollah al-Udzma Khamenei menandaskan, salah satu bahaya besar dalam masalah ‘Mahdawiyah' adalah munculnya langkah-langkah yang dangkal, bodoh, tidak otentik dan didasari oleh khayalan dan dugaan semata. Hal seperti ini justeru akan memunculkan para pembohong dan menjauhkan masyarakat dari hakikat penantian yang sebenarnya.

Beliau menyinggung tentang kemunculan para pembohong dalam rentang sejarah yang menyebut diri sendiri atau orang-orang tertentu sebagai bagian dari tanda-tanda kedatangan al-Mahdi. "Semua klaim seperti itu salah dan menyimpang. Sebab, sejumlah hal yang disebut sebagai tanda ‘dhuhur' tidak otentik dan lemah, sementara hal-hal yang sah juga tidak mudah dicarikan objek penerapannya," kata beliau menjelaskan.

Pemimpin Besar Revolusi Islam mengingatkan bahwa isu-isu yang menyimpang justeru akan mengaburkan hakikat ‘Mahdawiyah' dan ‘penantian' yang sebenarnya. Karenanya, tindakan dan isu-isu bodoh seperti itu harus dihindari.

Beliau menambahkan, pekerjaan yang mendalam dan ilmiah dalam masalah ‘Mahdawiyah' adalah ruang kerja bagi para pakar yang menguasai ilmu Hadis dan ilmu Rijal serta mengenal berbagai masalah pemikiran dan filsafat secara sempurna.

Poin terakhir yang disinggung Ayatollah al-Udzma Khamenei dalam pembicaraannya adalah masalah hubungan dan tawassul dengan Imam Mahdi (aj). Beliau mengatakan, mengenal masalah ‘Mahdawiyah' dengan benar dan ilmiah akan membantu meningkatkan keakraban dengan Imam Mahdi (as) dan gerakan yang lebih cepat ke arah cita-cita yang mulia.

Rahbar menandaskan, dalam hal berhubungan dengan Imam Mahdi, yang harus dilakukan adalah hal-hal yang benar. Tawassul dengan Imam Mahdi dari jarak jauh pun insya Allah akan diterima oleh beliau. Namun ada sebagian klaim dan pernyataan dangkal yang menyebut hubungan dengan Imam Mahdi mesti dilakukan dengan kehadiran menghadap beliau, dan tentunya pernyataan ini biasanya tak lebih dari kebohongan atau sekedar khayalan.

Ayatollah al-Udzma Khamenei di bagian lain pembicaraannya mengapresiasi kerja keras panitia penyelenggaraan seminar ‘Mahdawiyah' sekaligus menyampaikan penghargaan kepada Hojjatul Islam wal Muslimim Mohsen Qaraati yang telah memberikan banyak pengabdian yang tulus di berbagai bidang khususnya dalam masalah shalat, zakat, tafsir al-Qur'an, Mahdawiyah dan pemberantasan buta huruf. "Bapak Qaraati adalah contoh yang sangat baik dan teladan yang ideal. Sebab beliau memfokuskan pengabdiaannya pada bidang-bidang yang dirasa kurang diperhatikan padahal sangat diperlukan. Semangat dan kerja keras ini memiliki nilai yang berlipat ganda," imbuh beliau.

Pemimpin Besar Revolusi mengingatkan bahwa pekerjaan yang didasari niat yang tulus dan untuk Allah akan mendatangkan pengaruh yang besar dalam kemajuan pekerjaan itu. Beliau juga menekankan untuk menindaklanjuti pekerjaan yang sudah dilaksanakan di berbagai bidang.

Di awal pertemuan, Hojjatul Islam wal Muslimin Qaraati menyampaikan laporan tentang kegiatan program pengentasan buta huruf, program lembaga Shalat, Lembaga Zakat, dan tafsir al-Qur'an. Mengenai program seminar ‘Mahdawiyah' Qaraati mengatakan, "Sampai saat ini tercatat 300 orang telah mengikuti program ini secara spesialisasi, dan kini sudah dibuat program pendidikan online, program jangka pendek, dan pelatihan guru yang berhubungan dengan ‘Mahdawiyah'.

Ditambahkannya, panitia juga menerbitkan triwulanan, mengoperasikan sejumlah situs dan membuat majalah online dengan tema ‘Mahdawiyah'

Sumber ABNA.IR
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: