Pesan Rahbar

Home » » Imam Ja’far Ash-Shadiq as Dalam Pandangan Ahlus Sunnah Dan Syiah

Imam Ja’far Ash-Shadiq as Dalam Pandangan Ahlus Sunnah Dan Syiah

Written By Unknown on Sunday, 3 August 2014 | 21:45:00


Imam Ja’far Ash-Shadiq as.
 
Nama : Ja'far.
Gelar : Ash-Shadiq.
Jlillikan : Abu Abdillah.
Ayah : Muhammad al-Baqir.
lbu : Fatimah.
Tcmpat/Tgl Lahir : Madinah, Senin 17 Rabiul Awal 83 H.
Hari/Tgl Wafat : 25 Syawal 148 H.
Umur : 65 Tahun.
Sebab Kematian : Diracun Manshur al-Dawaliki.
Makam : Baqi', Madinah.
Jumlah Anak : 10 orang; 7 laki-laki, 3 perempuan.
Anak Laki-laki : Ismail, Abdullah, al-Afthah, Musa al-Kadzim, Ishaq, Muhammad al-Dhibbaja, Abbas, Ali.
Anak Perempuan : Fatimah, Asma, Ummu Farwah.

Riwayat Hidup:
  
Imam Ja'far Ash-Shodiq a.s. adalab anak dari Imam Muhammad al-Baqir bin As Sajjad bin Imam Husein As-Syahid bi karbala, shalawatullah wasalamuhu alaihim aj-main.Beliau dilahirkan di Madinah al-Munawwarah, di masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, Dinasti Umayyah. Kehidupannya sarat dengan keilmuan dan ketaatan kepadaTuhan, sebab sejak kecilnya hingga selama sembilan belas tahun, beliau bernaung di bawah asuhan dan didikan ayahnya, Imam Muhammad al-Baqir. Setelah kepergian ayahnya yang syahid, maka sejak tahun 114 H beliau menggantikan posisi ayahnya sebagai pemimpin spiritual yang juga marji' dalam segala bidang ilmu atas pilihan Allah dan Rasul-Nya. Situasi politik di zaman Ja'far As-Shadiq a.s. sangat menguntungkan beliau. Sebab di saat itu terjadi pergolakan politik di antara dua kelompok yaitu Bani Umayyah dan Bani Abbasiah yang saling berebut kekuasaan. Dalam situasi politik yang labil inilah Imam Ja'far As-Shadiq a.s. mampu menyebarkan dakwah Islam dengan lebih leluasa. Dakwah yang dilakukan beliau meluas ke segenap penjuru, sehingga digambarkan murid beliau berjumlah empat ribu orang, yang terdiri dari para ulama, para ahli hukum dan bidang lainnya seperti, Jabir bin Hayyan At-Thusi, seorang ahli matematika, Hisyam bin al-Hakam, Mu'min Thaq seorang ulama yang disegani, serta berbagai ulama sunni seperti Sofyan ats-Tsauri, Abu Hanifah (pendiri mazbab hanafi) al-Qodi As-Sukuni dan lain-lain.
    
Seperti yang digambarkan di atas bahwa di zaman Imam Ja'far terjadi pergolakan politik. Rakyat sudah banyak berada di bawah kekuasaan Bani Umayyah dan muak melihat kekejaman dan penindasan yang dilakukan mereka selama ini. Situasi yang kacau dan pemerintahan yang mulai goyah dimanfaatkan oleb golongan Abbasiah yang juga bertujuan kepada kekuasaan. Kemudian mereka berkempen dengan berasaskan sebagai "para penuntut batas dan bani Hasyim".
    
Bani Umayyah akhirnya tumbang dan Bani Abbas mulai membuka tampok serta merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Kejatuhan Bani Umayyah serta munculnya Bani Abbasiah membawa babak baru dalam sejarah. Selang beberapa waktu ternyata Bani Abbas memusuhi Ahlu Bait dan membunuh pengikutnya. Imam Ja'far juga tidak luput dari sasaran pembunuhan. Pada 25 Syawal 148 H, al-Manshur membuat Imam Syahid dengan meracunnya. "Imam Ja'far ibn Muhammad, putra Imam kelima, lahir pada tahun 83 H/702 M. Dia wafat pada tahun 148 H/757 M, dan menurut riwayat kalangan Syiah diracun dan dibunuh karena intrik al-Manshur, khalifah Dinasti Abbasiyah. Setelah ayahnya wafat dia menjadi Imam keenam atas titah ilahi dan fatwa para pendahulunya ( Thabathaba'i dalam "Islam Syiah (Asal-Usul dan Perkembangannya hal 233-234-235).
    
Selama masa keimaman Imam ke-6 terdapat kesempatan yang lebih besar dan iklim yang menguntungkan baginya untuk mengembangkan ajaran-ajaran agama. Ini dimungkinkan akibat pergolakan di berbagai negeri Islam, terutama bangkit-nya kaum Muswaddah untuk menggulingkan kekhalifahan Bani Umayyah, dan perang berdarah yang akhirnya membawa kerutuhan dan kemusnahan Dinasti Umayyah. Kesempatan yang lebih besar bagi ajaran kaum Syiah juga merupakan hasil dari landasan yang menguntungkan, yang diciptakan Imam ke-5 selama 20 tahun masa keimamannya melalui pengembangan ajaran Islam yang benar dan pengetahuan Ahlu Bait.

Imam telah memanfaatkan kesempatan ini untuk mengembangkan berbagai pengetahuan keagamaan sampai saat terakhir dari keimamannya yang bersamaan dengan akhir Dinasti Umayyah dan awal dari kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Dia mendidik banyak sarjana dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan aqliah (intelektual) dan naqliah (agama) seperti Zararah, Muhammad ibn Muslim, Mukmin Thaq, Hisyam ibn Hakam, Aban ibn Taghlib, Hisyam ibn Salim, Huraiz, Hisyam Kaibi Nassabah, dan Jabir ibn Hayyan, ahli kimia. Bahkan beberapa sarjana terkermuka Sunni seperti Sofyan Tsauri, Abu Hanifah pendiri madzhab Hanafi, Qadhi Sukuni, Qodhi Abu Bakhtari dan lain-lain, beroleh kehormatan menjadi murid-muridnya. Disebutkan bahwa kelas-kelas dan majelis-majelis pengajaranya menghasilkan empat ribu sarjana hadis dan ilmu pengetahuan lain. Jumlah hadis yang terkumpul dari Imam ke-5 dan ke-6, lebih banyak dari seluruh hadis yang pernah dicatat dari Imam lainnya.
    
Tetapi menjelang akhir hayatnya, Imam menjadi sasaran pembatasan-pembatasan yang dibuat atas dirinya oleh al-Manshur, khalifah Disnati Abbasiyah, yang memerintahkan penyiksaan dan pembunuhan yang kejam terhadap keturunan nabi, yang merupakan kaum Syiah, hingga tindakan-tindakannya bahkan melampaui kekejaman kaum Umayyah. Atas perintahnya mereka ditangkap dalam kelompok-kelompok, beberapa dan mereka dibuang dalam penjara yang gelap dan disiksa sampai mati, sedangkan yang lain dipancung atau dikubur hidup-hidup atau ditempatkan di bawah atau di antara dinding-dinding yang dibangun di atas mereka. Hisyam, khalifah Dinasti Umayyah, telah memerintahkan untuk menangkap Imam ke-6 dan dibawa ke Damaskus. Belakangan, Imam ditangkap oleh Saffah, khalifah Dinasti Abbasiyah dan dibawa ke Iraq. Akhirnya Al Manshur menangkapnya lagi dan dibawa ke Samarah untuk diawasi dan dengan segala cara mereka melakukan tindakan zalim dan kurang hormat dan berkali-kali merencanakan untuk membunuhnya.     Kemudian Imam diizinkan kembali ke Madinah, di mana dia menghabiskan sisa hidupnya dalam persembunyian, sampai dia diracun dan dibunuh melalui helah rahsia al-Manshur. Sebagaimana yang telah anda ketahui sebelum ini.
       
Meskipun Imam Ja’far telah syahid, namun peninggalannya, khususnya dalam bidang ilmu, telah membawa babak baru dalam perkembangan kebudayaan islam.

Imam Jaf'ar al-Sadiq AS: Satu Pengenalan Ringkas

Imam Ja'far al-Sadiq AS adalah putera kepada Imam Muhammad ibn Ali AS. Imam Ja'far al-Sadiq AS lahir pada 17 Rabiul Awwal tahun 83 Hijrah iaitu pada zaman pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Ibu kepada Imam Ja'far al-Sadiq AS ialah Fatimah puteri kepada al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar. Beliau AS merupakan anak sulung kepada Imam Muhammad al-Baqir AS. Saudara seibunya ialah Abdullah ibn Muhammad AS.

Saudara-saudara-saudaranya yang berlainan ibu ialah Ibrahim dan Ubaydullah beribukan Umm Hakim puteri Asid ibn al-Mughirah al-Thaqafi, Ali dan Zainab beribukan wanita hamba, dan juga Ummu Salamah dari ibu wanita hamba. Beliau dibesarkan dengan asuhan ayahandanya Imam Muhammad al-Baqir AS dan perhatian datuknya Imam Ali Zainal Abidin AS. Imam Muhammad ibn Ali AS dikenali dengan panggilan Imam Muhammad "al-Baqir" yang membawa maksud pembelah ilmu. Gelaran ini telah diberikan oleh Rasulullah S.A.W kepada beliau. Sebuah Hadith yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Ansari, bermaksud:
"Rasulullah S.A.W bersabda kepadaku:"Akan berlaku nanti kamu hidup sehingga kamu bertemu dengan seorang daripada keturunanku dari al-Husayn AS bernama Muhammad, beliau akan memecahkan kebuntuan ilmu agama. Bila kamu menemuinya, sampaikan salamku kepadanya. [Syaikh al-Mufid, Al-Irshad, Bab fi Dzikir al-Imam Muhammad al-Baqir, hlm. 294]"

Imam Ja'far al-Sadiq AS adalah cucu kepada Imam Ali Zainal Abidin iaitu ayahanda kepada Imam Muhammad al-Baqir AS. Imam Ali Zainal Abidin AS dikenali dengan panggilan "al-Sajjad" yang bermaksud yang banyak bersujud. Imam Ali Zainal Abidin AS dan puteranya Imam Muhammad al-Baqir AS hadir dalam peristiwa karbala yang menyayat hati itu. Imam Ali Zainal Abidin AS wafat pada tahun 95 Hijrah akibat diracun oleh khalifah al-Walid bin Abdul Malik.

Pada zaman remajanya, Imam J'afar AS, turut menyaksikan kejahatan dinasti Bani Umayyah seperi al-Walid bin Abdul Malik (86-89H) dan Sulaiman bin Abdul Malik (96-99H). Kedua-dua bersaudara inilah yang terlibat dalam pakatan meracun Imam Ali Zainal Abidin AS pada tahun 95 Hijrah. Pada ketika itu Imam Ja'far al-Sadiq AS baru berusia kira-kira 12 tahun. Beliau juga dapat menyaksikan keadilan Umar bin Abdul Aziz 996-101H). Pada zaman remajanya Imam Ja'far AS menyaksikan puncak kekuasaan dan kejatuhan Bani Umayyah. Tatkala al-Baqir AS kembali ke rahmatullah pada 7 Zul Hijjah 114 Hijrah, Imam Ja'far al-Sadiq AS berusia 31 tahun. Dengan kewafatan ayahandanya, Imam Ja'far al-Sadiq AS, menjawat jawatan Imam kaum Muslimin berdasarkan nas yang terang dari ayahandanya Imam Muhammad al-Baqir AS. Muhammad ibn Abi Umayr meriwayatkan dari Hisham ibn Salim dari Aba Abdillah Ja'far ibn Muhammad AS (beliau) berkata yang bermaksud:
"Ketika ayahandaku menghampiri saat-saat kewafatannya, beliau berkata: "Ja'far aku memberikan kepadamu wasiat perintah kepadamu sypaya memperlakukan dan mengasuh pengikut-pengikutku dengan baik." "Semoga saya menjadi tebusanmu," Aku menjawab," Demi Allah, saya akan mendidik mereka supaya mereka memahami agama mereka, dengan itu mereka tidak perlu meminta nasihat dari sesiapa pun dari kalangan orang lain." [Syaikh al-Mufid, Kitabul Irshad, Bab Imam Ja'far b. Muhammad al-Sadiq AS]

Terdapat lagi riwayat-riwayat lain yang menunjukkan hak Imamah Imam Ja'far al-Sadiq AS yang termasuk dalam 12 Imam dari Ahlul Bayt AS. Aban ibn Uthman meriwayatkan dari Abu al-Sabbah al-Kinani (beliau) berkata:
"Abu Ja'far Muhammad AS ketika memandang anaknya Abu Abdillah Ja'far AS dan (beliau) berkata kepada kami: "Lihatlah lelaki itu? Dia adalah seorang yang Allah Yang Maha Tinggi dan Berkuasa firmankan:" Dan Kami hendak memberikan kurnia kepada orang-orang yang tertindas di bumi dan hendak menjadikan mereka Imam dan orang-orang yang mewarisi (Q28:5)." [Syaikh al-Mufid, Kitabul Irshad, Bab Imam Ja'far b. Muhammad al-Sadiq AS]
Hisham ibn Salim meriwayatkan dari Jabir ibn Yazid al-Jufi:
"Abu Ja'far Muhammad AS ketika ditanya tentang orang yang akan menjadi al-Qaim selepas beliau. Beliau menepuk-nepuk Aba Abdillah Ja'far AS dengan tangannya dan berkata:" Demi Allah, inilah lelaki dari keluarga Muhammad AS yang akan menjadi al-Qaim Imamah." [Syaikh al-Mufid, Kitabul Irshad, Bab Imam Ja'far b. Muhammad al-Sadiq AS].

Yunus ibn Abd Rahman meriwayatkan dari Abd al-A'la dari kekuarga Sam, dari Abu Abdillah Ja'far AS (beliau) berkata:
"Ayahku (Muhammad ibn Ali AS) mewasiatkan (kepada yang hadir). Ketika beliau hampir wafat, beliau berkata: "Panggil saksi-saksi untukku." Aku (Abu Abdillah Ja'far AS) memerintahkan empat orang lelaki dari Bani Quraysh, di antara mereka ialah Nafi'. (Ayahku berkata):" Tulis wasiat ini, aku wasiatkan seperti Yakub mewasiatkan kepada anak-anaknya:" Anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam agama Islam (Q2:132)." 

Muhammad ibn Ali AS menyediakan wasiat terakhir ini kepada Ja'far ibn Muhammad AS. Beliau memerintahkan Ja'far mengapankannya dengan jubah yang beliau sering gunakan untuk solat Jumaat, memakaikan beliau serban, membentuk kuburnya empat persegi, meninggikan kuburnya empat jengkal daripada bumi dan mengambil pakaian kotornya jauh daripadanya ketika pengkebumiannya. Kemudian beliau berkata kepada saksi-saksi:" Pergilah kamu semua semoga Allah mengasihi kamu semua." Ayah, aku berkata kepadanya (selepas mereka semua beredar)." Mengapakah mereka menyaksikan semua ini?" "Anakku," Beliau menjawab," Aku tidak mahu nanti kamu diatasi kerana dikatakan kamu tidak diwasiatkan. Aku mahu kamu mempunyai hujah dan bukti."[Syaikh al-Mufid, Kitabul Irshad, Bab Imam Ja'far b. Muhammad al-Sadiq AS].

Malahan hal tersebut telah dinyatakan dalam hadith Rasulullah S.A.W. Shaykh Sulaiman Balkhi Hanafi meriwayatkan dalam Yanabi al-Mawaddah, meriwayatkan dari kitab Fara'ed al-Simtain oleh Humaini dari Mujahid, dari Ibn Abbas, bahawa seorang Yahudi bernama Na'tsal datang kepada Rasulullah S.A.W dan berkata:
" Wahai Muhammad! Aku akan bertanya anda beberapa perkara yang tidak menyenangkan hatiku seketika. Sekiranya anda dapat memberi jawapan kepadaku, nescaya aku akan memeluk Islam di tangan anda. Beliau S.A.W bersabda:" Tanyalah wahai Abu 'Ammarah' Dia bertanya beberapa perkara sehingga dia berkata: Beritahukan kepadaku tentang wasi anda siapa dia? Tidak ada seorang nabi melainkan ada baginya seorang wasi. Dan sesungguhnya nabi kami Musa bin Imran telah berwasiatkan kepada Yusyu' bin Nun. Nabi S.A.W menjawab:" Sesungguhnya wasiku ialah Ali ibn Abi Talib AS; selepas beliau ialah Hasan dan Husayn AS dan selepasnya ada sembilan orang yang kesemuanya adalah dari keturunan Husayn AS. Namakan mereka kepadaku. Beliau S.A.W menjawab: Apabila wafatnya Husayn AS ialah anaknya Ali AS akan menjadi Imam; apabila wafatnya Ali ialah anaknya Muhammad; apabila wafatnya Muhammad ialah anaknya Ja'far; apabila wafatnya Ja'far ialah anaknya Musa; apabila wafatnya Musa ialah anaknya Ali; apabila wafatnya Ali ialah anaknya Muhammad; apabila wafatnya Muhammad ialah anaknya Ali; apabila wafatnya Ali ialah anaknya Hasan; apabila wafatnya Hasan ialah anaknya al-Hujjah Muhammad al-Mahdi. Bilangan mereka adalah dua belas orang..." [Yanabi al-Mawaddah, hlm.446-447].

Akhirnya lelaki Yahudi itu memeluk Islam dan menceritakan bahawa nama-nama para Imam Dua Belas telah tertulis di dalam buku-buku para nabi yang terdahulu, dan ia termasuk di antara apa yang telah dijanjikan oleh Musa AS.

Allamah al-Hilli dsalam al-Babu l-Hadi 'Ashar juga meriwayatkan sebuah hadith yang diriwayatkan daripada Jabir bin Abdullah al-Ansari:
" Apabila Allah Yang Maha Tinggi berfirman:" Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri di antara kamu (Q4:58), aku berkata: Wahai Rasulullah kami mengetahui dan mengenal Allah dan kami mentaatiNya dan kami mengetahui dan mengenal anda dan mentaati anda tetapi siapakah yang dimaksudkan dengan Ulil Amri itu, yang Allahj perintahkan kami mentaati mereka? Beliau bersabda," Wahai Jabir, mereka adalah pengganti-penggantiku dan memiliki autoriti selepasku. Yang pertama ialah Ali, kemudian anaknya Hasan, kemudian Husayn, kemudian Ali ibn Husayn, kemudian Muhammad ibn Ali dan kamu akan nanti menemuinya, Wahai Jabir, apabila kamu bertemu dengannya sampaikanlah salamku kepadanya, kemudian Ja'far ibn Muhammad, kemudian Musa ibn Ja'far, kemudian Ali ibn Musa, kemudian Muhammad ibn Ali al-Jawad, kemudian Ali ibn Muhammad, kemudian Hasan ibn Ali, kemudian Muhammad ibn al-Hasan yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana ketika itu ia dipenuhi dengan kezaliman."

Dalam hal ini al-Kulaini dalam al-Kafi meriwayatkan satu hadith yang panjang dari Imam Ja'far al-Sadiq AS daripda Abu Basir (beliau berkata):
" Aku bertanya kepada Aba Abdillah AS tentang firman Allah Azawajalla 'Taatilah Allah, taatilah Rasul dan Ulil Amri di antara kamu'. Beliau menjawab," Ia (ayat ini) diwahyukan berkenaan Ali ibn Talib, al-Hasan dan al-Husayn AS." Aku berkata kepadanya," Mereka berkata," Maka mengapa Allah Azawajalla tidak menamakan Ali dan Ahlul Bayt di dalam KitabNya?" Beliau AS menjawab," Jelaskan kepada mereka: Perintah berkenaan solat diturunkan kepada Rasulullah S.A.W tetapi Allah tidak menjelaskan perinciannya tiga atau empat rakaat, oleh itu Rasulullah S.A.W lah yang akan menjelaskannya. Dan Dia menurunkan perintah berkenaan zakat dan tidak menjelaskan perinciannya bahawa bagi setiap empat puluh dirham (zakatnya) satu dirham sehingga Rasulullah S.A.W menjelaskan hal itu kepada mereka. Dan Dia menurunkan perintah Haji tetapi Dia tidak berfirman," Tawaf keliling Ka'abah tujuh kali," sehingga Rasulullah S.A.W menjelaskan perkara itu kepada mereka. Dia ayat, " Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri di antara kamu, " diturunkan dan ia diwahyukan berkenaan dengan Ali, al-Hasan, al-Husayn dan Rasulullah S.A.W menjelaskannya tentang Ali, "Maka barang siapa yang mengakui aku mawlanya maka Ali adalah mawlanya juga." Dan dia S.A.W bersabda," Aku perintahkan kamu mentaati Allah Azawajalla supaya tidak memisahkan kedua-duanya sehingga kedua-duanya menemuiku di al-Hawd ( telaga di syurga), dan Dia memperkenankan permintaanku itu. Dan dia S.A.W bersabda," Mereka tidak akan memesungkan kamu dari jalan petunjuk dan tidak akan membawa kamu ke jalan kesesatan." Sekiranya Rasulullah S.A.W mendiamkan diri tentang hal itu dan tidak menjelaskan siapa Ahlul Bayt, sudah tentu ahli rumah sipolan dan sipolan akan menuntut hak tersebut. Walau bagaimanapun Allah azawajalla telah menurunkan perkara itu dalam KitabNya, mengesahkan sabda NabiNya:" Ahlul Bayt, sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan kamu dari kekotoran wahai Ahlul Bayt dan membersihkan kamu dengan sebersih-bersihnya (Q33:33)," dan mereka adalah Ali, al-Hasan, al-Huseinn dan Fatimah AS. Rasulullah S.A.W memasukkan mereka dalam selimut di rumah Umm Salamah, kemudian berkata: Allahumma, sesungguhnya bagi setiap nabi ada Ahlinya dan Thaqlnya dan mereka ini adalah Ahli dan Thaqlku." Apabila Rasulullah S.A.W  wafat, Ali adalah awla kepada mereka kerana Rasulullah S.A.W  telah menjelaskan hal itu dengan menyuruhnya berdiri dan mengangkat tangannya. Dan apabila Ali wafat, beliau tidak akan dan tidak mungkin memasukkan anaknya Muhammad ibn Ali atau al-Abbas ibn Ali atau anak-anaknya yang lain ke dalam (maksud) Ahlul Bayt. Jika beliau berbuat demikian tentulah al-Hasan dan al-Husayn akan berkata: Allah Tabaraka Wa Ta'ala menurunkan hal itu tentang kamu sebagaimana Dia menurunkan hal itu tentang kami. Dia memerintahkan ketaatan kepada kami sebagaimana Dia perintahkan ketaatan kepada kamu. Apabila Ali wafat, al-Hasan adalah orang yang paling awla kerana umur beliau lebih tua. Di saat kewafatannya beliau tidak akan dan tidak mungkin memasukkan anak-anaknya atau beliau berdalilkan ayat Allah AZWJ," Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak di dalam Kitab Allah. (Q:33;6)", menetapkan hak Imamah untuk anak-anaknya. Jika beliau berbuat demikian al-Husayn akan berkata," Allah telah memerintahkan ketaatan kepadaku sepertimana Dia telah memerintahkan ketaatan kepada kamu dan bapa kami dan Rasulullah SAWA menjelaskan kepada orang ramai tentang diri kami seperti juga dia mejelaskan kepada mereka tentang diri kamu dan bapa kami dan Dia menghilangkan kekotoran dari kami seperti juga Dia menghilangkan segala kekotoran dari diri kamu dan bapa kami." Oleh itu apabila hal itu sampai kepada al-Husayn, tidak ada seorangpun dari keluarganya yang menuntut hak Imamah sebagaimana dia boleh menuntut hak tersebut daripada saudaranya atau bapanya, jika mereka hendak memisahkan hak Imamah daripada dirinya tetapi tidak berbuat demikian. Apabila saatnya sampai kepada al-Husein dan hak Imamah terus berjalan menurut tafsiran ayat:" Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak di dalam Kitab Allah." Kemudian ia dipegang oleh Ali ibn Husein selepas al-Husein, dan selepas Ali ibn al-Husein dipegang pula oleh Muhammad ibn Ali. Dan dia (Ja'far al-Sadiq AS) berkata," Kekotoran (al-rijsa) dalam ayat ini membawa maksud ragu-ragu (shakk) dan demi Allah kami tidak pernah ragu-ragu tentang Rabb kami."[Al-Kafi, Kitabul Hujjah, IV, Bab 64, hadith 757-1] 

Kasysyi [Rijal, hlm.418] meriwayatkan ucapan Amr ibn Huraits di hadapan Imam Ja'far al-Sadiq AS, berbunyi:
" Saya hendak melukiskan Din (agama) saya dan apa yang saya percaya, supaya anda dapat mengukuhkan iman saya. Dia saya adalah bahawa saya bersaksi bahawa tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasul dan hambaNya. Saya percaya bahawa kedatangan Hari Pengadilan itu adalah pasti, dan bahawa Allah akan membangkitkan orang-orang yang ada di dalam kubur. Saya percaya ada kewajipan solat, membayar zakat, puasa dalam bulan Ramadhan, dan kewajipan menunaikan ibadah Haji ke Ka'abah bagi yang mampu. Saya bersaksi pada wilayah (kepimpinan) Ali ibn Abi Talib, pemimpin kaum beriman (Amirul Mu'minin) setelah Rasul Allah, semoga Allah melimpahkan rahmat atas keduanya dan wilayah al-Hasan an al-Husayn, wilayah Ali ibn al-Husayn, dan wilayah Muhammad al-Baqir AS, dan sesudahnya wilayah anda (Imam Ja'far al-Sadiq AS). Saya bersaksi bahawa kalian adalah para Imam. Dalam Din ini saya hidup dan dalam Din ini saya mati, serta inilah Din yang dengannya saya menyembah Allah."

Mendengar ini, Imam Ja'far al-Sadiq AS berkata:
" Demi Allah, ini sesungguhnya adalah Dinku dan Din ayah-datukku, yang menyembah Allah secara terbuka dan rahsia, maka takutlah kepada Allah dan jagalah lidahmu dari berkata yang bukan-bukan kecuali hal yang baik-baik."

Nas-nas yang sahih dari Rasulullah S.A.W tentang hak Imamah khusus bagi 12 Imam Ahlul Bayt AS adalah banyak.

Al-Qunduzi al-Hanafi juga telah meriwayatkan hadith daripada Jabir, dia berkata:
" Rasulullah S.A.W bersabda:" Akulah penghulu para Nabi dan Ali adalah penghulu para wasi. Dan sesungguhnya para wasi selepasku ialah dua belas orang, pertamanya Ali dan yang terakhir Qaim al-Mahdi. [Yanabi al-Mawaddah, hlm.445]"
Muslim juga meriwayatkan dalam di dalam hadithnya daripada Nabi S.A.W beliau bersabda:
" Agama sentiasa teguh sehingga hari Qiamat dan dua belas khalifah memimpin mereka, semuanya daripada Quraisy." [Sahih Muslim, hlm.79].

Al-Tirmidzi di dalam Sunannya [Al-Sunan, II, hlm.110] mencatatkan hadith tersebut dengan lafaz amir bukan khalifah. Al-Bukhari di dalam Sahihnya meriwayatkannya daripada Jabir bin Samurah bahawa Nabi S.A.W bersabda:
"Selepasku ialah dua belas amir. Maka beliau berucap dengan perkataan yang aku tidak mendengarnya. Bapaku memberitahuku bahawa beliau bersabda: "Semuanya daripada Quraisy." [Sahih, IV, hlm.120].

Sayyid Hasyim al-Bahrani di dalam Ghayah al-Maram telah menjelaskan hadith dua belas imam sebanyak enam puluh enam riwayat dengan sanad-sanadnya menurut metodologi Ahlul Sunnah wal-Jamaah [Ghayah al-Maram, I, hlm.309].

Di antara kitab-kitab yang menyebut hadith-hadith dua belas khalifah ialah Manaqib Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Syarh Nahj al-Balaghah karangan Ibn Abil Hadid, Musnad Abi Ya'la al-Mansuli, al-Isabah Ibn Hajar al-Asqalani, Dhakha'ir al-Uqba karangan Muhibuddin al-Tabari, Fusul al-Muhimmah Ibn al-Sibagh al-Maliki dan lain-lain lagi.

             Keperibadian Imam Ja'far al-Sadiq AS.

Rujukan sumber sejarah menampilkan bahawa Imam Ja'far al-Sadiq AS sebagai seorang tokoh yang sangat dihormati dan dimuliakan pada zamannya.
Menurut Yakubi bahawa sudah menjadi kelaziman bagi ulama yang menyampaikan sesuatu dari beliau mengatakan:
" Si alim (Imam Ja'far al-Sadiq AS) memberitahu kita."
Bahkan para pakar hukum Madinah iaitu Imam Malik bin Anas (95-179H) diriwayatkan pernah berkata apabila ia mengutip hadith dari Imam Ja'far AS, beliau berkata:
" Si Tsiqah Ja'far ibn Muhammad sendiri mengatakan kepadaku bahawa...."

Imam Malik menceritakan peribadi Imam Ja'far al-Sadiq AS dalam kitab Tahdhib al-Tahdhib, Jilid 2, hlm. 104:
" Aku sering mengunjungi al-Sadiq. Aku tidak pernah menemui beliau kecuali dalam salah satu daripada keadaan-keadaan ini: 1) beliau sedang solat, 2) beliau sedang berpuasa, 3) beliau sedang membaca kitab suci al-Qur'an. Aku tidak pernah melihat beliau meriwayatkan sebuah hadith daripada Nabi S.A.W  tanpa taharah. Beliau seorang yang paling bertaqwa, warak, dan amat terpelajar selepas zaman Nabi Muhammad S.A.W. Tidak ada mata yang pernah, tidak ada telinga yang pernah mendengar dan hati ini tidak pernah terlintas akan seseorang yang lebih utama (afdhal) melebihi Ja'far bin Muhammad dalam ibadah, kewarakan dan ilmu pengetahuannya."

Pada suatu ketika khalifah al-Mansur Abbasiyyah ingin mengadakan perbahasan di antara Abu Hanifah dengan Imam Ja'far al-Sadiq AS. Khalifah bertujuan untuk menunjukkan kepada Abu Hanifah bahawa orang ramai sangat tertarik kepada Imam Ja'far ibn Muhammad kerana ilmu pengetahuannya yan gluas itu. Khalifah al-Mansur meminta Abu Hanifah menyediakan soalan-soalan yang sukar untuk diajukan kepada Imam Ja'afar ibn Muhammad AS di dalam perbahasan itu nanti. Sebenarnya al-Mansur telah merancang untuk menewaskan Imam Ja'far ibn Muhammad AS dengan cara itu dan membuktikan kepada orang ramai bahawa Ja'far ibn Muhammad tidaklah luas ilmunya. Menurut Abu Hanifah," Al-Mansur meminta aku datang ke istananya ketika aku tidak berada di Hirah. Ketika aku masuk ke istananya, aku melihat Ja'far ibn Muhammad duduk di sisi al-Mansur. Apabila aku memandang Ja'far ibn Muhammad, jantungku bergoncang kuat, jasad gementar dan takut menyelubungi diriku terhadap Ja'far ibn Muhammad lebih daripada al-Mansur. Selepas memberikan salam, Mansur memintaku duduk dan beliau memperkenalkanku kepada Ja'far ibn Muhammad. 

Kemudian al-Mansur memintaku mengemukakan soalan-soalan kepada Ja'far ibn Muhammad. Aku pun mengemukakan soalan demi soalan dan beliau menjawab soalan-soalan tersebut satu persatu, mengeluarkan bukan sahaja pendapat ahli-ahli feqah Iraq dan Madinah tetapi juga mengemukakan pandangannya sendiri sama ada beliau menerima atau menolak pendapat-pendapat orang lain itu sehingga beliau selesai menjawab semua empat puluh soalan yang sukar yang telah aku sediakan untuknya.

Abu Hanifah berkata," Tidakkah telah aku katakan bahawa dalam soal ahkam, orang yang paling alim dan mengetahui adalah orang yang mengetahui pendapat-pendapat orang lain?" Lantaran selepas pengalaman itu, Abu Hanifah berkata," Aku tidak pernah melihat seorang ahli fiqah yang paling alim selain Ja'far ibn Muhammad."[Muwaffaq, Manaqib Abu Hanifah, Jilid I, hlm. 173; Dzahabi, Tadhkiratul Huffadz, Jilid I, hlm. 157].

Zaid bin Ali pernah berkata," Sepanjang masa Allah melalui seorang lelaki daripada kami Ahlul Bayt tidak akan mengizinkan manusia memberikan alasan yang mengatakan bahawa mereka tidak mengetahui hukum-hukumNya. Di zaman kami orang itu ialah anak saudaraku, Ja'far; sesiapa yang menentangnya tidak akan mendapat petunjuk." [Manaqib Shar Ashub, Jilid 3, hlm. 147] .

Yakubi meriwayatkan Mansur al-Dawaniqi berkata," Ja'far adalah dari golongan yang Allah firmankan: " Kemudian Kami wariskan Kitab al-Quran itu kepada orang-orang dari hamba Kami yang telah Kami pilih (Surah al-Fathir:32)" Ja'far adalah dari kalangan orang-orang yang telah Allah pilih dan dari kalangan yang melebihi orang lain dalam kebaikannnya. Dari keluarga Nabi SAWA sentiasa ada seorang ulama yang mengetahui hadith-hadith Nabi secara keseluruhan dan mengajarnya kepada orang lain. Pada zaman kami orang itu ialah Ja'far ibn Muhammad." [Tarikh Ya'qubi, Jilid 3, hlm. 117].

Al-Syahrastani mengungkapkan tentang Imam Ja'far al-Sadiq AS:
" Ilmunya sangat luas menyangkut agama dan adab. Ia sangat menguasai falsafah, memperolehi kesolehan besar di dunia dan sepenuhnya menjauhi hawa nafsu. Ia hidup di Madinah cukup lama untuk memberi manfaat yang besara pada aliran yang mengikutinya dan memberikan kepada sahabat-sahabatnya kelebihannya dalam hal ilmu pengetahuan yang tersembunyi..." [Milal, Jilid I, hlm. 166].

Syaikh al-Mufid mencatatkan:
" Al-Sadiq Ja'far ibn Muhammad ibn Ali ibn al-Husayn AS adalah khalifah selepas bapanya Muhammad ibn Ali AS, wasinya, al-qaim bi-al-imammah selepas Muhammad ibn Ali AS. Beliau seorang yang fadl di kalangan mereka, seorang yang paling dimuliakan, tinggi kedudukannya sama ada di kalangan syiah dan bukan syiah. Orang meriwayatkan daripadanya tentang hal ehwal agama. Ulama terpelajar meriwayatkan daripadanya hal ehwal agama dan di kalangan Ahlul Bayt beliaulah orang yang paling banyak meriwayatkan hadith-hadith. Malahan dari kalangan keluarga Nabi S.A.W banyak meriwayatkan hadith-hadith dripada beliau. Ahli-ahli hadith banyak meriwayatkan hadith-hadith yang disandarkan kepadanya."

Imam Ja'far al-Sadiq AS sering berkata:
" Hadith-hadith yang aku keluarkan adalah hadith-hadith dari bapaku. Hadith-hadith dri bapaku adalah dari datukku. Hadith-hadith dari datukku adalah dari Ali ibn Abi Talib, Amirul Mu'minin. Hadith-hadith dari Amirul Mu'minin Ali bin Abi Talib adalah hadith-hadith dari Rasulullah S.A.W dan hadith-hadith dari Rasulullah S.A.W adalah wahyu Allah Azza Wa Jalla."[Al-Kulaini,al-Kafi, Juzuk I, hadith 154-14]

Suasana Politik Pada Zaman Imam Ja'far al-Sadiq AS
Setelah wafat ayahandanya Imam Muhammad al-Baqir AS, Imam Ja'far al-Sadiq menggantikan ayahandanya sebagai Imam kaum Muslimin yang keenam sesuai dengan hadith-hadith yang menetapkannya. Beliau menjadi Imam kaum Muslimin dari tarikh 7 Zul Hijjah tahun 114 Hijrah hingga 15 Rejab 148 hijrah iaitu selama kira-kira 34 tahun. Beliau menjadi Imam ketika berusia kira-kira 31 tahun dan wafat ketika umurnya mencapai 65 tahun. Dengan ini juga bermakna Imam Ja'far al-Sadiq AS dapat hidup melalui zaman keruntuhan Bani Umayyah dan permulaan Dinasti Bani Abbasiyyah.
Zaman remajanya Imam Ja'far al-Sadiq AS melalui zaman khalifah Bani Umayyah yang terdiri daripada al-Walid bin Abdul Malik (86-96H), Sulaiman bin Abdul Malik (96-99H), Umar bin Abdul Aziz 96-101H), dan di zaman awal dewasannya Imam al-Sadiq AS melalui zaman Yazid bin Abdul Malik (101-105H), dan di zaman beliau AS menjadi Imam kaum Muslimin, beliau AS melalui zaman pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (105-125H), Al-Walid bin Yazid (125-126H), Yazid bin Al-Walid (126H), Ibrahim bin Al-Walid (126H), dan Marwan bin Muhammad (127-132H). Seterusnya Imam Ja'far al-Sadiq AS melalui pula zaman awal pemerintahan Bani Abbasiyyah iaitu zaman khalifah al-Saffah dan al-Mansur (136-158H).

Kezaliman Khalifah-khalifah Bani Umayyah
Al-Walid bin Abdul Malik adalah orang yang bertanggungjawab ke atas pembunuhan datuk Imam Ja'far al-Sadiq AS, Imam Ali Zainal Abidin AS pada tahun 95 Hijrah. Al-Walid berasa cemas melihat kedudukan Imam Ali Zainal Abidin AS yang semakin tinggi dan peribadinya yang semakin dicintai rakyat. Al-Walid sangat khuatir kedudukan Imam Ali Zainal Abidin yang akan mengancam kekuasaannya. Maka pada tahun 95H, dengan perantaraan saudaranya Sulaiman bin Abdul Malik, ia mengutuskan seseorang untuk meracunnya secara sulit.

Al-Masudi meriwayatkan:" Walid adalah penguasa yang zalim. Bapanya mencadangkan supaya al-Walid memuliakan Hajjaj bin Yusuf; memakai kulit harimau bintang dan bersedia dengan pedang untuk membunuh sesiapa sahaja yang menentangnya." Al-Walid mematuhi cadangan bapanya itu. Beliau seperti juga bapanya membiarkan al-Hajjaj bertindak sesuka hatinya, membunuh dan menyeksa penentang-penentangnya. Al-Hajjaj membunuh Sa'id bin Jubayr pada zaman al-Walid. 

Tersebut dalam kitab Tarikh Ibn Jawzi bahawa penjara al-Hajjaj hanya terdiri daripada dinding sahaja tanpa bumbung untuk melindungi banduan-banduan daripada panas terik dan dingin. Masudi menulis: " Bilangan orang yang dibunuh oleh al-Hajjaj ialah sebanyak kira-kira 120,000 orang tidak termasuk bilangan yang dibunuh dalam peperangan. Ketika beliau meninggal dunia tedapat kira-kira 50,000 orang lelaki dan 30,000 orang perempuan dalam penjaranya dan 16,000 orang perempuan daripada 30,000 orang tadi dalam keadaan tidak berpakaian." Inilah panglima yang dilantik oleh Abdul Malik bin Marwan bapa al-Walid dan al-Hajjaj inilah yang dimuliakan oleh al-Walid bin Abdul Malik.

Apabila Hajjaj mencapai usia 54 tahun beliau menderita sakit perut yang berlangsung selama 15 hari. Dalam tempoh tersebut dia menyedari kematian sudah menghampirinya. Tabib yang dipanggil untuk merawarnya mengikat secebis daging dan dimasukkan ke dalam tekaknya. Apabila dikeluarkan daging itu, tabib itu mendapati sejumlah ulat yang telah melekat kepadanya. Dalam tempoh penderitaan itu, al-Hajjaj juga mengalami penyakit kesejukan dan mengigil. Al-Hajjaj diletakkan di sisi unggun api yang besar yang mampu membakar kulitnya tetapi dia tidak merasakannya. Al-Hajjaj menghubungi Hasan al-Basri. Hasan al-Basri berkata:" Aku telah menjelaskan kepada kamu supaya jangan mencabul hak hamba-hamba Allah tetapi kamu telah melakukan lebih dahsyat daripada itu." 

Hajjaj berkata:" Aku tidak meminta kamu mengubatiku tetapi aku hanya kamu berbuat sesuatu supaya aku tidak mati secepat mungkin." Al-Hajjaj akhirnya mati juga. Ketika berita kematiannya sampai kepada Hasan al-Basri, beliau lantas bersujud syukur kepada Allah SWT dan berkata:" Wahai Tuhan, sebagaimana Engkau telah mencabut nyawanya maka hentikanlah dasar-dasarnya yang cabul itu." Hajjaj di kuburkan di Wasit. Al-Walid mengatus majlis perkabungan ke atas kematiannya. Allah SWT telah menghina kematian Hajjaj bin Yusuf tetapi al-Walid bin Abdul Malik mahu memuliakannya.

Al-Walid bin Abdul Malik meninggal dunia selepas memerintah selama 9 tahun 1 bulan dan jawatan khalifah kemudian disandang pula oleh saudaranya Sulaiman bin Abdul Malik. Pada masa ini usia Imam Ja'far AS kira-kira 13 tahun. Jawatan Imam kaum Muslimin di pegang oleh ayahandanya Imam Muhammad al-Baqir AS. Di zaman pemerintahan Sulaiman (96-99H), tidak ada apa-apa pembangunan dan kebajikan yang dilakukannya selain daripada membina istana-istana yang cantik untuk mengisi wanita dan jariah yang cantik-cantik bagi keperluan peribadinya. Ahli sejarah tidak begitu banyak mencatat riwayat hidupnya selain daripada beberapa peristiwa kejam yang dilakukannya ke atas pemimpin-pemimpin Islam yang telah berjasa di zaman pemerintahan khalifah-khalifah sebelumnya. Sulaiman bertanggugjawab mengbunuh Muhammad bin Qasim yang telah membuka Sind di India. Beliau turut membunuh Qutaibah bin Muslim yang telah membuka wilayah Khurasan dan sekitarnya. Beliau juga membunuh Musa bin Nusair yang telah membuka Sepanyol. Faktor utama pembunuhan-pembunuhan itu ialah iri hati dan curiga terhadap panglima-panglima itu yang dijangka akana menggulingkannya daripada takhta kerajaan.

Sulaiman bin Abdul Malik meninggal dunia pada hari Jumaat 20 Safar 99 Hijrah dan pada hari yang sama Umar bin Abdul Aziz dilantik menjadi khalifah baru Bani Umaiyyah yang kelapan. Usia Imam Ja'far al-Sadiq AS ketika itu kira-kira 16 tahun. Khalifah Umar bin Abdul Aziz dibesarkan dalam keluarga Bani Umaiyyah yang mencerca Imam Ali AS di atas mimbar pada hari Jumaat. Namun demikian gurunya yang bernama Ubaydullah bin Abd bin Utbah bin Mas'ud adalah pengikut setia Imam Ali AS dan Ahlul Bayt AS tetapi beliau tidak mengisytiharkan pendiriannya itu secara terang-terangan kerana khuatir akan keselamatan nyawanya. Ketika Umar masih kecil, Ubaydullah mendapat kesempatan menjelaskan Umar tentang kebesaran dan kemuliaan Imam Ali AS. Kisah bagaimana cercaan terhadap Imam Ali AS dihentikan oleh Umar bin Abdul Aziz diceritakan oleh Ibn Athir dan Ibn Abil Hadid seperti berikut:
" Aku (Umar bin Abdul Aziz) belajar Qur'an daripada seorang keturunan Atbah bin Masud. Pada suatu hari beliau berjalan melintasi aku ketika aku sedang bermain dengan kawan-kawanku dan mencerca Saidina Ali. Beliau nampak tidak senang apabila menyaksikan hal ini dan terus ke masjid. Aku mengekori beliau ke masjid untuk mempelajari al-Qur'an daripadanya. Guruku tidak memperdulikanku dan memanjangkan solatnya dan nampaknya beliau tidak menyukai perbuatan aku tadi. Aku bertanya kepadanya mengapa beliau tidak menyukai perbuatan aku itu. Beliau bertanya kepadaku:" Adakah kamu juga mencerca Saidina Ali selama ini?" Aku mengiyakannya. Beliau berkata:" Dari mana kamu dapat tahu Saidina Ali dibenci Allah SWT? Aku berkata: " Adakah Ali salah seorang ahli Badar?" Beliau berkata:" Kejayaan Perang Badar adalah untuk Ali." Aku berkata:" Aku tidak akan mencerca Saidina Ali pada masa akan datang." Guruku meminta aku berjanji bahawa aku tidak akan melakukan perbuatan mencerca Saidina Ali pada masa akan datang dan aku pun memenuhi permintaannya itu."

Umar bin Abdul Aziz selanjutnya berkata:" pada Hari Jumaat ayahku berdiri di atas mimbar di Madinah menyampaikan khutbah dan berucap dengan fasihnya. Walau bagaimanapun apabila dia sampai kepada kata-kata cercaan kepada Saidina Ali dia menjadi tergagap-gagap, rendah suara dan mendapati sukar untuk menyatakan cercaan itu. Aku memikirkan hal itu. Pada suatu hari aku bertanya kepada ayahku:" Ayah seorang pemidato yang fasih." Ayahku berkata:" Engkau menyedari perkara itu?" Aku menjawab:" Ya." Ayahku kemudian berkata:" Jika orang-orang Syria dan lain-lain mengetahui kebaikan-kebaikan Ali, mereka tidak akan mentaati kita sebaliknya mereka akan menyebelahi keturunan Ali." Aku ingat kata-kata ini dan kata-kata guruku semasa aku kecil dulu dan aku berjanji kepada Allah Azawajalla seandainya aku menduduki jawatan khalifah, aku akan menghentikan cercaan terhadap Saidina Ali."

Umar bin Abdul Aziz menunaikan janjinya dan melarang cercaan terhadap Saidina Ali di atas mimbar dan memerintahkan ayat berikut dibaca bagi menggantikan cercaan tersebut:" Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Dia melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (Q16:90).

Beliau mengirim arahan tersebut ke seluruh pelusuk kota. Tindakannya ini di ambil sebagai satu tanggungjawab dan seterusnya menjadi amalan dalam masyarakat. Orang ramai memuji Ibn Abdul Aziz kerana tindakan beliau itu.

Umar juga bertanggungjawab memulangkan Tanah Fadak kepada keturunan Fatimah AS. Beliau menyerahkan Tanah Fadak kepada Imam Muhammad al-Baqir AS. Tindakannya itu mendapat kritikan sebahagian Quraish dan orang-orang Syria kerana pada tanggapan mereka Umar telah menyalahi keputusan Abu Bakar dan Umar al-Khattab. Umar bin Abdul Aziz berkata: " Tuntutan Fatimah ke atas Tanah Fadak adalah berasas dan tanah itu adalah miliknya. Fatimah sebagai penghulu wanita di syurga sudah tentu tidak akan membuat tuntutan palsu yang disandarkan kepada Rasulullah S.A.W. Oleh itu dengan tindakan ini aku mengharapkan taqarrub kepada Allah dan NabiNya dan aku mengharapkan syufaat dari Fatimah, Imam Hasan dan Imam Husayn. Seandainya aku berada di pihak Abu Bakar, aku akan menerima permintaan Fatimah dan tidak akan menuduhnya pembohong."

Umar meninggal dunia pada tahun 101 Hijrah. Kemudian jawatan khalifah jatuh ke tangan Yazid bin Abdul Malik. Yazid memegang tampuk pemerintahan selama 5 tahun. Sementara itu ketika itu, usia Imam Ja'far al-Sadiq AS kira-kira 18 tahun. Berbeza dengan Umar bin Abdul Aziz yang adil, sebaliknya Yazid melakukan tindakan-tindakan yang sebaliknya. Beliau menulis surat kepada gabenor-gabenornya supaya kembali ke keadaan asal. Yazid merampas kembali Tanah Fadak. 

Seperti juga Yazid bin Muawiyah, Yazid bin Abdul Malik gemar kepada wanita-wanita dan minum arak. Ibn Abdul Rabbih meriwayatkan bahawa Abu Hamzah melukiskan perwatakan Yazid seperti berikut:" Dia meletakkan Hubabah di sebelah kanannya dan Salamah di sebelah kirinya. Kemudian dia meminta Hubabah menyanyikan lagu untuknya dan Salamah menuangkan arak untuknya. Apabila dia mabuk dia gemar mengoyakkan pakaiannya dan berkata:" Aku mahu terbang. Terbang ke neraka yang menjadi persemadian si penjenayah."

Yazid meninggal dunia pada tahun 105 Hijrah dan digantikan pula oleh Hisyam bin Abdul Malik. Beliau menjalankan dasar yang kejam kepada para pengikut Ahlul Bayt AS. Hisyam memerintahkan golongan syiah dihancurkan. Ramai yang dimasukkkan ke dalam penjara dan juga dibunuh. Beliau merobohkan rumah Kumayt, seorang penyair yang menyokong Ahlul Bayt. Beliau menulis kepada Khalid bin Abdul Malik, gabenor Madinah supaya memenjarakan keturunan Bani Hasyim dan melarang mereka meninggalkan kota. Imam Muhamad al-Baqir wafat pada tahun 114 Hijrah akibat diracun oleh Ibrahim ibn Walid ibn Abdullah, anak saudara Hisyam bin Abdul Malik. Pada tahun 121 Hijrah Zaid bin Ali Zainal Abidin AS melakukan gerakan jihad menentang rejim Hisyam yang zalim itu. Walau bagaimanapun Zaid terbunuh bersama ramai pengikut-pengikutnya. Berita syahidnya Zaid disampaikan kepada Imam Ja'far al-Sadiq AS. Imam amat dukacita apabila mengetahui kejadian tersebut. Imam segera mengirimkan wang seribu dinar kepada keluarga pengikut-pengikut Zaid yang terkorban.

Selepas peristiwa penentangan Zaid, Hisyam memerintahkan agar seluruh keluarga Abu Talib, terutamanya para pemukanya harus menjauhkan diri dari sebarang pemberontakan dan mengutuk para pemimpinnya. Di antara mereka ialah Abdullah bin Muawiyah dan Abdullah al-Mahdi tetapi nama Imam Ja'far al-Sadiq AS tidak disebut. Putra Zaid bernama Yahya meneruskan perjuangan ayahnya tetapi setelah tiga tahun bergiat di Khurasan, usaha Yahya itu gagal seperti juga ayahnya. Beliau terkorban ketika menentang khalifah Walid bin Yazid (125-126 Hijrah).

Setelah kematian al-Walid bin Yazid pada tahun 126 Hijrah, Abdullah al-Mahdi bersama kelompoknya memutuskan untuk bertindak. Pada waktu menunaikan Haji di Mekah, Abdullah al-Mahdi mengundang kerabatnya dan para pengikutnya untuk membai'ah putranya Muhammad bin Abdullah. Pembai'ahan itu pertama kali dilakukan di Masjidil Haram dan kemudian di al-Abwa dekat Madinah. Menurut Abu Faraj, di antara yang mengangkat sumpah adalah tiga Abbasiyyah bersaudara iatu Ibrahim al-Imam, Abul Abbas al-Saffah dan Abu Ja'far al-Mansur serta anggota lain dari keluarga Abbasiyyah. Walau bagaimanapun, Al-Tabari hanya menyebut nama Abu Ja'far al-Mansur sahaja yang mengangkat sumpah membaiah Muhammad bin Abdullah.

Pada tahun 129 Hijrah, sepucuk surat yang dikirimkan oleh Ibrahim bin Muhammad kepada Abu Muslim al-Khurasani di Khurasan jatuh ke tangan Marwan bin Muhammad (127-132H). Surat itu menekankan supaya bersikap keras terhadap sesiapa sahaja yang didapati menentang atau cuba mematahkan gerakan mendirikan Kerajaan Abbasiyyah. Walau bagaimanapun Ibrahim dapat ditangkap dan kemudian diseret ke Damsyik dan seterusnya di hantar ke Harran untuk dipenjarakan. Ibrahim al-Imam meninggal dunia dalam penjara. Sebelum meninggal dunia, beliau sempat mewasiatkan supaya jawatan kepimpinan diserahkan kepada saudaranya Abdullah Abu al-Abbas. Kufah hendaklah dijadikan pusat gerakan mereka. Beliau meminta supaya Abu al-Abbas bersama dengan sebilangan keluarga mereka berangkat ke Kufah. Justeru, Abu al-Abbas, Abu Ja'far Abdullah dan empat belas keluarga itu meninggalkan al-Humaimah menuju Kufah.

Wakil Abbasiyyah di Kufah ialah Abu Salamah al-Khallal. Pada saat ini Abu Salamah memikirkan untuk membatalkan baiahnya terhadap Abbasiyyah kerana beliau berasa terikat kesetiaannya kepada Ibrahim al-Imam dan bukan kepada saudaranya Abu al-Abbas. Menurut al-Tabari, apabila kematian Ibrahim al-Imam sampai ke Kufah, Abu Salamah berniat untuk mendirikan Imamah Alawiyah. Dikatakan beliau menulis surat kepada Imam Ja'far al-Sadiq AS, Abdullah al-Mahdi dan Umar bin Ali Zainal Abidin, meminta mereka datang ke Kufah dan beliau akan mendokong Imamah mereka. Imam Ja'far al-Sadiq AS menolak tawaran tersebut. Ketika utusan itu menyerahkan surat tersebut kepada Imam al-Sadiq AS, Imam meminta lampu lalu membakar surat tersebut dan berkata kepada pemgirim surat itu:" Katakan kepada majikanmu itu apa yang telah kamu saksikan." Abdullah al-Mahdi meneriwa tawaran itu. Lalu Imam Ja'far al-Sadiq AS dilaporkan memperingati Abdullah dengan nada keras supaya " tidak melibatkan dan membahayakan jiwanya dan anaknya dalam politik itu kerana Abu Salamah bukan syiah kita dan orang Khurasan bukan pengikut kita."

Pendirian Imam J'afar al-Sadiq AS tentang perjuangan tersebut adalah jelas dalam satu pertemuan di Abwa. Imam al-Sadiq AS terang-terang menolak dakwaan "al-Mahdi" itu. Malahan Imam al-Sadiq AS meramalkan kematian dua bersaudara itu (Muhammad bin Abdullah dan Ibrahim) di tangan al-Mansur.
Syeikh al-Mufid telah meriwayatkan peristiwa pertemuan di Abwa dan penolakan Imam Ja'far al-Sadiq AS seperti berikut:" Sekumpulan Bani Hasyim bertemu di Abwa. Di antara mereka ialah Ibrahim bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas dan Abu Ja'far al-Mansur, Salih bin Ali, Abdullah bin al-Hasan dan dua orang anaknya Muhammad dan Ibrahim dan Muhammad bin Abdullah in Amr bi Uthman. Salih bin Ali berkata kepada mereka:" Kamu semua mengetahui bahawa kamu semua adalah orang-orang yang mereka hormati dan Allah telah membawa kamu semua berkumpul di sini. Justeru, berilah baiah kepada salah seorang daripada kamu dengan sepenuh jiwa kamu. Ikatkan diri kamu supaya Allah akan memberikan kemenangan kerana Dia sebaik-baik pemberi kemenangan."
Abdullah bin Hasan memuji-muji Allah dan kemudian berkata:" Kamu semua tahu bahawa anakku adalah al-Mahdi. Lantaran itu marilah kita semua memberi baiah kepadanya."

"Mengapa kamu semua membohongi diri kamu sendiri?" Tanya Abu Ja'far al-Mansur. Demi Allah kamu semua mengetahui bahawa tidak ada sesiapa yang akan dikuti oleh orang ramai selain orang ini," maksudnya Muhammad bin Abdullah. "Benar," Jawab mereka, "Inilah orang yang kami terima." Oleh itu mereka semua memberikan baiah kepada Muhammad.

Ja'far bin Muhamad AS tiba dan Abdullah bin al-Hasan meminta Imam J'afar al-Sadiq AS duduk di sisinya. Abdullah mengulangi apa yang telah dikatakannya sebelum ini. Namun demikian, Ja'far al-Sadiq AS berkata: " Jangan lakukan perkara itu. Masa datangnya al-Mahdi belum tiba. Jika kamu (Abdullah) menganggap anakmu Mahdi, sebenarnya bukan, ataupun masa ini bukannya masa al-Mahdi. Hal ini kerana kamu dan saudara tua kami yang kami hormati, kami tidak akan mengabaikan kamu semata-mata untuk kepentinga baijah kepada anak kamu, walaupun sekiranya kamu hanya mahu bangkit demi kerana kemarahan di jalan Allah, amar ma'aruf da nahi mungkar."
Abdullah menjadi marah dan berkata:" Aku faham pertentangan dalam kata-kata anda. Demi Allah, Allah tidak akan memberikan anda ilmu ghaib tetapi itu hanyalah semata-mata kerana rasa irihati kepada abakku yang menyebabkan anda bersikap demikian.

"Demi Allah, bukan itu tujuanku," Jawab Imam Ja'far al-Sadiq AS, " tetapi orang ini saudaranya dan anak-anaknya." Kemudian beliau menyentuh belakang tubuh Abu al-Abbas dan memegang belakang tbuh Abdullah b al-Hasan. "Demi Allah, kekhalifahan bukan untuk anda atau kedua anak anda tetapi ia adalah untuk mereka (Abbasiyyah). Kedua anak anda akan terbunuh." Beliau AS berdiri dan bersandar di bahu Abd al-Aziz bin Imran al-Zuhri, beliau AS menyambung," Tidakkah anda melihat pemilik jubah kuning?" (maksudnya al-Mansur). "Ia," dia menjawab. "Demi Allah," beliau AS berkata," kami melihat pada suatu hari dia (Abu Ja'far al-Mansur) akan membunuhnya (Muhammad bin Abdullah)." "Adakah di akan membunuh Muhammad?" Tanya Abdul Aziz kepada Imam al-Sadiq AS. "Benar," beliau AS menjawab. Abdul Aziz melaporkan:" Aku berkata kepada diriku: "Demi Tuhan Ka'abah, dia irihati kepadanya." Tetapi, tidak lama kemudian, demi Allah, aku belum lagi kembali ke rahmatullah dan aku menyaksikan (Abu Ja'far al-Mansur) membunuh mereka berdua."

Apabila J'afar al-Sadiq AS berkata demikian, orang ramai pun bersurai. Abd al-Samad dan Abu Ja'far mengekori al-Sadiq AS dan bertanya," Abd Allah, adakah anda benar-benar bermaksud demikian?" "Ia," jawab beliau," Demi Allah aku benar-benar menyatakan hal itu dan aku mengetahuinya."
Perlantikan Muhammad bin Abdullah al-Mahdi sebagai khalifah bayangan yang pertama adalah suatu helah politik golongan Abbasiyyah semata-mata untuk menarik sokongan orang-orang Alawiyyah. Apabila pemerintah Bani Umayyah terakhir dikalahkan pada tahun 132 Hijrah, Abu Salamah berhasrat untuk menegakkan kerajaan Alawiyah dan menyingkirkan golongan Abbasiyyah. Golongan Abbasiyyah lantas segera mengisytiharkan Abdullah Abu al-Abbas sebagai khalifah yang pertama. Dengan perlantikan itu jawatan khalifah telah tersingkir dari golongan Alawiyyah.

Pemerintahan Bani Abbasiyyah.
Abu al-Abbas dilantik sebagai khalifah pada tahun 132 Hijrah. Abu al-Abbas menyerahkan tugas menghapuskan Marwan bin Muhammad, pemerintah Bani Umayyah terakhir kepada bapa saudaranya Abdullah bin Ali. Setelah pertempuran yang hebat d tebing Sungai Zab, anak Sungai Tigris, Dinasti Umaiyyah mengalami kekalahan. Marwan melarikan diri ke Palestin dan kemudian ke Mesir. Di sana beliau dibunuh pada 27 Dzul Hijjah 132 Hijrah.
Abu Salamah kemudian turut dibunuh oleh khalifah Abu Abbas al-Saffah kerana sikap pro-Alawiyyahnya.

Pemerintahan al-Saffah berlangsung selama empat tahun. Pada zamannya, ramai penyokong Bani Umaiyyah dibunuh. Pembunuhan berlaku di kota-kota besar seperti Mekah, Madinah, Kufah dan lain-lain lagi. Imam Ja'far al-Sadiq AS pula di bawa ke Hirah, Iraq. Al-Saffah memaksa Imam al-Sadiq AS tinggal di Hirah di bawah pengawasannya. Tidak lama kemudian Imam al-Sadiq AS dibenarkan kembali ke Madinah.

Selepas kematian al-Saffah, Abu Ja'far bin Muhammad al-Mansur pula menaiki takhta. Beliau menahan Imam Ja'fart al-Sadiq AS dan membawanya ke Samarra dan akhirnya dizinkan kembali ke Madinah.

Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah menolak baiah kepada al-Manusr. Akibatnya, pada tahun 140 Hijrah, al-Mansur memutuskan memaksa al-Nas al-Zakiyyah dan saudaranya Ibrahim membaiahnya. Perintah dikeluarkan untuk menangkap Abdullah al-Mahdi dan pemuka-pemuka Alawiyyah yang lain. Gerakan al-Nafs al-Zakiyyah mendapat sokongan ahli Hadith Madinah. Malik bin Anas memberi fatwa bahawa baiah yang diberikan kepada al-Mansur adalah tidak sah kerana ia dilakukan secara paksa. Pertempuran berlaku di antara al-Nafs al-Zakiyyah dan tentera al-Mansur pada tahun 145 Hijrah. Hasilnya pasukan al-Nafs al-Zakiyyah ditumpaskan dan Muhammad sendiri terbunuh. Selepas kegagalan al-Nafs al-Zakiyyah, saudaranya Ibrahim mengumpulkan penyokong-penyokongnya di Basrah. Masyarakat Kufah dan Basrah menyokong gerakan yang dipimpin oleh Ibrahim itu. Abu Hanifah yang pada suatu ketika dulu mengeluarkan fatwa menyokong gerakan Zaid bin Ali menentang khalifah Hisham bin Abdul Malik, kini turut mengeluarkan fatwa yang menyokong perjuangan Ibrahim menentang al-Mansur. Walau bagaimanapun gerakan Ibrahim turut menemui kegagalan. Ibrahim sendiri terbunuh bersama-sama pengikut-pengikutnya.

Pada zaman pemerintahan al-Mansur, Imam Ja'far al-Sadiq AS mengarahkan para pengikutnya berdiam diri dan menunjukkan sikap patuh kepada al-Mansur. Imam AS berpesan:" Hendaklah kamu semua berdiam diri dan menunjukkan sikap patuh kerana kamu sedang berada di bawah penguasaan seorang raja yang mempunyai tipu daya yang kerananya gunung pun boleh runtuh."

Walau bagaimanapun, al-Mansur tidak berpuas hati dengan sikap Imam AS dan para pengikutnya itu kerana mereka semua menganggap Imam Ja'far al-Sadiq AS sebagai Imam kaum Muslimin dan bererti kedudukannya lebih tinggi daripada al-Mansur. Muhammad Asqanturi berkata:" Aku pergi menemui al-Mansur dan mendapati beliau sedang berfikir. Aku bertanya kepada beliau mengapa beliau murung demikian?" Mansur menjawab:" Aku telah membunuh lebih daripada seribu keturunan anak perempuan Muhammad tetapi aku masih belum membunuh pemimpin mereka." Mansur berkata:" Aku tahu engkau menganggapnya sebagai Imam dan percaya dia itu adalah Imam kepada diriku, Imam engkau dan Imam seluruh dunia. Walau bagaimanapun aku harus menemuinya sekarang."

Riwayat di atas menunjukkan dendam al-Mansur kepada Imam J'afar al-Sadiq AS. Lebih-lebih lagi ajaran Imam Ja'far al-Sadiq AS telah berkembang pesat pada ketika itu dan dikatakan seorang daripada wazir al-Mansur yang bernama Rabi' adalah seorang syiah. Di dalam al-Iqdul Farid diriwayatkan bahawa pada suatu ketika al-Mansur sampai ke Madinah dalam perjalanannya untuk ke Mekah, beliau meminta Rabi' mengundang Imam Ja'far al-Sadiq AS menemuinya. Beliau berkata," Semoga Allah membunuhku jika aku tidak membunuhnya." Rabi' sengaja melambat-lambatkan undangan itu tetapi akhirnya terpaksa menunaikan perintah atas perintah al-Mansur. Kemudian beliau menjemput Imam untuk bertemu dengan al-Mansur. Ketika Imam sampai, mulutnya seperti mengucapkan sesuatu. Beliau mendekati al-Mansur dan memberikan salam. Al-Mansur berkata: " Wahai Allah! Semoga engkau dihinakan. Engkau telah membuat angkara di wilayah-wilayahku. Semoga Allah membunuhku jika aku tidak membunuh engkau."

Imam Ja'far al-Sadiq AS berkata:" Nabi Sulaiman mendapat takhta kerajaan dan beliau bersyukur kepada Allah. Nabi Ayyub mengalami penderitaan tetapi beliau menghadapinya dengan tabah. Nabi Yusuf ditindas dan beliau memaafkan si penindas. Kamu menggantikan mereka dan amat patut kamu mengikuti jejak mereka."

Al-Mansur kemudian mengangkat kepalanya lalu berkata," Kamu lebih dekat kepada kami dan kerabat kami yang paling hampir daripada suku-suku lain." Beliau lalu memeluk Imam AS dan mendudukkannya di atas permaidani dan memulakan percakapan. Selepas itu beliau memerintahkan," Bawakan hadiah dan pakaian untuk Sadiq..."

Apabila Imam yang suci itu keluar dari situ, Rabi mengekori dari belakang dan berkata," Selama tiga hari saya mempertahankan anda dan melakukan apa sahaja untuk menyelamatkan anda. Apabila anda menemui al-Mansur aku melihat bibirmu bergerak-gerak dan tiba-tiba dia tidak dapat berbuat apa-apa yang menyakitimu. Sebagai seorang yang bekerja untuk raja, saya amat memerlukan doa yang anda bacakan itu. Imam berkata," Katakan: Wahai Allah! Lindungi aku dengan mataMu yang tidak tidur, peliharakan diriku dengan kekuasaaanMu yang tidak akan menjadi sasaran kebinasaan, yang memungkinkan diriku tidak binasa, kerana Engkaulah segala harapanku yang ditujukan. Wahai Tuhanku! Ampunkan diriku, justeru Engkau telah mengurniakan diriku pemberian-pemberian yang melimpah, yang aku tidak dapat membalasnya, walaupun demikian Engkau tetap tidak menarik balik segala pemberian-pemberian itu dan banyaklah bencana yang menimpa diriku yang aku tertakluk olehMu, tetapi aku kurang kesabaran. Wahai Tuhan! Peliharakanlah diriku dengan keselamatan daripda tipudaya dengan bantuanMu dan kekuasaanMu dan aku memohon perlindungan dalam rahmatMu daripada kejahatan."

Syaikh al-Mufid meriwayatkan kisah yang sama dalam versi yang lebih panjang seperti berikut:
" Al-Mansur memerintahkan Rabi' membawa Abu Abdillah Ja'far AS menemuinya. Dia (Rabi') membawa Imam Ja'far AS mengadap al-Mansur. Apabila al-Mansur melihatnya, dia berkata," Semoga Allah membunuhku, jika aku tidak membunuh kamu. Kamu cuba mengancam kekuasaanku dan kamu cuba mengkhianatiku."
" Demi Allah, tidak demikian, " balas Abd Abdillah AS.
" Aku juga tidak bermaksud demikian. Jika anda telah diberitahu demikian, itu adalah satu pembohongan. Walau bagaimanapun, jika memang aku telah melakukan demikian, Nabi Yusuf telah dilayan dengan buruk dan beliau memaafkannya, Nabi Ayub menderita dan beliau bersabar, dan Nabi Sulaiman menerima anugerah kekayaan dan beliau bersyukur. Orang-orang ini adalah Nabi-nabi dan keturunanmu bersambung dengan mereka."
" Memang benar, " balas al-Mansur. " Marilah ke sini."
Imam bangun dan duduk di sisi al-Mansur dan kemudian al-Mansur menyambung:" Sipolan bin sipolan telah melaporkan kepadaku tentang apa yang telah anda katakan."
" Bawa dia ke sini Amirul Mukminin," Imam menjawab," supaya dia boleh berhujah denganku tentang perkara itu."
Lelaki berkenaan dibawa ke hadapan mereka dan al-Mansur mengemuka soalan kepadanya:
" Adakah engkau benar-benar mendengar apa yang telah engkau laporkan kepadaku tentang Ja'far?"
Ia, benar," lelaki itu menjawab.
" Bersumpahlah," kata Abd Abdillah AS.
" Adakah engkau sanggup bersumpah untuk itu?" kata al-Mansur.
" Aku bersumpah," jawab lelaki itu.
" Katakan: Aku berlepas diri dari kekuasaan Allah dan kekuatanNya dan aku berlindung kepada kekuasaan dan kekuatanku sendiri jika aku berbohong tentang Ja'far yang telah melakukan hal-hal tersebut dan telah berkata seperti yang telah aku laporkan," kata Abd Abdillah.

Lelaki itu diam sejenak dan kemudian melafazkan sumpah sepertimana yang diajarkan oleh Imam Ja'far AS tetapi tidak sampai beberapa detik kemudian, kakinya menjadi kaku (mati).
" Heret dia keluar, semoga Allah melaknatinya," seru Abu Ja'far al-Mansur.

Al-Rabi' melaporkan:" Apabila Ja'far bin Muhammad AS menemui al-Mansur aku menyaksikan kedua bibirnya bergerak-gerak. Apabila kedua bibirnya digerakkan, kemarahan al-Mansur menjadi reda, justeru, apabila Imam Ja'far AS mendekatinya, beliau (al-Mansur) kelihatan menyukainya. Apabila Abd Abdillah AS keluar dari majlis itu, aku mengekorinya dari belakang dan berkata kepadanya:" Orang tadi (al-Mansur) adalah orang yang paling marah terhadap anda. Apabila anda masuk ke dalam, anda mengerak-gerakkan kedua bibir anda dan ketika kedua bibir anda bergerak-gerak, marahnya menjadi reda. Dengan perkataan apakah anda mengerakkan kedua bibir anda tadi?"
" Dengan doa datukku al-Husayn bin Ali AS," beliau menjawab.
" Semoga diriku menjadi tebusanmu," aku berkata," Apakah doa itu?"

Beliau memberitahuku:
" Wahai Yang Memeliharaku di saat kesusahan, Wahai Penolongku ketika menghadapi bencana, lindungi diriku dengan mataMu yang tidak tidur, lindungi diriku dengan bentengMu yang tidak boleh ditembusi (oleh sesiapa)."

 Al-Rabi' melaporkan:" Aku mempelajari doa itu dan tidak pernah menghadapi saat kesusahan."
Pada ketika itu, aku bertanya kepada Ja'far bin Muhammad AS:" Mengapa anda melarang pembohong itu daripada bersumpah dengan nama Allah?"
" Aku menahannya (daripada bersumpah dengan nama Allah) kerana Allah SWT akan menyaksikan lelaki itu memuji KeesaanNya dan memuliakanNya," beliau menjawab, " kerana hal itu Dia akan menangguhkan hukuman ke atasnya. Oleh yang demikian, aku memintanya bersumpah dengan cara yang engkau dengar tadi dan Allah menimpakan bala yang dahsyat ke atasnya (pada saat itu juga)."

Sebelum peristiwa itu berlaku, Imam J'afar al-Sadiq AS dituduh memungut zakat untuk diberikan kepada Muhammad al-Mahdi yang menentang al-Mansur. Imam al-Sadiq AS juga dituduh menyokong pemberontakan Muhammad bin Abdullah dan saudaranya Ibrahim bahkan Imam Ja'far AS juga dituduh sebagai dalang di belakang pemberontakan tersebut. Pada hakikatnya semua tuduhan-tuduhan itu tidak benar. Walau bagaimanapun al-Mansur telah menggunakan ancaman yang keras dalam penyiasatannya terhadap Imam Ja'far al-Sadiq AS. Al-Mansur tidak memperdulikan sinar hidayah, kebaikan, kehormatan kerabat, silaturahim dan darjat ilmu Imam Ja'far al-Sadiq AS. Pada suatu ketika dialog antara Al-Mansur dengan  Imam AS. Imam Al-Sadiq AS dipanggil ke istana al-Mansur kerana beliau AS dituduh menulis surat kepada penduduk Khurasan supaya membatalkan baiah kepada al-Mansur:
" Engkau ini wahai Ja'far tidak pernah memadamkan hasad dengkimu dan pencerobohanmu terhadap Ahlul Bayt Bani Abbas dan kamu merosakkan harta mereka. Dengan demikian Allah SWT menambahkan lagi perasaan hasad dengki dalam hatimu dan dengannya engkau sampaikan apa yang telah kamu mampu membuatnya."
Al-Imam al-Sadiq AS menjawab:
" Demi Allah SWT wahai Amirul Mukminin. Aku tidak membuat sesuatu daripada apa yang kamu katakan. Di zaman kekuasaan Bani Umaiyyah, pada hal kamu tahu mereka itu adalah manusia yang paling memusuhi kami dan kami tahu sesungguhnya mereka itu tidak berhak di dalam pemerintahan ini, namun demikian demi Allah SWT aku tidak pernah memberontak terhadap mereka dan mereka tidak pernah menerima sebarang gangguan dariku. Bagaimanakah kini aku membuat semua ini padahal engkau adalah sepupuku, kerabatku yang paling dekat, yang paling pemurah dan paling ikhsan kepada kami? Bagaimanakah aku boleh berbuat sedemikian rupa?"
Lalu al-Mansur terdiam seketika. Kemudian dia menyambung lagi:
" Wahai Ja'afar, tidak malukah engkau dengan usiamu yang tua ini, dengan nasab keturunan ini, tetapi bercakap perkara yang batil, memecahbelahkan kekuatan Muslimin, bercita-cita untuk menumpahkan darah dan menyebarkan fitnah di kalangan rakyat jelata dan wali Allah SWT?"
Imam Ja'far al-Sadiq AS berkata:
" Tidak demi Allah SWT! Wahai Amirul Mukminin! Aku tidak berbuat demikian. Ini bukan suratku, bukan tulisanku dan bukan cop moho cincinku."

Lantas Al-Mansur menghunus pedangnya dan menyoal Imam AS bertalu-talu. Imam Ja'far AS tetap menafikan segala tuduhan tersebut. Kemudian al-Mansur memasukkan pedangnya semula ke dalam sarung. Lantas diam seketika dan kemudian berkata:
" Aku menyangka bahawa engkau memang benar."

Demikianlah bagaimana Ja'far al-Sadiq AS menjawab segala tuduhan itu dengan lembut dan bernas tetapi al-Mansur berkata kepadanya dengan bahasa yang kasar dan keras.

Doktrin taqiyyah merupakan ajaran Ahlu Bayt AS yang bertujuan untuk memelihara diri dan yang lebih penting untuk menjamin ikhtiar hidup Islam yang dibawa oleh Ahlul Bayt AS. Lantaran ini Imam al-Sadiq AS mengarahkan para pengikutnya mengamalkan taqiyyah pada keadaan-keadaan yang menuntut taqiyyah. Taqiyyah menjadi haram jika ia menyebabkan jiwa orang lain terancam. Al-Kulaini meriwayatkan dalam al-Kafi bahawa Imam Ja'far al-Sadiq AS berkata kepada Mua'lla ibn Khunays,"
Peliharalah urusan kami dengan segala rahsia dan janganlah engkau membocorkannya di khalayak ramai, kerana barang siapa merahsiakan dan tidak mendedahkannya, Allah akan memuliakan dirinya di dunia dan dijadikanNya nur di antara kedua matanya di akhirat, memandunya ke syurga. Wahai Mua'lla! Barang siapa yang membocorkan urusan kami di khalayak ramai dan tidak menyembunyikannya, Allah akan menghinakannya di dunia dan akan menarik balik nur di antara kedua matanya di akhirat, dan akan dijadikanNya kegelapan untuknya yang akan membawanya ke neraka. Wahai Mu'alla, sesungguhnya taqiyyah adalah Dinku dan Din bapaku dan seseorang yang tidak mengamalkan taqiyyah tidak mempunyai Din. Wahai Mu'alla, Allah menyukai seseorang yang beribadat secara sirr (sembunyi) sebagaimana juga Dia menyukai seseorang yang beribadat secara terang-terangan. Wahai Mu'alla barang siapa yang mendedahkan urusan kami, ia adalah seperti orang yang tidak mempercayainya."

Doktrin taqiyyah memang mempunyai dasar dalam al-Qur'an Al-Qur'an surah 16:106, bermaksud:" Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah beriman (dia mendapat kemurkaan Allah) kecuali orang yang terpaksa padahal hatinya tetap dalam iman."

Namun demikian, Mu'alla sendiri telah dibunuh oleh Dawud bin Urwah kerana keenggannya mendedahkan nama-nama orang Syiah. Kisahnya sebagaimana dicatatkan oleh Muhammad Jawad Mughniyyah seperti berikut:
"Mu'alla bin Khunays adalah di antara orang-orang yang rapat dengan Imam Ja'far al-Sadiq AS. Beliau menguruskan hal ehwal kewangan Imam Ja'far AS yang suci itu. Mansur menulis kepada Dawud bin Urwah, gabenor Madinah, memerintahkan supay Mu'alla dibunuh. Dawud memanggil Mu'alla dan berkata kepadanya:
" Tuliskan nama-nama orang syiah yang engkau ketahui. Sekiranya engkau tidak mahu memberikan kerjasama, aku akan pancung kepalamu."
" Mu'alla berkata:" Adakah engkau akan mengancam aku dengan kematian? Aku bersumpah dengan nama Allah seandainya salah seorang nama mereka berada di bawah tapak kakiku, aku tidak akan mengangkat kakiku itu."
Dawud kemudian memenggal kepala Mu'alla dan menggantungnya.

Di kalangan pengikut-pengikut Imam AS, taqiyyah diamalkan sesuai dengan ajaran Ahlul Bayt AS. Al-Kulaini meriwayatkan dari Abi Khalid Shaynulah (beliau) berkata:
" Aku bertanya Abu Ja'far al-Thani AS (Muhammad al-Taqi AS),semoga diriku menjadi tebusanmu, pemimpin-pemimpin kami dalam hadith-hadith meriwayatkan dari Abu Ja'far AS (Muhammad al-Baqir AS) dan Abu Abdillah AS (Ja'far al-Sadiq AS) dan pada masa itu mereka terpaksa bertaqiyyah. Mereka lazimnya menyembunyikan tulisan-tulisan mereka dan seterusnya kitab-kitab ini tidak pernah dijadikan petikan (dalam meriwayatkan hadith-hadith). Sekarang mereka telah meninggal dunia dan kitab-kitab yang tersembunyi itu telah kami temui. Mendengar ini, Imam AS berkata:
"Riwayatkan dari kitab-kitab tersebut kerana kitab-kitab tersebut adalah benar."

Imam Ja'far al-Sadiq AS dan Ulama Fiqh .

Dua orang tokoh ulama fiqh yang hidup sezaman dengan Imam al-Sadiq AS ialah Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Imam Ja'far al-Sadiq AS lebih awal wafat dari kedua-duanya. Abu Hanifah adalah pengasas madzhab Hanafi. Abu Hanifah banyak menggunakan qias bi ra'y dalam hukum-hukum fiqh. Imam Ja'far al-Sadiq AS tidak sependapat dalam hal ini kerana beliau AS tidak menerima qias sebagai satu kaedah fiqh. Suatu ketika Abu Hanifah datang menemui Abu Abdillah AS dan beliau AS mengemukakan soalah kepada Abu Hanifah," Wahai Abu Hanifah, telah sampai kepadaku bahawa anda menggunakan qias? Abu Hanifah menjawab," Benar, aku melakukannya." Imam AS kemudian berkata," Tidak boleh menggunakan qias dalam soal hukum kerana yang paling awal menggunakan qias adalah iblis, bila dia berkata," (Wahai Allah) Engkau menjadikan daku daripada api dan Engkau menjadikan Adam daripada tanah, oleh itu Iblis mengqiaskan api dengan tanah. Jika iblis membandingkan nuriyyah (cahaya) Adam dengan nuriyyah api dia akan mengetahui yang mana lebih afdal di antara kedua-duanya, dia akan mengetahui yang pertama itu lebih jernih daripada lainnya."

Pada suatu kesempatan lain Imam Ja'far al-Sadiq AS menjelaskan:
" Barang siapa yang menegakkan qias ke atas dirinya, tidaklah ia terlepas daripada menempuhi kekeliruan dan keraguan. Dan barang siapa yang mengikut pendapatnya sendiri dalam agama Allah, tidaklah ia terlepas daripada kekal sentiasa dalam keraguan-keraguan."
" Abu Ja'far AS berkata," Barang siapa memberikan fatwa kepada manusia dengan berdasarkan pendapatnya sendiri (bi ra'y) maka sesungguhnya ia telah mengikut agama Allah dengan apa yang ia tidak ketahui. Dan barang siapa mengikut agama Allah dengan tidak ada pengetahuan ke atasnya, maka sesungguhnya ia telah bercanggah dengan kehendak Allah SWT kerana ia telah mengisytiharkan itu halal dan yang ini haram tanpa mengetahui kedudukan yang sebenarnya."

Kaedah Abu Hanifah itu jelas bertentangan dengan pendapat Imam Ja'far al-Sadiq AS. Imam berpendapat Kitabullah dan Sunnah Rasul S.A.W adalah lengkap dan sempurna. Ijtihad hanya mengikut al-Qur'an dan Sunnah Rasul S.A.W. Oleh itu ijtihad bi ra'y (ijtihad dengan pendapat sendiri) tidak dibenarkan. Imam al-Sadiq AS berkata:
" Tidak ada sesuatu perkara pun yang menjadi perbalahan di antara dua orang tetapi penyelesaiannya pasti boleh didapati dalam Kitabullah Azza Wa Jalla, walau bagaimanapun akal manusia tidak cukup tajam untuk sampai kepadanya." Beliau berkata lagi:
" Tidak ada sesuatu perkarapun yang wujud tetapi semuanya telah dijelaskan dalam Kitabullah dan al-Sunnah." Dalil al-Qur'an:
"Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan khabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." [al-Qu'ran: 16:89]

Dalam surah 6:38, Allah SWT berfirman, bermaksud:
" Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab (al-Qur'an)."

Kononnya dikatakan Abu Hanifah sudah menerima seluruh ajaran Imam al-Sadiq AS kecuali tiga pendapatnya yang bertentangan dengan pendapat Imam al-Sadiq AS. Pertama, Imam al-Sadiq AS berpendapat bahawa kebaikan itu berasal dari Tuhan, sedangkan kejahatan berasal dari perbuatan manusia sendiri. Abu Hanifah berpendapat bahawa segala yang baik dan jahat itu berasal dari Tuhan. Kedua Imam Ja'far AS berpendapat bahawa syaitan itu dibakar dalam api neraka pada Hari Qiamat. Abu Hanifah berpendapat api tidak dapat membakar api dan syaitan itu dicipta dari api. Ketiga, Imam Ja'far AS mengatakan bahawa melihat Tuhan di dunia dan akhirat mustahil. Abu Hanifah berpendapat setiap maujud mungkin melihat Tuhan jikalau tidak di dunia ia akan melihat nanti di akhirat. Kononnya perdebatan ini didengar oleh penganut-penganut ajaran Imam Ja'far AS bersemangat, lalu melempar kepala Abu Hanifah dengan sebiji bongkah tanah dari tembok. Tatkala orang itu ditanya mengapa, ia menjawab, bahawa ia tidak berbuat kejahatan itu, dan kejahatan itu datangnya dari Tuhan dan bukannya dari manusia dan bukan dari ikhtiyar, bahawa ia tidak dapat menyakitkan Abu Hanifah dengan bongkah itu kerana Abu Hanifah dicipta dari tanah, dan ia meminta Abu Hanifah memperlihatkan kesakitan, pada kepala, kalau benar ia dapat melihat Tuhan di dunia dan di akhirat."

Malik bin Anas berasal dari Yaman. Beliau dilahirkan pada tahun 93 Hijrah di Madinah dan wafat pada tahun 173 Hijrah. Ada pendapat beliau dilahirkan pada tahun 95 Hijrah dan wafat pada tahun 179 Hijrah. Beliau tidak pernah meninggalkan kota Madinah. Beliau dianggap ahli ilmu Hadith dn ilmu fiqh. Beliau lebih banyak berjumpa dengan Imam Ja'far al-Sadiq AS dan beliau salah seorang daripada perawi-perawi hadith daripada Imam Ja'far al-Sadiq AS. Dalam Bihar al-Anwar, Imam Malik diriwayatkan pernah berkata mengenai Imam al-Sadiq AS:
" Beliau termasuk di antara orang-orang ahli ibadah dan zahid yang agung, yang betul-betul takut akan Tuhannya serta terlalu banyak mengetahui tentang Hadith-hadith Rasulullah S.A.W. Beliau adalah teman yang menyenangkan dalam majlis dan pergaulan. Majlisnya penuh dengan ilmu dan keberkatan. Bila beliau mendengar nama Rasulullah S.A.W disebut, maka air mukanya cepat sekali berubah." Malik bin Anas juga pernah pergi menunaikan Haji bersama-sama Imam al-Sadiq AS.

Murid-murid Imam Ja'far al-Sadiq AS.
Terdapat ramai murid-murid yang pernah belajar dari Imam al-Sadiq AS. Di antaranya ialah seperti Malik bin Anas dan Abu Hanifah. Di antara tokoh sufi pula ialah al-Fudayl bin Iyad. Beliau dikatakan menulis sebuah kitab yang bernama Misbah al-Syari'ah dan dikatakan mengandungi satu siri pelajaran yang diterimanya dari Imam al-Sadiq AS. Fudayl meninggal dunia pada tahun 187 Hijrah. Salah seorang tokoh Hadith yang mendapat pelajaran dari Imam al-Sadiq AS ialah Sufyan bin Uyaynah (wafat 198 Hijrah). Seterusnya Syu'bah bin Hajjaj (wafat 160 Hijrah) yang disebut oleh al-Syafie sebagai seorang yang amat ahli tentang Hadith di Baghdad, Hatim bin Ismail (wafat 180 Hijrah), Hafas bin Ghiyas yang pernah menghafal tiga atau empat ribu Hadith, Ibrahim bin Muhammad yang digelar oleh Abu Ishak al-Madani, pernah mengumpulkan hadith dari Imam al-Sadiq AS menjadi sebuah kitab yang dinamakan "Halal dan Haram", Abdul Aziz bin Umar al-Zuhri (wafat 197H), Ayyub al-Sajastani, Abdul Malik bin Juraih al-Quraisyi (wafat 149 Hijrah), Zuhair bin Muhammad al-Tamimi (wafat 162 Hijrah) dan lain-lain lagi.

Dari kalangan syiah ialah Aban bin Tughlab yang banyak meriwayatkan hadith dari Imam al-Sadiq AS, Aban bin Uthman bin Ahmar al-Bajari yang berasal dari Kufah yang telah menghasilkan karya "al-Mubtadi", "al-Ba'as", "al-Maghazi" dan "al-Wala". Ibn Hibban memasukkannya dalam senarai tsiqah iaitu orang-orang yang dipercayai dalam meriwayatkan hadith. Kemudian Bukhair bin A'yun al-Syaibani, Jamil bin Darraj bin Abdullah al-Nakhai, Hummad bin Usman in Ziyadar al-Rawasi, al-Harith bin Mughirah al-Nashri, merupakan tokoh periwayat hadith Imam al-Sadiq AS. Hisyam bin Hakam al-Kindi merupakan tokoh ulama syiah yang alim dalam ilmu agama dan falsafah. Ia juga seorang sahabat Imam al-Sadiq AS. Imam al-Sadiq AS pernah berkata tentang diri tokoh ini:
" Engkau selalu diilhamkan oleh Tuhan dalam membantu golongan kami dengan lidahmu." Imam AS pernah juga berkata:
" Orang ini pembantu kita dengan hatinya, lidahnya dan tangannya, mempertahankan hak-hak kita dan membela golongan (syiah) kita daripada musuh kita." 

Al-Kulaini memuji Hisyam ibn al-Hakam tentang ilmunya mengenai dirayah dan rawayah hadith-hadith Rasulullah S.A.W yang sahih dan tentang kuat serta teguh pegangannya kepada al-Qur'an dan Sunnah. 

Sekitar Ajaran Imam al-Sadiq AS.

Tentang Akal
Madzhab Ahlul Bayt AS memandang tinggi kepada penggunaan akal dalam kehidupan manusia khususnya dalam memahami hal ehwal agama Allah terutamanya dalam usuluddin. Al-Kulaini meriwayatkan sebuah hadith dari Imam al-Sadiq AS seperti berikut:
" Sekumpulan sahabat-sahabat kami meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad dari ali ibn Hadid dari Samaah ib Mihran berkata: Aku sedang berada bersama-sama Imam Aba Abdillah AS. Beliau berada bersama-sama dengan jamaah pengikut-pengikutnya. Imam Aba Abdillah berkata:" Kenalilah akal dan tentera-tenteranya dan kenalilah kejahilan dan tentera-tenteranya. Seandainya kamu mengenalinya kamu akan mendapat petunjuk." 

Berkata Sama'ah:" Semoga diriku menjadi tebusanmu, kami tidak mengetahui kecuali apa-apa yang anda ajarkan kepada kami." Berkata Aba Abdillah AS:
" Sesungguhnya Allah Azza Wa-Jalla telah menjadikan akal dari cahayaNya di sisi kanan ArasyNya dan ia (akal) itu adalah makhluk yang awal di antara ruh-ruh. Selepas kejadiannya Allah Tabaraka Wa-Ta'ala memerintahkannya pergi, akal menurut perintahNya. Kemudian Allah memerintahkan datang kepadaNya, akal menurut perintahNya. Kemudian Allah Tabaraka Wal-Ta'ala berfirman:" Telah Aku jadikan engkau makhluk yang agung dan Aku anugerahkan ke atas engkau karamah (kemuliaan) ke atas sekalian makhluk-makhlukKu." Kemudian Allah menjadikan al-Jahlu (kejahilan) daripada lautan masin dan gelap dan memerintahkannya pergi. Al-Jahlu menurut perintahNya. Maka Allah memerintahkannya menemuiNya. Al-Jahlu enggan menurut perintahNya. Maka Allah berfirman:" Engkau angkuh," maka Allah melaknatnya. Selepas itu Allah mengurniakan tujuh puluh lima bala tentera kepada akal. Apabila al-Jahlu menyaksikan Allah memuliakan akal dan bagaimana Allah mengurniakan pembantu-pembantu kepada akal maka rasa permusuhan lahir dalam dadanya dan al-jahlu berkata kepada Allah," Wahai Tuhanku! Akal adalah suatu kejadian yang sama sepertiku, maka Engkau memuliakannya dan juga menguatkannya dengan bala tentera dan aku adalah kebalikan darinya. Aku tidak diberi kekuatan untuk menandinginya, maka kurniakanlah kepada ku bala tentera seperti mana yang Engkau berikan kepada akal. Maka Allah menerima permintaannya itu dan berfirman:" Sekiranya kamu mengengkari perintahku sekali lagi Aku akan putuskan engkau dan tentera-tenteramu dari rahmatKu." Al-Jahlu berkata," Aku redha dengan perintahMu." Maka Allah mengurniakan 75 tentera pembantu kepada al-Jahlu.

" Al-Khair (kebaikan) adalah (wazir) pembantu kepada akal dan bertentangan dengan al-syar (kejahatan) dan itu adalah wazir kepada al-jahlu; al-iman adalah berlawanan kepada al-kufr; al-tasdiq (kepatuhan dalam hati adalah bertentangan kepada al-juhud (penolakan); al-raja' (harapan) adalah lawan kepada al-qanut (putus harap); al-adl (adil) adalah lawan kepada al-jawru (aniaya); al-redha lawan kepada al-suhtu (marah dan tidak suka); al-syukr (syukur) lawan kepada al-kafirun (menolak); al-tama' (optimisme) lawan kepada al-ya'su (pesimisme); al-tawakal lawan kepada al-qaswah (angkuh); al-rahmah lawan kepada al-ghadhib (marah); al-ilm berlawanan kepada al-jahlu; dan ak-fahm (faham) lawan kepada al-hamaq (dungu); al-affah (menjauhkan diri daripada yang haram) lawan kepada haaltahtika (sifat tidak malu - mengerjakan yang haram); al-zahid lawan kepada al-raghbah (sifat suka dunia); al-rafiq (lemah-lembut) lawan kepada al-hariq (kebodohan dan kejanggalan); dan al-rahbah (takutkan Allah) lawan kepada al-juratu (berani menentang Allah); al-somtu (diam) lawan kepada al-hazir (sombong); dan al-istaslam (menyerah diri kepada Allah) lawan kepada al-istakbar (bongkak dan angkuh); al-taslim (menyerah) lawan kepada al-syakk (ragu-ragu); al-sobr lawan kepada al-jaza'u (tergesa-gesa); dan al-sofhu (ampun) lawan kepada al-intaqam (dendam); al-ghina (sifat memadai-puas hati) lawan kepada al-faqir (meminta-minta); dan al-tazakkir (mengingati Allah) lawan kepada alsahwa (lupa); dan al-hifzu (pemelihara) lawan kepada al-nisyan (pelupa dan tidak peduli); al-ta'attapa (cenderung dan simpati) lawan kepaa al-qati'ah (menyekat-mendinding); al-qanau' (puas dan rela) lawan kepada al-hirsu (tamak); dan al-mawaddah (kasih sayang) lawan kepada al-adawah (permusuhan); al-mauasah (konsolasi) lawan kepada al-mana' (menghalang); dan al-wafa' (kesetiaan) lawan kepada al-ghadar (belot); al-ta'ah (taat) lawan kepada al-ma'siyah (maksiat); al-khudu' (tunduk) lawan kepada al-tatawil (dominasi); al-salamah (keselamatan) lawan kepada al-bala'; dan al-habba (kasih sayang) lawan kepada al-bughdu (kebencian); dan al-sidqu (yang benar) lawan kepada al-kazab (pembohong); dal al-haq lawan kepada al-batil; dan al-amanah lawan kepada al-khianat; al-ikhlas lawan kepada al-syaubu (bercampur matlamat); al-syahamah (bijaksana dan berani) lawan kepada al-baladah (bodoh dan penakut); al-fahm (faham) lawan kepada al-ghabawah (bebal); dan al-ma'rifah lawan kepada al-ankar (engkar); al-mudarah (menjaga rahsia) lawan kepada al-mukasyafah (pembuka rahsia-belot); al-salamah (sejahtera) lawan kepada al-makarah (tipudaya); al-kitman (menutup rahsia) lawan kepada al-fasya' (berhamburan); dan al-solah lawan kepada al-adha'ah (mengabaikan solat); al-saum (berpuasa) lawan kepada al-iftar (gemar makan); al-jihad lawan kepada al-naklu (terbelenggu dari jihad); al-Hajj ( mengikat perjanjian kepada Allah iaitu tidak menyembah kecuali Allah)lawan kepada al-misaq (memungkiri perjanjia tersebut); al-saun (menjaga dan memelihara cerita-cerita orang lain) lawan kepada al-namimah (membuat cerita); dan al-biru al-walidani (berbuat baik kepada ibubapa) lawan kepada al-uquq (derhaka kepada ibubapa); al-haqiqah (realiti) lawan kepada al-riya" (pamer); al-ma'ruf lawan kepada mungkar; al-sitru (menutup diri) lawan kepada al-tabaraj (menunjuk); al-taqiyah (memelihara rahsia kepentingaan agama daripada musuh) lawan kepada al-iza'ah (penzahiran yang mengakibatkan kehilangan kerosakan); dan al-insaf (sedar akan kebenaran dan keadilan) lawan kepada al-hamiyyah (berat sebelah); al-tahiah (bercampur dalam masyarakat seperti mesra dalam hubungan sosial) lawan kepada al-baghyu (menentang); dan al-nuzafah (bersih) lawan kepada al-qazir (kotor); dan al-haya-u (bersopan) lawan kepada al-jala' (tidak sopan); al-qasdu (sederhana) lawan kepada al-udwan (melampau); dan al-raha (kesegaran hati) lawan kepada al-ta'abu (depresi - murung); dan al-sahalah (memudahkan) lawan kepada al-su'ubbah (menyukarkan); al-barakah (berkat - bertambah-tambah) lawan kepada al-mahku (hilang berkat dan binasa); dan al-afiat (keselamatan) lawan kepada al-bala' (malapetaka); dan al-qawam (keteguhan) lawan kepada al-mukathirah (banyak cakap); dan al-hikmah (bijaksana) lawan al-hawa' (mengikut hawa nafsu - cinta dunia); al-waqar (kehormatan) lawan kepada al-hiffah (sifat rendah akal budi); dan al-istighfar (memohon ampun) lawan kepada al-ightirar (tidak jujur dengan taubat); al-muhafizu (memelihara) lawan kepada ahaaltahawun (cuai dan abai); ak-du'a (berdoa kepada Allah SWT) lawan kepada al-istankafa (memandang rendah - mudah dan tidak mahu berdo'a); dan al-nasyyat (cergas) lawan kepada al-kasal (malas); al-farah (sukacita) lawan al-hazan (dukacaita); al-ulafah (mesra- berkawan, dan bersatu) lawan kepada al-furqah (berpecah-belah); dan al-saha'a (murah hati) lawan kepada al-bakhil (kedekut)."

" Maka semua sifat-sifat yang dikatakan itu akan menjadi pasukan tentera yang kuat dan bertenaga kepada akal dan semua sifat-sifat ini tidak akan berpadu ke dalam diri seseorang jua kecuali Nabi S.A.W, wasinya AS, dan mu'min yang imannya telah diuji oleh Allah SWT. Dan tidak ada sahabat kepada kami (para Imam) yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut tetapi memiliki sifat-sifat yang diperuntukkan kepada kejahilan sehingga dia membina akalnya ke arah kesempurnaan dan mengikis segala kelemahan yang lahir daripada kejahilan. Maka para peringkat ini dia dikurniakan darjat kemuliaan bersama dengan Nabi S.A.W dan wasi-wasinya. Dan sesungguhnya dia mencapai kedudukan tersebut dengan makrifat al-akal dan tentera-tenteranya dan setelah menjauhkan dirinya daripada al-jahlu dan tentera-tenteranya. Dan semoga Allah mengurniakan kita kemampuan untuk taat kepadaNya dan mendapat redhaNya." [Al-Kafi, Kitab aqal wal-jahlu, hadith nombor ke-14].

Imam Ja'far al-Sadiq AS juga berkata:
" Barang siapa mempunyai akal, baginya mempunyai Din, dn barang siapa mempunyai Din, baginya tempat di syurga." [Al-Kafi, Kitab al-aqal wal-jahlu, hadith nombor 6]

Imam al-Sadiq AS mentakrifkan akal seperti berikut:
" (seseorang bertanya kepada Imam al-Sadiq AS) Apakah itu akal?" Imam menjawab:
" Akal adalah dengannya al-Rahman (Allah SWT) disembah dan dengannya memperolehi al-jinan (syurga)."

Dalam dialog seterusnya, Imam al-Sadiq AS ditanya:" Apa pula yang dilakukan oleh Muawiyah?" Imam menjawab:" Itu adalah al-nukarak (pengengkaran - penipuan) Ia adalah sifat syaitan, walaupun kelihatannya macam akal tetapi ia bukan sifat akal yang sebenarnya." [Al-Kafi, Kitab al-aqal wal-jahlu, hadith nombor 3]

 Imam al-Sadiq juga menjelaskan peranan akal seterusnya:
" Melalui akal manusia mengenal KhaliqNya dan melalui akal mereka mengenal diri mereka itu tidak tercipta dengan sendirinya tetapi Dialah (Allah SWT) yang mengaturkan (al-mudabbir) mereka dan mereka adalah yang ditadbir (al-mudabbar) olehNya. Melalui akal mereka memahami objek-objek ciptaanNya, langit, bumi, matahari, dan bulan dan malam dan siang. Melalui akal mereka menyedari bahawa ada Pencipta (al-Khaliq) dan Pengatur (al-Mudabbir) ke atas diri mereka dan bagi seisi alam ini itu sudah sewajarnya ada dan akan sentiasa ada. Nelalui akal mereka dapat mengenalpasti (arif) kebaikan daripada keburukan. Dan melalui akal mereka dapat mengenal dan memahami kegelapan (zulumah) yang terkandung dalam kejahilan dan cahaya (nur) yang terkandung dalam ilmu pengetahuan (ilm). Semua ini ditunjukkan kepada manusia melalui akal."[Al-Kafi, Kitab al-aqal wal-jahlu, hadith nombor 35]

Kepentingan Ilmu
Diriwayatkan dari beliau AS:" Telah bersabda Rasulullah S.A.W:" Mencari ilmu wajib bagi setiap Muslim. Ketahuilah bahawa Allah mencintai orang-orang yang sentiasa ingin menuntut ilmu." [Al-Kafi, Jilid 1, hadith nombor 41-5] .

Imam Ja'far al-Sadiq AS berkata:" Ulama adalah pewaris Nabi-nabi dan sesungguhnya Nabi-nabi tidak mewariskan dirham atau dinar, tetapi mereka meninggalkan hadith-hadith. Barang siapa mengambil sebahagian daripadanya maka dia telah mengambil satu bahagian yang berguna. Oleh itu lihatlah sumber daripada mana hadith-hadith itu diperolehi. Sesungguhnya sumbernya adalah daripada kami (Ahlul Bayt AS). Setiap seorang daripada kami akan menjelaskan penyelewengan yang dilakukan oleh golongan yang melampau, memadamkan segala kebatilan, dan takwil golongan yang jahil." [Al-Kafi, Jilid 1, hadith nombor 47-2] .

Tentang Tauhid
Dari Aba Abdillah AS, berkata:" Ketika Amirul Mu'minin sedang memberi khutbah di mimbar di masjid Kufah, seorang lelaki bernama Dhi'lib, seorang yang terkenal pandai berucap, bangun dan bertanya," Wahai Amirul Mu'minin!" Adakah anda melihat Tuhan anda?" Amirul Mu'minin menjawab," Celakalah kamu, wahai Dhi'lib, Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku melihatNya. Lelaki itu bertanya lagi: " Bagaimana anda melihatNya?" Beliau menjawab: " Celaka engkau. Mata manusia tidak boleh melihatNya dengan penglihatan mata, tetapi mata hatilah yang melihatNya dengan hakikat iman." [Al-Kafi, Jilid 1, hlm. 69].

Imam al-Sadiq AS meriwayatkan tentang tauhid yang sebenarnya:
" (Allah itu) Maha Suci dari apa yang disifatkan oleh orang-orang yang menyifatkanNya, yang menyerupakanNya dengan makhlukNya, yang mengatakan sesuatu yang dusta tentang Allah. Maka ketahuilah, semoga Allah merahmatimu bahawa madzhab yang sahih dalam tauhid adalah yang diturunkan oleh al-Qur'an mengenai sifat-sifat Allah Azza Wal-Jalla. Maka hilangkan dari Allah segala nafi (negatif) ataupun penyerupaan pada DiriNya. Dia adalah Allah yang pasti wujudNya, Maha Tinggi dari apa yang disifatkan oleh para pemyifat. Dan janganlah kamu semua melampaui al-Qur'an, sebab jika demikian kamu akan sesat setelah memperolehi penjelasan." [Al-Kafi, Jilid 1, hlm.100]

Persaudaraan Islam
Imam al-Sadiq AS berkata:" Dekatkanlah dirimu kepada Allah melalui kasih sayang terhadap saudara-saudaramu."

Imam al-Sadiq AS berkata:
" Ingatlah bahawa jika kamu menolong saudara seagamamu, kamu akan memperolehi penghargaan yang lebih tinggi oleh saya daripada kamu menyelesaikan tawaf mengelilingi Ka'bah seminggu lamanya. Dan Imam AS menambah:" Seseorang datang kepada Imam Hasan AS dan memohon bantuan dalam kesulitannya. Imam Hasan dengan segera memakai kasutnya dan pergi bersamanya. Dalam perjalanan, mereka tiba di suatu tempat di mana Imam Husein AS sedang solat. Imam AS bertanya kepada orang itu:" Mengapa kamu tidak berhubung kepada Husein untuk menolongmu dalam kesulitan yang sedang kau hadapi?" Orang itu menjawab:" Wahai cucu Rasulullah! Maksud saya sebenarnya demikian, tetapi beliau sedang dalam khusyuk, maka saya tidak jadi pergi kepadanya." Berkata Imam Hasan AS:" Tetapi seandainya ia telah menerima kesempatan itu untuk menolongmu maka hal itu akan lebih baik daripada khalwat (beribadat sendirian) selama satu bulan."[Al-Kafi, Jilid 2, hlm.158].

Sifat Orang Beriman
Al-Kulaini meriwayatkan dalam al-Kafi dari Ali bin Ibrahim dari ayahnya dari Ibn Abi Umayr dari al-Qasim ibn Urwah dari Abul al-Abbas, dia berkata: Abu Abdillah AS berkata:
" Barang siapa yang menyukai amalan baiknya dan tidak menyukai amalan buruknya maka dia adalah Mukmin."
Di dalam riwayat yang lain Abu Abdillah AS berkata:
" Orang Mukmin menyumbangkan banyak kebaikan dan mengambil darinya sedikit, dia sangat bijak dalam menguruskan dirinya dan tidaklah terjatuh ke dalam satu lubang dua kali."
Di dalam riwayat yang lain, Abu Abdillah AS berkata:
" Orang beriman tidak akan melalui empat puluh malam tanpa menilai urusan yang (telah dilaluinya) yang menyusahkan hatinya dan membuat ia mengingati (Allah SWT)."

Al-Qur'an Dan al-Sunnah
 Dari Abu Abdillah AS berkata:
" Setiap sesuatu yang kamu terima, maka kembalikanlah ia kepada Kitab Allah dan al-Sunnah. Setiap hadith yang tidak sesuai dengan Kitab Allah, (sebenarnya) ia adalah palsu." [Al-Kafi Jilid 1, Kitab Fadl al-Ilm, hadith 203-3]

Dari Abu Abdillah AS berkata:
" Sesungguhnya fuqaha yang sebenarnya ialah yang zuhud terhadap dunia, cenderung kepada akhirat dan berpegang kepada sunnah Nabi S.A.W." [Al-Kafi, Jilid 1, Kitab Fadl al-Ilm, hadith 208-8]

Kewafatan Imam Ja'far al-Sadiq AS
Imam al-Sadiq AS wafat pada 25 Shawwal 148 Hijrah kerana diracun oleh gabenor Madinah atas perintah khalifah al-Mansur. Mendengar berita kesyahidan Imam aS, al-Mansur menulis surat kepada gabenor Madinah, dan memerintahkannya pergi ke rumah Imam AS, berpura-pura meminta wasiat dari Imam AS dan membacakannya. Sebenarnya ia bertujuan untuk menghapuskan sesiapa juga yang dipilih oleh Imam AS untuk menggantikannya beliau sebagai pewaris Imamah. Ketika gabenor Madinah itu melaksanakan perintah al-Mansur itu, ia mendapati Imam AS telah memilih empat orang sebagai penggantinya. Mereka ialah al-Mansur sendiri, gabenor Madinah, Ismail, putera Imam AS yang sulung (yang telah meninggal dunia) dan Imam Musa al-Kazim AS. Pada hakikatnya pengganti Imam Al-Sadiq AS ialah Imam Musa al-Kazim AS.Walau bagaimanapun dengan wasiat Imam As yang mengelirukan itu, maka niat jahat al-Mansur akhirnya gagal dilaksanakan.

Jenazah Imam al-Sadiq AS dikebumikan di perkuburan al-Baqi', Madinah iaitu bersebelahan dengan makam al-Hasan AS, makam ayahnya al-Baqir AS, dan makam datuknya Imam Ali Zainal Abidin AS.
Imam Ja'far al-Sadiq AS hidup bagaikan cahaya yang memancarkan kilauannya untuk menyinari jalan umat Islam sepanjang zaman.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: