Pesan Rahbar

Home » , » Hari Ibu; Bung Karno dan Perjuangan Perempuan Indonesia

Hari Ibu; Bung Karno dan Perjuangan Perempuan Indonesia

Written By Unknown on Wednesday, 9 March 2016 | 20:00:00

Foto : biliksastra.files.wordpress.com

Setiap tanggal 22 Desember, Indonesia memperingati Hari Ibu. Penetapan hari ibu didasari oleh Dekrit Presiden Soekarno No. 316 Tahun 1953. Lahirnya hari ibu tak bisa dilepaskan dari suatu peristiwa penting tanggal 22 -25 Desember 1928, dimana para perempuan dari Jawa dan Sumatera berkumpul untuk membangun gerakan perempuan pada kongres perempuan pertama yang kemudian melahirkan Kongres Wanita Indonesia (KOWANI).

Pertemuan para perempuan tersebut berlangsung di gedung Jayadipuran, yang kini menjadi kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Yogyakarta. Tanggal tersebut dipilih untuk menjadikan semangat perempuan Indonesia sebagai monumen historis guna menyemai kesadaran kebangsaan secara terus-menerus bagi generasi selanjutnya.

Perhelatan kongres tersebut dihadiri sekitar 30 organisasi wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Menurut sejarah, organisasi wanita di Indonesia telah berdiri sejak 1912. Namun, perjuangan wanita Indonesia melawan penjajahan telah berkobar sejak abad ke-19 seperti Kartini, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Meutia, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, Rasuna Said.

Perjuangan kaum hawa tersebut terus berjalan hingga tahun-tahun berikutnya. Hal itu ditandai dengan perhelatan kongres perempuan kedua pada tahun 1935 dan kongres perempuan ketiga pada tahun 1938. Dari meja kongres tersebut lahir berbagai pemikiran kritis dan semangat untuk terjun dalam pembangunan nasional seperti upaya persatuan perempuan nusantara, peranan perempuan dalam aspek kebudayaan pembangunan bangsa, perbaikan gizi, kesehatan ibu dan balita, pernikahan usia dini, perburuhan wanita, dll.
Revitalisasi Makna Hari Ibu

Dewasa ini peringatan hari ibu lebih bernuansa personal antara ibu dan anaknya. Ibu-ibu mendadak mendapatkan perilaku istimewa pada dari anak-anaknya. Banyak orang yang secara serempak mengakui dan menyesali dosa-dosa terhadap ibunya. Apakah layak memperlakukan istimewa ibu kita hanya satu hari ? Seorang ibu harusnya diperlakukan secara istimewa setiap hari karena telah melahirkan dan membesarkan anak-anaknya.

Memperingati dan merayakan hari ibu semacam itu tentu tidak salah, namun tidak tepat bila dilihat secara konteks sosio-historinya. Sejatinya peringatan hari ibu mampu mendorong kaum perempuan untuk meningkatkan kesadaran perjuangan dalam bingkai bangsa dan negara. Selain itu, organisasi-organisasi perempuan progresif dengan landasan pembebasan sosial harus kembali dihidupkan.

 
Foto: bbc.com

Hal tersebut menjadi penting mengingat semakin tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Pada 2014 lalu, total angka kekerasan terhadap perempuan Indonesia dari data Komnas Perempuan meningkat menjadi 293.220 kasus. Angka tersebut meningkat dibanding tahun 2013 yakni 279.760 kasus. Dari angka tersebut 56% adalah kasus kekerasan seksual berupa perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual dan paksaan berhubungan badan.

Melihat angka tersebut, sudah barang tentu bagi para perempuan untuk bersatu memepertegas sikap melawan kesewenang-wenangan. Peringatan Hari Ibu harus mampu melahirkan spirit emansipatoris terhadap berbagai sistem penindasan di era modern ini. Belajar dari Kongres Perepuan terdahulu, perempuan Indonesia saat ini harus mampu mendefinisikan aksara perjuangannya secara mandiri untuk memperluas peran wanita bagi cita-cita kemerdekaan Indonesia. Seperti ungkapan Presiden Soekarno pada hari Ibu Tahun 1950 yang menyatakan bahwa tugas perempuan selain menjadi seorang ibu dan isteri juga menjadi kawan perjuangan. “Ya menjadi Ibu, ya menjadi Istri, ya menjadi kawan perjuangan,”.

(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: