Foto: kompasiana.com
Sumber daya alam yang sejatinya (harus) dimanfaatkan sebagai sumber untuk mempertahankan hidup kini semakin ter-erosi oleh tingginya permintaan pasar yang didominasi kekuatan koorporasi global. PT Freeport Indonesia, perusahaan yang pernah terdaftar sebagai salah satu perusahaan multinasional terburuk tahun 1996, adalah potret nyata sektor pertambangan Indonesia. Keuntungan ekonomi yang dibayangkan tidak seperti yang dijanjikan, sebaliknya kondisi lingkungan dan masyarakat di sekitar lokasi pertambangan terus memburuk. Fenomena ini pernah diulas dalam suatu laporan BBC UK beberapa tahun yang lalu.
Matinya Sungai Aijkwa, Aghawagon dan Otomona,tumpukan batuan limbah tambang dan tailing yang jika ditotal mencapai satu juta ton serta kerusakan ekosistem di sekitar lokasi pertambangan merupakan fakta kerusakan dan kematian lingkungan yang nilainya tidak akan dapat tergantikan. Freeport dengan hasrat endapatkan biji tembaga mentah secepat mungkin, pengerukan dan pembuangan dilakukan tanpa pengolahan yang bersifat penghamburan tembaga dan pencemaran lingkungan. Lebih dari 3 miliar ton tailing dan lebih dari empat miliar ton limbah batuan akan dihasilkan dari operasi PTFI sampai penutupan pada tahun 2040. Dalam sebuah laporan yang bertajuk “Kebobrokan Freeport – Pencemaran Lingkungan & Pelanggaran HAM Perusaan Emas Terbesar di Indonesia”, dipapaparkan bahwa secara keseluruhan, Freeport menyia-nyiakan 53.000 ton tembaga per tahun,yang dibuang ke sungai sebagai Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage, ARD) dalam bentuk buangan (leachate) dan tailing. Tingkat pencemaran logam berat semacam ini sejuta kali lebih buruk dibanding yang bisa dicapai oleh standar praktik pencegahan pencemaran industri tambang.
Selain itu, petaka juga menimpa Taman Nasional Lorenz yang terdaftar sebagai Warisan Dunia wilayahnya mengelilingi daerah konsesi Freeport. Untuk melayani kepentingan tambang, luas taman nasional telah dikurangi. Kawasan pinus pada situs Warisan Dunia ini terkena dampak air tanah yang sudah tercemar buangan limbah batuan yang mengandung asam dan tembaga dari tailing Freeport. Sementara, kawasan pesisir situs Warisan Dunia ini juga terkena dampakpengendapan tailing. Sekitar 250 juta ton tailing dialirkan melalui Muara Ajkwa dan masuk ke Laut Arafura.
Merujuk pada newsletter yang dilansir oleh International Campaign for Ecological Justice in Indonesia, PT Freeport Indonesia menghasilkan 300.000 ton sampah setiap harinya yang dikalkulasikan dari kegiatan sisa pengolahan bahan tambang, deforestasi, dan pembukaan lahan tambang baru. Sumber lain, Forum Hijau Indonesia, bahkan menyebutkan sampah yang dihasilkan jauh lebih besar yakni ditaksir mencapai 1 milyar ton limbah tambang meliputi tailings dan waste rocks sejak beroperasi hingga tahun 2006. Sungguh besaran yang sangat mencengangkan terlebih di tengah tidak adanya penjelasan dan publikasi oleh PT Freeport Indonesia mengenai pengolahan sampah-sampah tersebut. Tentu semakin mengkhawatirkan banyak pihak ketika sekali lagi New York Times, media publik Amerika Serikat, menyebutkan bahwa sampah-sampah tersebut dibuang ke Danau Wanagon dan Sungai Aghawagon-Otomona-Ajkwa.
Tidak ketinggalan juga, masyarakat dan tatanan adat harus menangagung akibat buruk. Suku Ammunge sebagai masyarakat lokal telah melakukan protes keras dan menuntut ganti rugi atas pemanfaatan tanah ulayat mereka yang kini telah dikeruk deposit tembaga, perak dan emas dengan masih menyisakan cadangan deposit dalam jumlah besar, senilai US$ 20,83 miliar.
Satu hal yang harus kita renungkan bersama, Papua termasuk juga Papua Barat, provinsi dimana PT Freeport Indonesia beroperasi, jauh berbeda dengan daerah-daerah lain Indonesia di Pulau Jawa dan Bali. Masyarakat lokal (indigenous people) di sana sangat bergantung kepada alam dalam memenuhi kebutuhan hidup, terutama pangan. Mereka hidup dari bercocok tanam, berburu, dan memancing. Suatu siklus hidup yang sangat pendek dan timpang jika dibandingkan dengan siklus hidup masyarakat Jawa. Hal itu dikarenakan secara kodrati alam telah memberikan segalanya bagi masyarakat Papua, namun saat ini para tamu pendatang itu dengan cepat merusaknya.
Catatan hitam itu bertambah parah setelah runtuhnya terowongan Big Gossan yang terjadi pada tanggal 14 Mei 2013. Hasil penyelidikan dan pemantauan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan PT Freeport Indonesia telah terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia. PT Freeport Indonesia diduga kuat telah melakukan kelalaian dan kesalahan yang mengakibatkan hilangnya nyawa 28 pekerjanya. Kelalaian tersebut karena perusahaan tambang itu telah membiarkan keadaan atau kurang mengawasi secara langsung sehingga timbulnya kondisi yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan. Dari sederet kerusakan dan bencana ekologis, penghancuran tatanan adat, perampasan lahan masyarakat lokal, penangkapan sewenang-wenang masyarakat sipil, pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan yang menimpa buruh PT. Freeport Indonesia serta pelanggaran-pelanggaran yang memperparah luka kemanusiaan di Tanah Papua, hari ini kita layak mempertanyakan keberpihakan Pemerintah yang pada tanggal 23 januari 2015 justru mengeluarkan perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga untuk perusahaan tambang ini. Di tengah prahara renegosiasi kontrak Freeport yang penuh drama politik ini, layak kita tunggu kepada siapakah keberpihakan Pemerintahan ini ditambatkan ? Semoga saja masih simetris dengan semangat nawacita yang digelorakan Presiden Jokowi dengan heroik dalam setiap kampanye jelang PILPRES 2014.
(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email