Pesan Rahbar

Home » » Saudara Dalam Kemanusiaan; Benang Merah Maulid Nabi dan Hari Raya Natal

Saudara Dalam Kemanusiaan; Benang Merah Maulid Nabi dan Hari Raya Natal

Written By Unknown on Wednesday, 9 March 2016 | 19:45:00


“Kemanusiaan itu satu, seperti juga lapar. Tidak ada lapar secara Islam. Tidak ada lapar secara Kristen.” (Muslim Abdurrahman)

Suatu hari Imam Ali sedang berjalan di salah satu gang di Kota Kufah, Irak. Ketika itu mata Imam Ali tertuju pada seorang lelaki tua yang sedang mengemis. Dia sedih melihat kejadian itu, lalu berkata pada orang-orang di tempat tersebut: “Apa yang tengah aku saksikan ini?”
Salah seorang warga berkata: “Ia seorang Kristen yang sudah tua hingga tidak mampu bekerja lagi. Ia juga tidak memiliki harta untuk menjamin keluarganya. Maka dengan mengemis itu dia memenuhi kebutuhan hidupnya”.

Mendengar jawaban itu Imam Ali sedih dan berujar: “Ketika ia muda kalian pekerjakan dia, tapi setelah tua kalian tinggalkan ?” Kemudian Imam Ali mengambil sejumlah uang dari baitul mal muslimin untuk mencukupi kehidupan lelaki tua tersebut, dan bekata: “Dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudara dalam kemanusiaan”.

Dalam sejarah Indonesia, persaudaraan itu bahkan tercermin dalam gambaran lebih kuat. Sudah jamak diketahui, bagaimana para pejuang lintas keyakinan bahu-membahu dalam perlawanan terhadap kolonialisme. Nuansa hangat penuh persahabatan itu bahkan juga hadir ketika perang urat saraf berjalan sengit pada masa konstituante, sepeti Pemimpin dan tokoh sentral Partai Masyumi, M Natsir yang menjalin keakraban dengan tokoh-tokoh Katholik seperti I.J Kasimo, Ketua Partai Katolik. Ketika Hari Raya Natal, Natsir selalu berkunjung ke rumah Kasimo yang kebetulan tidak jauh dari tempatnya. Natsir tinggal di Jalan Tjokroaminoto dan Kasimo di Jalan Gresik, Menteng. Begitu pula saat Hari Raya Idul Fitri, Kasimo selalu datang berkunjung ke rumah Natsir.


Bersinergi Menghalau Penjarahan Hak Ummat

Di tengah menjamurnya model penjajahan yang berbaju korporasi di negeri tercinta ini, penyebab kerusakan ekologis dan krisis kemanusiaan, sikap berpasrah bukanlah sikap yang patut dibenarkan. Upaya yang serius untuk memutus siklus itu sangat urgen untu segera dilakukan. Tanggung jawab kemanusiaan bukan hanya diemban oleh orang atau komunitas tertentu saja, tapi juga oleh semua manusia yang memiliki nurani kemanusiaan.

Indonesia pada dasarnya merupakan negeri yang kaya akan Sumber Daya serta keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Indonesia memiliki hutan seluas 126,8 juta hektar. Wilayah hutan tropisnya terluas ketiga di dunia dengan cadangan minyak, gas alam, emas, tembaga dan mineral lainnya. Terumbu karang dan kehidupan laut memperkaya ke-17.000 pulaunya. Lebih dari itu, Indonesia memiliki tanah dan dan area lautan yang luas, dan kaya dengan berjenis-jenis ekologi. Menempati hampir 1.3 persen dari wilayah bumi, mempunyai kira-kira 10 persen jenis tanaman dan bunga yang ada di dunia, 12 persen jenis binatang menyusui, 17 persen jenis burung, 25 persen jenis ikan, dan 10 persen sisa area hutan tropis, yang kedua setelah Brazil.

Dalam pandangan Islam, sumber daya alam yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak harus dikelola oleh Negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau dalam bentuk subsidi kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum. Paradigma pengelolaan sumber daya alam dalam Islam berbasis pada pengelolaan kepemilikan umum oleh Negara dan bukannya pengelolaan yang berbasis swasta dengan tetap berorientasi pada kelestarian lingkungan. Sehingga akan mewujudkan keseimbangan lingkungan dan pemanfaatan secara optimal. Pandangan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh An-Nabhani (1990) didasarkan pada hadits Rasul SAW: “manusia berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput (lahan) dan api (energi)” (HR. Abu Dawud).

Kata ‘berserikat (syuroka)’ menunjukkan tidak boleh dikuasai secara pribadi, tidak boleh diprivatisasi. Imam at-Turmidzi dari Abyadh bin Hamal meriwayatkan Abyadh pernah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul meluluskan permintaan itu, tetapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu).” Rasulullah pun kemudian bersabda, “Tariklah tambang tersebut darinya.” Tentu saja hadits itu tidak sedang berbicara tambang garam semata, melainkan sedang bicara segala sesuatu yang melimpah ‘bagaikan air mengalir’. Sebagai bukti, Rasulullah yang awalnya memberikan izin tapi setelah dijelaskan bahwa jumlahnya begitu melimpah beliau membatalkannya. Penarikan kembali pemberian Rasul kepada Abyadh adalah ‘illat dari larangan atas sesuatu yang menjadi milik umum –termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungan-nya sangat banyak– untuk dimiliki individu. Dalam hadis yang dituturkan dari Amr bin Qais lebih jelas lagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam (ma’dan al-milh). Hak publik tidak boleh diprivatisasi apalagi dieksploitasi secara membabi buta oleh korporasi.

Senada dalam memperjuangkan kemanusiaan, Ketika Kristus tidak sudi tergabung dalam gerakan orang Zelot Yahudi, namun Ia terus menerus melawan pihak penguasa dan struktur-struktur kekuasaan politik pada zamannya, dimana Ia disalibkan juga oleh kuasa-kuasa politik tersebut. Kristus menyerang akar ketidakadilan sosial, yang berarti bahwa Ia mengaitkan pembebasan masa kini dengan sejarah keselamatan yang bersifat revolusioner, kekal dan universal. Perkara-perkara keberpihakan tercakup didalam kekekalan dan karya Kristus justru karena menyelamatkan manusia. Meneladani sifat pelayanan Kristus, adalah tidak mungkin bagi gereja untuk hidup di dalam injil jikalau terpisah dari keterlibatan dan keberpihakan terhadap mereka yang tertindas. Lebih jauh situasi ketidakadilan yang membuat berjuta-juta orang menderita, menuntut orang-orang Kristen untuk mewujudkan pembebasan dalam semua bentuknya.

Berakar pada titik-temu dan solideritas dalam nilai kemanusiaan, sudah selayaknya sinergi itu dipraksiskan untuk menginterupsi tindakan semena-mena korporasi serta rezim yang masih saja bersedia memberikan keleluasaan korporasi untuk mengikis habis sumber daya di tanah air tercinta.

(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: