ilustrasi kekerasan terhadap wanita (Foto: semangatperjuanganrakyat.blogspot.com)
“Perempuan adalah saudara kandung para lelaki, tidak akan memuliakannya kecuali lelaki yang mulia dan tidak akan menghinakannya kecuali lelaki yang hina.”(Hadist Nabi Muhammad SAW).
Kathryn May Robinson dalam bukunya, Stepchildren of Progress: The Political Economy of Development in an Indonesian Mining Town (1986) dan tulisannya “Bitter Harvest” (1998) menggambarkan bagaimana pemiskinan itu terjadi di Sorowako, lokasi tambang PT IncoVale di Sulawesi Selatan. Perempuan Sorowako harus berjalan lebih jauh menyeberang lapangan golf dan properti PT Inco lainnya untuk bisa mengakses lahannya. Ibu Marna yang disebutkan dalam “Bitter Harvest”, harus berjalan 2 jam menyeberang lahan PT Inco untuk mencapai lahannya. Sementara bapaknya terlalu tua untuk bekerja di perusahaan di usianya yang kini 40 tahun, anak-anak laki-lakinya juga tidak diterima kerja di sana. Akibatnya beban kerja terhadap perempuan bertambah sejak PT Inco datang.
Di sekitar pertambangan PT Freeport, masalah yang dihadapi perempuan bahkan multi dimensi, pelakunya korporasi, pemerintah, aparat keamanan, juga laki-laki, suami mereka. Saat PT Freeport masuk, lahan-lahan berubah fungsi menjadi kawasan tambang, mama-mama pun tergusur karena sumber penghidupan keluarga diambil dan dirusak PT Freeport. Negara tak pernah menanyakan pendapat perempuan tentang tambang tersebut, mereka juga tidak mendapatkan hak menerima, maupun mengelola dana kompensasi. Belakangan, mereka justru menjadi korban kekerasan akibat dana kompensasi itu.
Kasus pemberian kompensasi 1% dari PT Freeport kepada suku Amungme di Papua pada 1989 berujung kekerasan terhadap perempuan. Aksi berkepanjangan yang membuat perusahaan berhenti beroperasi bebeberapa kali memaksa PT Freeport bersedia berunding. Warga diwakili Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA) yang 100 persen pengurusnya adalah laki-laki. PT Freeport bersepakat menggulirkan dana kompensasi 1% dari penghasilan kotor mereka, dana ini jatuh kepada kepala keluarga, laki-laki. Alhasil, dana kompensasi itu tak sampai ke rumah, justru digunakan para lelaki untuk minum mabok, yang menyebabkan konsumsi alkohol merebak di Timika. Pun kunjungan ke bar-bar serta lokalisasi pekerja seks meningkat.
”Mereka laki-laki mendapat uang kompensasi dari PT Freeport. Mereka beli miras, minum mabuk dan pukul kami,” kata Yosepha Alomang. Akhirnya perempuan kena getahnya, saat suami pulang dalam keadaan mabuk, habis main gila dengan perempuan lain, rumah menjadi pelampiasan kekerasan. Dana kompensasi ini membuat angka kekerasan dalam rumah tangga naik.
Pada tanggal 6 Juli 2015, Menteri Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan anak Indonesia – Prof Yohana Yembise mengungkapkan, provinsi Papua menduduki peringkat pertama kasus kekerasan dalam rumah. Pemicu utama kasus KDRT terhadap perempuan dan anak di wilayah Papua dominan disebabkan karena pengaruh mengkonsumsi minuman keras beralkohol. Kasus kekerasan terhadap anak di Papua mencapai 3.250 kasus sedangkan KDRT dialami perempuan angkanya cukup tinggi dibanding daerah lain di Indonesia. Tiga hari sebelumnya suara Pembaruan melaporkan data bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak Papua meningkat tajam sejak tahun 2010-2014 yang diungkap oleh Levina Kalansina Sawaki, Kepala Sub Bidang (Kasubid) Penanganan Kekerasan terhadap anak dan Masalah Sosial anak Provinsi Papua.
Lembaga eLSHAM Papua merilis data Maret 2015 lalu yang menyatakan bahwa kekerasan yang dialami kaum perempuan Papua, bukan hanya sekedar kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Lebih dari itu, kasus kekerasan oleh aparat militer di Papua lebih besar dampaknya pada perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada perempuan Papua. Kasus kekerasan militer di Tanah Papua, menurut data eLSHAM Papua periode 2012-2014, ada 389 kasus dengan rincian 234 orang tewas, 854 orang luka-luka, dan 880 orang ditangkap. Semuanya berdampak kepada kesejahteraan perempuan Papua. Secara langsung bentuk-bentuknya beragam misalnya kasus pemerkosaan, penganiayaan, penahanan, dan penghilangan nyawa. Secara tidak langsung perempuan Papua teraniaya secara emosional dan psikis akibat suami dan anaklaki-laki mereka ditangkap atau dibunuh dan ini membuat kaum perempuannya harus menjadi tulang punggung keluarga dan menempatkan mereka dalam lingkaran kemiskinan tak berujung.
Dalam tatanan sistem budaya patriarkal, sejak lama perempuan telah mengalami pemiskinan melalui peminggiran perannya. Akan tetapi, masuknya eksploitasi sumber daya alam menyebabkan akselerasi laju proses pemiskinan. Jika dirunut, awalnya pemiskinan yang terjadi diakibatkan penghilangan hak warga atas tanah dan wilayah kelolanya, saat pemerintah memutuskan memberikan konsesi pertambangan pada pihak korporasi. Proses perubahan fisik dan ekologi bentang lahan terjadi bersama pembongkaran lahan, yang merusak sumber air, lahan, batu, hutan, dan laut yang diatur dalam nilai-nilai norma adat, yang kemudian menjadi rusak, hancur bahkan tidak dapat diselamatkan lagi.
Selanjutnya terjadi perubahan tata perekonomian, mulai dari tata produksi, tata konsumsi dan tata distribusi keluarga dipicu kerusakan bentang alam, sehingga sistem pengelolaan bersumber dari alam hilang, dipaksa berubah ke pasar. Corak produksi setempat berubah, dari non-tunai menjadi ekonomi tunai, bergantung pada mekanisme pasar. Sementara ekonomi biaya tinggi dan masuknya pendatang, mengubah gaya hidup warga baik secara sosial budaya dan ekonomi. Runtuhnya ikatan-ikatan sosial budaya di antara keluarga hingga anggota komunitas, yang terjadi setelah tanah dan kekayaan alam direnggut dari mereka. Gaya hidup konsumtif, daya ingat sosial yang terkikis hinggga merosotnya mutu kesehatan baik akibat limbah tambang, ataupun karena bawaan para penambang.
Secara politik, perempuan akan berhadapan dengan runtuhnya sistem kepemimpinan lokal yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap komunitas, karena berubah mendukung korporasi. Dalam ranah ini, perempuan juga tak diakui keberadaannya di ruang-ruang pengambilan keputusan, saat ruang-ruang perundingan hanya tersedia untuk lelaki, sebagai kepala keluarga.
Perempuan Melawan
Penjajahan baru melalui penjajahan ekonomi ini, khususnya sektor-sektor pembongkaran tanah justru memiskinkan perempuan. Dari waktu ke waktu kekerasan dan pemiskinan ini bertambah daftarnya, tak mendapatkan perhatian, atau jawaban dari Negara. Hak-hak mereka yang dilanggar juga tak mendapat pemulihan. Tapi terbukti perempuan tidak berpangku tangan, mereka melawan. Yosepha Alomang beserta barisan perempuan militan yang lain di tanah Papua yang secara lantang berani menentang Freeport, Susmiyati dan ibu-ibu tani yang tanpa lelah menolak hadirnya PT Indocement Tbk di tanah mereka di Pati. Perlawanan para perempuan itu tidak pernah padam, menyejarah dalam setiap epos perlawanan di tanah air tercinta. Sepeti ketika para perempuan dengan berbagai latar belakang suku, agama, kelas, dan ras berkumpul dan bersatu dalam Kongres yang dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 22 – 25 Desember 1928, peristiwa heroik yang menjadi latar belakang ditetapkannya Hari Ibu melalui Dekrit Presiden Soekarno No. 316 Tahun 1953 untuk mengapresiasi Pergerakan Perempuan. Majdoe Teroes Perempoean Indonesia!
(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email