Orang (peranakan) Arab diterima sebagai orang Melayu (pribumi), bahkan status sosialnya dianggap lebih tinggi daripada kebanyakan orang Melayu.
“Dulu, kita semua pribumi, ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri,” demikian nukilan pidato politik perdana Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta di Balai Kota, Jakarta Pusat, pada 16 Oktober 2017.
Pidato ini sontak menjadi viral karena gara-gara istilah “pribumi” yang dipakai Anies. Ia lantas memberikan klarifikasinya kepada media.
“Pokoknya, itu [istilah pribumi] digunakan untuk menjelaskan era kolonial Belanda. Jadi, Anda baca teks itu bicara era kolonial Belanda,” tandas mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI ini.
Tahun 1854, pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan undang-undang untuk mengatur pemisahan rasial dalam 3 tingkatan status sosial. Kelas pertama adalah golongan Europeanen atau orang-orang kulit putih Eropa. Yang kedua disebut Vreemde Oosterlingen atau Timur Asing yang meliputi orang (peranakan) Cina, Arab, India, maupun non-Eropa lainnya.
Sementara “pribumi” seperti yang disebut Anies Baswedan dalam pidatonya ditempatkan di kelas terbawah atau ketiga. Kata pribumi diistilahkan sebagai inlander dalam bahasa Belanda yang kemudian diidentikkan sebagai masyarakat lokal.
Dan, Gubernur DKI Jakarta yang terpilih sebagai penerus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ini adalah orang keturunan Arab.
Jika begitu, pribumi mana yang dimaksud oleh Anies?
Dikotomi Kolonial: Melayu dan Islam
Tentunya bukan tanpa alasan pemerintah kolonial Hindia Belanda menyebut masyarakat lokal dengan istilah pribumi atau inlander yang ditempatkan di kelas paling rendah.
Pemerintah kolonial bermaksud memberikan garis tegas untuk membedakan antara bangsa yang memerintah dan mayoritas mereka yang diperintah—dengan menempatkan kaum Timur Asing yang bukan sepenuhnya “pribumi” di tengah-tengah.
Bukan hanya itu. Melalui kebijakan-kebijakan politik kolonial yang supresif dan diskriminatif, golongan inlander kemudian diidentikkan sebagai masyarakat lokal yang memeluk agama Islam (Azyumardi Azra, Jejak-Jejak Jaringan Kaum Muslim, 2007:52). Sekali lagi, generalisasi ini politis: memudahkan pemerintah kolonial untuk menyebut rakyat kebanyakan karena Islam adalah agama mayoritas.
Dikotomi ala kolonial ini menyebabkan terjadinya salah kaprah dalam memaknai identitas orang Melayu. Orang Melayu yang dimaksud bukan hanya mereka yang tinggal di area Semenanjung Malaya dan sekitarnya, melainkan penduduk Nusantara secara keseluruhan, kecuali sebagian wilayah di kawasan timur. Orang Melayu inilah yang dimaksud kaum pribumi oleh pemerintah kolonial.
Seseorang dianggap Melayu asalkan memenuhi setidaknya 4 syarat tak tertulis yang diyakini sebagai penentu jatidiri orang Melayu. Syarat-syarat itu terdiri atas: menetap di kawasan Melayu, berbicara bahasa Melayu, mengamalkan adat-istiadat Melayu, dan memeluk agama Islam (Mahyudin Al Mudra, Problem Eurosentrisme dalam Kajian Melayu: Mencari Perspektif Alternatif, 2009).
Poin keempat, yakni memeluk agama Islam, pada akhirnya menjadi keniscayaan yang dianggap paling sakral untuk mengidentifikasi “kemelayuan” seseorang. Dengan kata lain, orang Melayu haruslah memeluk Islam.
Meredefinisi Identitas Pribumi
Dari pemahaman itu, muncul anggapan umum bahwa orang yang tinggal di kawasan Melayu tapi nonmuslim (semisal orang Kristen-Batak, Nias, penganut kepercayaan lokal, dan lainnya), jika melepaskan agamanya kemudian menganut Islam, sah menjadi orang Melayu.
Namun, “syarat” yang lebih longgar diberikan untuk orang-orang Arab beserta keturunannya yang telah menetap dan beranak-pinak di kawasan Melayu, termasuk di Indonesia.
Islam adalah kata kunci utama dalam konteks ini. Orang Arab diterima sebagai orang Melayu, bahkan status sosialnya dianggap lebih tinggi daripada kebanyakan orang Melayu sendiri (Amin Sweeney, Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, 2005).
Dengan demikian, seperti yang masih melekat dalam paradigma umum bahkan hingga kini, mereka yang mengaku sebagai orang Melayu (atau unsur terbesar yang menyusun golongan pribumi dalam dikotomi kolonial) haruslah beragama Islam.
Tak hanya di Indonesia, dikotomi warisan kolonial semacam ini juga masih terjadi di negara-negara serumpun lainnya macam Malaysia, Brunei, bahkan Singapura hingga sebagian Thailand dan Filipina.
Salah kaprah dalam mengidentifikasi orang Melayu sebagai golongan pribumi yang senantiasa dilekatkan dengan Islam—seperti yang telah digariskan oleh undang-undang kolonial—inilah yang semestinya diluruskan untuk menghindari sesat pikir lebih akut.
Kemelayuan dan keislaman adalah dua dimensi yang berbeda. Yang pertama adalah kategori etnis atau ras, sedangkan yang kedua merupakan kategori agama. Dalam pemilahan versi Muhammad Ansor, yang pertama merupakan hubungan horisontal, sedangkan yang kedua relasi vertikal (Muhammad Ansor, “Pembacaan Kontemporer Atas Islam, Melayu dan Etnisitas,” 2005). Paradigma seperti inilah yang mengakibatkan tumpang-tindih antara etnisitas sebagai struktur sosial dengan agama sebagai sistem kepercayaan.
Jika Anies Baswedan berkilah bahwa ia menyebut “pribumi” dalam konteks kolonial, maka dirinya, sebagai keturunan Arab, juga tidak termasuk kaum yang disebutnya “ditindas” dan “dikalahkan” itu. Sama dengan peranakan Timur Asing lain atau Vreemde Oosterlingen sesuai undang-undang pemerintah Hindia Belanda tahun 1854.
Kalaupun Anies hendak memaknai istilah “pribumi” sebagai totalitas elemen bangsa yang berhadap-hadapan dengan kolonialisme, mengapa tidak menggunakan istilah lain yang lebih netral untuk konteks pasca-Orde Baru seperti “rakyat Indonesia” atau “rakyat Jakarta”?
(Tirto/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email