Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas
lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di
pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui
media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet, dan
lain-lain). Fenomena modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini
popular dengan sebutan globalisasi.
Sebagai akibatnya, media ini, khususnya televisi, dapat dijadikan
alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok orang atau golongan untuk
menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai moral, untuk
mempengaruhi atau mengontrol pola fikir seseorang oleh mereka yang
mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Persoalan sebenarnya
terletak pada mereka yang menguasai komunikasi global tersebut memiliki
perbedaan perspektif yang ekstrim dengan Islam dalam memberikan
criteria nilai-nilai moral; antara nilai baik dan buruk, antara
kebenaran sejati dan yang artifisial.Di sisi lain era kontemporer
identik dengan era sains dan teknologi, yang pengembangannya tidak
terlepas dari studi kritis dan riset yang tidak kenal henti. Dengan
semangat yang tak pernah padam ini para saintis telah memberikan
kontribusi yang besar kepada keseejahteraan umat manusia di samping
kepada sains itu sendiri. Hal ini sesuai dengan identifikasi para
saintis sebagai pecinta kebenaran dan pencarian untuk kebaikan seluruh
umat manusia.
nabi ulul azmi menabuh gendrang dakwah untuk pertama kalinya, saat
itu pula mereka menghadapi berbagai kendala dan konspirasi dari para
pemuka orang-orang kafir dan penentang hak-hak manusia, Masalah ini
menandai dimulainya konfrontasi abadi antra front kebenaran dan
kebatilan sepanjang sejarah dimana hal ini tak dapat dihindari, kapan
pun dan dimana pun. Namun perlu dicatat di sini bahwa tak ada satu pun
dari agama samawi dan para pembawa pesannya yang menghadapi cobaan
begitu berat dan pedih seberat dan sepedih apa yang dirasakan oleh Islam
dan Nabi Muhammad saw. Berkaitan dengan hal ini, Nabi Muhammad saw
bersabda: “Tidak ada satu nabi pun yang disakiti sebagaimana aku
disakiti.”1
Sejak Nabi saw mendeklarasikan pesan: “Katakanlah bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah, niscaya kalian selamat” lalu beliau berdakwah secara
terang-terangan, para pemuka kafir membentuk kekuatan dan front bersama
untuk menghadapi dakwah ini dan mereka selalu berusaha untuk
melenyapkannya. Dengan menutup mata atas semua perbedaan internal yang
ada di antara mereka sendiri, pelbagai kekuatan batil hanya memfokuskan
pada tujuan bersama mereka, yaitu mencegah tersebarnya pesan Islam ini
dan kemudian menghancurkannya.
Salah satu perang yang dikobarkan untuk menentang kaum Muslimin adalah
peperangan yang terkenal dengan dengan sebutan perang Ahzab. Dinamakan
perang Ahzab karena dalam perang ini seluruh pembesar kafir bersatu padu
untuk melenyapkan Islam yang baru dengan seluruh kekuatan yang mereka
miliki.
Keistimewaan dan rahasia apa yang dimiliki ideology Islam sehingga
membuat pelbagai kekuatan kebatilan kebakaran jenggot dan meradang
seperti ini?
Tak diragukan lagi bahwa pesan abadi dan pembebas “kalimat tauhid-lah”
yang menjadikan para pembesar kafir dan para tiran meradang dan gregetan
alias gemas. Pesan inilah yang menafikan seluruh tuhan buatan dan
pelbagai kekuatan palsu dan hanya mengakui secara resmi keberadaan satu
Tuhan, Pencipta semesta alam.
Pesan inilah, sebagaimana saat turunnya, mampu menghancurkan semua
infrastruktur yang salah,pelbagai tradisi dan budaya sesat yang telah
mengakar dalam masyarakat di waktu itu dan membebaskan manusia di zaman
itu dari pelbagai rantai yang membelenggu mereka dan melapangkan jalan
kebangkitan dan penentangan kelompok tertindas terhadap pemegang
kekuasaan yang zalim, hari ini pun bak pelita yang tetap menyala di
tangan para pencari jalan kebenaran dan kaum tertindas.
Para tiran di zaman Nabi saw dengan baik menyadari realita ini, yaitu
bila agama baru dan budaya yang agung serta pembebas ini dibiarkan
tumbuh dan berkembang secara normal dan aman-aman saja di tengah
masyarakat, maka ini akan berdampak pada goncangnya singgasana kekuasaan
mereka. Dan inilah kenyataan yang sekarang dikhawatirkan oleh dunia
kafir dan kekuatan adi daya. Dan masalah inilah yang memicu bersatunya
pelbagai kekuatan sesat dan batil sepanjang sejarah manusia guna
menentang para nabi dan utusan Allah.
Jadi, dapat dikatakan bahwa bahwa problem antara Islam dan kafir
merupakan manifestasi dan lanjutan dari permusuhan antara front
kebenaran dan kebatilan. Dan pembahasan yang kami kemukakan sekarang
dalam artikel ini berkaitan dengan problematika kontemporer dunia Islam
dan mengenal hakikatnya supaya kita dapat menemukan jalan/solusi untuk
mengatasinya. Sebab, tanpa mengenal dan menyingkap pelbagai problematika
secara benar maka kita tidak mungkin dapat memecahkan dan menyikapinya
secara bijak dan dewasa.
Problematika Kontemporer:
Masa yang kami maksudkan di sini dimulai dari sejak jatuhnya Dinasti Usmani di dunia Islam dimana dibagi dalam dua bagian:
1- Masa sebelum Kebangkitan Islam:
Dunia Salib Barat, pasca runtuhnya Dinasti Usmani karena masalah
internal yang kala itu disebut dengan “kematian orang yang sakit”, yakin
sekali bahwa tidak ada lagi kekuatan di dunia Islam yang secara militer
mampu berhadapan dengan Barat. Kemudian mereka menyusun program
“pelucutan Islam” dari kancah social masyarakat Islam. Program musuh ini
bertujuan untuk mengubah identitas dan memutuskan tali hubungan umat
Islam dengan latar belakang peradaban dan budaya masa lalunya. Sebab,
musuh-musuh Islam sadar benar bahwa komitmen umat Islam terhadap akidah
dan ikatan-ikatan keagamaan serta moral adalah hal yang selalu
berpotensi mendatangkan lampu merah alias bahaya bagi mereka. Dan
berikut ini kami akan menyebutkan beberapa sebab dan factor masalah ini.
Alhasil, untuk mencapai tujuannya di era
ini dan mengkikis kekuatan kaum Muslimin, musuh menetapkan aksi-aksi di
bawah ini sebagai bagian dari agenda dan program mereka:
a. Membagi kawasan Islam menjadi beberapa negara-negara kecil.
b. Mengangkat penguasa-penguasa yang menjadi boneka mereka.
c. Mengeksploitasi para penulis bayaran untuk tujuan-tujuan berikut:
– Memunculkan instabilitas akidah masyarakat.
– Menyebarkan pemikiran-pemikiran asing.
– Mengubah identitas budaya dan agama Islam.
Memecah dunia Islam menjadi beberapa negara kecil dari satu sisi dan
mengangkat penguasa-penguasa boneka untuk mengaktualisasikan program
pengaburan/pengkikisan identitas dari satu sisi yang lain termasuk
agenda musuh yang sukses dijalankan dengan baik di era ini.
Dalam bidang ini, peran para pemikir yang kebarat-baratan dan para
penulis yang secara sadar atau tidak kadang-kadang bergerak sesuai
dengan apa yang telah digariskan dan diprogram oleh musuh tidak kalah
daripada peran para penguasa boneka mereka. Para penulis yang telah
terkontaminasi dengan aroma weternisasi, seperti Toha Husein dan Salam
Musa di Mesir dan dunia Arab, Diya’ Kuk Old di Turki, Sayid Ahmad Khan
di India, dan Qasim Amin dan Taqi Zodeh di Iran, dan tentu masih banyak
lagi para penulis dan kolomnis koran dan majalah lainnya yang nama
mereka dapat disebut, menilai bahwa jalan kemajuan dapat dicapai dengan
membebek dan mengikuti pola hidup ala Barat. Mereka menekankan masalah
ini dalam pelbagai tulisan, orasi dan konferen-konferensi yang mereka
ikuti.
Qasim Amin adalah pendukung keras anti jilbab, karena menurutnya
fenomena religius, seperti jilbab kaum wanita mencegah kemajuan umat
Islam. Sebagian dari mereka menganggap bahwa mengubah tulisan ke latin
adalah salah satu cara lain untuk mendekatkan umat Islam ke kafilah
peradaban manusia. Sebagaimana hal ini dipraktekkan secara resmi di
Turki. Akibatnya, hubungan masyarakat dengan tulisan Al Qur’an pun
terputus.
Meskipun permusuhan ini secara lahiriah menandai adanya peperangan
antara tradisi dan modernitas, dan para pemikir ini mengklaim bahwa
mereka berusaha untuk mengantarkan masyarakat pada kafilah peradaban
manusia, namun sejatinya mereka hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh
musuh dalam pertarungan ini; pertarungan yang esensinya adalah
permusuhan peradaban dan budaya yang bertujuan untuk memutuskan umat
Islam dari latarbelakang peradabannya.
Musuh sangat memahami bahwa selama hubungan masyarakat Islam dengan
budaya dan peradaban masa lalu mereka terbangun dengan baik, maka hal
itu berpotensi mendatangkan bahaya dan sewaktu-waktu dapat menggerakkan
perlawanan dan resisitensi masyarakat terhadap serangan bangsa asing.
Musuh mengetahui bahwa budaya ini memiliki benteng yang kokoh yang mampu
memberikan pertahanan dan daya tahan khusus di hadapan serangan
membabi-buta mereka, dan benteng yang dimaksud adalah akidah
(keyakinan). Oleh karena itu, mereka berusaha semaksimal mungkin untuk
membuat dan merancang strategi yang kiranya dapat melemahkan
faktor-faktor, yang, membuat umat Islam terikat dengan keyakinan dan
kepercayaan keagamaan mereka.
Berkaitan dengan hal ini, ada suatu fenomena menarik yang kiranya dapat
menjadi bahan renungan kita bersama, yaitu pada tahun 1920 M dan
selanjutnya di daerah yang paling strategis di beberapa kawasan dunia
Islam yang notabene berbeda secara bahasa, geografi dan mazhab, namun
uniknya para pemimpin di pelbagai kawasan ini secara serempak menyatakan
perang dan protes keras terhadap pelbagai symbol dan identitas
keagamaan dan budaya masyarakat mereka sendiri. ‘Di Turki, pasca
tumbangnya Pemerintahan Usmani, Musthafa Kamal Atatruk mengambil tampuk
kepemimpinan pada tahun 1923 M, di Iran dikuasai oleh Reza Pahlavi pada
tahun 1925 M dan di Afganistan kursi kekuasaan diduduki oleh Amanullah
Khan pada tahun 1919 M.
Yang menarik, di tiga kawasan strategis Islam tersebut semua penguasanya
melakukan gerakan yang nyaris sama dimana mereka semua berusaha merusak
budaya lokal dan mengajak masyarakat untuk mengikuti gaya hidup ala
Barat serta memerangi dengan serius segala bentuk fenomena keagamaan,
seperti jilbab, masjid, shalat, para alim ulama, tulisan Arab, dan
pelbagai fenomena religius dan budaya masyarakat lainnya.
Tak syak lagi, fenomena ini bukanlah suatu kebetulan semata dan juga
tidak apat dikatakan bahwa mereka sebenarnya berusaha untuk memerangi
kemunduran dan berpikir untuk kemajuan bangsa mereka. Para pemimpin
boneka ini dengan sadar sedang memainkan scenario penjajah di
negara-negara yang mereka ditugaskan di situ. Oleh karena itu, di era
tersebut para penguasa inilah yang menandatangani kontrak/perjanjian
politik dan militer yang paling merugikan.
Di seluruh negara dan kawasan Islam lainnya juga terjadi keadaan yang
serupa. Termasuk program dan agenda yang diterapkan dengan serius dan
sistematis di era ini di pelbagai negeri Islam lainnya adalah
mensosialisasikan pelbagai pemikiran dan “isme” yang diimpor dari Timur
dan Barat dan menyebarkan paham nasionalisme serta menghidupkan kembali
pelbagai adat istiadat dan tradisi kaum Jahiliya dengan asumsi bahwa hal
tersebut merupakan latarbelakang nasional.
Kendatipun pelbagai konspirasi ini mendapat perlawanan kuat dan reaksi
keras serta efektif para ulama Islam, khususnya ulama Syiah di Iraq dan
Iran, namun lemahnya sarana dan alat dakwah dibandingkan dengan sarana
yang digunakan pihak musuh dan usaha biadab dan tak manusiawi pihak
penguasa dalam mengkikis peran ulama dan menghentikan gerakan-gerakan
Islam, menyebabkan budaya impor ini berhasil melakukan penetrasi secara
mendalam di banyak dari masyarakat Islam.
Sebagai contoh, di zaman inilah, Jamal Abdu Nasir di Mesir dan kalangan
intelektual dan para pembaharu, seperti Sayid Qutub dan Hasan al Banna
dibunuh dan gugur sebagai syahid. Bahkan gerakan dan ormas “Ikhwanu
Muslimin” pun dibubarkan dan berusaha dihancurkan. Di saat yang sama dan
seolah sebagai alternatifnya, dikibarkanlah bendera “Nasionalisme Arab”
sebagai satu ideologi. Hal ini menandai bahwa perang budaya yang
disertai dengan penghancuran pelbagai gerakan Islam telah ditabuh di
Mesir.
Di banyak negara Arab faham nasionalisme berkolaborasi dengan
sosialisme. Kolaborasi ini begitu penting karena meskipun nasionalisme
Arab mempunyai daya tarik kebangsaan, namun ia sendiri tidak cukup untuk
mengisi kekosongan pada program dan pedoman kehidupan. Karena itu,
sosialisme disosialisasikan sebagai system politik-sosial yang
berdampingan dengan nasionalisme Arab.
Dan dengan penggabungan ini, setelah mensosialisasikan penon-aktifan
agama dari panggung social, mereka berusaha untuk mengisi kekosongan
ideologi. Di zaman itu, ideologi Sosialisme-Marxsisme yang berseberangan
dengan sistem Kapitalisme yang menjadi penguasa dunia tampil sebagai
sistem politik revolusioner baru yang memiliki daya tarik tersendiri di
kalangan anak-anak muda dan para mahasiswa. Karena alasan ini, di banyak
negara Arab, nasionalisme Arab yang memiliki karakter sosialisme
berhasil mengait pengikut dan simpatisan,khususnya di kalangan
cendekiawan dan generasi muda. Di Iraq, kelompok Komunis—karena dukungan
dan lampu hijau dari pemerintah—secara terang-terangan bergabung dengan
Materialisme-Marxsisme yang dasar pemikirannya berhaluan pada
pengingkaran terhadap metafisik dan Pencipta alam. Dengan kata lain,
mereka mengajak masyarakat kepada kekufuran dan ketidakberimanan kepada
Tuhan. Masalah ini memunculkan kecaman dan protes keras kalangan agamis,
sehingga Ayatullah al-‘Udzma Sayid Muhammad Hakim mengeluarkan fatwa
bersejarah yang berlebel “Komunisme adalah kafir dan tak kenal Tuhan” .
Fatwa ini berhasil menghentikan kesesatan tersebut. Sebab, dengan
keluarnya fatwa ini masyarakat termotivasi untuk melakukan kebangkitan
kolektif dimana mereka menyerang pusat kelompok sesat ini, sehingga
membuat pemerintah mengubah sikapnya dan menarik dukungannya terhadap
gerakan Komunis ini.
Oleh karena itu, dengan mudah dapat dikatakan bahwa tujuan dan agenda
musuh di era ini dan di masa sebelum dimulainya kebangkitan Islam secara
utama terpusat dan terfokus pada usaha menyingkirkan peran agama dan
menumbuhkan pemikiran Materialisme.
Keimanan yang kuat dan kokoh masyarakat terhadap Islam dan pelbagai
ajaran abadi Al Qur’an menjadi penghalang melemahnya keterikatan mereka
pada Islam, meskipun serangan musuh di era ini bak ombak besar yang
menerjang masyarakat Islam dari pelbagai arah, dan kendatipun sekolah,
dan universitas, koran, majalah, pena-pena bayaran, dukungan para
pengusa boneka berhasil menyebarkan budaya impor dan gaya hidup Barat
dan pelbagai asesorisnya di tengah masyarakat.
Tetapi, mereka sama sekali tidak mampu mengubah identitas asli Islam
masyarakat dan hubungan mereka dengan Islam. Sebagai contoh, di Turki,
meskipun setelah jatuhnya Kerajaan Usmani, penguasa boneka Barat
berhasil menjalankan pemerintahan sekularis dan menggunakan pendekatan
kekerasan dalam rangka menerapkan program “menyingkirkan Islam”, seperti
mengubah huruf Arab, melarang wanita memakai jilbab, dan bahkan
mengubah model pakaian dan menyebarkan Nasionalisme Turki dst… dll.
Namun, setelah beberapa decade berlalu; dengan hanya tersedianya
kebebasan untuk menampakkan akidah dan terciptanya kondisi untuk
mewujudkan keinginan masyarakat, maka hanya satu kelompok politik yang
menang, yaitu yang kendaraan politiknya bernamakan Islam.
Berkaitan dengan masalah Palestina juga demikian halnya. Meskipun para
pemimpin bayaran dan para tokoh negara Arab yang pro-Barat dalam
beberapa tahun yang lalu berusaha melihat masalah Palestina dari kaca
mata non-Islam dan memberikan warna Nasionalisme Arab padanya, namun
sekarang kita menyaksikan di Palestina bahwa gerakan politik dan ormas
yang berhasil menarik mayoritas suara rakyat adalah gerakan politik dan
ormas yang memperkenalkan dirinya dengan syiar jihad.
2. Era Kebangkitan Islam:
Kebangkitan Islam adalah nama dari suatu tahapan dimana kaum
Muslimin—setelah berabad-abad terlelap dalam tidur dan
kelalaiannya—mengharapkan hegemoni Islam di tengah masyarakat mereka.
Era ini identik dengan kembalinya orang-orang Islam pada peradaban
terdahulunya dengan tujuan menghidupkannya kembali. Tahapan ini bisa
disebut era percaya diri dan penolakan terhadap semua solusi
politik-sosial yang diimpor dari Timur dan Barat, dan kembali pada
kekuasaan politik Islam.
Keberhasilan kebangkitan Islam ini yang mampu
mengubah secara luas wajah dunia dimotori oleh para reformis, pembaharu,
gerakan-gerakan Islam, pusat-pusat pencerahan yang dipimpin oleh para
ulama dan hauzah (sentral-sentral pendidikan tradisional agama) di Irak
dan Iran.
Tak diragukan lagi, terdapat
banyak faktor yang melatarbelakangi perubahan ini, dan kami akan
mengisyaratkan sebagiannya di bawah ini:
1.Telah tampak dengan jelas ketidakberdayaan semua pemikiran dan “isme” yang diimpor dari Timur dan Barat.
2.Telah terbongkar kedok para penguasa boneka dan para pengklaim gerakan
modernisme sebagai antek-antek penjajah dan masyarakat sudah tidak
percaya lagi terhadap kinerja mereka pada sejarah kontemporer.
3.Tindakan zalim para penguasa boneka yang sangat keterlaluan dan mereka
dengan sengaja mengunakan aset dan kekayaan nasional untuk kepentingan
penjajah.
Dengan kemenangan Revolusi Islam Iran, seolah ruh dan nyawa baru
ditiupkan pada kebangkitan ini. Revolusi Islam Iran menjadi contoh bagi
pelbagai gerakan kebebasan untuk semua orang-orang tertindas didunia.
Revolusi Islam Iran dengan kepemimpinan Imam Khomaini adalah bak ledakan
cahaya di tengah dunia gelap yang melanda orang-orang tertindas.
Musuh awalnya berada dalam kebingungan di hadapan ombak dan perubahan
besar ini dan mereka berada dalam ketakutan yang luar biasa. Dan
akhirnya, mereka pelan-pelan mulai memikirkan bagaimana menemukan cara
dan strategi untuk menghadapi gelombang ombak ini.
Pertama, mereka memaksakan perang
melalui partai Ba’ts, Iraq yang dipimpim oleh Saddam Husein Takriti.
Kekuatan Adi Daya mendukung Saddam secara penuh (media, logistic, alat
militer) untuk menghancurkan Revolusi Islam yang baru berlangsung di
Iran. Dengan hancurnya Iran yang jelas-jelas mengangkat bendera Islam
maka harapan rakyat terhadap pemerintahan dan kemuliaan Islam di dunia
akan sirna. Di samping perang yang dipaksakan, Saddam juga menyiapkan
pelbagai ambisi pribadi jahatnya, namun gelombang ombak ini bukan hanya
tidak berhenti, tapi justru semakin tumbuh subur dan akarnya semakin
kuat. Gaung kebangkitan Islam di Iran justru—hari demi hari—semakin
menyebar kemana-mana dan gerakan Islam di Iran semakin matang dan mantap
dalam menghadapi pelbagai konspirasi musuh eksternal dan internal.
Sampai sekarang tekad dan perlawanan yang tumbuh dari kekuatan iman
masyarakat Muslim Iran menjadi faktor utama yang mampu menjaga cita-cita
Imam Khomeini dan pemerintahan Islam dan juga menjadi kunci
keberhasilan dalam menghadapi pelbagai konspirasi yang disusun sejak
awal Revolusi Islam Iran.
Hari demi hari dunia Islam terus menghadapi pelbagai konspirasi yang
dilancarkan para musuh untuk menghambat laju kebangkitan Islam.
Konspirasi ini bukan hanya tidak berhenti, bahkan hari demi hari lebih
dalam, lebih luas dan lebih sulit.
Untuk generasi yang hidup di era kebangkitan Islam dan Revolusi Islam,
sangat penting bagi mereka untuk mengetahui problematika kontemporer
dunia Islam dan tujuan buruk segi tiga kejahatan, yaitu kekuatan
kekufuran, Zionisme, dan kaum Salibisme internasional. Di samping
pengetahuan ini, memahami potensi dan kekuatan perlawanan serta unsur
kemenangan di hadapan musuh-musuh bersama akan menjamin basirah
(ketajaman mata hati) dan membuat kita yang berada di barisan kebenaran
mengenal bagaimana caranya menghadapi front kebatilan dalam peperangan
panjang yang sangat menentukan ini.
Esensi Problematika di Era Kebangkitan
Barat dalam analisa dan penelitiannya mengetahui dengan baik bahwa pesan
yang selalu menjadikan masyarakat Muslim tetap tegar bak tembok kokoh
di hadapan para tiran telah hidup untuk kedua kalinya di hati dan jiwa
masyarakat. Bangsa-bangsa Muslim, setelah cukup lama setelah beberapa
abad terlelap dalam kelalaian, kini telah kembali pada identitas
peradabannya. Pesan yang dimaksud Barat adalah pesan yang pernah
disampaikan di masa lalu, tepatnya di zaman turunnya Al Qur’an. Pesan
tauhid inilah yang mampu menyatukan masyarakat di hadapan para tiran
zaman itu, dan ia juga mampu berhasil membangun revolusi budaya
tersukses sepanjang sejarah manusia dan ia dapat membidani lahirnya
peradaban yang abadi dan cemerlang dalam sejarah.
Mereka telah merasakan pengalaman pahit di masa lalu yang tak
seberapa jauh, yaitu pasca jatuhnya Kerajaan Usmani dimana mereka
berpikir bahwa seluruh kekuatan Islam telah habis dan gulung tikar. Dan
mereka pun merasakan dahsatnya pengaruh pesan tauhid ini saat serangan
Napoleon ke Mesir dan kalahnya kekuatan militernya; saat kemenangan
rakyat Irak dan diusirnya kekuatan penjajah Inggris tahun 1920 M; saat
gagalnya rencana jahat penjajah Inggris di Iran dalam peristiwa
pengharaman tembakau; saat pendirian pemerintah Islam di benua India
dengan nama Pakistan; saat terbentuknya gerakan rakyat di Afganistan dan
terusirnya tentara Soviet; dan akhirnya saat terbentuknya gerakan jihad
di Palestina. Alhasil, musuh telah membuktikan dan melihat sendiri
keampuhan pesan ini dalam rentetan kemenangan pelbagai kelompok kecil
Islam yang bersenjatakan tidak secanggih musuhnya.
Oleh karena itu, musuh melihat bahwa dirinya berada di depan hidupnya
kembali suatu pemikiran yang tak dapat dibendung dengan aksi militer
ini, dan juga berada di hadapan pelbagai bangsa yang menginginkan
dipraktekkannya dominasi Islam dalam kehidupan social mereka.
Melihat realita tersebut, musuh menyusun strategi baru guna menghadapi
fenomena ini, meskipun dalam dua era sebelum dan setelah masa
kebangkitan Islam kekuatan Adi Daya menggunakan pendekatan perang
budaya. Namun pada masa kebangkitan Islam dan kalahnya rencana
penghapusan agama, penyebaran faham Liberalisme, yaitu program pemisahan
agama dari kehidupan di-setting untuk menjadi alternatifnya. Sebab,
Liberalisme di-make up sebagai kebebasan mutlak dan demokrasi yang di
satu sisi mengakui keberadaan agama dan keimanan kepada Tuhan sebatas
keyakinan dan adab-adab beribadah, namun di sisi lain ia menegaskan
supaya manusia membebaskan diri dari segala ikatan Ilahi dan religius
dalam masalah-masalah social dan kehidupan.
Dengan demikian, pada era pertama musuh berusaha memisahkan kaum
Muslimin dari keyakinan terhadap Tuhan dan metafisik, sedangkan pada era
kedua meskipun pihak Barat mengakui keberadaan metafisik, namun mereka
berupaya memisahkan agama dari pentas kehidupan, yakni menentang dan
melawan Islam sebagai system politik dan social.
Karena alasan inilah, Barat mulai melakukan peperangan yang keras
terhadap pemikiran Islam yang berbau politik. Sebab, bila pelbagai
bangsa di dunia mengenal pesan kebebasan Islam; dan jika saja penetrasi
ajaran-ajaran Islam yang sangat inspiratif dibiarkan begitu saja maka
ini sama dengan bunuh diri bagi mereka dan sudah barang tentu akan
menjadi ancaman serius bagi kemapanan imperialisme. Jadi, pesan
kebangkitan ini membuat musuh terancam justru di dalam rumahnya sendiri.
Dan berbeda dengan masa sebelumnya dimana musuh selalu meng-obok-obok
Islam di tubuh internal masyarakat Muslim, namun kali ini pesan Islam
mampu menembus batas kekuasaan musuh dan memaksanya bertahan di dalam
daerah kekuasaan dan pusat kekuatannya.
Adapun strategi yang disusun Barat untuk menghadapi dunia Islam pada era kebangkitan Islam adalah:
1.Mengkikis peran Islam dari percaturan masyarakat dunia.
2.Menghapus peran Islam di antara masyarakat Islami sendiri.
3.Melucuti infrastruktur dan potensi yang dimiliki negara-negara Islam.
Sekarang, kami akan menjabarkan ketiga strategi tersebut di bawah ini:
a. Mengkikis peran Islam dari percaturan masyarakat dunia
1.Meragukan keberadaan Islam sebagai agama samawi.
2.Meragukan keotentikan Al Qur’an.
3.Mendistorsi sejarah dan kehidupan Nabi Muhammad saw yang jelas-jelas diakui kebenarannya oleh seluruh umat Islam.
4.Memberikan gambaran yang tidak benar berkenaan dengan ajaran Islam dan Al Qur’an, dan mengenalkannya sebagai sumber kekerasan.
5.Mewujudkan kebencian dan ketegangan di antara kaum Muslimin dan para pengikut agama lainnya, khususnya umat Kristen.
6.Mengadakan pelbagai seminar ilmiah dan mendirikan pusat penelitian
untuk mengenal Islam dengan tujuan untuk mempelajari kelemahan dan
kekurangan agama Islam.
b. Menghapus peran Islam di antara masyarakat Islam sendiri dan menyebarkan
pemikiran Liberalisme
1.Menolak kemampuan Islam dalam mengatur kehidupan manusia kontemporer.
2.Kontradiksi antara hukum social Islam dan modernitas.
3.Meragukan kembali hal-hal yang sudah pasti dan disepakati dalam Islam,
seperti jilbab, hukum waris, hukum peradilan Islam, dan menganggap
hokum-hukum tersebut hanya berlaku dan cocok pada masa tertentu.
4.Melawan otoritas para ulama.
5.Menolak ijtihad dan taklid dan tidak setuju kepada keharusan spesialisasi dalam hukum Islam.
6.Menyebarkan penghalalan apa saja dengan
dalih kebebasan.
1.Menanamkan keraguan pada keyakinan beragama para pemuda berkaitan dengan masalah dasar-dasar epistimologi Islam.
2.Mensosialisasikan pemahaman yang dimpor dari pusat akademi Barat dan
menerapkannya pada prinsip-prinsip epistimologi Islam, seperti;
pluralisme agama, hermeneutic, menolak kebenaran makna lahiriah Al
Qur’an dan hadis dan pembahasan-pembahasan yang serupa dengan ini.
3.Memerangi prinsip dan nilai akhlak yang mendominasi masyarakat Islam
dengan memanfaatkan konvensi internasional dengan judul hak-hak asasi
manusia, hak-hak perempuan, kebebasan dan lain-lain dan kemudian memaksa
negara-negara Islam untuk menjalankan keputusan ini.
c. Melucuti infrastruktur dan potensi yang dimiliki negara-negara Islam
1.Menyalakan konflik antar pelbagai kaum dan mazhab di dalam negara-negara Islam.
2.Mendalangi terjadinya krisis dan ketegangan politik di negara-negara Islam melalui antek-antek bayaran mereka.
3.Mengembangbiakkan teroris dan mewujudkan instabilitas di tengah masyarakat Islam.
4.Memecah belah di antara negara-negara Islam untuk mencegah persatuan
dan keharmonisan hubungan sesama mereka dan menghalangi kemungkinan
tercapainya satu kata atau satu sikap di pelbagai lembaga dan organisasi
internasional.
1.Menghancurkan pondasi perekonomian negara-negara Islam dan
menghabiskan kekayaan alam anegerah Ilahi pelbagai negara ini dengan
tujuan menahan potensi pertumbuhan masyarakat Islam.
Strategi ini menggunakan beberapa kiat di bawah ini:
– Menciptakan musuh imajiner dengan maksud memaksa suatu negara untuk membeli senjata dangan modal besar.
– Membuat pelbagai negara sibuk dengan masalah-masalah dalam negeri dan
menjadikan mereka terpaksa menaggung biaya yang sangat besar untuk
mengontrol keadaan dalam negerinya.
– Memunculkan krisis dengan tujuan untuk menahan laju perkembangan ekonomi.
1.Melemahkan rasa percaya diri bangsa-bangsa Islam dan menanamkan
rasa putus asa di antara mereka dengan tujuan menghilangkan spirit
perlawanan dan rasa percaya diri. Dan mematikan segala usaha di bidang
independensi unsur bersama pada seluruh tema yang telah kami paparkan di
atas, politik, dan mendesain pelbagai problema dan fitnah ini dalam
kemasan perang budaya dan peradaban. Sebab, sebagaimana yang telah kami
singgung bahwa fenomena kebangkitan Islam tidak akan pernah dicegah oleh
musuh melalui pendekatan dan aksi militer.
Referensi:
1-Bihar al-Anwar, juz 39, hal. 56.