Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Menteri. Show all posts
Showing posts with label Menteri. Show all posts

Kesaksian Bekas Menteri Kabinet Dwikora


M ACHADI adalah satu dari sedikit saksi sejarah peristiwa G30S tahun 1965 yang masih hidup. Saat peristwa itu terjadi Achadi menjabat sebagai menteri koperasi dan transmigrasi Kabinet Dwikora, disamping sebagai rektor Universitas Bung Karno (UBK) yang dibubarkan setelah Soeharto berkuasa.
Menurut Achadi, Soeharto adalah tokoh yang paling bertanggung jawab atas peristiwa pembantaian jutaan orang yang terjadi pasca G30S, atau peristiwa yang oleh Bung Karno disebut sebagai Gerakan Satu Oktober (Gestok).


Usai peristiwa yang menewaskan enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat itu Bung Karno membentuk tim Epilog G30S. Tugas utama tim itu adalah untuk mencegah aksi pembantaian dan perang saudara di grass root yang menggunakan tameng peristiwa itu.

“Itu adalah masa-masa kelam dalam sejarah republik kita. Siapa saja yang ingin membunuh, dapat dengan seenaknya menuduh si anu sebagai anggota atau kader PKI (Partai Komunis Indonesia). Bung Karno berkali-kali menyerukan agar pembantaian dihentikan,” cerita Achadi kepada Situs Berita Rakyat Merdeka.
Bung Karno menunjuk Wakil Perdana Menteri III yang juga Ketua Periodik Front Nasional Caerul Saleh sebagai ketua tim. Soeharto yang saat itu berpangkat mayor jenderal dan memegang posisi sebagai Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) diangkat sebagai anggota Tim Epilog.

Anggota lain adalah Menteri Penerangan Achmadi yang juga Ketua G3 Koti; Jaksa Agung Soetardio; Sekjen Front Nasional Soedibjo; dan Achadi sendiri.

“Sebagai Pangkopkamtib, Soeharto sama sekali tak pernah menyerukan agar aksi pembunuhan di banyak tempat dihentikan. Dia juga tidak pernah menggelar pasukan untuk menghentikan rakyat membunuh sesamanya. Bahkan ada kesan, Angkatan Darat yang berada di bawah kekuasaan Soeharto justru mensponsori pembantaian-pembantaian tanpa pengadilan itu,” kenang Achadi lagi.

Di satu sisi, dia mengenang, Bung Karno sering kali menyerukan agar Angakatan Darat menghentikan pembantaian tersebut. Namun seruan Bung Karno sama sekali diabaikan. Di mata Soeharto dan Angkatan Darat kala itu, Bung Karno bukan lagi pemimpin yang harus didengarkan.

Pembantaian yang terjadi pasca G30S atau Gestok, sebut Achadi lagi, adalah satu dari sekian banyak hal yang harus dipertanggungjawabkan Soeharto.

“Bagaimanapun, harus ada clearance terhadap orang-orang yang tanpa sebab akibat yang jelas dibantai. Harus ada upaya mengembalikan nama baik orang-orang yang ditangkap dan dipenjarakan di masa-masa itu,” sebutnya lagi.

Achadi sendiri, setelah Soeharto menjadi pejabat presiden pada Maret 1967, termasuk menteri yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan yang jelas. Dia mendekam di hotel prodeo selama 12 tahun.

Menteri Era Bung Karno: Posisi Soeharto Misterius


MUHAMMAD Achadi, salah seorang menteri di era Bung Karno, menyarankan agar para pimpinan di MPR, DPR dan DPD segera menghentikan kontroversi mengenai Soeharto: apakah melanjutkan atau menghentikan proses peradilan pemimpin Orde Baru itu. Terlalu lama membiarkan kontroversi mengenai Soeharto merebak dapat memecah belah rakyat, dan seterusnya dapat dimannfaatkan pihak lain untuk menghancurkan bangsa dan negara.


Achadi adalah satu dari 15 menteri Kabinet Dwikora yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Soeharto dan rezim Orde Baru begitu Soeharto mengantongi Surat Perintah 11 Maret 1996. Usai peristiwa pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira muda Angkatan Darat dinihari 1 Oktober 1965, Achadi dalam kapasitasnya sebagai rektor Universitas Bung Karno (UBK) dan sejumlah menteri, termasuk Soeharto yang menggantikan Jenderal Ahmad Yani sebagai menteri panglima Angkatan Darat, duduk dalam sebuah tim yang dikenal dengan nama Tim Epilog.

Tim yang bertujuan untuk mencegah perpecahan di kalangan rakyat menyusul tragedi nasional itu dipimpin langsung oleh Bung Karno dan sehari-hari dipimpin oleh wakil perdana menteri III yang juga ketua MPRS Chaerul Saleh. Yang juga turut menjadi anggota tim itu adalah menteri penerangan mayor jenderal Achmadi, jaksa agung Sutardjio, dan sekjen Front Nasional Sudibjo. Anggota tim ini berkewajiban mengumpulkan informasi mengenai dampak politik sampai di tingkat grass root pasca-Gestok atau Gerakan 1 Oktober 1966–istilah yang digunakan Bung Karno untuk menyebut peristiwa pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat itu.

Pekerjaan Tim Epilog ini berantakan menyusul aksi Soeharto yang dengan menggunakan SP 11 Maret melakukan penangkapan terhadap menteri-menteri Kabinet Dwikora termasuk semua anggota Tim Epilog.
Setelah beberapa bulan bersembunyi di Jakarta, awal Mei 1966 Achadi akhirnya ditangkap oleh pasukan Soeharto. Tadinya, ia hanya diminta memberi penjelasan kepada Batalyon Polisi Militer Angkatan Darat mengenai isu yang mengatakan dirinya membentuk pasukan liar. Namun begitu berada di markas POM Angkatan Darat, Achadi segera dijebloskan ke tahanan tanpa pengadilan. Ia dibebaskan setelah dipenjara selama 10 tahun.

Padahal, kata Achadi yang berbicara di Jakarta, SP 11 Maret itu isinya memerintahkan pemegangnya, dalam hal ini Soeharto, untuk mengambil tindakan yang dipandang perlu demi kelancaran revolusi dan pemerintahan. Tindakan-tindakan tersebut harus merujuk pada lima poin yang disebutkan dalam SP 11 Maret, yakni, pertama menjaga kewibawaan Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi; kedua menjaga keselamatan Presiden dan keluarga.; ketiga melaksanakan ajaran Bung Karno; keempat berkoordinasi dengan angkatan lain; dan kelima melaporkan pelaksanaan tugas kepada Presiden.

“Kalau kita lihat dari sisi proses perjuangan bangsa, posisi Soeharto misterius, kalau tak mau disebut negatif. Dia hanya menggunakan sebagian dari tugas yang diberikan Bung Karno untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, sampai Bung Karno sendiri ditahan dan dibungkam lewat Tap MPRS XXXIII/1966. Dan untuk menutupi semua itu, sekarang disebutkan bahwa naskah asli SP 11 Maret hilang,” ujar Achadi.
Padahal, sambungnya lagi, menghilangkan dokumen resmi negara termasuk perbuatan kriminal dan dapat dihukum maksimal 15 tahun. Belum lagi, masih kata Achadi, pengakuan Soeharto bahwa dirinya memerintahkan langsung petrus atau penembakan misterius yang ditujukan untuk menekan angka kriminalitas dalam biografinya, dapat dijerat dengan pasal kriminal. Ancaman hukuman untuk kejahatan seperti ini maksimal seumur hidup.

“Boleh saja orang merasa kasihan melihat sakitnya Soeharto, karena ia sudah tua. Boleh begitu secara pribadi. Bisa juga orang simpati karena mendapat jabatan atau harta selagi Soeharto berkuasa. Tetapi yang juga harus diperhatikan adalah perjalanan perjuangan bangsa. Dari sudut pandang ini Soeharto telah dengan sengaja menghabisi lawan politiknya dan melakukan pelanggaran HAM yang luar biasa.”

Mungkinkah pimpinan MPR, DPR dan DPD menggelar rapat khusus untuk membahas kontroversi Soeharto? Menurut Achadi mungkin sekali. Presedennya ada, yakni ketika Republik Indonesia Serikat yang dibentuk dalam Konferensi Meja Bundar di Belanda tahun 1949 dibubarkan tahun 1950. Saat itu, MPR RIS dan DPR RIS menggelar sidang dan sepakat untuk membubarkan RIS dan kembali kepada NKRI. Selanjutnya MPR RIS dan DPR RIS menyatakan menjadi MPR dan DPR RI.

Terkait Berita: