Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Kesaksian. Show all posts
Showing posts with label Kesaksian. Show all posts

Cucu Malcolm X Masuk Syi’ah


Setelah masa muda yang penuh masalah,Malcolm Shabazz berusaha untuk mengikuti jejak kakeknya, Malcolm X. Dia juga cucu dari Dr. Betty Shabazz yang meninggal pada tahun 1997 setelah menderita luka bakar di apartemennya. Malcolm yang saat itu berusia 12 tahun mengaku bersalah telah menyulut api. Ibunya yang pada saat umur empat tahun melihat ayahnya ditembak,Qubilah Shabazz, memberi tahu bahwa neneknya wafat.
Malcolm duduk di penjara dan berbicara kepada arwah neneknya, memohon tanda agar dimaafkan. “Saya hanya ingin dia tahu bahwa saya menyesal. Saya ingin tahu bahwa dia menerima permohonan maaf ini, karena saya tidak bermaksud demikian,” kenangnya. “Tapi saya tidak mendapat jawaban, meski ingin.” Enam tahun setelah kebakaran, dia kembali masuk penjara—kali ini penjara orang dewasa dengan tuduhan pencobaan perampokan. Tapi ia masih mencari kesempatan untuk melanjutkan kehidupan, dan dunia melihatnya akan melihatnya sebagai cucu dari seorang martir.
Malcolm tumbuh jauh dari kilauan ketenaran nama yang diwariskan. Selama bertahun-tahun ia berjuang memenuhi harapan untuk mengikuti jejak kakeknya, meskipun ia mendapat manfaat hubungan keluarga dan dukungan para pengagum Malcolm X. Tapi dia ingin mencapainya sendiri. “Saya punya tujuan. Saya punya rencana. Saya ingin orang tahu apa yang terjadi pada saya.”
Butuh waktu selama 22 bulan. Bahkan untuk menghadapi komentar sinis tentangnya: pembakar dengan gangguan mental. “Menurut catatan, saya didiagnosa dengan banyak hal. Saya mendengar banyak suara dan hal. Saya skizofrenia, saya depresi berat. Saya tidak akan bisa duduk tenang jika semua itu benar.” Ruth Clark, ibu baptis Malcom, berkata, “Banyak tekanan menjadi cucu Malcolm X. Setiap orang memiliki harapan tinggi.”
Sama seperti kakeknya, ia banyak menghabiskan waktu di jalanan dan penjara. Sama seperti kakeknya, di balik penjara ia menemukan kembali iman dan tenggelam ke dalam Islam. Ketika dikarantina di Attica Correctional Facility di New York, Malcolm Shabazz mengatakan bahwa dia tidak memiliki perlengkapan yang bersih dan bahan bacaan. Tapi saat itu, ia bertemua napi lainnya asal Meksiko-Iran. Menurut Shabazz, orang ini menjadi teman diskusi dengan banyak teks keagamaan.
“Saya dibesarkan sebagai suni, semua keluarga saya suni.” Perpindahannya kepadaSyiah menyebabkan reaksi yang mirip seperti ketika kakeknya meninggalkan Nation of Islam pada tahun 1964 dan menyatakan dirinya sebagai suni. Tersebarnya berita itu, membuat beberapa pemimpin suni and anggota komunitas menyatakan ketidaknyamanan mereka. Banyak orang menulis kepadanya, “Bagaimana Anda bisa menjadi Syiah?”
Shabazz menceritakan bahwa dirinya telah diberi tahu bahwa Syiah bukan muslim dan mereka adalah kelompok radikal. Semua yang dikatakan kepadanya sudah ia anggap sebagai propaganda biasa. Karena setiap informasi yang diterima Shabazz tentang mazhab ahlulbait ini berasal dari musuh-musuhnya yang telah dikemas ulang. Shabazz mengatakan, jika kita ingin tahu tentang apapun maka kita harus merujuk pada sumber aslinya dan tidak hanya cukup kepada satu orang awam Syiah, tapi harus kepada alim.
Shabazz Malcolm terkesan dengan buku-buku seperti Peshawar Nights dan Then I was Guided. Malcolm Shabazz kagum dengan perjuangan Imam Husain a.s. yang menurut beberapa alim juga diperjuangkan oleh kakeknya Malcolm X, sama seperti perjuangan Nabi Musa melawan firaun.
Setelah dibebaskan, Shabazz memutuskan untuk pindah ke Suriah dan belajar di sebuah lembaga keislaman dan menghabiskan delapan bulan berikutnya untuk mengajar bahasa Inggris kepada anak-anak. “Saya keluar dari penjara dan ingin pergi sementara waktu.” Setelah kembali dari Suriah, Shabbaz kembali ke Miami dan menyiapkan sebuah memoar yang akan menyingkap kesalahpahaman agar semua menjadi jelas.
Setelah kembali ke Amerika Serikat, ia memutuskan untuk mengikuti jejak kakeknya pergi haji. Pengalaman seumur hidup Shabazz ini membuktikan kekuatan keimanan. Selain salat di tanah suci Mekah dan Madinah, Shabazz juga berkunjung ke Riyadh dan Jeddah.
Selengkapnya di blog Malcolm Shabazz: Live From Saudi Arabia
 
habazz sempat ditanya oleh seorang jendral Arab Saudi yang fasih berbahasa Inggris, “Brother, are you Shia or are you Sunni?” Pertanyaan itu membuat seluruh ruangan menjadi terdiam. Shabazz menjawab, “Brother, I’m a Muslim.” Shabazz juga mengunjungi komunitas Syiah kulit hitam di Madinah yang menurutnya sudah tinggal sejak masa awal Islam. Di sana ia menceritakan tentang siapa dirinya lalu didoakan agar ibadah hajinya di terima AllahSwt.
Puluhan tahun sebelumnya, kakeknya telah membuat perubahan pada kultur Amerika dengan mengambil pendekatan radikal untuk menuntut persamaan hak. Ketika ditanya apakah kakeknya akan mengagumi Presiden Obama jika ia masih hidup hari ini, Shabazz menjawab, “Jelas tidak. Bagi saya, dia tidak ada bedanya dengan Bush.”
Shabazz mengatakan bahwa demokrasi di negaranya palsu, sebuah ilusi yang diabadikan para elite penguasa. Meski secara khusus ia tidak mengagumi Obama, ia berharap pemilihan presiden Afrika-Amerika pertama ini bisa “meningkatkan harga diri pemuda kulit hitam”. Pesan-pesan yang disampaikan Malcolm X semakin lebih penting saatnya daripada sebelumnya.
“Kakek saya pernah mengatakan bahwa hanya ada dua kekuatan yang dihargai diAmerika Serikat—kekuatan ekonomi dan kekuata politik—dan dia menjelaskan bagaimana kekuatan sosial berasal dari keduanya. Sayangnya, mayoritas masyarakat (saat ini) buta huruf secara ekonomi dan naif secara politik. Mereka percaya dengan apa yang mereka lihat di televisi dan baca di koran. Saya katakan, percaya sebagian yang Anda lihat, dan jangan percaya apa yang Anda dengar.”
Shabazz percaya bahwa perubahan dapat dimulai dengan pendidikan dan persatuan. “Pendidikan dapat dilakukan melalui musik, puisi yang diucapkan, seni, ceramah dari mimbar, atau terlibat dalam pekerjaan fisik.” Terkait persatuan, ia mencontohkan Uni Eropa, sebagai organisasi “di mana negara-negara yang tidak saling suka satu sama lain tapi karena memiliki akal sehat untuk bersama dengan satu tujuan atau melawan musuh bersama.”
“Setelah peristiwa 11 September, banyak orang tidak tahu (tentang Islam). Tapi mereka mulai menyelidiki dan belajar lebih.” Meski reaksi pertama orang adalah berpaling dari agama jihad, Shabazz merasa banyak orang juga butuh mendidik diri mereka sendiri—dan menemukan ada banyak sisi lain Islam dari yang media gambarkan. Bagi seorang pemuda yang telah menjalani kehidupan penuh gejolak, Shabazz mencari sesuatu yang mendasar bagi keimanannya: “Saya ingin ketenangan pikiran.”

Kesaksian Bekas Menteri Kabinet Dwikora


M ACHADI adalah satu dari sedikit saksi sejarah peristiwa G30S tahun 1965 yang masih hidup. Saat peristwa itu terjadi Achadi menjabat sebagai menteri koperasi dan transmigrasi Kabinet Dwikora, disamping sebagai rektor Universitas Bung Karno (UBK) yang dibubarkan setelah Soeharto berkuasa.
Menurut Achadi, Soeharto adalah tokoh yang paling bertanggung jawab atas peristiwa pembantaian jutaan orang yang terjadi pasca G30S, atau peristiwa yang oleh Bung Karno disebut sebagai Gerakan Satu Oktober (Gestok).


Usai peristiwa yang menewaskan enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat itu Bung Karno membentuk tim Epilog G30S. Tugas utama tim itu adalah untuk mencegah aksi pembantaian dan perang saudara di grass root yang menggunakan tameng peristiwa itu.

“Itu adalah masa-masa kelam dalam sejarah republik kita. Siapa saja yang ingin membunuh, dapat dengan seenaknya menuduh si anu sebagai anggota atau kader PKI (Partai Komunis Indonesia). Bung Karno berkali-kali menyerukan agar pembantaian dihentikan,” cerita Achadi kepada Situs Berita Rakyat Merdeka.
Bung Karno menunjuk Wakil Perdana Menteri III yang juga Ketua Periodik Front Nasional Caerul Saleh sebagai ketua tim. Soeharto yang saat itu berpangkat mayor jenderal dan memegang posisi sebagai Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) diangkat sebagai anggota Tim Epilog.

Anggota lain adalah Menteri Penerangan Achmadi yang juga Ketua G3 Koti; Jaksa Agung Soetardio; Sekjen Front Nasional Soedibjo; dan Achadi sendiri.

“Sebagai Pangkopkamtib, Soeharto sama sekali tak pernah menyerukan agar aksi pembunuhan di banyak tempat dihentikan. Dia juga tidak pernah menggelar pasukan untuk menghentikan rakyat membunuh sesamanya. Bahkan ada kesan, Angkatan Darat yang berada di bawah kekuasaan Soeharto justru mensponsori pembantaian-pembantaian tanpa pengadilan itu,” kenang Achadi lagi.

Di satu sisi, dia mengenang, Bung Karno sering kali menyerukan agar Angakatan Darat menghentikan pembantaian tersebut. Namun seruan Bung Karno sama sekali diabaikan. Di mata Soeharto dan Angkatan Darat kala itu, Bung Karno bukan lagi pemimpin yang harus didengarkan.

Pembantaian yang terjadi pasca G30S atau Gestok, sebut Achadi lagi, adalah satu dari sekian banyak hal yang harus dipertanggungjawabkan Soeharto.

“Bagaimanapun, harus ada clearance terhadap orang-orang yang tanpa sebab akibat yang jelas dibantai. Harus ada upaya mengembalikan nama baik orang-orang yang ditangkap dan dipenjarakan di masa-masa itu,” sebutnya lagi.

Achadi sendiri, setelah Soeharto menjadi pejabat presiden pada Maret 1967, termasuk menteri yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan yang jelas. Dia mendekam di hotel prodeo selama 12 tahun.

Pengakuan Tentara AS dari Irak

Saya berusaha keras untuk bangga atas pengabdian saya. Tapi yang bisa saya rasakan hanya rasa malu. Rasisme tidak bisa lagi menutupi realitas pendudukan. Mereka semua adalah orang, mereka adalah manusia. Saya merasa terganggu dengan rasa bersalah setiap kali melihat orang tua, yang tidak bisa berjalan, yang kami giring dengan tandu dan meminta polisi Irakuntuk membawanya pergi.
Saya merasa bersalah setiap kali melihat seorang ibu dengan putrinya, yang menangis histeris dan berteriak bahwa kami lebih buruk dari pada Saddam, ketika kami paksa keluar dari rumahnya. Saya merasa bersalah setiap kali melihat wanita muda, yang saya tarik lengannya dan seret ke jalanan. Kami diberi tahu bahwa kami memerangi teroris. Tapi teroris sebenarnya adalah saya dan pendudukan ini.


Rasisme dalam militer menjadi alat penting untuk membenarkan perusakan dan pendudukan negara lain. Ia sudah lama digunakan untuk membenarkan pembunuhan, penindasan, dan penyiksaan orang lain. Rasisme adalah senjata penting yang digunakan pemerintah ini. Ia senjata yang lebih penting jika dibandingkan dengan senapan, tank, bom atau kapal perang. Ia lebih merusak dari pada artillery shell, penghancur bungker atau misil Tomahawk.
Meskipun senjata itu dibuat dan dimiliki oleh pemerintah, senjata itu tidak akan berbahaya tanpa orang-orang yang ingin menggunakannya. Mereka yang mengirim kami untuk berperang tidak harus menarik pemicu atau melemparkan mortir. Mereka tidak harus berjuang dalam perang. Mereka hanya harus menjual perang. Mereka butuh masyarakat yang bersedia mengirimkan tentara mereka ke dalam bahaya. Mereka butuh tentara yang ingin membunuh dan siap dibunuh tanpa bertanya.
Mereka bisa menghabiskan uang jutaan untuk satu bom, tapi bom itu hanya menjadi senjata ketika pejabat militer mau mengikuti perintah untuk menggunakannya. Mereka bisa mengirimkan setiap tentara terakhir yang ada di muka bumi, tapi perang hanya terjadi jika tentara mau berperang. Kelas penguasa, para miliader yang mengambil keuntungan dari penderitaan manusia hanya peduli tentang memperluas kekayaan dan menguasai ekonomi dunia.
Kekuatan mereka hanya terletak pada kemampuan untuk meyakinkan kita bahwa perang, pendudukan, dan eksploitasi adalah untuk kepentingan kita. Mereka paham bahwa kekayaan mereka bergantung pada kemampuan untuk meyakinkan kelas pekerja dalam menguasai pasar negara lain. Meyakinkan kita bahwa membunuh dan dibunuh didasari oleh kemampuan mereka untuk membuat kita berpikir bahwa kita entah bagaimana superior.
Tentara, pelaut, marinir, dan pilot tidak memperoleh apapun dari pendudukan ini. Mayoritas masyarakat yang tinggal di AS tidak mendapatkan apa-apa dari pendudukan ini. Bukan hanya tidak mendapatkan apa-apa, bahkan lebih menderita karenanya. Kita kehilangan anggota tubuh, mengalami trauma, dan menyerahkan nyawa. Keluarga kita harus melihat peti mati terbungkus bendera untuk dikuburkan. Jutaan orang di negara ini yang hidup tanpa perlindungan kesehatan, pekerjaan, atau akses pendidikan harus melihat bagaimana pemerintah membelanjakan lebih dari 450 juta dolar sehari saat pendudukan.
Orang miskin dan pekerja di negara ini dikirim untuk membunuh orang miskin dan pekerja di negara lain untuk membuat orang kaya semakin kaya. Tanpa rasisme, tentara akan menyadari bahwa mereka lebih memiliki banyak kesamaan dengan rakyat Irak dari pada dengan miliarder yang mengirim kami untuk perang.
Saya mencampakkan keluarga ke jalanan Irak hanya untuk pulang dan menemukan keluarga dicampakkan ke jalanan di negara ini dengan tragis, dalam krisis penyitaan yang tidak perlu. Kita harus bangun dan sadar bahwa musuh sejati tidak berada di negeri yang jauh, bukan orang-orang yang namanya tidak kita ketahui dan kulturnya tidak kita pahami.
Musuh itu adalah orang-orang yang kita kenal baik dan bisa kita kenali. Musuh itu adalah sistem yang mengupahi perang bila itu menguntungkan. Musuh itu adalah para CEO yang memecat kita bila itu menguntungkan. Ia adalah perusahaan asuransi yang menolak perlindungan kesehatan bila itu menguntungkan. Ia adalah bank yang menyita rumah kita bila itu menguntungkan.
Musuh kita bukan 5.000 mil jauhnya. Mereka ada di rumah kita sendiri. Jika kita mengatur dan berjuang dengan saudara dan saudari kita, maka kita bisa menghentikan perang ini. Kita bisa menghentikan pemerintah ini dan menjadikan dunia lebih baik.
Catatan: Michael (Mike) Prysner adalah mantan korps marinir AS. Di antara tugasnya di Irak adalah pengawasan wilayah, penggerebekan rumah, dan interogasi tahanan. Ia kemudian menjadi aktivis perdamaian dan sempat ditahan saat protes Occupy LA pada bulan November 2011.
Penerjemah: Ali Reza Aljufri © 2012

Kesaksian Para Sahabat atas Perubahan Sunnah Nabi


Abi Sa'id al-Khudri berkata: "Pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, Rasulullah SAW keluar rumah untuk menunaikan shalat Id. Usai shalat beliau berdiri menghadap para hadirin yang masih duduk di saf, kemudian berkhotbah yang penuh dengan nasehat dan perintah."

Abu Sa'id melanjutkan: "Cara seperti ini dilanjutkan oleh para sahabatnya sampailah suatu hari ketika aku keluar untuk shalat Id (Idul Fitri atau Idul Adha) bersama Marwan, gubernur kota Madinah. Sesampainya di sana Marwan langsung naik ke atas mimbar yang dibuat oleh Katsir bin Shalt. Aku tarik bajunya.

Tapi dia menolakku. Marwan kemudian memulai khotbah Id-nya sebelum shalat. Kukatakan padanya: "Demi Allah kalian telah rubah." "Wahai Aba Sa'id" Tukas Marwan, "Telah sirna apa yang kau ketahui" Kukatakan padanya: "Demi Allah,
apa yang kutahu adalah lebih baik dari apa yang tidak kuketahui." Kemudian Marwan berkata lagi: "Orang-orang ini tidak akan mau duduk mendengar khotbah kami seusai shalat. Karena itu kulakukan khotbah sebelumnya."(1)

Coba teliti gerangan apa yang menyebabkan sahabat seperti ini berani merubah Sunnah Nabi. Itu dikarenakan Bani Umaiyah (yang mayoritasnya adalah sahabat Nabi) terutama Muawiyah bin Abu Sufyan yang konon sebagai Penulis Wahyu, senantiasa memaksa kaum muslimin untuk mencaci dan melaknat Ali bin Abi Thalib dari atas mimbar- mimbar masjid. Muawiyah memerintahkan orang-orangnya di setiap negeri untuk menjadikan cacian dan laknat pada Ali sebagai suatu tradisi yang mesti dinyatakan oleh para khatib.

Ketika sejumlah sahabat protes atas ketetapan ini, Muawiyah tidak segan-segan
memerintahkan mereka dibunuh atau dibakar. Muawiyah telah membunuh sejumlah sahabat yang sangat terkenal seperti Hujur bin U'dai beserta para pengikutnya, dan sebagian lain dikuburkan hidup-hidup. "Kesalahan" mereka (dalam persepsi Muawiyah) semata-mata karena enggan mengutuk Ali dan bersikap protes atas dekrit Muawiyah.

Abul A'la al-Maududi dalam kitabnya al-Khilafah Wal Muluk (Khilafah Dan Kerajaan) menukil dari Hasan al-Bashri yang berkata: "Ada empat hal dalam diri Muawiyah, yang apabila satu saja ada pada dirinya, itu sudah cukup sebagai alasan untuk mencelakakannya:
1. Dia berkuasa tanpa melakukan sebarang musyawarah sementara sahabat-sahabat lain yang merupakan cahaya kemuliaan masih hidup.
2. Dia melantik puteranya (Yazid) sebagai pemimpin setelahnya, padahal sang putera adalah seorang pemabuk dan pecandu minuman keras dan musikus.
3. Dia menyatakan Ziyad (seorang anak zina) sebagai puteranya, padahal Nabi SAWW bersabda: "Anak adalah milik sang ayah, sementara yang melacur dikenakan sanksi rajam.
4. Dia telah membunuh Hujur dan para pengikutnya. Karena itu maka celakalah dia lantaran (membunuh) Hujur; dan celakalah dia karena Hujur dan para pengikutnya.(2)

Sebagian sahabat yang mukmin lari dari masjid seusai shalat karena tidak mau mendengar khotbah yang berakhir pada kutukan terhadap Ali dan keluarganya. Itulah kenapa Bani Umaiyah merubah Sunnah Nabi ini dengan mendahulukan khotbah sebelum shalat agar yang hadir terpaksa mendengarnya.

Nah, sahabat jenis apa yang berani merubah Sunnah Nabinya, bahkan hukum-hukum Allah sekalipun semata-mata demi meraih cita-citanya yang rendah dan ekspresi dari rasa dengki yang sudah terukir. Bagaimana mereka bisa melaknat seseorang yang telah Allah sucikan dari segala dosa dan nista dan diwajibkan oleh Allah untuk bersalawat kepadanya sebagaimana kepada Rasul-Nya.

Allah juga telah mewajibkan kepada semua manusia untuk mencintainya hingga Nabi SAW bersabda: "Mencintai Ali adalah iman dan membencinya adalah nifak (kemunafikan)."(3)

Namun sahabat-sahabat seperti ini telah merubahnya. Mereka berkata, kami telah dengar sabda-sabda Nabi tentang Ali, tetapi kami tidak mematuhinya. Seharusnya mereka bersalawat kepadanya, mencintainya dan taat patuh kepadanya; namun sebaliknya mereka telah mencaci dan melaknatnya sepanjang enam puluh tahun, seperti yang dicatat oleh sejarah.

Apabila sahabat-sahabat Musa pernah sepakat mengancam nyawa Harun dan
hampir-hampir membunuhnya, maka sebagian sahabat Muhammad SAWW telah membunuh "Harun-nya" (yakni Ali) dan mengejar-ngejar anak keturunannya serta para Syi'ahnya di setiap tempat dan ruang. Mereka telah hapuskan nama-nama dan bahkan melarang kaum muslimin menggunakan nama mereka.

Tidak sekadar itu, hatta para sahabat besar dan agungpun mereka paksa untuk melakukan hal yang serupa. Demi Allah, sangat mengherankan ketika membaca buku-buku referensi kitab ahl-Sunnah yang memuat berbagai Hadits yang mewajibkan cinta pada Nabi dan saudaranya serta anak pamannya, yakni Ali bin Abi Thalib, dan sejumlah Hadits-Hadits lain yang mengutamakan Ali atas para sahabat yang lain. Sehingga Nabi SAW bersabda:
"Engkau (hai Ali) di sisiku bagaikan kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tiada Nabi setelahku.”(4)
Atau sabdanya:
"Engkau dariku dan aku darimu".(5)
Dan sabdanya lagi:
"Mencintai Ali adalah iman dan membencinya adalah nifak".(6)
Sabdanya:
"Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya".(7)
Dan sabdanya:
"Ali adalah wali (pemimpin) setiap mukmin setelahku."(8)
Dan sabdanya:
"Siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (pemimpinnya) maka Ali adalah
maulanya. Ya Allah, bantulah mereka yang mewila'nya dan musuhilah mereka yang memusuhinya."(9)

Apabila kita ingin mencatat semua keutamaan Ali yang disabdakan oleh Nabi SAWW dan yang diriwayatkan oleh para ulama ahl-Sunnah dengan sanadnya yang shahih, maka ia pasti akan memerlukan suatu buku tersendiri. Bagaimana mungkin sejumlah sahabat seperti itu pura-pura tidak tahu akan Hadits ini, lalu mencacinya, memusuhinya, melaknatnya dari atas mimbar dan membunuh atau memerangi mereka?

Orang pertama yang pernah mengancam akan membakar rumahnya (Ali) beserta para penghuni yang ada di dalamnya adalah Umar bin Khattab; orang pertama yang memeranginya adalah Thalhah, Zubair, Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar, Muawiyah bin Abu Sufyan dan A'mr bin A'sh dan sebagainya.
Rasa terkejut dan kaget ini bertambah dalam dan seakan tidak akan pernah berakhir berakhir.

Setiap orang yang berpikir rasional akan segera mendukung pendapat ini. Bagaimana bisa ulama-ulama Ahlu Sunnah sepakat mengatakan bahwa semua sahabat adalah adil sambil mengucapkan "Radhiallahu Anhum", bahkan mengucapkan salawat untuk mereka tanpa kecuali.

Sehingga ada yang berkata, "Laknatlah Yazid tapi jangan berlebihan". Apa yang dapat kita bayangkan tentang Yazid yang telah melakukan tragedi yang sangat tragis ini, yang tidak dapat diterima bahkan oleh akal dan agama. Aku nyatakan kepada Ahlu Sunnah Wal Jamaah, jika mereka benar-benar mengikut Sunnah Nabi, agar meninjau hukum Al-Qur’an dan Sunnah Nabi secara cermat dan seadil-adilnya tentang kefasikan Yazid dan kekufurannya. Rasululah SAW telah bersabda:
"Siapa yang mencaci Ali maka dia telah mencaciku; dan siapa yang mencaciku maka dia telah mencaci Allah; dan siapa yang mencaci Allah maka Allah akan menjatuhkannya ke dalam api neraka."(10)

Demikian itu adalah sanksi bagi orang yang mencaci Ali. Maka bagaimana pula apabila ada orang yang melaknatnya dan memeranginya. Mana alim-ulama kita dari hakikat kebenaran ini? Apakah hati mereka telah tertutup rapat?

Anas bin Malik berkata:
"Tiada sesuatu yang kuketahui di zaman nabi lebih baik dari (hukum) shalat." Kemudian dia bertanya: "Tidakkah kalian kehilangan sesuatu di dalam shalat?"

Az-Zuhri pernah bercerita:
"Suatu hari aku berjumpa dengan Anas bin Malik di Damsyik. Saat itu beliau sedang menangis. "Apa yang menyebabkan Anda menangis?", tanyaku. "Aku telah lupa segala yang kuketahui melainkan shalat ini. Itupun telah kusia-siakan." Jawab Anas.(11)

Agar jangan sampai terkeliru dengan mengatakan bahwa para Tabi'inlah yang merubah segala sesuatu setelah terjadinya sejumlah fitnah, perselisihan dan serta peperangan, ingin kunyatakan di sini bahwa orang pertama yang merubah Sunnah Rasul dalam hal shalat adalah khalifah muslimin yang ketiga, yakni Utsman bin Affan. Begitu juga Ummul Mukminin Aisyah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitabnya bahwa Rasulullah SAW menunaikan shalat di Mina dua rakaat (qashar). Begitu juga Abu Bakar, Umar dan periode awal dari kekhalifahan Utsman. Setelah itu Utsman Shalat di sana (Mina) sebanyak empat rakaat."(12)

Muslim juga meriwayatkan dalam kitab Shahihnya bahwa Zuhri berkata: "Suatu hari aku bertanya pada Urwah kenapa Aisyah shalat empat rakaat dalam perjalanan musafirnya?"

"Aisyah telah melakukan takwil sebagaimana Utsman"(13) jawabnya. Umar bin Khattab juga tidak jarang berijtihad dan bertakwil di hadapan nas-nas Nabi yang sangat jelas, bahkan dihadapan nas-nas Al-Qur’an, lalu kemudian menjatuhkan hukuman mengikut pendapatnya.

Beliau pernah berkata: "Dua mut'ah yang dahulunya (halal) dan dilakukan di zaman Nabi, kini aku melarangnya dan mengenakan hukuman bagi orang yang melaksanakannya(14), (bertamattu' dalam haji dan nikah mut'ah pent.) Beliau juga pernah berkata kepada orang yang junub tetapi tidak memperoleh air untuk mandi, "Jangan sembahyang".

Walaupun ada firman Allah di dalam surah al-Maidah ayat 6: "... Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang bersih".

Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya pada Bab Idza Khofa al-Junub A'la Nafsihi (Apabila Orang Junub Takut Akan Dirinya) berikut: "Kudengar Syaqiq bin Salmah berkata, suatu hari aku hadir dalam majlis Abdillah dan Abu Musa. Abu Musa bertanya pada Abdillah bagaimana pendapatmu tentang orang yang junub kemudian tidak memperoleh air untuk mandi?" Abdillah menjawab, "dia tidak perlu shalat sampai ia temukan air." Abu Musa bertanya lagi, "bagaimana pendapatmu tentang jawaban Nabi kepada Ammar dalam masalah yang sama ini?" Abdullah menjawab, "Umar tidak begitu yakin dengan itu." Abu Musa melanjutkan, "lalu bagaimana dengan ayat ini, (al-Maidah: 6)?" Abdullah diam tidak menjawab. Kemudian dia berkata, "apabila kita izinkan mereka (melakukan tayammum), niscaya mereka akan bertayammum saja dan tidak akan menggunakan air apabila udaranya dirasakan dingin. " Kukatakan pada Syaqiqbahwa Abdillah sebenarnya tidak suka lantaran ini semata-mata; dan Syaqiq pun mengiakan"

Kesaksian Sahabat atas Diri Mereka
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda kepada kaum Anshar: "Suatu hari kalian akan menyaksikan sifat tamak yang dahsyat sepeninggalku. Karena itu bersabarlah sehingga kalian menemui Allah dan Rasul-Nya di telaga haudh." Anas berkata, "Kami tidak sabar."(15)

Ala' bin Musayyab dari ayahnya pernah berkata: "Aku berjumpa dengan Barra' bin A'zib ra. Kukatakan padanya, "berbahagialah Anda karena dapat bersahabat dengan Nabi SAWW dan membai'atnya di bawah pohon (bai'ah tahta syajarah). Barra' menjawab, "wahai putera saudaraku, engkau tidak tahu apa yang telah kami lakukan sepeninggalnya."(16)

Jika sahabat utama yang tergolong di antara as-Sabiqin al-Awwalin dan pernah membai'at Nabi di bawah pohon, serta Allah rela kepada mereka dan Maha Tahu apa yang ada dalam hati mereka sehingga diberinya ganjaran yang besar; apabila sahabat-sahabat ini kemudian bersaksi bahwa dirinya dan para sahabat yang lain telah melakukan "sesuatu" sepeninggal Nabi, bukankah pengakuan mereka ini adalah bukti kebenaran yang disabdakan oleh Nabi SAW bahwa sebagian dari sahabatnya akan berpaling darinya sepeninggalnya.

Apakah seseorang yang berpikir rasional akan tetap mengatakan bahwa semua sahabat adalah adil seperti yang diklaim oleh Ahlu Sunnah Wal Jama'ah. Mereka yang mengklaim seperti itu jelas telah menyalahi nas dan akal. Karena dengan demikian hilanglah segala kriteria intelektual yang sepatutnya dijadikan pegangan sebuah penelitian dan kajian.
 
Rujukan Ahlus Sunnah:
1 Shahih Bukhari jil. 1 hal. 122.
2 Al-Khilafah Wal Muluk Oleh al-Maududi hal. 106.
3 Shahih Muslim jil. 2 hal. 61
4 Shahih Bukhari jil. 2 hal. 305; Shahih Muslim jil. 2 hal. 366; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 109.
5 Shahih Bukhari jil. 1 hal. 76; Shahih Turmidzi jil. 5 hal. 300; Shahih Ibnu Majahjil. 1 hal. 44
6 Shahih Muslim jil. 1 hal. 61; Sunan an-Nasai jil. 6 hal. 177; Shahih Turmudzi jil. 8 hal. 306.
7 Shahih Thurmudzi jil. 5 hal. 201; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 126.
8 Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 5 hal. 25; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 134.
9 Shahih Muslim jil.2 hal.362; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 109; Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 4 hal, 281.
10 Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 121; Khasais an-Nasai hal. 24; Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 6 hal. 33; Manaqib al-Khawarizmi
hal. 81; ar-Riyadh an Nadhirah oleh Thabari jil. 2 hal. 219; Tarikh as-Suyuti hal. 73.
11 Shahih Bukhari jil.l hal.74
12 Shahih Bukhari jil. 2 hal. 154; Shahih Muslim jil. 1 hal. 260
13 Shahih Muslim jil. 2 hal.134.
14 Shahih Bukhari jil. 1 hal. 54
15 Shahih Bukhari jil. 2 hal. 135
16 Shahih Bukhari jil.3 hal. 32.

Terkait Berita: