Setelah masa muda yang penuh masalah,Malcolm Shabazz berusaha untuk mengikuti jejak kakeknya, Malcolm X. Dia juga cucu dari Dr. Betty Shabazz yang
meninggal pada tahun 1997 setelah menderita luka bakar di apartemennya.
Malcolm yang saat itu berusia 12 tahun mengaku bersalah telah menyulut
api. Ibunya yang pada saat umur empat tahun melihat ayahnya ditembak,Qubilah Shabazz, memberi tahu bahwa neneknya wafat.
Malcolm duduk di
penjara dan berbicara kepada arwah neneknya, memohon tanda agar
dimaafkan. “Saya hanya ingin dia tahu bahwa saya menyesal. Saya ingin
tahu bahwa dia menerima permohonan maaf ini, karena saya tidak bermaksud
demikian,” kenangnya. “Tapi saya tidak mendapat jawaban, meski ingin.”
Enam tahun setelah kebakaran, dia kembali masuk penjara—kali ini penjara
orang dewasa dengan tuduhan pencobaan perampokan. Tapi ia masih mencari
kesempatan untuk melanjutkan kehidupan, dan dunia melihatnya akan
melihatnya sebagai cucu dari seorang martir.
Malcolm tumbuh jauh
dari kilauan ketenaran nama yang diwariskan. Selama bertahun-tahun ia
berjuang memenuhi harapan untuk mengikuti jejak kakeknya, meskipun ia
mendapat manfaat hubungan keluarga dan dukungan para pengagum Malcolm X.
Tapi dia ingin mencapainya sendiri. “Saya punya tujuan. Saya punya
rencana. Saya ingin orang tahu apa yang terjadi pada saya.”
Butuh waktu selama
22 bulan. Bahkan untuk menghadapi komentar sinis tentangnya: pembakar
dengan gangguan mental. “Menurut catatan, saya didiagnosa dengan banyak
hal. Saya mendengar banyak suara dan hal. Saya skizofrenia, saya depresi
berat. Saya tidak akan bisa duduk tenang jika semua itu benar.” Ruth
Clark, ibu baptis Malcom, berkata, “Banyak tekanan menjadi cucu Malcolm
X. Setiap orang memiliki harapan tinggi.”
Sama seperti
kakeknya, ia banyak menghabiskan waktu di jalanan dan penjara. Sama
seperti kakeknya, di balik penjara ia menemukan kembali iman dan
tenggelam ke dalam Islam. Ketika dikarantina di Attica Correctional Facility di
New York, Malcolm Shabazz mengatakan bahwa dia tidak memiliki
perlengkapan yang bersih dan bahan bacaan. Tapi saat itu, ia bertemua
napi lainnya asal Meksiko-Iran. Menurut Shabazz, orang ini menjadi teman
diskusi dengan banyak teks keagamaan.
“Saya dibesarkan sebagai suni, semua keluarga saya suni.” Perpindahannya kepadaSyiah menyebabkan reaksi yang mirip seperti ketika kakeknya meninggalkan Nation of Islam pada
tahun 1964 dan menyatakan dirinya sebagai suni. Tersebarnya berita itu,
membuat beberapa pemimpin suni and anggota komunitas menyatakan
ketidaknyamanan mereka. Banyak orang menulis kepadanya, “Bagaimana Anda
bisa menjadi Syiah?”
Shabazz
menceritakan bahwa dirinya telah diberi tahu bahwa Syiah bukan muslim
dan mereka adalah kelompok radikal. Semua yang dikatakan kepadanya sudah
ia anggap sebagai propaganda biasa. Karena setiap informasi yang
diterima Shabazz tentang mazhab ahlulbait ini
berasal dari musuh-musuhnya yang telah dikemas ulang. Shabazz
mengatakan, jika kita ingin tahu tentang apapun maka kita harus merujuk
pada sumber aslinya dan tidak hanya cukup kepada satu orang awam Syiah,
tapi harus kepada alim.
Shabazz Malcolm terkesan dengan buku-buku seperti Peshawar Nights dan Then I was Guided. Malcolm
Shabazz kagum dengan perjuangan Imam Husain a.s. yang menurut beberapa
alim juga diperjuangkan oleh kakeknya Malcolm X, sama seperti
perjuangan Nabi Musa melawan firaun.
Setelah dibebaskan,
Shabazz memutuskan untuk pindah ke Suriah dan belajar di sebuah lembaga
keislaman dan menghabiskan delapan bulan berikutnya untuk mengajar
bahasa Inggris kepada anak-anak. “Saya keluar dari penjara dan ingin
pergi sementara waktu.” Setelah kembali dari Suriah, Shabbaz kembali ke
Miami dan menyiapkan sebuah memoar yang akan menyingkap kesalahpahaman
agar semua menjadi jelas.
Setelah kembali ke
Amerika Serikat, ia memutuskan untuk mengikuti jejak kakeknya pergi
haji. Pengalaman seumur hidup Shabazz ini membuktikan kekuatan keimanan.
Selain salat di tanah suci Mekah dan Madinah, Shabazz juga berkunjung ke Riyadh dan Jeddah.
Selengkapnya di blog Malcolm Shabazz: Live From Saudi Arabia
habazz
sempat ditanya oleh seorang jendral Arab Saudi yang fasih berbahasa
Inggris, “Brother, are you Shia or are you Sunni?” Pertanyaan itu
membuat seluruh ruangan menjadi terdiam. Shabazz menjawab, “Brother, I’m
a Muslim.” Shabazz juga mengunjungi komunitas Syiah kulit hitam di
Madinah yang menurutnya sudah tinggal sejak masa awal Islam. Di sana ia
menceritakan tentang siapa dirinya lalu didoakan agar ibadah hajinya di
terima AllahSwt.
Puluhan tahun
sebelumnya, kakeknya telah membuat perubahan pada kultur Amerika dengan
mengambil pendekatan radikal untuk menuntut persamaan hak. Ketika
ditanya apakah kakeknya akan mengagumi Presiden Obama jika ia masih
hidup hari ini, Shabazz menjawab, “Jelas tidak. Bagi saya, dia tidak ada
bedanya dengan Bush.”
Shabazz mengatakan
bahwa demokrasi di negaranya palsu, sebuah ilusi yang diabadikan para
elite penguasa. Meski secara khusus ia tidak mengagumi Obama, ia
berharap pemilihan presiden Afrika-Amerika pertama ini bisa
“meningkatkan harga diri pemuda kulit hitam”. Pesan-pesan yang
disampaikan Malcolm X semakin lebih penting saatnya daripada sebelumnya.
“Kakek saya pernah mengatakan bahwa hanya ada dua kekuatan yang dihargai diAmerika Serikat—kekuatan
ekonomi dan kekuata politik—dan dia menjelaskan bagaimana kekuatan
sosial berasal dari keduanya. Sayangnya, mayoritas masyarakat (saat ini)
buta huruf secara ekonomi dan naif secara politik. Mereka percaya
dengan apa yang mereka lihat di televisi dan baca di koran. Saya
katakan, percaya sebagian yang Anda lihat, dan jangan percaya apa yang
Anda dengar.”
Shabazz percaya
bahwa perubahan dapat dimulai dengan pendidikan dan persatuan.
“Pendidikan dapat dilakukan melalui musik, puisi yang diucapkan, seni,
ceramah dari mimbar, atau terlibat dalam pekerjaan fisik.” Terkait
persatuan, ia mencontohkan Uni Eropa, sebagai organisasi “di mana
negara-negara yang tidak saling suka satu sama lain tapi karena memiliki
akal sehat untuk bersama dengan satu tujuan atau melawan musuh
bersama.”
“Setelah peristiwa
11 September, banyak orang tidak tahu (tentang Islam). Tapi mereka mulai
menyelidiki dan belajar lebih.” Meski reaksi pertama orang adalah
berpaling dari agama jihad, Shabazz merasa banyak orang juga butuh
mendidik diri mereka sendiri—dan menemukan ada banyak sisi lain Islam dari
yang media gambarkan. Bagi seorang pemuda yang telah menjalani
kehidupan penuh gejolak, Shabazz mencari sesuatu yang mendasar bagi
keimanannya: “Saya ingin ketenangan pikiran.”