Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Muhammad bin Yahya. Show all posts
Showing posts with label Muhammad bin Yahya. Show all posts

Al Kaafiy Sekarang Bukan Al Kaafiy Yang Dulu? : Kejahilan Nashibi, dan Penjelasannya.

Tulisan ini akan membahas tuduhan nashibi terhadap kitab hadis mazhab Syiah yaitu Al Kaafiy. Intinya menyatakan bahwa Al Kaafiy yang beredar sekarang itu dibuat oleh pihak-pihak tertentu setelah era Al Kulainiy. Seandainya tuduhan tersebut valid dan tegak berdasarkan hujjah yang kuat maka tidak masalah dan akan menjadi tambahan ilmu bagi para peneliti tetapi sayang sekali tuduhan tersebut hanya bualan dan kicauan dari orang-orang yang jahil akal pikirannya. Selamat menyimak,

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَسْبَاطٍ عَنِ الْحَكَمِ بْنِ مِسْكِينٍ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) مَتَى يَعْرِفُ الْأَخِيرُ مَا عِنْدَ الْأَوَّلِ قَالَ فِي آخِرِ دَقِيقَةٍ تَبْقَى مِنْ رُوحِهِ

Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari Husain bin Sa’id dari Aliy bin Asbaath dari Al Hakam bin Miskiin dari sebagian sahabat kami yang berkata aku bertanya kepada Abu ‘Abdullah “kapan orang terakhir mengetahui apa yang ada di sisi yang pertama”. Beliau berkata “pada akhir daqiiqah yang tersisa dari ruh-nya” [Al Kaafiy Al Kulainiy 1/274].

Nashibi mengartikan lafaz “daqiiqah” yang dimaksud sebagai “menit” kemudian ia merujuk pada kitab Mu’jam Al Wasiith

الدقيقة وحدة زمنية تعادل جزءا من ستين جزءا من الساعة ووحدة لقياس خطوط الطول أو العرض تساوي جزءا من ستين جزءا من الدرجة (مج) (ج) دقائق محدثة

Menit [ad-daqiqah] adalah satuan waktu yang sama dengan 1/60 jam, dan satuan bagi busur garis vertikal dan horisontal yang disamakan dengan 1/60 derajat. Jamaknya daqaaiq; dan ia merupakan istilah baru [muhdats].[Mu’jaam Al Wasiith 1/291].

Dengan dasar ini mereka mengatakan bahwa Al Kafiy jelas dibuat setelah era Al Kulainiy karena lafaz “daqiiqah” adalah istilah baru. Hujjah ini bisa dibilang rapuh dengan alasan sebagai berikut:
Di sisi Syiah, mereka tidak mengartikan lafaz “daqiiqah” tersebut sebagai menit. Dalam kitab Majma’ Al Bahrain Fakhruddin bin Muhammad Ath Thuraihiy.

و فيحديث الأئمة و قد سئل ع متى يعرف الأخير ما عند الأول؟ قال في آخر دقيقة تبقى منروحه
أي آخر جزء

Dan dalam hadis Imam ketika ditanya “kapan orang terakhir mengenal apa yang ada di sisi yang pertama”. Beliau berkata “pada akhir daqiiqah yang tersisa dari ruh-nya”. Maksudnya adalah “bagian akhir” [Majma’ Al Bahrain 5/163].

Jika dikatakan istilah “daqiiqah” adalah istilah baru maka secara kritis kita dapat bertanya kalau begitu kapan tepatnya istilah itu muncul?. Kemudian apakah yang dimaksud dengan istilah baru tersebut? Apakah kata tersebut dahulunya tidak ada kemudian baru muncul atau kata tersebut sudah ada sebelumnya kemudian entah kapan baru dipakai sebagai lafaz bermakna “menit”.
.
Istilah daqiiqah sudah ada pada zaman Ibnu Hazm yang lahir pada tahun 384 H [As Siyaar Adz Dzahabiy 18/185] dan digunakan untuk menyatakan waktu tertentu. Ibnu Hazm pernah berkata dalam kitabnya Al Muhalla.

فإنه لو جاز أن يحول بين النية وبين العمل دقيقة لجاز أن يحول بينهما دقيقتان وثلاث وأربع

Maka jika dibolehkan adanya jeda antara niat dan amal, daqiiqah maka diperbolehkan juga adanya jeda antara keduanya dua daqiiqah, tiga dan empat [Al Muhalla Ibnu Hazm 1/77].

Sehingga pernyataan daqiiqah sebagai “istilah baru” itu harus diteliti kembali. Istilah daqiiqah sudah lama dikenal dalam ilmu Falaq. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Al Khawarizmiy dalam Mafatih Al ‘Ulum.

فلك البروج، هو الدائرة التي ترسمها الشمس بسيرها من المغرب إلى المشرق في سنة واحدة، وهو مقسوم إثني عشر قسماً، وهي البروج. وقد ذكرت أسماءها في الفصل الأول. وطول كل برج منها ثلاثون درجة، وكل درجة ستون دقيقة، وكل دقيقة ستون ثانية

Falaq Al Buruj, adalah lingkaran yang menunjukkan pergerakan matahari dari barat ke timur dalam satu tahun, itu dibagi dalam 12 bagian yang disebut Buruj dan telah disebutkan nama-namanya dalam pasal awal. Jarak setiap buruj adalah 30 derajat, setiap derajat 60 daqiiqah dan setiap daqiiqah 60 tsaniyah [Mafatih Al ‘Ulum Al Khawarizmiy 1/41].

Disebutkan dalam Mu’jam Al Mu’allifiin bahwa Al Khawarizmiy penulis Mafatih Al ‘Ulum wafat tahun 387 H [Mu’jam Al Mu’allifiin 9/29]. Istilah “daqiiqah” yang terkait ilmu Falaq juga digunakan Al Ya’qubiy dalam kitab Tarikh-nya [Tarikh Al Ya’qubiy 1/26]. Dan Al Ya’qubiy disebutkan oleh Yaqut Al Hamawiy dalam kitab Mu’jam Al ‘Udaba bahwa ia wafat tahun 284 H [Mu’jam Al ‘Udaba 1/214].

Al Kulainiy sendiri wafat pada tahun 329 H, sehingga jika dibandingkan dengan masa hidup Al Ya’qubiy, Al Khawarizmiy dan Ibnu Hazm maka dapat disimpulkan bahwa pada masa hidup Al Kulainiy sudah dikenal istilah “daqiiqah”. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa istilah ini sudah ada di zaman Imam Ja’far. Terdapat riwayat dalam Al Kafiy yang menyebutkan bahwa di masa Imam Ja’far sudah berkembang ilmu Falaq.

عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ خَالِدٍ عَنِ ابْنِ فَضَّالٍ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ أَسْبَاطٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَيَابَةَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) جُعِلْتُ لَكَ الْفِدَاءَ إِنَّ النَّاسَ يَقُولُونَ إِنَّ النُّجُومَ لَا يَحِلُّ النَّظَرُ فِيهَا وَ هِيَ تُعْجِبُنِي فَإِنْ كَانَتْ تُضِرُّ بِدِينِي فَلَا حَاجَةَ لِي فِي شَيْ‏ءٍ يُضِرُّ بِدِينِي وَ إِنْ كَانَتْ لَا تُضِرُّ بِدِينِي فَوَ اللَّهِ إِنِّي لَأَشْتَهِيهَا وَ أَشْتَهِي النَّظَرَ فِيهَا فَقَالَ لَيْسَ كَمَا يَقُولُونَ لَا تُضِرُّ بِدِينِكَ ثُمَّ قَالَ إِنَّكُمْ تَنْظُرُونَ فِي شَيْ‏ءٍ مِنْهَا كَثِيرُهُ لَا يُدْرَكُ وَ قَلِيلُهُ لَا يُنْتَفَعُ بِهِ تَحْسُبُونَ عَلَى طَالِعِ الْقَمَرِ ثُمَّ قَالَ أَ تَدْرِي كَمْ بَيْنَ الْمُشْتَرِي وَ الزُّهَرَةِ مِنْ دَقِيقَةٍ قُلْتُ لَا وَ اللَّهِ

Dari sebagian sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad bin Khaalid dari Ibnu Fadhdhaal dari Al Hasan bin Asbaath dari ‘Abdurrahman bin Sayaabat yang berkata aku bertanya kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam] “aku menjadi tebusanmu, orang-orang mengatakan bahwa tidak boleh mempelajari ilmu perbintangan, dan itu membuatku heran. Maka jika itu membahayakan agamaku maka tidak ada alasan bagiku untuk membahayakan agamaku dan jika itu tidak membahayakan agamaku maka demi Allah aku menyukainya dan suka untuk mempelajarinya. Beliau berkata “Hal ini tidak seperti yang orang-orang itu katakan, hal itu tidak membahayakan agamamu”. Kemudian Beliau berkata “sesungguhnya kalian mempelajari sesuatu dimana banyak yang tidak kalian ketahui dan sedikit tidak memberikan manfaat dengannya, kalian telah menghitung pergerakan bulan. Kemudian Beliau berkata “apakah kalian mengetahui berapa daqiiqah antara musytariy dan zuharah?”. Aku berkata “tidak demi Allah”…[Al Kaafiy Al Kulainiy 8/195].

Jika kita asumsikan bahwa kedua riwayat Al Kaafiy tersebut shahih di sisi Syiah maka hal ini menjadi hujjah bahwa di masa Imam Ja’far sudah dikenal istilah “daqiiqah” yang terkait dengan ilmu falaq dan digunakan juga untuk menyatakan bagian tertentu yang singkat atau kecil [merujuk pada riwayat Al Kafiy yang pertama]. Jadi bisa saja dikatakan bahwa istilah “daqiiqah” memang tidak ada di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi sudah ada di zaman Imam Ja’far [‘alaihis salam].

Adapun tuduhan terhadap kitab Al Kaafiy bahwa ia ditulis setelah era Kulainiy karena adanya lafaz “daqiiqah” merupakan tuduhan yang tidak beralasan. Hal ini karena kata daqiqah bahkan sudah disebutkan oleh ulama lain sebelum Al Kulainiy seperti As Shaffaar yang wafat tahun 290 H.

حدثنا محمد بن الحسين عن علي بن أسباط عن الحكم بن مسكين عن عبيد بن زرارة وجماعة معه قالوا سمعنا أبا عبد الله ع يقول يعرف الإمام الذي بعده علم من كان قبله في آخر دقيقة تبقى من روحه.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Husain dari Aliy bin Asbath dari Al Hakam bin Miskiin dari Ubaid bin Zurarah dan jama’ah yang bersamanya, mereka berkata “kami mendengar Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] mengatakan imam setelahnya mengetahui apa yang ada pada sebelumnya pada akhir daqiqah yang tersisa dari ruh-nya [Basha’ir Ad Darajaat hal 520, Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar].

Makna daqiqah dalam riwayat di atas bukanlah “menit” dalam pengertian waktu di zaman sekarang ini. Lafaz “daqiqah” tersebut lebih mungkin diartikan sebagai bagian yang singkat atau kecil.
.
Yang lucunya fenomena yang sama juga terdapat dalam kitab hadis ahlus sunnah, yaitu adanya hadis yang menggunakan lafaz “sa’ah” yang pada bahasa arab modern, istilah ini bermakna jam yaitu 60 menit.

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ سَوَّادِ بْنِ الأَسْوَدِ بْنِ عَمْرٍو وَالْحَارِثُ بْنُ مِسْكِينٍ قِرَاءَةً عَلَيْهِ وَأَنَا أَسْمَعُ – وَاللَّفْظُ لَهُ – عَنِ ابْنِ وَهْبٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ عَنِ الْجُلاَحِ مَوْلَى عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَهُ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لاَ يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلاَّ آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

Telah mengabarkan kepada kami ‘Amru bin Sawwaad bin Al Aswad bin ‘Amru dan Al Haarits bin Miskiin membacakan kepadanya dan aku mendengar –lafaz darinya-dari Ibnu Wahb dari ‘Amru bin Al Haarits dari Al Julaah maula ‘Abdul ‘Aziiz bahwa Abu Salamah bin ‘Abdurrahman menceritakan kepadanya dari Jabir bin ‘Abdullah dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang bersabda “hari Jum’at ada dua belas jam, dan di dalamnya terdapat waktu yang tidaklah seorang muslim meminta kepada Allah melainkan Allah akan mengabulkannya, oleh karena itu carilah pada akhir jam setelah Ashar” [Sunan Nasa’i no 1400].

Al Iraqiy berkata “sanadnya shahih” [Tharh At Tatsriib 4/59]. Lafaz sa’ah ini berbeda dengan lafaz sa’ah yang digunakan dalam Al Qur’anul Kariim. Kalau kita memperhatikan lafaz “sa’ah” yang sering digunakan di dalam Al Qur’an maka akan kita dapati bahwa makna sa’ah tersebut adalah sesaat, tidak disematkan dengan angka tertentu.

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ

Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya [QS. Al-A’raf : 34].

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ كَأَنْ لَمْ يَلْبَثُوا إِلا سَاعَةً مِنَ النَّهَارِ يَتَعَارَفُونَ بَيْنَهُمْ قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِلِقَاءِ اللَّهِ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ

Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat saja di siang hari (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk [QS. Yunus : 45].

الساعة: ج ساعات، جزء من أجزاء الوقت، ومنه: مضت ساعة من الليل
ويراد به مقدار ستين دقيقة من الزمان الوقت الحاضر

As Sa’ah : jamak Saa’aat : adalah bagian dari waktu, dan darinya “sesaat dari malam telah berlalu”. Dan dimaksudkan pula dengannya adalah ukuran 60 menit dari waktu yang ada pada zaman sekarang ini. [Mu’jam Al Lughah Al Fuqaha 1/239].

Mudah saja dikatakan bahwa lafaz sa’ah yang disematkan dengan angka dua belas tidak bisa diartikan sebagai sesaat maka itu lebih tepat bermakna dua belas jam, dan makna satu jam disini dalam bahasa arab modern adalah 60 menit dan pembagian siang hari menjadi 12 jam [12 x 60 menit] itu perkara muhdats. Tetapi para ulama justru menjadikan hadis ini sebagai bukti bahwa pembagian satu hari menjadi 24 sa’ah dimana siang 12 sa’ah dan malam 12 sa’ah sudah dikenal di kalangan arab pada masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] walaupun makna sa’ah disana bukan satu jam sebagai satuan waktu enam puluh menit tetapi hanyalah bagian dari waktu siang atau bagian dari waktu malam.

Kalau kita melihat permasalahan ini secara mendalam maka akan nampak bahwa ulama ahlus sunnah ketika menafsirkan hadis “dua belas sa’ah” di atas mereka menjadikan hadis tersebut sebagai dasar bahwa pada zaman itu sudah dikenal pembagian waktu satu hari satu malam sebagai 24 sa’ah dan sa’ah disana bukan bermakna sebagai satu jam yang dalam bahasa arab modern adalah 60 menit. Maka seharusnya dengan cara yang sama hadis Imam Ja’far dengan lafaz “daqiiqah” bisa dijadikan dasar bahwa pada zaman Imam Ja’far memang dikenal istilah daqiiqah sebagai bagian waktu tertentu yang singkat bukan diartikan sebagai menit dalam bahasa arab modern.

Note : Tulisan nashibi yang dimaksud dapat dibaca disini http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/10/al-kaafiy-sekarang-bukan-al-kaafiy-yang.html

Penjelasannya sebagai berikut: 

Kenapa mayoritas hadis kitab Al Kafi Kulaini dha’if ??Al Kulaini menuliskan riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam Ahlul Bait as. Maka beliau tentunya tidak melakukan penelitian baik sanad ataupun matan dari hadits tsb.






Pertanyaan : Mengapa Hadith Syiah Banyak Yang Dhaif ? Apakah perawi hadis syi’ah pendusta ?
Jawaban :
1. Hadis yang dikumpulkan berasal dari semua sekte syi’ah yang mengaku ngaku syi’ah, termasuk syi’ah ghulat dll dan Syaikh Kulaini belum mengklasifikasikan shahih tidak nya hadis tersebut.
2. Sanad hadis banyak lemah karena kondisi keamanan dalam pengumpulan hadis tidak kondusif.
3. Bercampur antara riwayat taqiyah dan yang bukan taqiyah.
4. Penguasa dan musuh musuh syiah banyak menyembelih pengikut syiah, memalsukan teks teks kitab lalu dinisbahkan kepada syiah dan membakar perpustakaan syiah.
5. Masuknya musuh musuh islam ke jalur periwayatan hadis untuk merusak Syi’ah, sehingga muncul hadis hadis ghuluw dll. 
Jika seseorang membawa sebuah hadis yang lemah dari USHUL AL KAFi Syi’ah dan kemudian mengarti kan hadis tersebut secara salah sebagai alat propaganda kesesatan syi’ah, maka hal itu tidak menggambarkan keyakinan syi’ah. Renungkan ! 
Maraknya hadis palsu dalam mazhab sunni JAUH melebihi mazhab syi’ah...
MENiNGGAL KAN iTRAH AHLUL BAiT = MENiNGGALKAN ALQURAN.. Itrah ahlul bait dan Al Quran adalah satu tak terpisahkan...
Seorang ulama Syiah, Sayid Hasyim Ma’ruf Al-Hasani, pernah melakukan penelitian dan menyatakan bahwa Al-Kafi berisi 16.199 hadis; diantaranya 5.072 dianggap shahih, 144 hasan, 1128 muwatstsaq, 302 qawiy, dan 9.480 hadis dhaif. Pengklasifikasian itu pun baru berdasarkan keabsahan sanad, belum isinya (matan).
Ulama Syiah lain, Syekh Muhammad Baqir al-Majlisy (w. 1111H) telah mendha’ifkan sebagian besar hadits-hadits yang ada dalam kitab al-Kafy dalam kitabnya, Mir’at al-‘Uqul. 
Menurut pengakuan Fakhruddin At Tharihi ada 9845 hadits yang dhaif dalam kitab Al Kafi, dari jumlah 16119 hadits Al Kafi.
Kaum Syi’ah, juga mengarang kitab-kitab tentang rijal periwayat hadis. Di antara kitab-kitab tersebut, yang telah dicetak antara lain: Kitab ar-Rijal, karya Ahmad bin ‘Ali an-Najasyi (w.450 H.), Kitab Rijal karya Syaikh al Thusi, kita Ma’alim ‘Ulama karya Muhammad bin ‘Ali bin Syahr Asyub (w.588 H.), kitab Minhâj al Maqâl karya Mirza Muhammad al Astrabady (w.1.020 H.), kitab Itqan al Maqal karya Syaikh Muhammad Thaha Najaf (w.1.323 H.), kitab Rijal al Kabir karya Syaikh Abdullah al Mumaqmiqani, seorang ulama abad ini, dan kitab lainnya.
Awal Munculnya Pembagian Derajat Hadits dan Perhatian Terhadap Sanad di Kalangan Syiah.
Pandangan kelompok al-Ushuliyyun kemudian menyebabkan lahirnya ide pembagian hadits menjadi shahih, hasan, muwatstaq, dan dha’if di kalangan Syiah.Apa yang disebut Sunnah atau Hadis oleh Syiah bukan hanya berupa ucapan, perilaku, sikap, kebiasaan Nabi, tapi juga seluruh ma’shum yang berjumlah 14. Dengan demikian, era wurud Sunnah tidak berhenti dengan wafatnya Nabi Besar Muhammad–seperti kepercayaan Ahlus Sunnah–melainkan berlanjut terus hingga masa kegaiban besar Imam Muhammad bin Hasan Al-Askari pada 941 M atau 329 H. 

Ulama Syi’ah yang pertama kali mencetuskan ide pembagian hadis Syi’ah adalah Sayid Jamaluddin Ahmad ibn Thawus (589 H- 664 H), murid beliau meneruskan jejak langkah sang guru yaknu Syaikh Allamah Al Hilli ibn Al Muthahhar (w.726 H). Dapat dikatakan bahwa tokoh tokoh ini merupakan ulama mutaakhirin (ushuliy) yang banyak memakai akal sehat dalam beragama, jelas mereka memperbaiki kesalahan ulama mutaqaddimiin syi’ah. Dalam syi’ah pintu ijtihad selalu terbuka ! Maka muncullah beberapa jenis hadis seperti sahih, hasan, muwatstsaq, dhaif dan qawiy.

Api kemenangan muncul ketika pada abad ke 10 H Syahid Tsani melakukan penelitian atas sanad hadis Al Kafi Kulaini lalu menyimpulkan bahwa : dalam Al Kafi terdapat 5073 hadis sahih, 114 hadis hasan, 1118 hadis muwatstsaq, 302 hadis qawiy dan 9845 hadis dhaif.

Pada awal abad ke 11 Putera Syahid Tsani mengeluarkan hadis hadis shahih dari empat kitab utama ( Kutub Al Atba’ah) dan menuangkannya dalam sebuah kitab berjudul : MUntaqa Al Jaman Fi Ahadits Al Shihah Wa Al Hisan.

Dalam kitab Man La Yahdhuruh Al Faqih didapatkan bahwa jumlah riwayat yang muktabar dan shahih hanya berjumlah 1.642 hadis saja.

Metode Kritik Matan Syiah Imamiyah.
Secara umum, dalam hal ini, Syiah Imamiyah melakukan kritik matan dengan 4 cara –yang juga sebenarnya diakui dan digunakan oleh Ahl al-Sunnah-, yaitu:
  1. Menimbang matan hadits dengan al-Qur’an.
  2. Menimbangnya dengan al-Sunnah.
  3. Menimbangnya dengan ijma’.
  4. Menimbangnya dengan akal sehat.
Kenapa syi’ah imamiyah hanya mau menerima sebagian hadis hadis sunni ??? Tidak ada jaminan hadis hadis sunni tidak mengalami perubahan dan pemalsuan.
Maraknya hadis palsu mazhab sunni dapat diperoleh pada kenyataan bahwa dari 600.000 hadis ternyata al-Bukhari memilih 6000 an hadis. Jumlah hadis yang disandarkan pada Nabi SAW pada masa thaghut Umayyah dan thaghut Abbasiyah bertambah banyak, sehingga keadaan-nya bertambah sulit membedakan mana hadis yang orisinil dan mana hadis yang dibuat buat. Diriwayatkan bahwa Imam Bukhari mengumpulkan 600 ribu hadis, tetapi setelah mengadakan seleksi maka yang dianggapnya hadis orisinil hanya 6000 an (dengan pengulangan) yaitu hanya 1%. Wow maraknya hadis palsu !!!

Muslim merasa pantas memilih 6.000 an hadis dari 300.000 hadis yang ia dapat.
Abu Dawud mengambil 4.800 an hadis dari 500.000 hadis (Târîkh al-Baghdâdî, IX, h. 57; Thabaqât al-Huffâzh, II, h. 154; al-Muntazham, V, h. 97; Wafayât al-A ‘yân, II, h. 404; Kitab al Muwaththa’ yang disusun oleh Imam Malik ibn Anas. Disusunnya kitab ini adalah atas anjuran khalifah Abu Ja’far al Mansyur dari Dinasti Abbasiyah. Hadis yang diriwayatkan Imam Malik berjumlah seratus ribu Hadis, kemudia Hadis-hadis tersebut beliau seleksi dengan merujuk kesesuaian dengan alquran dan sunnah sehingga tinggal sepuluh ribu Hadis.Dari jumlah itu beliau lakukan seleksi kembali sehingga akhirnya yang dianggap mu’tamad berjumlah lima ratus Hadis.

Ahmad ibn Hanbal mengambil 30.000 an hadis dari hampir 1.000.000 hadis (Târîkh al-Baghdâdî, IV, h. 419-420; Thabaqât al-Huffâzh, II, h. 17; Wafayât al-A’yân, I, h. 64; Tahdzîb at-Tahdzîb, I, h. 74).
Satu yang perlu dicatat: Mayoritas hadis Syi’ah merupakan kumpulan periwayatan dari Abi Abdillah Ja’far ash-Shadiq. Diriwayatkan bahwa sebanyak 4.000 orang, baik orang biasa ataupun kalangan khawas, telah meriwayatkan hadis dari beliau. Oleh karena itu, Imamiah dinamakan pula sebagai Ja’ fariyyah. Mereka berkata bahwa apa yang diriwayatkan dari masa ‘Ali k.w. hingga masa Abi Muhammad al Hasan al ‘Askari mencapai 6.000 kitab, 600 dari kitab-kitab tersebut adalah dalam hadis.

Adapun hadis hadis dha’if dalam kitab syi’ah bukanlah hadis Nabi SAW tapi ucapan ucapan yang dinisbatkan pada Imam imam…
Dalam kitab syi’ah tidak ada hadis Nabi SAW yang dha’if apalagi pemalsuan atas nama Nabi SAW.
Kalau anda menemukan Imam Ja’far bersabda….
begini dan begitu.. artinya dia hanya mengutip apa yg disabdakan oleh nabi saw melalui jalur moyangnya spt Ali bin Abi Talib, Hasan, Husein, Ali bin Husein dan Muhammad bin Ali. Dus ucapan para Imam = ucapan Nabi saw.

Hadis Nabi SAW, Imam Ali disampaikan oleh Imam Ja’far secara bersambung seperti :[..dari Abu Abdillah (ja’far) dari Ayahnya ( Al Baqir ) dari kakeknya ( zainal ) dari Husain atau dari Hasan dari Amirul Mu’minin ( Imam Ali ) yang mendengar Nabi SAW bersabda …] ada lebih dari 5.000 hadis.

Syi’ah Imamiyah Menerima Hadis Hadis Mazhab Sunni Jika : “Tidak menyelisihi riwayat yang dituliskan oleh para ulama syi’ah dan Tidak menyelisihi amalan yang selama ini ada di kalangan syi’ah”.

Lalu bagaimana sikap mereka terhadap riwayat yang berasal dari Ahl al-Sunnah ? Ulama Syiah membolehkan hal ini dengan beberapa ketentuan:
  1. Hadits itu diriwayatkan dari para imam yang ma’shum.
  2. Tidak menyelisihi riwayat yang dituliskan oleh para ulama Syiah.
  3. Tidak menyelisihi amalan yang selama ini ada di kalangan mereka.
Kenapa banyak sekali hadis dha’if Dalam Syi’ah ?? Apa kulaini lemah dalam keilmuan ????
Jawab:
Syi’ah imamiyah itsna asyariah sangat ketat dalam ilmu hadis, sehingga ribuan hadis berani didha’if kan .. Tindakan pendha’ifan ribuan hadis ini menunjukkan bahwa Syi’ah SANGAT SERiUS DALAM menilai keshahihan sesuatu yang dinisbatkan pada agama….Tidak ada kompromi dalam hal seleksi hadis untuk membedakan Sunnah mana yang asli dan mana yang bukan…..

Apa yang dimaksud dengan hadis lemah / dha’if ????
Jawab :
Jika salah satu seorang dari rantai penulis hadis itu tidak ada, maka hadis itu lemah dalam isnad tanpa melihat isinya… Ada hadis dalam Al Kafi yang salah satu atau beberapa unsur dari rangkaian periwayatnya tidak ada, oleh sebab itu hadis hadis demikian isnad nya dianggap lemah.
Jika seseorang membawa sebuah hadis yang lemah dari USHUL AL KAFi dan kemudian mengarti kan hadis tersebut secara salah sebagai alat propaganda kesesatan syi’ah, maka hal itu tidak menggambarkan keyakinan syi’ah !!!!!

Rasulullah SAW mewasiatkan bahwa : “saya tinggalkan dua perkara berat (al tsaqalain) untu kalian jaga : Kitabullah dan itrah ahlul baitku” (Hr.Muslim dan Turmudzy). Syi’ah menerima sunnah Nabi SAW yang diwariskan melalui para imam ahlulbait. Hadis syi’ah diterima dan sah untuk diamalkan jika sesuai dengan Al Quran.
Rasulullah SAW ketika berkhutbah di Mina menyatakan : “Wahai manusia, apa yang berasal dariku yang sesuai dengan Kitab Allah, itulah yang aku katakan. Apa yang datang kepada kalian tapi bertentangan dengan Kitab Allah maka itu aku tidak pernah mengatakannya” (Ushul  Al Kafi, juz 1 halaman 56).

Imam Ja’far Shadiq AS berkata, “Segala sesuatu dirujukkan kepada Kitab dan Sunnah, dan setiap hadis yang tidak sesuai dengan kitab Allah adalah mengada ada” (Ushul  Al Kafi, juz 1 halaman 55).

Imam Ja’far Shadiq AS berkata, “Kalau ada hadis yang tidak sesuai dengan Al Quran, artinya itu kedustaan” (Ushul  Al Kafi, juz 1 halaman 56).

Al Kulaini mengumpulkan menuliskan riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam Ahlul Bait as. Dalam tradisi Islam Syi’ah, tugas para pengumpul hadits hanyalah mengoleksinya saja. Oleh karena Itulah ulama-ulama sesudahnya telah menseleksi hadits dalam kitab tersebut dan menentukan kedudukan setiap haditsnya. Adalah menjadi tugas para ulama untuk menentukan mana di antara hadits-hadits termaktub itu yang bisa diterima atau tidak. Oleh karena Itulah ulama-ulama sesudah Kulaini menseleksi hadis dan menentukan kedududkan setiap hadisnya. Kulaini hanya mengumpulkan dan menyerahkan penilaian pada masing-masing pakar, terutama yang ingin berijtihad, maka kritik hadits oleh ulama Syi’ah hal biasa dan tidak tabu.

Al Kafi adalah kitab hadis Syiah yang ditulis oleh Syaikh Abu Ja’far Al Kulaini pada abad ke 4 H. Kitab ini ditulis selama 20 tahun yang memuat 16.199 hadis. Al Kulaini tidak seperti Al Bukhari yang menseleksi hadis yang ia tulis. Di Al Kafi, Al Kulaini menuliskan riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam Ahlul Bait as. Jadi Al Kulaini hanyalah sebagai pengumpul.

Allamah Al Hilli misalkan, yang telah mengelompokkan hadis-hadis Al Kafi menjadi shahih, muwatstsaq, hasan dan dhaif. Sayyid Ali Al Milani menyatakan bahwa 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis muwatstsaq (hadis yang diriwayatkan perawi bukan Syiah tetapi dipercayai oleh Syiah), 302 hadis Qawiy (kuat) dan 9.480 hadis dhaif.

Dari hadis-hadis dalam Al Kafi, Sayyid Ali Al Milani menyatakan bahwa 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis Muwatstsaq(hadis yang diriwayatkan perawi bukan syiah tetapi dipercayai oleh syiah), 302 hadis Qawiy (kuat) dan 9.480 hadis dhaif. (lihat Al Riwayat Li Al Hadits Al Tahrif oleh Sayyid Ali Al Milani dalam Majalah Turuthuna Bil 2 Ramadhan 1407 H hal 257). Jadi dari keterangan ini saja dapat dinyatakan kira-kira lebih dari 50% hadis dalam Al Kafi itu dhaif. Walaupun begitu jumlah hadis yang dapat dijadikan hujjah (yaitu selain hadis yang dhaif) jumlahnya cukup banyak, kira-kira hampir sama dengan jumlah hadis dalam Shahih Bukhari.

Hadis-hadis yang termuat dalam al-Kafi berjumlah 16.199 buah hadis, yang mencapai tingkat sahih, berjumlah 5.702 buah hadis, tingkat hasan 144 buah hadis, tingkat muwassaq 1.128 buah hadis, tingkat qawiy 302 buah hadis, dan tingkat dha’if 9.485 buah hadis.[sumber :Ayatullah Ja’far Subhani, “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab al-Kafi” dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic Center, Jakarta, vol II, no. 5. 2001, hlm. 36.]

Hal yang sama juga dikatakan oleh Ayatullah Husayn `Ali al-Muntazari mengenai ketidaksahihan riwayat dalam al-Kafi dalam kitabnya Dirasah fi Makasib al Muharomah, juz III, hal. 123. Ia mengatakan: “Kepercayaan al-Kulaini akan kesahihan riwayat (di dalam kitabnya) tidak termasuk dalam hujah syar’iah karena dia bukanlah ma’sum di sisi kami.”.

Di antara ulama syiah tersebut adalah Allamah Al Hilli yang telah mengelompokkan hadis-hadis Al Kafi menjadi shahih, muwatstsaq, hasan dan dhaif. Pada awalnya usaha ini ditentang oleh sekelompok orang yang disebut kaum Akhbariyah. Kelompok ini yang dipimpin oleh Mulla Amin Astarabadi menentang habis-habisan Allamah Al Hilli karena Mulla Amin beranggapan bahwa setiap hadis dalam Kutub Arba’ah termasuk Al Kafi semuanya otentik. Sayangnya usaha ini tidak memiliki dasar sama sekali. Oleh karena itu banyak ulama-ulama syiah baik sezaman atau setelah Allamah Al Hilli seperti Syaikh At Thusi, Syaikh Mufid, Syaikh Murtadha Al Anshari dan lain-lain lebih sepakat dengan Allamah Al Hilli dan mereka menentang keras pernyataan kelompok Akhbariyah tersebut. (lihat Prinsip-prinsip Ijtihad Antara Sunnah dan Syiah oleh Murtadha Muthahhari hal 23-30).

Istilah yang mengklasifikasikan riwayat-riwayat menurut derajat kesahihan (sahih, muwaththaq, qawi, hasan dan da’if). Hal ini tidak digunakan oleh ulama Syi’ah Itsna’ Ashariyyah melainkan setelah abad ke-7. Sebelumnya ulama mutaqqidimin mereka hanya menggunakan istilah sahih atau tidak sahih. 

Kitab Hadis Al Kafi Karya Kulaini Tidak Semua Berisi Hadis Shahih… Tapi Kitab Bukhari Muslim diklaim semua berisi hadis shahih.





Mereka yang mengkritik Syiah telah membawakan riwayat-riwayat yang ada dalam kitab rujukan Syiah yaitu Al Kafi dalam karya-karya mereka seraya mereka berkata Kitab Al Kafi di sisi Syiah sama seperti Shahih Bukhari di sisi Sunni. Tujuan mereka berkata seperti itu adalah sederhana yaitu untuk mengelabui mereka yang awam yang tidak tahu-menahu tentang Al Kafi. Atau jika memang mereka tidak bertujuan seperti itu berarti Mereka lah yang terkelabui.

Dengan kata-kata seperti itu maka orang-orang yang membaca karya mereka akan percaya bahwa riwayat apa saja dalam Al Kafi adalah shahih atau benar sama seperti hadis dalam Shahih Bukhari yang semuanya didakwa shahih. Mereka yang mengkritik Syiah atau lebih tepatnya menghakimi Syiah itu adalah Dr Abdul Mun’im Al Nimr dalam karyanya(terjemahan Ali Mustafa Yaqub) Syiah, Imam Mahdi dan Duruz Sejarah dan Fakta, Ihsan Illahi Zahir dalam karyanya Baina Al Sunnah Wal Syiah, Mamduh Farhan Al Buhairi dalam karyanyaGen Syiah dan lain-lain.

Tidak diragukan lagi bahwa karya-karya mereka memuat riwayat-riwayat dalam kitab rujukan Syiah sendiri seperti Al Kafi tanpa penjelasan pada para pembacanya apakah riwayat tersebut shahih atau tidak di sisi Ulama Syiah. Karya-karya mereka ini jelas menjadi rujukan oleh orang-orang(termasuk oleh mereka yang menamakan dirinya salafi) untuk mengkafirkan atau menyatakan bahwa Syiah sesat.

Sungguh sangat disayangkan, karena kenyataan yang sebenarnya adalah Al Kafi di sisi Syiah tidak sama kedudukannya dengan Shahih Bukhari di sisi Sunni. Al Kafi memang menjadi rujukan oleh ulama Syiah tetapi tidak ada ulama Syiah yang dapat membuktikan bahwa semua riwayat Al Kafi shahih. Dalam mengambil hadis sebagai rujukan, ulama syiah akan menilai kedudukan hadisnya baru menetapkan fatwa. Hal ini jelas berbeda denganShahih Bukhari dimana Bukhari sendiri menyatakan bahwa semua hadisnya adalah shahih, dan sudah menjadi ijma ulama(sunni tentunya) bahwa kitab Shahih Bukhari adalah kitab yang paling shahih setelah Al Quran.

Kedudukan Shahih Bukhari.
Shahih Bukhari adalah kitab hadis Sunni yang ditulis oleh Bukhari yang memuat 7275 hadis. Jumlah ini telah diseleksi sendiri oleh Bukhari dari 600.000 hadis yang diperolehnya dari 90.000 guru. Kitab ini ditulis dalam waktu 16 tahun yang terdiri dari 100 kitab dan 3450 bab. Hasil seleksi Bukhari dalam Shahih Bukhari ini telah Beliau nyatakan sendiri sebagai hadis yang shahih.
Bukhari berkata:
“Saya tidak memasukkan ke kitab Jami’ ini kecuali yang shahih dan saya telah meninggalkan hadis-hadis shahih lain karena takut panjang” (Tahdzib Al Kamal 24/442).
Bukhari hidup pada abad ke-3 H, karya Beliau Shahih Bukhari pada awalnya mendapat kritikan oleh Abu Ali Al Ghassani dan Ad Daruquthni, bahkan Ad Daruquthni menulis kitab khusus Al Istidrakat Wa Al Tatabbu’ yang mengkritik 200 hadis shahih yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Tetapi karya Ad Daruquthni ini telah dijawab oleh An Nawawi dan Ibnu Hajar dalam Hady Al Sari Fath Al Bari.

An Nawawi dan Ibnu Shalah yang hidup pada abad ke-7 adalah ulama yang pertama kali memproklamirkan bahwa Shahih Bukhari adalah kitab yang paling otentik sesudah Al Quran. Tidak ada satupun ulama ahli hadis saat itu yang membantah pernyataan ini. Bahkan 2 abad kemudian pernyataan ini justru dilegalisir oleh Ibnu Hajar Al Asqallani dalam kitabnya Hady Al Sari dan sekali lagi tidak ada yang membantah pernyataan ini. Oleh karenanya adalah wajar kalau dinyatakan bahwa ulama-ulama sunni telah sepakat bahwa semua hadis Bukhari adalah shahih. (lihat Imam Bukhari dan Metodologi Kritik Dalam Ilmu Hadis oleh Ali Mustafa Yaqub hal 41-45).

Kedudukan Al Kafi.
Al Kafi adalah kitab hadis Syiah yang ditulis oleh Syaikh Abu Ja’far Al Kulaini pada abad ke 4 H. Kitab ini ditulis selama 20 tahun yang memuat 16.199 hadis. Al Kulaini tidak seperti Al Bukhari yang menseleksi hadis yang ia tulis. Di Al Kafi, Al Kulaini menuliskan riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam Ahlul Bait as. Jadi Al Kulaini hanyalah sebagai pengumpul hadis-hadis dari Ahlul Bait as. Tidak ada sedikitpun pernyataan Al Kulaini bahwa semua hadis yang dia kumpulkan adalah otentik. Oleh karena Itulah ulama-ulama sesudah Beliau telah menseleksi hadis ini dan menentukan kedududkan setiap hadisnya.

Di antara ulama syiah tersebut adalah Allamah Al Hilli yang telah mengelompokkan hadis-hadis Al Kafi menjadi shahih, muwatstsaq, hasan dan dhaif. Pada awalnya usaha ini ditentang oleh sekelompok orang yang disebut kaum Akhbariyah. Kelompok ini yang dipimpin oleh Mulla Amin Astarabadi menentang habis-habisan Allamah Al Hilli karena Mulla Amin beranggapan bahwa setiap hadis dalam Kutub Arba’ah termasuk Al Kafi semuanya otentik. Sayangnya usaha ini tidak memiliki dasar sama sekali. Oleh karena itu banyak ulama-ulama syiah baik sezaman atau setelah Allamah Al Hilli seperti Syaikh At Thusi, Syaikh Mufid, Syaikh Murtadha Al Anshari dan lain-lain lebih sepakat dengan Allamah Al Hilli dan mereka menentang keras pernyataan kelompok Akhbariyah tersebut. (lihat Prinsip-prinsip Ijtihad Antara Sunnah dan Syiah oleh Murtadha Muthahhari hal 23-30).

Dari hadis-hadis dalam Al Kafi, Sayyid Ali Al Milani menyatakan bahwa 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis Muwatstsaq(hadis yang diriwayatkan perawi bukan syiah tetapi dipercayai oleh syiah), 302 hadis Qawiy(kuat) dan 9.480 hadis dhaif. (lihat Al Riwayat Li Al Hadits Al Tahrif oleh Sayyid Ali Al Milani dalam Majalah Turuthuna Bil 2 Ramadhan 1407 H hal 257). Jadi dari keterangan ini saja dapat dinyatakan kira-kira lebih dari 50% hadis dalamAl Kafi itu dhaif. Walaupun begitu jumlah hadis yang dapat dijadikan hujjah(yaitu selain hadis yang dhaif) jumlahnya cukup banyak, kira-kira hampir sama dengan jumlah hadis dalam Shahih Bukhari.

Semua keterangan diatas sudah cukup membuktikan perbedaan besar di antara Shahih Bukhari dan Al Kafi. Suatu Hadis jika terdapat dalam Shahih Bukhari maka itu sudah cukup untuk membuktikan keshahihannya. Sedangkan suatu hadis jika terdapat dalam Al Kafi maka tidak bisa langsung dikatakan shahih, hadis itu harus diteliti sanad dan matannya berdasarkan kitab Rijal Syiah atau merujuk kepada Ulama Syiah tentang kedudukan hadis tersebut.

Peringatan:
Oleh karena cukup banyaknya hadis yang dhaif dalam Al Kafi maka seyogyanya orang harus berhati-hati dalam membaca buku-buku yang menyudutkan syiah dengan menggunakan riwayat-riwayat Hadis Syiah seperti dalam Al Kafi. Dalam hal ini bersikap skeptis adalah perlu sampai diketahui dengan pasti kedudukan hadisnya baik dengan menganalisis sendiri berdasarkan Kitab Rijal Syiah atau merujuk langsung ke Ulama Syiah.

Dan Anda bisa lihat di antara buku-buku yang menyudutkan syiah dengan memuat riwayat syiah sendiri seperti dari Al Kafi tidak ada satupun penulisnya yang bersusah payah untuk menganalisis sanad riwayat tersebut atau menunjukkan bukti bahwa riwayat itu dishahihkan oleh ulama syiah. Satu-satunya yang mereka jadikan dalil adalah Fallacy bahwa Al Kafi itu di sisi Syiah sama seperti Shahih Bukhari di Sisi Sunni. Padahal sebenarnya tidak demikian, sungguh dengan fallacy seperti itu mereka telah menyatakan bahwa Syiah itu kafir dan sesat. Sungguh Sayang sekali.

Peringatan ini jelas ditujukan kepada mereka yang akan membaca buku-buku tersebut agar tidak langsung percaya begitu saja. Pikirkan dan analisis riwayat tersebut dengan Kitab Rijal Syiah(Rijal An Najasy atau Rijal Al Thusi). Atau jika terlalu sulit dengarkan pendapat Ulama Syiah perihal riwayat tersebut. Karena pada dasarnya mereka Ulama Syiah lebih mengetahui hadis Syiah ketimbang para penulis buku-buku tersebut. 

Kitab hadis Al-Kafi, dikumpulkan oleh Syaikh Kulaini, terdapat sekitar 16000 hadis... 
Dengan perincian sbb: 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis Muwatstsaq ( hadis yang di riwayatkan perawi bukan syi’ah tetapi dipercayai oleh syiah), 302 hadis Qawiy ( kuat ) dan 9.480 hadis dhaif... 
Sangat sangat banyak hadis dhaif dalam Kitab Al Kafi (lebih separuh kitab ini hadisnya dha’if) …. 
Jadi hadis yang digembar gemborkan sebagai HADiS ANEH oleh salafi wahabi ternyata umumnya hadis dha’if syi’ah … 
http://syiahindonesia.com doyan memakai hadis dha’if syiah… 
www.gensyiah.com doyan memakai hadis dha’if syiah…. 
www.syiah.net doyan memakai hadis dha’if syiah… 
http://hakekat .com doyan memakai hadis dha’if syiah… 
http://haulasyiah.wordpress.com doyan memakai hadis dha’if syiah.

Di dalam Mazhab Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah (mazhab resmi Iran), ada 4 kitab hadis :
a. Kitab hadis Al-Kafi, dikumpulkan oleh Syaikh Kulaini, terdapat sekitar 16000 hadis.. Dengan perincian sbb : 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis Muwatstsaq (hadis yang di riwayatkan perawi bukan syi’ah tetapi dipercayai oleh syiah), 302 hadis Qawiy (kuat) dan 9.480 hadis dhaif...
Sangat sangat banyak hadis dhaif dalam Kitab Al Kafi (lebih separuh kitab ini hadisnya dha’if).
b. Kitab hadis Man la yahdarul fiqh (6000 hadis) …
c. Kitab hadis Tazhibul Ahkam (13590 hadis)...
d. Kitab hadis Al-Istibshar fima Ikhtilaf minal Akhbar (5511 hadis).
Jadi hadis yang digembar gemborkan sebagai HADiS ANEH oleh salafi wahabi ternyata umumnya hadis dha’if syi’ah.
http://syiahindonesia.com doyan memakai hadis dha’if syiah.
http://www.gensyiah.com doyan memakai hadis dha’if syiah.
http://www.syiah.net doyan memakai hadis dha’if syiah.
http://hakekat .com doyan memakai hadis dha’if syiah.
http://haulasyiah.wordpress.com doyan memakai hadis dha’if syiah.


SEJAK KAPAN HADiS AL KAFi KULAiNi Di SELEKSI?
apakah ulama syi’ah dulu tidak menseleksi hadis?

Jawaban :
- Hadis shahih, hasan dan dha’if dalam kitab Kulaini sudah diseleksi oleh ulama ulama syi’ah sejak kemunculan kitab itu.
- Kulaini sendiri telah membuat kriteria penilaian keshahihan kitab nya, beliau membagi nya menjadi ushul al kafi (khusus tentang hadis hadis tentang kaidah kaidah agama) dan furu’ al kafi (khusus hadis hadis tentang kaidah kaidah fikih).
- Tak lama kemudian Syaikh Shaduq menyeleksi dan memberi komentar terhadap kitab itu.. Jadi metode penilaian hadis hadis syi’ah sudah sejak zaman dulu. 

Al Kulaini, al Kâfi Tidak Mengajarkan Tahrîf Al Qur’an.


Al-Kafi bukanlah kitab shahih, yang hadisnya pun sampai sekarang masih diteliti, makanya tidak bernama “Shahih Al-Kafi”. Lucunya (atau tidak lucunya) di dalam kitab Ahlus Sunnah, yang bernama Shahih Bukhari atau Shahih Muslim, juga terdapat hadis tentang perubahan Al-Quran. Bedanya, ini kitab shahih! Tentu saja shahih menurut penulisnya. Jadi di dalam Shahih Bukhari atau Muslim tidak perlu pengklasifikasian hadis, karena semuanya shahih (menurut saudara Ahlus Sunnah). Ada beberapa riwayat tahrif Al-Quran yang ada dalam kitab Ahlus Sunnah. Jadi baik Syiah maupun Ahlus Sunnah ada riwayat tahrif, bedanya yang satu shahih yang satu lagi tidak shahih (menurut masing-masing). Jadi jangan mengatakan bahwa Syiah mempunyai Quran yang berbeda, sementara di sisi lain ada juga riwayat tahrif dalam kitab shahih. Sudah saatnya berhenti bertikai. Justru kita harus mengamalkan apa yang ada di Al-Quran Al-Karim.

Al-Quran Sunni-Syiah Satu, Tiada Perubahan dalam Al-Quran.
Semakin banyak tulisan yang menyebutkan bahwa kaum Syiah memiliki Al-Quran yang berbeda, hal ini menjadi salah satu alasan kafirnya Syiah dari sekian banyak tuduhan yang tidak berdasar. Tuduhan yang mengatakan bahwa kaum Syiah mempunyai Al-Quran yang berbeda sangatlah tidak adil.
Kaum Syiah meyakini tidak terjadinya tahrif di dalam Al-Quran dari zaman kapan pun sampai zaman kapan pun. Bukankah Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surah Al-Hijr ayat 9, “Sungguh Kamilah yang menurunkan Al-Quran dan sungguh Kamilah yang menjaganya.”.

Tidak dapat disangkal bahwa di dalam kitab hadis Syiah terdapat riwayat yang menyebutkan hal tersebut, namun perlu diingat bahwa kitab tersebut, Al-Kafi, bukanlah kitab hadis yang shahih, sebagaimana Shahih Bukhari atau Muslim.

Seorang ulama Syiah, Sayid Hasyim Ma’ruf Al-Hasani, pernah melakukan penelitian dan menyatakan bahwa Al-Kafi berisi 16.199 hadis; diantaranya 5.072 dianggap shahih, 144 hasan, 1128 nuwatstsa’, 302 qawiy, dan 9.480 hadis dhaif. Pengklasifikasian itu pun baru berdasarkan keabsahan sanad, belum isinya (matan).

Penolakan Tahrif (Perobahan) Al-Quran oleh Ulama Syiah.
Abu Ja’far Muhammad ibn Ali ibn Husain ibn Babawaih Al-Qummiy (Ash-Shaduq): “Keyakinan kita tentang Al-Quran yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yaitu ada di antara dua sisi kitab yang berada di tangan kaum Muslim dan tidak lebih dari itu. Maka barang siapa yang mengatakan bahwa kami meyakini yang lebih dari itu, pastilah orang tersebut berbuat dusta.”.

Syaikh Thaifah Abu Ja’far Muhammad ibn Hasan Ath-Thusiy: “Pembicaraan tentang adanya penambahan dan pengurangan pada Al-Quran adalah sesuatu yang tidak pantas… Dan itulah yang sesuai dengan kebenaran dari mazhab kita. Itulah yang dibela Al-Murtadha (Imam Ali ibn Abi Thalib AS), yang tampak dari banyak riwayat…”.

Abu Ali Thabarsi: “…Adapun tentang adanya penambahan pada Al-Quran maka hal tersebut disepakati sebagai sesuatu yang batil…”.
Sayid Ibnu Thawus: “Imamiyah yakin tidak ada tahrif dalam Al-Quran.”.
Syaikh Muhammad ibn Hasan Al-Hurr Al-Amiliy: “Barang siapa mau meneliti tarikh, riwayat-riwayat dan atsar, maka dia tahu dengan pasti bahwa Al-Quran telah ditetapkan pada tingkat ke-mutawatir-an yang sangat kuat, dan dengan penukilan ribuan sahabat, dan bahwa Al-Quran telah tersusun dan terkumpul rapi pada masa Rasulallah SAW.”

Syaikh Abu Zuhrah: “Sejumlah ulama besar Imamiyah yang diketuai Al-Murtadha, Syaikh Thusi, dan lain-lain menolak…”.

Ayatullah Sayid Burujerdi: “Merupakan suatu kemestian logis untuk menolak (tahrif) dan kabar-kabar yang menolak kemurnian ayat Al-Quran amat sangat lemah dan bertentang dengan hadis yang pasti (qath’i) dan mesti (dharurah), malah bertentangan dengan tujuan kenabian.Kemudian, sungguh sangat mengherankan adanya sebagian orang-orang yang mempertahankan kabar angin ini, lisan maupun tulisan yang tersimpan selama lebih dari tiga belas abad, yang menyatakan bahwa ada penghapusan ayat-ayat dalam Al-Quran Al-Majid.”.

Allamah Syahsyahani: “Hadis-hadis ini tidak pantas diperhatikan bila ditinjau dari segi sanadnya. Tidak ada seorang pun yang menyatakan bahwa ada satu ayat saja dari hadis itu yang shahih… Hadis-hadis ini bertentangan dengan hadis-hadis mutawatir yang lebih kuat, dan sesuai dengan Al-Quran, sunnah, akal sehat, dan kesepakatan.”.

Imam Khomaini: “Lemah, tidak pantas berdalil dengannya.”.

Dan masih banyak ulama-ulama Syiah yang menolak perubahan Al-Quran, seperti Zainuddin Al-Bayadli, Al-Muqaddas Al-Baghdadi, Kasyful-Ghitha, Sayid Muhammad Jawad Al-Balaghiy, Sayid Muhammad Thabathaba’i Bahrul-Ulum, Ayatullah Kuh Kamariy, Sayid Muhsin Al-Amin Al-Amiliy, Sayid Muhammad Mahdi Syirazy, dll. Oleh karena di dalam kitab Al-Kafi terdapat hadis yang lemah, maka juga terdapat periwayat (rawi) yang lemah. Seperti Abi Al-Jarud Ziyad ibn Mundzir As-Sarhub (pemimpin sekte Jarudiyah/Sarhubiyah), Ahmad ibn Muhammad As-Sayyari, Mankhal ibn Jamil Al-Kufi, Muhammad ibn Hasan ibn Jumhur, dll.

Itulah akidah Syiah Imamiyah terhadap Al-Quran yang tidak mengalami pengurangan atau penambahan hingga akhir zaman. Jadi apabila masih ada yang mengatakan bahwa Syiah memiliki Al-Quran yang berbeda, itu merupakan hal dusta, dan lebih konyol lagi ada yang mengatakan bahwa Jibril AS salah menyampaikan wahyu yang seharusnya diturunkan kepada Imam Ali AS. Pastilah kaum Syiah akan menertawakannya.
Al-Quran yang ada di Iran pun (yang notabene mayoritas Syiah) tidak sedikit yang didatangkan/dicetak dari Beirut (Lebanon) dan Kairo (Mesir). Iran pun mengadakan MTQ Internasional yang dihadiri negara-negara Timur Tengah, bahkan kalau tidak salah Indonesia pernah mengirim wakilnya. Entah bagaimana jadinya jika Quran yang dibaca wakil Iran berbeda? Pastilah juri akan pusing menilainya.

Pernah di kampus ada seminar tentang “Dikotomi Sunni Syiah” dan tema Al-Quran Syiah pun sempat ditanyakan. Pak Miftah (sebagai pembicara dari Syiah nya) menjelaskan, “Jadi perbedaan antara Al-Quran Syiah dan (Ahlus) Sunnah hanya terletak pada jenis kertas saja. Di Iran dicetak dengan jenis kertas yang paling mahal dan di dalamnya terdapat keindahan, karena Al-Quran merupakan kalamullah.” Jadi kaum Syiah di Indonesia tidak perlu impor Quran dari Iran, karena Quran nya sama.  

Hadis Perubahan Al-Quran dalam Kitab Ahlus Sunnah.
Seperti yang sudah disebutkan bahwa Al-Kafi bukanlah kitab shahih, yang hadisnya pun sampai sekarang masih diteliti, makanya tidak bernama “Shahih Al-Kafi”. Lucunya (atau tidak lucunya) di dalam kitab Ahlus Sunnah, yang bernama Shahih Bukhari atau Shahih Muslim, juga terdapat hadis tentang perubahan Al-Quran. Bedanya, ini kitab shahih! Tentu saja shahih menurut penulisnya. Jadi di dalam Shahih Bukhari atau Muslim tidak perlu pengklasifikasian hadis, karena semuanya shahih (menurut saudara Ahlus Sunnah).

Tentang Surah Al-Lail.
Dari Qabshah ibn Uqbah yang berasal dari Ibrahim ibn Al-Qamah. Ia berkata kepada kami: “Saya bersama pengikut Abdullah ibn Ubay datang ke Syam. Abu Darda’ yang mendengar kedatangan kami segera datang dan bertanya: ‘Adakah di antara kalian yang membaca Al-Quran?’ Orang-orang menunjuk saya. Kemudian ia berkata: ‘Bacalah!’ Maka saya pun membaca: Wal-Laili idzaa yaghsyaa, wan-nahaari idzaa tajallaa, wadzdzakraa wal-untsaa… Mendengar itu dia bertanya: ‘Apakah engkau mendengar dari mulut temanmu Abdullah ibn Ubay?’ Saya menjawab: ‘Ya.’ Ia melanjutkan: ‘Saya sendiri mendengarnya dari mulut Nabi SAW. Dan mereka menolak untuk menerimanya’.” (Shahih Bukhari, Kitab At-Tafsir, bab Surah wal-Laili idzaa yaghsyaa; pada catatan kaki As-Sanadiy, jilid III, hlm. 139; jilid VI, hlm. 21; jilid V, hlm. 35; Musnad Ahmad, jilid VI, hlm. 449, 451; Ad-Durr Al-Mantsur, jilid VI, hlm. 358 dari Said ibn Manshur, Ahmad Abd ibn Hamid, Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Marduwaih, Ibn Al-Qamah, dll.) Padahal yang tertulis dalam Al-Quran sekarang adalah Wal-Laili idzaa yaghsyaa, wan-nahaari idzaa tajallaa, wamaa khalaqadzdzakraa wal-untsaa.

Ayat Rajam.
Umar ibn Khaththab berkata: “Bila bukan karena orang akan mengatakan bahwa Umar menambah (ayat) ke dalam Kitab Allah, akan kutulis ayat rajam dengan tanganku sendiri.” (Shahih Bukhari, bab Asy-Syahadah ‘indal-Hakim fi Wilayatil-Qadha; Al-Itqan, jilid II, hlm. 25-26; Ad-Durr Al-Mantsur, jilid I, hlm. 230; jilid V, hlm. 179 dari Imam Malik, Bukhari, Muslim, dan Ibnu Dhurais, dan hlm. 180 berasal dari Nasa’i, Ahmad, Ibnu Auf; Musnad Ahmad, jilid I, hlm. 23, 29, 36, 40, 43, 47, 50, 55; jilid V, hlm. 132, 183; Hayat Ash-Shahabah, jilid II, hlm. 12; jilid III, hlm. 449) Jadi, Umar meyakini Ayat Rajam itu ada dalam Al-Quran, tapi kenyataannya tidak ada. Tapi Umar tidak menulisnya karena takut ucapan orang-orang bahwa Umar menambah ayat. Seperti itulah yang dijelaskan As-Suyuthi dalam Al-Itqan jilid II, hlm. 26, mengutip tulisan Az-Zarkasyi: “Tampaknya penulisan ayat tersebut boleh saja. Hanya ucapan oranglah yang mencegah (Umar melakukan) hal itu… Seharusnya ayat itu dimasukkan ke dalam Al-Quran, ayat itu semestinya ditulis.” Ayat rajam ini juga pernah disebut-sebut waktu saya (pertama kali) belajar Ulumul-Quran di kampus  .

An-Naas dan Al-Falaq.
Dinukil dari Ibnu Mas’ud, bahwa dia membuang Surah Mu’awidzdzatain (An-Naas dan Al-Falaq) dari mushhafnya dan mengatakan keduanya tidak termasuk Al-Quran. (Ad-Durr Al-Mantsur, jilid VI, hlm. 146; Ruhul-Ma’ani, jilid I, hlm. 24; Al-Itqan, jilid I, hlm. 79; Fathul-Bari, jilid VIII, hlm. 581).

195 Ayat Surah Al-Ahzab Hilang.
Demikian riwayat dari Abdurrazaq yang berasal dari Tsauri, dari Zirr ibn Hubaisy yang berkata: “Ubay ibn Kaab telah bertanya kepada saya: ‘Berapa jumlah ayat yang kalian baca dalam surah Al-Ahzab?’ Saya menjawab: ’73 atau 74 ayat.’ Dia bertanya: ‘Hanya sebanyak itu? Pada mulanya surah tersebut sama panjangnya dengan Al-Baqarah atau lebih. Dan di dalamnya terdapat surah (ayat) rajam.’ Saya bertanya: ‘Wahai Abu Mundzir, bagaimana bunyinya?’ Dia menjawab: ‘Ayat tersebut berbunyi: Idzaa zanayaa asysyaikhu wasy-syaikhah farjamuu…’.” (Al-Itqan, jilid II, hlm. 25; Mushhanaf Abdurrazaq, jilid VII, hlm. 320; Muntakhab Kanzul-Ummal pada catatan kaki Musnad Ahmad, jilid II, hlm. 1) Ternyata ayat rajam tersebut tidak ada dalam Al-Quran, dan tampaknya sama seperti apa yang diucapkan oleh khalifah kedua bahwa ada ayat rajam.

Ada Surah seperti At-Taubah yang Hilang.
 Abu Harb ibn Abi Aswad meriwayatkan dari ayahnya yang berkata: “Abu Musa Al-Asyari berkunjung ke Basrah untuk menemui para qari di sana. Dia bertemu dengan 300 qari dan berkata kepada mereka: ‘Kalian adalah sebaik-baiknya penduduk Basrah dan qari mereka.’ Maka mereka membaca surah panjang seperti Al-Bara’ah (At-Taubah). Saya lupa surah tersebut. Akan tetapi beberapa ayatnya masih saya hapal, yaitu: …Law kaani li ibni Adam… Demikian pula kami pernah membaca surah mirip dengan satu surah yang diawali shabaha lillaahi. Saya telah lupa surah itu. Hanya beberapa ayatnya masih saya ingat. Di antaranya: Yaa ayyuhalladziina aamanuu limaa taquuluu… (Shahih Muslim, jilid II, hlm. 100; Al-Itqan, jilid II, hlm. 25; Al-Burhan fii Ulumil-Quran, jilid II, hlm. 43).

Ayat Radha’ah yang Hilang.
Dari Ummul-Mu’minin Aisyah yang berkata: “Di antara ayat-ayat Al-Quran yang diwahyukan adalah: “‘Asyru radha’aat ma’luumaat yuharramna… (Shahih Muslim, jilid IV, hlm. 167-168; Al-Bidayatul-Mujtahid, jilid II, hlm. 36; Ad-Durr Al-Mantsur, jilid II, hlm. 135).

Awal Surah At-Taubah Hilang dengan Basmalah.
 Dari Imam Malik: “Ketika awal surah Al-Bara’ah (At-Taubah) hilang, maka basmalah (bismillahirrahmaanirrahiim) pun hilang bersamanya. Padahal sudah pasti sebelumnya surah tersebut sama panjangnya dengan surah Al-Baqarah (Al-Itqan, jilid I, hlm. 65) Sebagaimana diketahui bersama bahwa At-Taubah merupakan satu-satunya surah yang tidak diawali dengan basmalah. Dan terlihat riwayat ini sesuai dengan riwayat sebelumnya bahwa 195 ayat surah At-Taubah hilang, sehingga panjangnya sama seperti Al-Baqarah.


Ayat Ali Mawla Mu’minin.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang berkata: “Pada masa Rasulallah kami membaca ayat yang berbunyi: Yaa ayyuharrasuul ballagh maa anzal ilayka min rabbika anna Aliyan mawlal-mu’minin wa in lam… (Ad-Durr Al-Mantsur, jilid II, hlm. 298; At-Tahmid fi Ulumil-Quran, jilid I, hlm. 261) Padahal dalam surah Al-Maidah ayat 67 tidak ada kata-kata Ali, dan kaum Syiah pun menolak adanya kalimat tersebut dalam Al-Quran.

Itulah sebagian riwayat tahrif Al-Quran yang ada dalam kitab Ahlus Sunnah. Jadi baik Syiah maupun Ahlus Sunnah ada riwayat tahrif, bedanya yang satu shahih yang satu lagi tidak shahih (menurut masing-masing). Jadi jangan mengatakan bahwa Syiah mempunyai Quran yang berbeda, sementara di sisi lain ada juga riwayat tahrif dalam kitab shahih. Sudah saatnya berhenti bertikai. Justru kita harus mengamalkan apa yang ada di Al-Quran Al-Karim, insya Allah. Mohon maaf apabila ada kata-kata kurang berkenan.

Di antara isu yang menggelinding bersama dengan maraknya tuduhan tahrîf Al Qur’an atas Syi’ah  adalah tuduhan bahwa Tsiqatul Islam al Kulain (rahmatullah ‘alaih) meyakini adanya Tahrîf pada Al Qur’an.
Para penulis Wahhâbi, seperti Ihsân Ilâhi Dzahîr, Ahmad Mâlullah, Abdurrahman az Zar’i dll. dan segaian kawan-kawan Ahlusunnah yan terinfeksi “virus Wahabisme” begitu bersemangat menyuarakan tuduhan itu.
Asal muasal tuduhan itu diambil dari segelintir ulama Syi’ah dari kelompok al Akhbâriyyûn.[1]

Syeikh Ni’matullah al Jazâiri (salah seorang tokoh kelompok al Akhbâriyyûn) dan juga Syeikh Nuri ath Thabarsi (salah seorang tokoh kelompok al Akhbâriyyûn dan pengagum berat al Jazâiri) mengklaim bahwa al Kulaini adalah di antara ulama Syi’ah yang meyakini adanya Tahrîf !

Munculnya klaim adanya Tahrîf di kalangan kelompok al Akhbâriyyûn ini diprakarsai oleh Syeikh Ni’matullah al Jazâiri (1050-1112 H) kemudian direspon oleh Syeikh Nuri (1254-1320 H) dalam kitab Fashlu al Khithâb.

Tahrîr Mahalli an Nizâ’.
Demi terarahnya pembahasan dan diskusi tentang masalah apapun yang hendak dibicarakan, adalah sebuah kewajiban bagi setiap pengkaji untuk menetapkan tema yang handak dibahas, agar pembahasan tidak melenceng dan keluar dari jalur dan tema sesungguhnya. Itulah yang disebut oleh para ulama dengan tahrîr mahalli an nizâ /memastikan tema apa yang sedang dipersengkatakan.

Dalam masalah kita ini, kita harus menetapkan terlebih dahulu apa yang kita maksud dengan tahrîf? Agar menjadi jelas apa yang sedang kita maksud dengan kata tersebut, sebab bisa jadi ia memiliki beberapa asumsi makna.

Dalam hal ini, secara ringkas, ingin saya katakan bahwa kata tahrîf dapat difahami dalam dua makna:
1. Tahrîf Ma’nawi.
2. Tahrîf Lafdzi. 

Yang dimaksud dengan tahrîf ma’nawi ialah penafsiran dan pemaknaan yang keliru terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang menyimpang dari makna sebenarnya.
Tentu, tahrîf dalam pengertian ini benar-benar telah dialami oleh Al Qur’an! Betapa banyak penafsiran yang menyimpang dari makna sebenarnya yang dimaukan Allah SWT. Dzat Pemfirmannya.

Jadi tahrîf dengan makna ini tidaklah termasuk yang diperselisihkan, sehingga untuk sementara ini tidak perlu diperpanjang pembicaraan tentanggnya.

Adapun yang dimaksud dengan tahrîf lafdzi ialah perubahan yang dialamai oleh Al Qur’an, dalam bentuk terjadinya penambahan, atau pengurangan atau perubahan pada satu atau dua kata dalam sebuah ayat Al Qur’an atau perubahan pada penempatan letak surah-surahnya.

Tahrîf lafdzi yang diperselisihkan ialah terkait dengan terjadinya pengurangan sebagian ayat, perubahan i’râb kata atau perubahan para kata atau teks ayat, bukan pada adanya penambahan, sebab telah disepakati oleh semua pihak bahwa Al Qur’an terjaga dari penambahan.

Maka dengan demikian kita telah mengetahui apa yan dimaksud dengan tahrîf! Dan ketika ada seorang ulama atau satu golongan dituduh meyakini tahrîf maka yang dimaksud adalah tahrîf dengan makna ini bukan makna yang lainnya.

Klaim bahwa al Kulaini meyakini tahrîf juga harus dimaknai dengan makna ini. Akan tetapi sebelumnya perlu diperhatikan bahwa, selain klaim ini bertentangan dengan:
A) Kenyataan bahwa keyakinan tidak terjadinya Tahrîf adalah pendapat para pembesar Syi’ah yang mewakili pendapat resmi Mazhab (sebagaimana ditegaskan para tokoh Syi’ah, seperti Syeikh Shadûq, Syeikh Mufîd, Sayyid al Murtadha, Syeikh ath Thâifah ath Thûsi dll) sejak  masa silam dan keyakinan adanya Tahrîf adalah keyakinan kaum syudzdzâdz, hal mana meyakinkan kita bahwa andai benar Tsiqatul Islam al Kulaini meyakini adanya tahrîf Al Qur’an pastilah pendapat beliau dipertimbangkan dan tidak mungkin para tokoh itu menegaskan bahwa pendapat resmi Mazhab adalah tidak adanya tahrîf dan “barang siapa menisbahkan kepada kami (Syi’ah) bahwa kami meyakini Al Qur’an semestinya lebih dari ini maka ia bohong” dan lain sebagainya.

B) Penegasan adanya ijmâ’ dari tokoh-tokoh Thâifah (Mazhab), seperti yang ditegaskan oleh Syeikh Ja’far Kâsyif al Ghithâ’, hal nama menguatkan dugaan bahwa al Kulaini termasuk yang menolak keyakinan adanya Tahrîf , sebab, andai tidak, pastilah mereka tidak mengklaim adanya ijmâ’ tersebut, sedangkan mereka mengakui keagungan dan ketokohan al Kulaini dalam mazhab.

Selain itu, kita perlu memperhatikan dasar-dasar klaim tersebut, dari siapa pun keluarnya klaim itu.
Untuk membuktikan kevalidan klaim bahwa para tokoh Syi’ah (di antaranya adalah al Kulaini) meyakini tahrîf Al Qur’an, diperlukan empat mukaddimah pasti, jika tidak terpenuhi maka ia adalah sekedar klaim yang tidak dapat diterima.

Pertama, Bahwa penulis kitab itu telah menyatakan dengan tegas dan menetapkan atas dirinya untuk tidak akan memasukkan sebuah hadis dalam kitabnya kecuali hadis shahih.
Kedua, Hadis yang disinyalir menunjukkan Tahrîf itu harus tegas maknanya sekira tidak dapat dita’wil atau dimaknai lain berdasar bukti-bukti aqliah dan naqliah selain makna Tahrîf .
Ketiga, Tidak adanya mu’âridh (nash yang menentangnya) yang dapat dijadikan pemaling makna dan atau status hadis.
Keempat, Bahwa penulis itu meyakini hujjiyah khabar wâhid (hadis selain mutawâtir).
Apabila keempat mukaddimah di atas terpenuhi maka kita berhak menisbahkan pendapat adanya Tahrîf kepada si penulis buku tersebut, jika belum terpenuhi maka kita belum berhak menisbahkannya.

Setelah itu, mari kita lakukan penelitian atas klaim bahwa al Kulaini termasuk yang meyakini Tahrîf  Al Qur’an, apa bukti yang mereka ajukan? Dan apakah bukti-bukti itu telah memenuhi keempat unsur di atas?

Dari apa yang disebutkan, baik oleh Syeikh Ni’matullah al Jazâiri, al Faidh al Kâsyâni, Syeikh Nuri, dan yang kemudian dinukil oleh sebaian penulis Wahhabi ketika mereka membicarakan masalah ini, di antara mereka adalah Ihsân Ilâhi Dzahîr dalam kitab Asy Syi’ah wa al Qur’an dan Muhammad Mâlullah dalam asy Syi’ah wa Tahrîf  al Qur’an, kita hanya akan menemukan tiga alasan:
1) Al Kuliani meriwayatkan banyak (?) hadis tentang Tahrîf .
2) Al Kulaini menshahihkannya/tidak mencacatnya.
3) Al Kulaini tidak menyebutkan hadis yang menentangnya.

Menukil Hadis Tidak Membuktikan Kayakinan Penukilnya.
Adalah sebuah kesalahan dan bahkan mungkin kecurangan ketika kita menisbahkan kepada sekelompok ulama sebuah keyakinan/pendapat yang tidak pernah mereka nyatakan sendiri, melainkan berdasarkan sebuah atau beberapa hadis yang mereka nukil. Dan seperti telah berulang saya sebutkan bahwa menukilan sebuah riwayat tidak membuktikan keyakinan penukilnya, semala ia tidak menetapkan bahwa apa yang ia nukil itu shahih.

Dan demikianlah dasar penisbahan kayakinan adanya Tahrîf kepada para pembesar ulama Syi’ah, seperti al Kulaini, Ali ibn Ibrahim al Qummi dan al Ayyâsyi misalnya. Mereka menisbahkannya karena para tokoh itu meriwayatkan.

Apabila logika seperti ini yang dijadikan dasar penisbahan, maka tidaklah keliru jika ada yang mengatakan Imam Bukhari termasuk yang meyakini tahrîf, sebab ia telah meriwayatkan banyak hadis yang menunjukkan terjadinya tahrîf Al Qur’an!
  • Apakah al Kulaini Meyakini Keshahihan Seluru Hadis al Kâfi?
Salah satu yang menjadi dasar penisbahan kayakinan Tahrîf kepada al Kulaini adalah anggapan bahwa beliau telah menetapkan bahwa seluruh hadis yang beliau koleksi dalam kitab al Kâfi-nya adalah shahih dan benar-benar disabdakan oleh para imam Ahlulbait as.

Akan tetapi, penisbahan itu tidak benar, karena ia dibangun di atas dasar mukaddimah yang tidak benar pula, sebab:
A) Al Kulaini tidak terbukti pernah menegaskan keshahihan seluruh hadis al Kâfi.
B) Bahkan terdapat bukti bahwa beliau tidak memastikan keshahihan seluruh hadis al Kâfi.
Untuk membuktikan hal ini, kita dapat merujuk mukaddimah al Kâfi yang beliau tulis.
Perhatikan apa yang beliau katakana:

إعلم يا أخي –أرشدك الله- أنَه لا يسع أحدًا تمييز شيئ مِمَا اختلف الرواية فيه عن العلماء (عليهم السلام) برَأيِه إلاَ على ما أطلقه العالمُ (عليه السلام) بقوله: أعرضوها على كتاب الله، فما وافق كتاب الله فخذوه، و ما خالف كتاب الله فردُوه. وقوله(عليه السلام): دعوا ما وافق القومَ فَإِنَّ الرشد في خلافهم. و قوله: خذوا بالمُجمع عليه، فإِنَّ المُجمع عليه لا ريبَ فيه. و نحن لا نعرف من جميع ذلك إلاَّ أقلَّه، و لا نجد شيئا أحوط ولا أوسع من رد علم ذلك كُله إلى العالم (عليه السلام)، و قبول ما وسع من الأمر فيه بقوله(عليه السلام): بِأَيِّهما أخَذْتم من باب التسليم وَسِعَكم.

Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya tidaklah luas/boleh bagi seorang membedakan dengan pendapatnya sendiri sesuatu yang datang dari para imam as. berupa riwayat-riwayat yang berselisih, kecuali didasarkan atas apa yang disabdakan al ‘âlim (imam) as.: ‘Sodorkan riwayat-riwayat itu kepada Kitabullah (Al Qur’an) apa yang sesuai, ambillah dan yang menyalahi Kitabullah, tinggalkan!’ Dan sabda beliau as.: ‘Selisihi kaum itu (pengikut para  penguasa) karena kebenaran berada pada menyelisihi mereka.’ Dan sabda beliau as.: ‘Ambillah yang disepakati, sebab yang disepakati itu tidak mengandung keraguan.’ Dan kami tidak mengetahui dari semua itu melainkan sebagian kecil, dan kami tidak mendapatkan sesuatu yang lebih berhati-hati dan lebih luas dari mengembalikan semua itu kepada imam as., dan menerima perkara itu berdasarkan sabda beliau: ‘Maka dengan yang mana dari riwayat-riwayat itu kalian mengambilnya sebagai bukti kepatuhan itu boleh. ’

Beliau juga mengatakan dalam jawaban atas seorang yang meminta kepada beliau agar berkenan menulis sebuah kitab hadis yang merangkum semua cabang ilmu agama:

و قد يسَّر اللهُ – و له الحمد- تأليفَ سَأَلتَ، وأرجو أن يكون بحيث توَخَّيت. و مهما كان فيه من تقصير فلم تقصر نِيَّتُنَا فِي إهداء النصيحة.

“Dan Allah telah memudahkan penulisan apa yang enkau minta, dan saya berharap ia sesuai seperti yang engkau harap. Dan betapa pun di dalamnya terdapat taqshîr/ketelodoran maka niatan baik kami untuk memberi nasihat tidaklah teledor.”[2]

Dalam kalimat mukaddimah di atas tidak terdapat kalimat yang dapat dijadikan bukti bahwa beliau menshahihkan seluruh hadis yang beliau koleksi dalam kitab al Kâfi yang beliau karang itu. Sebab apabila beliau meyakini keshahihan seluruh hadis al Kâfi, tentu beliau tidak akan menyebut-nyebut kaidah tarjîh hadis yang dibangun oleh para imam Ahlulbait as. dalam menyikapi riwayat-riwayat yang muta’âridhah (saling bertentangan) yaitu dengan menyodorkannya kepada Al Qur’an, dan mengambil hadis yang mujma’ ‘alaihi (disepakati).

Di samping itu kata-kata beliau (RH), “Dan kami tidak mengetahui dari semua itu melainkan sebagian kecil… , adalah bukti bahwa beliau tidak berani mamastikan datangnya seluruh hadis-hadis dalam kitabnya itu dari para imam as.

Dan andai kita mengatakaan bahwa seluruh hadis dalam al Kaîf telah diyakini keshahihannya oleh al Kulaini sendiri, maka hal ini belum cukup bukti untuk menuduh beliau meyakini Tahrîf , sebab penshahihan hadis tidak meniscayakan bahwa ia menerima petunjuk dan kandungan hadis tersebut.

Kenyataan ini dapat dibuktikan dengan, antara lain,  Syeikh al Kulaini dalam al Kâfi-nya meriwayatkan hadis yang mengatakan bahwa yang disembelih oleh Nabi Ibrahim as. adalah Ishaq, bukan Ismail. Sementara dalam hadis lain beliau meriwayatkan bahwa yang disembelih itu adalah Ismail bukan Ishaq.

Al Kulaini berkata, Telah disebutkan dari Abu Bashîr bahwa ia mendengar Imam Abu Ja’far dan Imam Abu Abdillah as. mengatakan bahwa yang disembelih adalah Ishaq. Adapun Zurarah ia mengatakan bahwa ia adalah Ismail.”[3]

Lalu apakah kita mengatakan bahwa seluruh hadis di atas shahih dalam pandangan al Kulaini? Dan apabila ia shahih (dalam arti wutsûq/percaya akan datangnya dari para imam as.), apakah kita dapat memastikan bahwa beliau meyakini kandungannya bahwa Ishaq-lah yang disembelih oleh Ibrahim as.? Jika jawabnya, ya, lalu apa yang harus beliau perbuat dengan hadis-hadis lain yang mengatakan bahwa yang disembelih itu adalah Ismail? Atau kita akan mengatakan bahwa al Kulaini termasuk dari mereka yang tidak memastikan siapa dari kedua putra Ibrahim itu yan disembelih? Bukankah yang demikian itu bukti bahwa beliau tidak memastikan keshahihahn seluruh hadis al Kâfi?!

Jadi dengan demikian dapat dibuktikan bahwa anggapan/tuduhan bahwa al Kulaini meyakini Tahrîf  Al Qur’an dengan dasar alasan bahwa beliau meriwayatkannya dan berdasar karena beliau meyakini keshahihan seluruh riwayat al Kâfi adalah belum memenuhi bukti dan tidak berdasar!
  • Al Kulaini Meriwyatkan Hadis Yang Menolak Tahrîf.
Anggap hadis-hadis yang diriwayatkan al Kulaini menunjukkan makna tahrîf dengan arti yang dipersengkatakan, akan tetapi hadis-hadis itu bertentangan dengan banyak hadis lain yang juga diriwayatkan oleh beliau dalam al Kâfi-nya. Dalam kitab al Kâfi, al Kulaini telah meriwayatkan banyak hadis yang membuktikan bahwa Al Qur’an yang beredar di kalangan umat adalah lengkap, dan terjaga dari pengurangan.

Hadis-hadis itu tersebar di berbagai bab yang beliau tulis, di antaranya pada bab Keutamaan pengemban Al Qur’an, Sesiapa yang belajar Al Qur’an dengan susah payah, Sesiapa yang menghafal Al Qur’an kemudian ia lupa, Pahala membaca Al Qur’an, Membaca Al Qur’an dengan melihat dalam mush-haf, Rumah-rumah yan dibaca di dalamnya Al Qur’an. Hadis-hadis tersebut jauh lebih kuat, lebih banyak dan lebih jelas petunjuknya.

Maka dengan demikian, berdasarkan kaidah tarjîh yang ditetapkan sendiri oleh al Kulaini maka apabila ada dua hadis yang saling bertentangan dan tidak dapat diharmoniskan dengan pemaknaan yang tepat, maka kaduanya harus disodorkan kepada Al Qur’an, yang sesuai dengannya kita ambil dan yang bertentangan harus dibuang!

Di bawah ini akan saya sebutkan sebagian darinya.
Al Kulaini meriwayatkan dari Al Fadhl ibn Yasâr dari Imam Ja’far as. beliau bersabda, “Rasulullah saw. bersabda:

تَعَلَّمُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَاحِبَهُ فِي صُورَةِ شَابٍّ جَمِيلٍ شَاحِبِ اللَّوْنِ فَيَقُولُ لَهُ أَنَا الْقُرْآنُ الَّذِي كُنْتُ أَسْهَرْتُ لَيْلَكَ وَ أَظْمَأْتُ هَوَاجِرَكَ وَ أَجْفَفْتُ رِيقَكَ وَ أَسْبَلْتُ دَمْعَتَكَ إِلَى أَنْ قَالَ فَأَبْشِرْ فَيُؤْتَى بِتَاجٍ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ وَ يُعْطَى الأَمَانَ بِيَمِينِهِ وَ الْخُلْدَ فِي الْجِنَانِ بِيَسَارِهِ وَ يُكْسَى حُلَّتَيْنِ ثُمَّ يُقَالُ لَهُ اقْرَأْ وَ ارْقَهْ فَكُلَّمَا قَرَأَ آيَةً صَعِدَ دَرَجَةً وَ يُكْسَى أَبَوَاهُ حُلَّتَيْنِ إِنْ كَانَا مُؤْمِنَيْنِ ثُمَّ يُقَالُ لَهُمَا هَذَا لِمَا عَلَّمْتُمَاهُ الْقُرْآنَ .

“Pelajarilah Alqur’an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat menjumpai temannya (yang mempelajarinya) dengan bentuk seorang pemuda tampan yang pucat, ia berkata, ”Akulah Alqur’an yangmembuatmu tidak tidur malam, membuatmu haus di siang hari, membuat kering kerongkonganmu, dan membuat air matamu bercucuran…Maka bergembiralah! Lalu didatangkan untuknya mahkota dan diletakkan di atas kepalanya, ia diberi keamaanan dengan tangan kanannya dan kekekalan dengan tangan kirinya, dan dipakaikan untuknya dua baju indah, kemudian dikatakan kepadanya, ’Baca dan naiklah!’ Maka setiap kali ia membaca satu ayat ia naik satu dejarat. Dan kedua orang tuanya jika mereka mukmin akan diberi dua baju, kemudian dikatakan kepada keduanya, ‘Inilah balasan kalian mengajarinya Alqur’an.’”[4]

Al Kulaini meriwayatkan dari Imam Ja’far as., beliau bersabda:

الْحَافِظُ لِلْقُرْآنِ الْعَامِلُ بِهِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ.

“Orang yang menghafal Alqur’an dan mengamalkannya ia bersama malaikat yang mulia.”

Dan dengan jalur yang sama Al Kulaini meriwayatkan dari Imam Ja’far as. beliau bersabda:

إِنَّ الَّذِي يُعَالِجُ الْقُرْآنَ وَ يَحْفَظُهُ بِمَشَقَّةٍ مِنْهُ وَ قِلَّةِ حِفْظٍ لَهُ أَجْرَانِ   

“Sesungguhnya orang selalu membaca dan menghafal Alqur’an dengan susah dan berat akan mendapat dua kali lipat pahala.”.
  • Klasifikasi Hadis-hadis Tahrîf Dalam al Kâfi.
Pokok riwayat al Kulaini yang secara dzahir disinyalir menunjukkan tahrîf Al Qur’an dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok:
Pertama, Perbedaan bacaan para imam as. dengan bacaan yang berlaku umum.
Kedua, yang menunjukkan gugurnya nama-nama para imam as. dan semisalnya.

Kelompok pertama, tentunya keluar dari bahasan kita, sebab ia tidak termasuk bagian tahrîf yang diperselisihkan.
Kelompok kedua, -angggap saja shahih seluruh jalurnya- ia dapat digolongkan sebagai ta’wil dan tafsir yang disampaikan para imam Ahlulbait as., ia adaalah bagian dari tanzîl seperti telah dibahas sebelumnya.

Selain dua kelompok di atas, kita tidak akan menemukan hadis yang menunjukkan tahrîf kecuali hadis yang menyebut bahwa jumlah ayat Al Qur’an adalah 7000 atau 17000 ayat, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi adalah sangat tidak berdasar jika ada yang mengatakan bahwa al Kulaini telah banyak meriwayatkan hadis tahrîf dalam al Kâfi-nya.

[1] Al Akhbariyyûn adalah sebuah aliran pemikiran dalam mazhab Syi’ah yang menyebal dari kelompok mayoritas yang selalu mendominasi mazhab Syi’ah. Di antara pandangan kelompok Al Akhbariyyûn ini adalah pandangannya bahwa seluruh hadis dalam al Kutub al Arba’ah (Empat Kitan Hadis Standar Syi’ah; al Kâfi, Man  Lâ yahdhuru al Faqîh, al Istibshâr dan at Tahdzîb) adalah shahih, persis seperti pandangan Ahlusunnah terhadap Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Kelompok ini mendapat penentangan keras dari pemuka Syi’ah sejak awal kemunculannya dan mendapat kritikan tajam dari paara pemikir dan ulama besar Syi’ah mayoritas (al Ushûliyyûn). [2] Mukaddikah Ushûl al Kâfi,1/7.
[3] Al Kâfi,4/205-206.
[4] Al Wasâil,2/834, bab 7 hadis 1.
————————————————————————————————
Perbedaan antara mazhab Syi’ah dan Ahlusunnah yang terjadi hampir di sepanjang rentang sejarah umat Islam, sering dipicu oleh kesalah-pahaman antara kedua belah pihak atau raibnya etikat baik dari kedua pihak atau dari salah satu pihak yang sedang berselisih atau tidak diindahkannya norma-norma yang harus terpenuhi dalam berdialoq.

Perbedaan yang terjadi di sepanjang sejarah umat Islam itu, sering kali berkembang menjadi pertentangan dan sebuah konflik antara kedua pihak. Keterlibatan pihak ketiga yang merasa diuntungkan dengan makin tajamnya perselisihan itu tidak bias dipungkiri.

Artikel ini akan menyoroti berbagai bentuk kerancuan dalam etika berdialoq dan norma-norma yang diabaikan oleh salah satu pihak dalam menyikapi perselisihan dan ikhtilâf yang selama ini terjadi antara Syi’ah dan Sunni.

Sikap Ulama Sunni Dalam Menanggapi Gugatan Syi’ah.
Jauh sejak beradab-abad silam, sejak generasi awal, telah terjadi silang pendapat dan perbedaan yang lumayan tajam antara mazhab Syi’ah Ja’fariyah Itsnâ’asyariyyah dengan kelompok-kelompok pemikiran lain yang berkembang di tengah-tengah umat Islam, baik Mu’tazilah maupun Ahlusunnah.

Polemic perkembangan itu telah mewariskan kepada kita kekayaan pemikiran yang berharga –andai kita pandai memanfa’atkannya- dan kelaigus melaporkan bagaimana gentingnya perselisihan itu… sehingga tidak jarang, semangat untuk mengalahklan lawan dialoq menindas obyektifitas pembahasan dan mencoreng kualitas ilmahnya.

Dengan menetili kualitas bantahan dan dialoq atau polemic yang terjadi antara tokoh-tokoh kedua mazhab dapat kita saksikan adanya ketidak beresan pada pihak lawan-lawan Syi’ah dalam sanggahan atau hujatan mereka terhadapa mazhab Syi’ah Ja’fariyah Itsnâ’asyariyyah. Ketidak beresan itu terlihat pada:
1) Tidak jarang gugatan dan bantahan itu rancu dan tidak mengena pada poin inti yang diajukan ulama Syi’ah.
2) Gugatan dan bantahan Sunni atas Syi’ah tidak memenuhi standar ilmiah yang harus terpenuhi, seperti:
A) Berhujjah dalam menghujat lawan dengan dalil yang hanya diakui oleh pihak penghujat saja.
B) Berhujjah dalam menghujat lawan dengan hadis-hadis yang tidak berkualitas, lemah atau bahkan mawdhû’/palsu.
3) Kental denga nuansa emosianoal dan menggunakan kata-kata tidak sopan dan caci maki.
4) Menuduh tanpa dasar pihak lawan dengan keyakinan-keyakinan yang tidak mereka yakini.
5) Memberlakukan standar ganda dalam menilai sebuah hujjah/dalil; hadis atau menetukan vonis.
6) Menolak tanpa alasan dan hujjah hadis shahih yang diajukan ulama Syi’ah.
7) Menolak dengan tanpa alasan semua hadis/bukti yang bertentangan dengan doqma ajaran mereka.

Dan selain yang disebutkan di atas mungkin masih ada ketidak beresan lain yang akan disinggung dicelah-celah pembahasan nanti. Tidak seluruh poin di atas yang hendak penulis soroti kali ini, hanya sebagiannya yang akan menjadi bahan telaah.
  • · Gugatan dan bantahan Sunni atas Syi’ah tidak memenuhi standar ilmiah.
Dalam menghadapi dalil-dalil Syi’ah tentang Imam Ali as., Ahlusunnah terpaksa tidak menggunakan dalil standar yang layak dijadikan dalil…. Mereka hanya mampu menyajikan beberapa hadis, selain hadis-hadis itu hanya diriwayatkan oleh AHlusunnah sendiri, pada sanadnya masih banyak masalah, seperti hadis perintah mengikuti Syaikhain, dan hadis shalat Abu Bakar di hari-hari akhir hidup Nabi saw.!
Ibnu Hazm al Andalusi berkata:

إختلف الناس فِي الإمامة بعد رسول الله (ص)، فقالت طائفةٌ: إنَّ النبي لَم يستخلِف أحدًا، ثم اختلفوا، فقال بعضهُم: لكن لمَّا استخلف أبا بكر على الصلاة كان ذلك دليلاً على أنه أولاهُم بالإمامة و الْخلافة على الأمر. و قال بعضهم: لا، و لكن كان أبينهم فضلا فقدَّموه لذلك، و قالت طائفة: بَل نصًّ رسولُ الله على استخلافِ أبي بكر بعده على أمور الناس نصا جليا.

“Manusia berselisih tentang imamah sepeninggal Rasulullah saw. Sekelompok orang berpendapat: Nabi tidak menunjuk seorang pun. Kemudian mereka berselisih, sebagian berpendapat: Akan tetapi nabi menunjuk Abu Bakar untuk memimpin shalat dan itu bukti bahwa ia paling berhak atas imam dan urusan manusia. Sebagian berpendapat: Tidak, akan tetapi dia adalah yang paling nyata keutamaannya, maka para sahabat mengedepaknannya sebagai Khalifah. Sekelompok orang berpendapat bahwa Nabi telah menunjuk Abu Bakar dengan penunjukan tegas untuk memimpin.” (Demikian dikutip Ibnu Taimyah dalam Minhâj as Sunnah,6/338).

di sini Anda pasti ingin mengetahui mana di antara pendapat-pendapat di atas yang dipilih Ibnu Hazm? Ternyata Ibnu Hazm lebih memilih pendapat yang mengatakan penunjukan atas Abu Bakar. Ia berkata:

و بهذا نقول، لِبراهين.

“Pendapat inilah yang kami pilih, disebabkan beberapa burhan/bukti.”

Setelahnya ia menyebutkan beberapa hadis pengangkatan Abu Bakar dari riwayat Aisyah dan beberapa anggota keluarga Abu Bakar sendiri!
Kemudian ia melanjutkan dengan menyebut dalil mereka yang meyakini tidak adanya nash/penunjukan yaitu hadis Ibnu Umar yang menegaskan bahwa Nabi saw. Tidak menunjuk sispa-siapa untuk menjadi Khalifah! Dan untuk memnajwabnya Ibnu Hazm berkata:

و مِن الْمحال أن يُعارِضَ إجماعَ الصحابة.

“ Dan adalah mustahil ia (hadis Ibnu Umar itu) dapat melawan ijma’ para sahabat.”!!!

Di sini Ibnu Hazm dengan terpaksa mengakui –baik ia sadari atau tidak- bahwa nash/penunjukan atas Abu Bakar itu tidak pernah ada….
Ia terpaksa kembali mengandalkan dalil ijma’!!
Anda akan terheran ketika menyaksikan ulama Sunni dalam bantahannya atas kayakinan Syi’ah tentang bahwa Imam Ali as. adalah Khalifah dan Imam/pemimpin yang telah ditunjuk Nabi saw. dengan nash terang…
dan nash-nash itu dapat ditemukan dalam kitab hadis standar Sunni dan telah diriwayatkan para muhaddis mereka dengan sanad-sanad yang kuat dan berkualitas…
Anda akan terheran ketika ternyata ulama Sunni membantahnya dengan mengajukan hadis-hadis tertentu yang hanya ada dan diakui kalangan Suuni sendiri, sementara Syi’ah tidak mengakuinya karena memang tidak ada dalam kitab-kitab standar Syi’ah…
dengan mengatakan bahwa hadis itu terbantah dengan hadis yang menunjukkan bahwa Nabi saw. tidak menunjuk seorangpun untuk jebatan itu atau bahwa Nabi saw. telah mengisyaratkan kepada Abu Bakar untuk menduduki jabatan itu…

Jelas berhujjah atas lawan dialoq yang sedang berselisih pendapat dengan kita hendaknya dengan mengajukan dalil yang diakui oleh pihak lawan dialoq kita, seperti terdapat dalam kitab yang ia akui kemu’tarannya. Akan tetapi jika hal tidak dipenuhi, maka hujjah yang kita ajukan itu menjadi tidak berguna, sebab ia akan mengatakan kepada kita bahwa dalil itu tidak pernah dia akui kesahahihannya.

Ketika para ulama Syi’ah berhujjah dengan hadis Ghadir yang mengatakan bahwa Nabi saw. telah menujuk Ali as. sebagai pemimpin setelahnya…
dan hadis Ghadir itu telah diriwayatkan dan dishahihkan para ulama Sunni…
itu adalah sudah kucup memenuhi standar ilmiah dalam berhujjah. Di sini datanglah para ulama Sunni untuk mengatakan bahwa ada hadis yang mengatakan bahwa Nabi saw. telah mengisyaratkan bahwa Abu Bakar-lah yang telah beliu restui sebagai pemimpin setelahnya, ketika beliau saw. menunjuknya sebagai imam dalam shalat selama Nabi saw. sakit di akhir hidup beliau.

Terlepas dari shahih atau tidaknya hadis itu, dan terlapas dari sehat-tidaknya kesimpulann yang mereka bangun darinya, terlepas dari itu semua bahwa berhujjah atas Syi’ah dengan hadis yang hanya diriwayatkan oleh Sunni adalah hal menyalahi etika berdialoq. Kalau mau benar semestinya para ulama Sunni itu harus mampu membuktikan dari kitab-kitab standar Syi’ah bahwa hadis itu shahih atau paling tidak ada dalam kitab-kitab standar Syi’ah itu hadis yang membatalkan penujukan Ali as. Sebagai Khalifah!

Ketika ulama Syi’ah mengajukan bukti tentang Imamah Ali as. Dengan hadis Manzilah misalnya, maka para ulama Sunni menandinginya dengn hadis yang menjeleskan kedudukan Abu Bakar atau Umar yang sepadan dengan kedudukan Ali as. Sementara hadis terakhir ini hanya ada di kalangan Sunni saja! Itupun dengan kualitas sanad yang memalukan.

Ketika ulama Syi’ah mengangkat hadis Madinah Ilmu sebagai bukti imamah Ali as. maka ulama Sunni akan menyajikan hadis tandingan yang mengatakan bahwa Abu Bakar juga pintu kota ilmu Nabi saw.
Serta masih banyak lagi contoh lain yang tidak mungkin disebutkan satu persatu di sini.
  • · Berhujjah dengan hadis-hadis dhaif atau bahkan mawdhû’/palsu.
Satu lagi cacatan reputasi buruk para ulama Sunni ketika berhadapan dengan ulama Syi’ah dalam memperdebatrkan keyakinan mereka, yaitu mereka sering membela diri dari gugatan Syi’ah yang mengajukan bukti-bukti dari dahis-hadis shshih dari riwayat Sunni dengan hadis-hadis lain yang lemah atau bahkan palsu dalam pandangan ulama Sunni sendiri…
Di sisi ada dua kegagalan dalam berdialoq, pertama, dalil itu hanya ada dan diakui dalam leteratur Sunni, kedua, hadis itu lemeh dan tidak berkualitas.

Kenyataan ini sering kita jumpai dalam argumntasi Sunni melawan Syi’ah. Seperti, ketika Syi’ah mengajukan bukti akan keharusan mengukuti ajaran para imam suci Ahlulbait as. Melalui hadis Tsaqalain dan hadis Safinah misalnya…
maka di sini ulama Sunni berusaha mencacat kualitas hadis itu. Akan tetapi ketika hal itu tidak akan membuahkan hasil sebab hadis itu kuat dan shahih, maka mereka mengatakan hadis itu bertentang dengan hadis lain yang memerintahkan umat Islam untuk mengikuti sahabat Nabi saw. hadis itu dikenal dengan nama hadis an Nujûm.

Sementara itu para pakar dan ahli hadis Sunni telah mengatakan bahwa paling tidak hadis itu sangat lemah, atau bahkan mawdhû’/palsu.
Sikap tidak ilmiah itu telah dipraktikkan oleh banyak ulama Sunni, di antaranya adalah Ibnu Taimiyah, Fakhurrazi, ath Thaybi, asy Syathibi, ad Dahlawi dll.

Ini dapat menjadi indikasi kuat akan kebangkrutan dunia argumentasi Sunni, jika tidak mengapa harus hadis palsu dan lemah yang diandalkan?
Selain itu, hal ini dapat membuka peluang untuk mengatakan dimanakah keseriusan keberagamaan mereka, setelah mengetahui cacat sebuah hadis, tetap saja mereka jadikan hujjah untuk menegakkan pondasi ajaran agama mereka? Bukankah sikap itu dapat tergolong sebagai menipu dan membodohi kaum awam?!
  • · Memberlakukan Standar Ganda.
Betapa bangga ulama Sunni dengan kualitas kitb Shahih Bukhari. Tak tanggung-tanggung pujian yang mereka berikan untuknya, weleuruh hadis musnad di dalamnya adalah shshih dan ia adalah kitab tershahih setelah Al Qur’an al Karim; kitab suci yang tiada keraguan dan kebatilan di dalamnya.

Akan tetepi, semua itu akan dikesampingkan dan seakan tidak bernilai ketika ternyata ditemukan dalam kitab Shahih Bukhari hadis yang tidak mengintungkan mazhab Sunni atau meruntuhkan bangunan keyakinan yang mereka imani.

Shahih Bukhari sekarang tidak lagi diskralkan, dan Imam Bukharinya pun tidak dinomer satukan. Kini hadisnya menjadi bulan-bulanan para pencacat dan sasaran kritik para kritikus?
Sekali lagi, hanya ketika Bukhari tidak mengintungkan mereka atau lebih tepatnya, ketika Bukahri mempersenjatai ulama Syi’ah dengan hadis yang mendukung mazhab mereka!

Contoh segar sikap ini adalah sikap dan penolakan ulama Sunni atas hadis Manzilah yang tegas-tegas merupakah salah satu bukti kuat imamah Ali as.
Apa pijakan mereka dalam menolak keshahihan hadis Manzliah? Karena al Âmidi menolak kesahahihnya! Siapa al Âmidi itu?
Ternyata ia adalah seorang alim yang mereka cacat sendiri kualitas ilmu dan keberagamaannya.
Perhatikan, bagaimana mereka dengan tanpa taqwa menolak hadis shahih hanya karena ucapan seorang al Âmidi yang cacat dan diragukan agamanya!

Mengapakah mereka campakkan penshahihan para pakar ilmu hadis dan kini mengandalkan seorang yang setengah awam dalam dunia hadis?
Semua itu harus mereka lakukan, sebab kalau tidak meraka akan terdesak oleh argumentasi Syi’ah yang kuat dengan shahihnya hadis Manzliah! Yang penting kita jangan sampai kalah! Apapu harus dilakukan untuk menag!
Selain hadis Manzilah masihg banyak contoh lain, sengaja kami tinggalkan, kami khawatir Anda makin tidak simpatik dengan ulah ulama seperti itu!
  • · Menolak Hadis Sesuai Hawa Nafsu.
Berapa banyak hadis shshih mereka tolak, berapa perawi jujur dan tsiqah mereka cacat ketika dikatahui bahwa perawi itu meriwayatkan hadis keutamaan Ahlulbait as. atau ketika hadis itu memuat keutamaan Ahlulbait as.!
Sikap anti-pati seperti sangat jelas dalam perlakuan ulama Sunni dalam menyikapi hadis-hadis fadhâil Ahlulbait as. Tidak jarang sikap kebingungan dan ketidak jelasan standarisasi dalam menilai hadis tampak dari sebagian mereka. Sebagaimana klaim ijmâ’ sering dipalsukan untuk kepentingan mereka.

Ibnu Hazm, Ibnu al Jawzi dan Ibnu Taimiyah mungkin termasuk di antara ratusan ulama yang paling berani menerjang rambu-rambu etika islamiyah dalam menerima atau menolak sebuah hadis.
Terlalu sering Ibnu Taimiyah menolak hadis dengan dorongan nafsunya sediri ketika ia tidak berselera terhadapnya.

Sebagaimana caci maki dan kata-kata keji dan kotor yang tak senonoh juga menjadi kebiasaan buruknya.
Begitu juga dengan Ibnu Hazm dan Ibnu Jawzi terlalu berani dan gegabah dalam menvonis hadis dan terlihat tidak memiliki standarisasi yang jelas dan ilmiah dalam penilaiannya.
—————————————————————————————————–
Sidogiri Memfitnah!
Dalam bukunya, para Tim Sidogiri –yang tentunya setelah mendapat restu dari Kyia pengasuh PONPES yang meluangkan waktu untuk menuliskan kata pengantar yang membangggakan hasil karya para santirnya- telah memfitnah dan membuat-buat kepalsuan atas nama Syi’ah Imamiyyah….
Dan sepertinya, biasanya, semua musuh-musuh Syi’ah menjadikan fitnah, kepalsuan dan pemelesetan teks sebagai senjata utama dalam menghujat dan ataau memprovokasi kaum awam –yang selamanya menjadi pasar utama buah fitnah mereka….

Terus terang kecurangan dan ketidak jujuran musuh-musuh Syi’ah yang telah menjadi penyebab terbukanya pintu hidayah Allah SWT untuk saya mengenal kebenaran ajaran Ahlulbait as., sebab saya yakin bahwa mazhab yang benar tidak akan ditegakkan di atas pondasi fitnah, kepalsuan, dan kebohongan…

Dalam kesempatan ini saya ajak pembaca setia blog Jakfari untuk menyaksikan pamer kepalsuan yang dilakukan kyia-kyia muda kebanggaan para pendurhaka Ahlulbaitt as.
Pada halaman 366 Tim penulis buku Sidogiri menuliskan sebuah sub judul berbunyi: Darah dan harta Ahlusunnah halal. Kemudian dalam halaman 371 kembali menulis sub judul berbunyi: Badan Ahlusunnah Najis.

Setelah menulis menulis dua sub judul di atas, tentunya Tim penulis Sidogiri akan menyertakan “bukti-bukti” yang menunjukkan kebenaran apa yang mereka tulis!
Tujuan dari penulisan dua pembahasan di atas sangat jelas sekali! Mereka hendak memprovokasi kaum awam bahwa Syi’ah adalah musuh bebuyutan Ahlusunnah….
Bahwa Syi’ah menganggap najis badan orang-orang Ahlusunnah ….
Bahwa Syi’ah menghalalkan darah dan harta Ahlusunnah!! Itulah yang menjadi tujuan utama di balik apa yang mereka tulis dan agar kemudian kaum awam Ahlusunnah bergerak melakukan tindakan setimpal terhadap Syi’ah…

Tetapi, apa yang mereka tulis hanya fitnah murahan yang memalukan! Tidak sepantasnya dilakukan oleh orang yang memiliki rasa tanggung jawab di hadapan Allah Swt. dan sebesar dzarrah dari khauf akan hari pembalasan.

Mari sekarang kita perhatikan apa bukti yang mereka ajukan untuk membenarkan apa yang merka tulis?
Ternyata sunggguh memalukan!! Sungguh murahan!! Ternyata yang mereka bawakan adalah riwayat-riwayat Syi’ah yang menyebutkan huklum dan status apa yang harus diberikan kepada kaum nawâshin (para pembenci Ahlulbait as).

Riwayat pertama yang mereka sebutkan adalah:

ما تقول فِي الناصب؟ قال: حلالُ الدم …. قلتُ: فما ترى فِي ماله؟ قال: خُذ ما قَدِرْتَ عليه.  

Imam Ja’far as. ditanya, ‘Apa pendaapata Anda tentang orang yang nâshib (membenci dan memerangi Ahlulbait as.), maka beliau menjawab: “Ia halal darahnya…. Apa pendapat Anda tentang hartanya? Beliau berkata,” Ambillah selagi kamu bias.“ (HR. Ash Shadq dalam Ilal asy Syarâi’).

Kemudian Tim Sidogiri menyebutkan fatwa Syeikh Nikmatullah al Jazâiri yang mengatakan bahwa mereka adalah kafir dan najis dengan ijma’ para ulama Syi’ah…
setelahnya mereka menyebutkan fatwa Imam Khumaini al Musawi (rahmatullah ‘Alahi) yang mengatakaan bahwa pendapat terkuat adalah menyamakan nâshib dengan kafir harbi…

Dalam masalah najisnya badan nâshibi, Tim Sidogiri menyebutkan fatwa Imam Abul Qasim al Khu’I al Musawi (Rahmatullah ‘Alaihi) yang walauoun agak sedikit salah ketika menyebut nama beliau…. Mereka hanya menyebutnya dengan al Qasim…
kesalehan tak perlu dipermasalahkan di sini sebab mereka masih belum akrab dengan nama-namma ulama Syi’ah, sepertinya mereka hanya akrab dengan nama-nama kaum nashibi seperti Ibnu Taimiyah, Hariz ibn Utsman dkk. Terlepas dari itu, Tim Sidogiri telah mengutip teks fatwa beliau (rh) seperti di bawah ini:

فِِي عددِ الأعيان النجِسة، و هي عشرة:…. العاشر: الكافر… ولا فرقَ بين الْمرتد و الكافر الأصلي الْحَربِي و الذمي و الْخارجي و الناصبي.

“Barang najis jumlahnya sepuluh,,,
sedangkan kesepuluh adalah orang kafir…
Tidak ada bedanya antara orang murtad, kafir asli, harbi, dzimmi, khawarij dan nâshibi.” (Minhâj ash Shâlihîn,1/116)
setelahnya Tim Sidogiri menyebutkan fatwa Syeikh Ni’matullah al Jazâiri.

Ibnu Jakfari:
Pertama-tama yang membuat saya tidak habis pikir adalah kepicikan dan kelicikan Tim Sidogiri yang memplesetkan terjemahan dan pemaknaan kata nâshib atau nâshibbi dengan sebagai Ahlusunnah yang dimaksud! Dengan menambaah dalam kurun setelah kata nâshibbi (Ahlusunnah dan angti Syi’ah)…

Sungguh apa yang mereka lakukan adaalah sebuah pengkhianatan dan pemutar balikan!

Akan tetapi terlepas dari itu, dan semua meengerti siapa yang dimaksud dengan nâshibi…
Anda dapat baca dalaam kitab-kitab ulama Syi’ah maupun Ahlusunnah yang tterpercaya pasti Anda akan mendapat kejelasan bahwa yang dimaksud adalah pembenci Ahlulbait Nabi saw. pembenci Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain, Sayyidatuna Fatimah az Zahra –putri tercinta Nabi saw.- as. dan para imam suci Ahlulbait as. dan tidak ada yang memperselisihkan pula bahwa kenashibian adalah sebuah cacat dalam akidah dan telaah banyaak hadis shahih yang juga diriwayatkan Ahlusunnah yang mengecam dan mengancam para pembenci Ahlulbait as. kenyataan ini tidak perlu diperpanjang…
semua sudah memahhaminya….
Ya, terlepas dari itu semua di sini ada beberapa asumsi:
Pertama: Sebenarnya tanpa disadari Tim Sidogiri telah mengakui bahwa Ahlusunnah adalah kaum nawâshib yang membenci Ahlulbait Nabi saw…
dengan memaknai nashibi sebagai Sunni mereka telah membuka kedok sebenarnya yang selama ini mereka tutup-tutupi…
Dan saya tidak yakin para ulama Ahlusunnah menerima asumisi ini...
Sebab kenyataannya, walaupun tidak sedikit di antaara ulama dan Ahli hadis Sunni yang membenci dan sangat membenci Ahlulbait as. sutamanya Imam Ali as.- namun tidak bebarti seluruh Ahluusnnah demikian!
Kedua: Tim Sidogiri bermaksud mempermainkan nash atau teks fatwa demi mengadu domba antara dua kelompok kaum Muslimin…. Dan itu artinya Sidogiri telah terjerat perangkap kaum Wahhabiyah; kepanjangan tangan kaum kuffar dalam memecah belah umat Islam dengan menabur virus-virus perpacaahan dan persengketaan!

Banyak indikaasi yang menguatkan asumsi kedua ini….
Seperti akan saya ungkap dalam artikel-artikel akan datang, insyaallah.
Apakah Tim Sidogiri keberatan terhadap hadis-hadis dan fatwa-fatwa para mujtahdûn Syi’ah yang menggolongkan kaum Nawâshib sebagai najis?!
Apa itu artinya Sidogiri sekarang sudah membuka hatinya untuk para pembenci Ahlulbait Nabi as. … para pembenci Imam Ali as.
Apakah itu artinya Sidogiri telah berganti baju dari Ahlusunnah menjadi pecinta kaum Nawâshib?
Sepertinya, Sidogiri telah terjangkit “Virus Anti Ahlulbait as.” dan pelan-pelan menjauh dari khath Ahlusunnah sejati…
seperti akan saya buktikan juga dalam kesempatan lain nanti!
Akan tetapi yang penting sekarang adalah saya akan membawakan satu kisah dari kaum nawâshib yang dihukumi najis oleh paraa fukaha’ Syi’ah di atas.

Contoh Kebiadapan kaum Nawâshib!
Di antara kaum Nawâshib yang sangat membenci Ahlulbait nabi as. adalah Harîz ibn Utsman Al Himshi. Sangat disayangkan bahwa Harîz –si gembong Nawâshib yang satu ini, juga yang lainnya- ternyata sangat disanjung dan andalkan para Ahli hadis Ahlusunnah!! Saya tidak mengerti apakah mazhab ahlusunnah memang ditegakkan di attas posndasi riwayat-riwayat kaum Nawâshib atau tidak…
Yang pasti para perawi nashib banyak ditemukan di antara para perawi andalah Sunni! Dan sekarang saya tidak ingin membahasnya di sini.

Saya hanya akkan membawakan data sejarah akurat tentang kebiadapan kaum Nawâshib yang diasanjung Ahlusunnah!
Perhatikan data-datya di bawah ini!
Ditanyakan kepada Yahya ibn Shaleh, “Mengapa Anda tidak menulis hadis dari Harîz? Ia menjawab, ‘Bagaimana aku sudi menulis hadis dari seorang yang selama tujuh tahun aku salat bersamanya, ia tidak keluar dari masjid sebelum melaknat Ali tujuh puluh kali.’ “[1]
Ibnu Hibban melaporkan , “Ia (Harîz) selalu melaknat Ali ibn Abi Thalib ra. tujuh puluh kali di pagi hari dan tujuh puluh kali di sore hari”. Ketika ia ditegur, ia mengatakan, “Dialah yang memenggal kepala-kepala leluhurku.”[2]
Ismail ibn Iyasy melaporkan, ia berkata, “Aku mendengar Harîz ibn Utsman berkata, ’Hadis yang banyak diriwayatkan orang dari Nabi bahwasannya beliau bersabda kepada Ali, “Engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa”, itu benar tetapi pendengarnya salah dengar. Aku bertanya, “Lalu redaksi yang benar bagaimana? Ia berkata, “Engkau di sisiku seperti kedudukan Qarun di sisi Musa”. Aku bertanya lagi, “Dari siapa kamu meriwayatkannya?” ia berkata, “Aku mendengar Walîd ibn Abd. Malik mengatakannya dari atas mimbar”.[3]

Penutup:
Sebelum saya akhiri artikel ini, saya ingin mengingatkan Tim Sidogiri bahwa kehidupan ini akan berakhir dengan kematiaan…
dan kita pasti akan dimintai pertanggung jawaban atassemua yang kita lakukan…
semua yang kita ucapkan…
semua yang kita tulis! Ada pengaadilan Allah Swt yang menanti kita semua…
Pertanggun jawaban apa yang sudah kalian persiapan untuk menghadapi mahkamah Allah kelak di hari kiamat? Ketika semua orang akan menghadap Allah sendirian, fardan.
Mengapa kalian bersemengat membala mazhab Ahlusunnah dengan cara-cara curang?! Menfitnah?! Berdusta?! Memelintir fatwa dan hadis?!
Mengapa Sidogiri yang notabena Ahlusunnah dapat terjerumus dalam kebencian terhadap Ahlulbauit as. dan menuduh mereka sebagai telah durhaka atas Allah dan Rasul-Nya?! Seperti akan saya buktikan nanti insyaallah!

Kini semua akan mencatat bahwa Tim Sidogiri telah menyimpang dari standar ilmiah sebua kajian… mereka telah memfitnah….
Memprovokasi dan mengadu domba…
Semua akan menilai kualitas Buku Kebanggaan Sidogiri yang penuh fitnah dan adu domba itu!
Tapi yakinlah kalian bahwa pintu taubat masih terbuka buat hamba yang berdosa…
Dan semua anak Adam bisa berbuat dosa kecuali yang diselamatkan Allah…
kullu bani Adam khathtâûn namun sebaik-baik khathtâûn adalah tawwâbûn.

[1] Tahdzîb al Tahdzîb,2/209 ketika membicarakan biodata Hariiz, Tarikh Damaskus,12/349. [2] Al MajRûhuun,1/268.
[3] Tahdzîb al Tahdzîb,2/209 ketika membicarakan biodata Hariiz, Tahdzîb alKamâl,5/577, Tarikh Baghdad.8,268 dan Tarikh Damaskus,12/349.
—————————————————————————————————
Sidogiri Menuduh Para Imam Ahlulbait Nabi as. Sebagai Pemalsu Agama!
Hujatan atas Syi’ah yang dilakukan oleh siapapun, rasanya sah-sah saja….
Tidak ada yang perlu dirisaukan….
Perbedaan seperti itu sudah lama terjadi!

Akan tetapi yang sulit dicarikan pembelaannya ketika seorang, alih-alih menghujat Syi’ah malah sekarang Ahlulbait Nabi saw. dijadikan sasaran hujatan dan tuduhan keji…
difitnah telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.

Itulah yang dilakukan Tim Sidogiri terhadap Ahlulbait Nabi as. Kerena semangat mereka yang meluap-luap untuk menghujat dan menuduh sesat Syi’ah…
maka Tim Sidogiri menvonis Ahlulbait Nabi, para imam kaum Syi’ah telah berbuat durhaka atas Allah dan Rasul-Nya… telah membuat-buat kepalsuan demi kedudukan dan kepemimpinan mereka…

Adalah hak Sidiogiri untuk mengatakan Syi’ah sesat!
Adalah hak Sidiogiri untuk mengatakan Syi’ah menyimpang dari ajaran Islam!
Adalah hak Sidiogiri untuk mengatakan Syi’ah gemar membuat-buat kepalsuan atas nama agama!
Bahkan adalah hak Sidiogiri untuk mengatakan Syi’ah telah keluar dari Islam!

Toh semua yang merka simpulkan akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah Swt!
Akan tetapi, yang sekarang harus mereka pertanggung jawabkan di hadapan para umat Islam adalah alasan apa Tim Sidogiri menuduh Ahlulbait Nabi as. sebagai telah membuat-buat kelapsuan atas nama agama?
Sekali lagi! Tim Sidogiri kini tidak hanya menuduh Syi’ah…
mereka telah benar-benar menuduh para imam Syi’ah telah membuat-buat kepalsuan atas nama agama!!

Perhatikan tuduhan keji yang dialamatkan Tim Sidogiri kepada Ahlulbait Nabi as.
Pada bagian ketiga tentang akidah-akidah pokok Syi’ah, Tim Sidogiri menyebut badâ’ sebagai pokok akidah Syi’ah…
dalam memberikan analisa tentang motivasi dilahirkannya konsep badâ’, Tim Sidogiri mengatakan bahwa para imam Syi’ah sengaja membuat-buat konsep badâ’ (demikian pula konsep taqiyyah) untuk menyelamattkan diri dari jeratan terbongkarnya kebohongan mereka…

Tim Sidogiri menukil analisa seperti di atas dari Sulaiman ibn Jâbir yang mereka benarkan, ia mengatakan:

إنَّ أئِمَّةَ الرافضة وَضَعوا لِشِيْعَتِهم مقالتين، لا يُظهِرون معهما من أئمتهم على كذبٍ أبدا و هما القول بإِجازةِ البداء وإِجازةِ التقية.

“Sesungguhnya para imam Rafidhah (Syi’ah) membuat dua konsep untuk pengikut-pengikut mereka, yang dengn keduanya mereka bias melepaskan para imam dari kedustaan selamnya, kedua konsep itu adalah badâ’ dan taqiyyah.” (Mungkinkah Sunnah–Syiahdalam Ukhuwah?:288).

Ibnu Jakfari:
Pertama-tama yang perlu saya tegaskan di sini, bahwa benar Syi’ah meyakini konsep badâ’ akan tetapi tidak dalam pemaknaan seperti yang dipaksakan musuh-musuh Ahlulbait dan Syi’ah untuk mereka yaitu bahwa ada sesuatu yang tadinya tidak diketahui Allah, kemudian diketahui. Maha suci Allah dari kebohongan itu…

Syi’ah meyakini bahwa ilmu Allah Swt. meliputi apa yang sudah terjadi, yang sedang terjadi dan yang akan terjadi….
Tidak ada sesuatu apapun yang luput dari jangkauan ilmu Allah Swt!

Demikian juga halnya dengan taqiyyah, yang oleh kaum wahhabi dan mereka yang terjangkit virus wahabisme dijadikan bahan olok-olokan terhadap Syi’ah, sementara konsep taqiyyah tersebut adalah konsep islami yang disepakati seluruh fukaha dan ulama Islam termasuk oleh fukaha Ahlusunnah!
Terlepas dari apakah dalil-dalil Syi’ah tantang dua konsep di atas kuat, benar dan dapat dipertanggung jawabkan attau tidak… terlepas dari itu semua, Anda telah menyaksikan bagaimana Tim Sidogiri telah menuduh para imam Syi’ah dan bukan Syi’ah (jangan salah!!) telah membuat-buat kepalsuan konsep itu demi keselamatan air muka mereka dihadapan para pengikut mereka!

Maksudnya, seperti telah dijabarkan oleh Tim Sidogiri sendiri dengan menguktip ucapan Sulaiman ibn Jâbir bahwa: “Sesungguhnya para imam Rafidhah (Syi’ah) ketika menjadikan dirinya seperti para nabi di hadapan para pengikut-pengikutnya, dengan mengaku mengetahui hal-hal yang telah lalu dan yang akan dating, serta mengetahui kabar hari esok, mereka berkata kepada para pengikut-pengikutnya: akan terjadi suatu kejadian pada hari esok atau pada hari ini kejadian seperti ini atau seperti itu. Bila itu benar-benar terjadi seperti yang mereka katakana, mereka akan berkata: bukankah aku telah memberitahu kalian bahwa itu akan terjadi. Kami mengetaahui dari Allah apa-apa yang diketahui oleh para Nabi. Antara kami dan Allah ada semacam sebab yang dengannya para nabi mengetahui sesuatu. Tapi bila apa yang mereka kabarkan tidak menjadi kenyataan, mereka akan berkata pada para pengikut-pengikutnya; tampak pada Alllah dalam haal ini (sesuatu yang sebelumnya belum jelas) hingga dia meninggalkannya.”.

Jelas;ah sudah bagi Anda bahwa Tim sidogiri benar-benar telah menuduh terang-terangan para imam Syi’ah sebagai para pembohong besar! Para penipu umat! Yang tidak malu mengaku-ngaku kedudukan dan mensejajarkan diri mereka dengan para nabi as.!

Saya tidak yakin ada seorang Ahlusunnah, baik yang awam akan membenarkan tuduhan keji dan kekafiran nyata ini yang dialamatkan Tim Sidogiri kepadaa Ahhlulbait Nabi as.!
Apa itu artinya bahwa Sidogiri sudah menaggalkan baju kesunniannya dan berganti dengan baju kanashibian dan kewahabian?!

Mungkinkah seorang Muslim menuduh keluarga suci Nabi as. sebagai pemalsu agama?! Penipu umat?!
Sekali lagi saya tidak akan pernah keberatan apabila Sidogiri menuduh Syi’ah begini dan begitu! Tetapi masalah yang satu ini sungguh berbeda…
mereka telah menuduh para imam suci Syi’ah sebagai penipu murahan, pemalsu dan telah meyakini kekufuran! Iyâdzan billah!

Di sini, saya meminta segenap umat Ahlusunnah (bukan wahhabi) untuk memperhatikan masalah ini dan menyikapi kebusukan tuhudan dan fitnah keji atas Ahlulbait Nabi as.!! karena saya yakin mereka tidak sejahil, tidak sekeji dan tidak sedurhakaTim Sidogiri!

Sekali lagi dalam kesempatan ini saya hanya akan mengajak Anda memerhatikan beberapaa hal di bawah ini:
Pertama: Tim Sidigiri pada halaman 57-58 menyebut nama-nama para imam Syi’ah. mereka adalah:
  1. Ali bin Abi Thalib.
  2. Hasan bin Ali.
  3. Husain bin Ali.
  4. Ali bin Husain Zainal Abidin.
  5. Muhammad bin Ali al Baqir.
  6. Ja’far bin Muhammad ash Shadiq.
  7. Musa bin Ja’far al kadzim.
  8. Ali bin Musa ar Ridha.
  9. Muhammad bin Ali al Jawad.
  10. Ali bin Muhammad al Hadi.
  11. Hasan bin Ali al Askari.
  12. Muhammad bin hasan al Mahdi.
Jadi merekalah yang telah dituduh oleh Tim Sidogiri sebagai para pamalsu agama dan penipu umat!
Merekalah menurut Tim Sidogiri yang telah membuat-buat konsep badâ’ daan taqiyyah demi menyelamatkan diri dari jeratan hujatan kereka kepalsuan kabar yang mereka beritakan!

Mereka itulah menurut Tim Sidogiri para pemalsu yang mensejajarkan diri mereka dengan para nabi dalamilmu ghaib!
Mungkinkah seorang Ahlusunnah melakukan tuduhan sekeji itu?!
Siapakah dalam pandanggan mereka para imam Syi’ah itu?
Bukankah mereka adalah Ali, Hasan dan Husain as. Ahlulbait Nabi as.?
Bukankah Ahlusunnah selama ini salalu menyanyikan lagu “Keadilan Sahabat”? bukankah menghina daan melecehkan para sahabat adalah bukti kezindiqan seseorang?!

Al-Dzahabi berkata, “Termasuk kabaair; dosa besar mencaci seorang dari sahabat, maka barang siapa mencacat mereka atau mencaci mereka maka ia telah keluar dari agama dan meluncur dari millah; agama kaum Muslim.”[1] Dan para ulama Ahlusunnah menegaskan bahwa barang siapa yang mencela-cela para sahabat Nabi maka kethuilah bahwa ia seorang zindiq!!lalu adakah kezindiqan yang melebihi seorang yang menuduh Ali, Hasan dan Husain as. sebagai telah membuat-buat kepalsuan konsep dan kepalsuan klaim?!

Bukankah seperti diakui sendiri oleh Tim Sidogiri bahwa termasuk para imam Syi’ah adalah Imam Ali ibn Husain Zainal Abidin as Sajjad, Imam Muhammad al Baqir dan Imam Ja’far ash Shadiq as.?
Apakah Tim Sidogiri akan berada dalam satu barisan dengan kaum Nawâshib yang menghina dan membenci Ahlulbait Nabi as.?

Dalam pandangan Tim dan para ustadz dan Kiai Sidogiri, siapakah Imam Ali Zainal Abidin itu?
Siapakah Imam Muhammad al Baqir itu?
Siapakah Imam Ja’far itu?
Adakah keraguan di antara ulama Ahlusunnah akan kewara’an, kejujuran, keshalehan, kezuhudan, ketsiqahan dan ketinggian derajat mereka?

Pernahkan kita menemukan seorang ulama Ahlusunnah yang menghina dan menuduh para imam Syi’ah itu sebagai pemalsu? Pendusta? Pendurhaka atas Allah dan Rasul-Nya?
Para ulama Ahlusunnah telah mengagungkan seluruh imam Syi’ah….
tidak satupun yang menghina, melecehkan dan apalagi menuduh-nuduh keji seperti yang dilontarkan Tim Sidogiri! Walaupun kami yakin bahwa banyak kaum Nawâshib yang menyelinap di tengah-tengah kaum Ahlusunnah dan menabur kebencian dan penghinaan kepada Ahlulbait as., akan tetapi mereka bukan Ahlusunnah… mereka adalah kaum Nawashib…
Dan kejahatan mereka tidak boleh disebut sebagai kejahatan Ahlusunnah …

Betapa banyak ulama Ahlusunnah yang terang-terangan mengecam bahkan melaknat kaum Nawâshib. Baca Syarh al Maqâshid tulisan Qadhi Sa’duddîn at Taftâzâni,5/310.

Bukankah para imam Syi’ah itu adalah leluhur para habib yang selama ini para kiai Ahlusunnah dan kaum Suunni menghormati mereka! Lalu apa artinya mengormati para habib yang hidup di tengah-tengah kita, namun pada waktu yang sama menghina dan kenuduh-nuduh kekufuran kepada para imam Ahlulbait as…

Pendek kata, semua ulama Sunni telah sepakat akan keagungan dan kemuliaan para imam Syi’ah… sebagai bukti berapa banyak ulama Ahlusunnah menulis buku tentang sejarah hidup dua belas imam suci Ahlulbait as. yang diakui Syi’ah sebagai imam-imam mereka! Bahkan mereka bertawssul dengan para imam Syi’ah, seperti dalam kitab tawassul Jaliyyatul Kadar, yang dikomentari oleh banyak ulama Ahlusunnah, di antara mereka Syeikh Hasanai Makhlûf dan Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki!

Baca Tadzkiratul Khawâsh karya Ibnu al Jawzi! Baca al Fushul al Muhimmah karya Ibnu Shabbâgh al Maliki…
Baca Nûr al Abshâr karya asy Syablanji, Is’âf ar Râghibîn karya Ibnu Shabbân…
Bahkan Ibnu Hajar al Haitami asy Syafi’i kendati ia menulis buku ash Shawâiq-nya untuk menghujat Syi’ah dan keyakinan Syi’ah…
kendati demikian ia menulis sejarah mulia para imam dua belas dan mengakui kemuliaan dan keagungan para imam as...
Semua ulama tersebut di atas dan lainnya telah memuji para imam Syi’ah…
mengakui keluasan ilmu mereka…
kesalehan mereka…
kejujuran mereka…
dan tidak meragukannya kecuali kaum Nawâshib!

Perbedaan antara Syi’ah dan Ahlusunnah dalam memandang para imam as. hanya pada satu poin saja: Syi’ah meyakini mereka sebagai para imam yang ditunjuk melalui nash oleh Nabi saw. dan mereka itu adalah pribadi-pribadi yang maksum yang wajib diikuti! Sementara Ahlusunnah tidak meyakininya demikian!
Sekali lagi yang meragukan keagungan dan kemuliaan para imam Syi’ah hanya kaum Nawâshib, bukan ulama atau saudara-saudara kita Ahlusunnah!!

Lalu apakah kini Sidogiri bangga menjadi agen kaum Nawâshib?! Agen kaum zindiq yang menghina keluarga Nabi Muhammad saw.?!

Kerenanya saya berkali-kali ingatkan, bahwa sebenarnya kalian (Tim Sidogiri) telah terjatuh dalam perangkap kaum Wahhabi, representatif Nawashib Modern. Mereka adalah Neo Nawâshib!!
Jadi cukuplah sebagai bantahan atas tuduhan keji Tim Sidogiri adalah kesepakatan para ulama Ahlusunah akan keagungan dan kemulian para imam suci Ahlulbait as. yang diakui Syi’ah Imamiyah.
Adapaaun masalah badâ’ dan taqiyyah serta dalil-dalil masing-masing insyaallah akan dibicarakan dalam kesempatan lain.

Hanya saja yang perlu saya singgung di sini sekarang ialah bahwa jika kalian (kerena terpengaruh oleh fitnah Wahhabi) menuduh taqiyyah sebagai dusta dan nifâq maka perlu kalian sadari bahwa yang paling sering menggunakan taqiyyah sebagai tameng penyelamat adalah ulama Ahlusunnah! Mereka lah yang paling sering!! Bukan ulama Syi’ah!!!

Benar Apa Kata Ulama Syi’ah.
Para ulama Syi’ah sering mengatakan bahwa bersyukurlan kalian wahai Syi’ah, pengikut setia keluarga Muhammad saw., karena Allah Swt. menjadikan musuh-musuh kalian itu orang-orang humaqâ’/dungu tak berakal sehat!

Sebagai contoh kecil kedunguan musuh-musuh Ahlulbait as. adal;ah apa yang dilakukan Tim Sidogiri yang terdiri dari santri-santri dan ustadz-ustadz pilihan…
mereka menuduh Ahlulbait as. membuat-buat konsep badâ’ yaitu bahwa ada sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui Allah Swt, lalu sekarang diketahui-Nya…
dan konsep itu -kata Tim Sidogiri- adalah konsep andalan para imam Ahlulbait as. dalam menipu Syi’ahnya!! Jadi kalau mereka mengabarkan besok akan terjadi begini atau begitu, dan berita itu mereka katakan dari Allah, lalu jika ternyata tidak terjadi, maka para imam itu mengatakan kepada Syi’ahnya…
Oh, ternyata tampak bagi Allah yang sebelumnya tidak tampak bagi-Nya….
Artinya ilmu Allah tidak meliputi segala sesuatu!!

Akan tetapi seperti dikatakan di atas, bahwa selamanya musuh-musuh Ahlulbait as. adalah humaqâ’ maka mereka tidak sadar bahwa kini mereka membawakan sesuatu yang bertentangan dengan kepalsuan yang mereka buat-buat dan mereka tuduhkan kepada para imam Syi’ah!!

Coba perhatikan bukti kedunguan Tim Sidogiri:
Langsung setelah menyebutkan pernyataan Sulaiman ibn Jâbir di atas, Tim Sidogiri menyebutkan sebuah hadis dari Imam Ja’far ash Shadiq as. yang diriwayatkan oleh ash Shadûq (rh) dalam kitab Tauhid-nya yang berbunyi:
Dari Manshûr ibn Hâzim ia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah as., ‘Apakah ada pada hari ini sesuatu yang belum diketahui oleh Allah kemarin?’
Beliau menjawab‘ ‘Tidak ada. Siapapun yang mengatakan ini mudah-mudahan Allah menghinakannya.’
Aku bertanya lagi, ‘Bagaimana pendapatmu, bukankah semua yang telah terjadi dan yang akan terjadi sudah diketahui Allah?’
Beliau menjawab, ‘Benar, (bahkan) sebelum Allah menciptakan makhluk.” (Mungkinkah:289-290)
Lalu jika demikian, mengapa Tim Sidogiri menuduh para imam Syi’ah membuat-buat konsep badâ’ dengan pemaknaan seperti yang mereka fitnahkan?
Lalu mengapakah Tim Sidogiri menuduh Syi’ah meyakini konsep badâ dengan pengertian yang sama sekali tidak pernah mereka yakini? Bukankah ini bukti kedunguan?

الحمد لله الذي جعل أعداءنا حمقى.

[1] Al-Dzahabi. Al-Kabair.233. —————————————————————————————————-
Jangan Unjuk Kejahilan dan Kedunguan
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan musuh-musuh Ahlulbait as. adalah orang-orang yang dungu!!
Di antara ciri kedunguan seorang adalah ketika ia berani berbicara tentang sebuah masalah tanpa bermodalkan ilmu!
Ketika si jahil yang dungu itu banyak berbicara tentang sesuatu yang tidak ia ketahui, makin banyak tercecer bukti kedunguan dan kejahilannya!
Setiap kata ia ucapkan….
Setiap paragrap yang ia tulis akan menjadi saksi hidup kedunguan dan kehajilan…
Itulah kira-kira yang dapat kita saksikan ketika membaca buku hasil patungan beberapa santri/ustadz pilihan kebanggaan Sidogiri yang terdiri dari 6 penulis “cerdas dan kreatif”.

Hampir pada setiap paragrap yang tertulis dalam buku itu menjadi saksi kejahilan para penulisnya….
Dan agar pembaca tidak menuduh saya mengada-ngada dusta maka coba perhatikan contoh kecil di bawah ini:
Pada Bagian Ketiga tentang pokok-pokok akidah Syi’ah, yang pertama mereka sebutkan adalah imamah…. Banyak penyimpangan dan fitnah yang tertuang dalam bagian tersebut, sebagaimanna banyak pula kejahilan yang tercecer di sana…
Akan tetapi, kali ini saya hanya akan mengajak Anda menyimak ketika Tim Sidogiri melawak dengan gaya ilmiah.

Ketika mengutip beberapa kutipan pernyatan ulama Syi’ah tentang keyakinan bahwa para imam suci Ahlulbait as. itu lebih afdhal dari para nabi as. selain Nabi Muhammad saw., Tim Sidogiri mengutip sebuah pernyataan dari Ayatullah Sayyid Abdul Husain.

Tim Sidogiri menulis:
Ayatullah Sayyid Abdul Husain, salah satu asisten Khomaini (penulis al Murâja’ât), dalam salah satu bukunya, al Yaqîn, mengatakan:

و أئمتنا الإثناعشر عليهم السلام أفضل من جميع الأنبياء بإستثناء خاتم الأنبياء صلى الله عليه و سلم، و لعل أحد أسباب ذلك هو أن اليقين لديهم أكثر.

“Para imam yang dua belas lebih utama dari semua nabi selain Nabi Muhammad saw., barang kali penyebab hal itu adalah bahwa keyakinan mereka (para imam) lebih banyak (dari padaa para nabi).” (Mungkinkah:138).

Dalam paragrap singkat yang hanya terdiri dari beberapa kalimat di atas sebelum ia menyebut pernyataan Ayatullah Sayyid Abdul Husain, terdapat paling tidak dua kesalahan memalukan…. Dan demikianlah ciri tulisan orang-orang jahil!

Pertama, Tim Sidogiri menyebut Ayatullah Sayyid Abdul Husain sebagai asisten Imam Khumaini (rh).
Kedua, Tim Sidogiri bahwa Ayatullah Sayyid Abdul Husain adalah penulis kitab al Yaqîn. Tadinya saya tidak membayangkan kejahilan Tim Sidogiri separah ini….

Sampai-sampai mereka menyebut Allamah al Imam Saayyid Syarafuddîn al Mûsawi (rh) –penulis kitab al Murâj’ât/Dialoq Sunnah-Syi’ah- sebagai salah satu asisten Imam Ruhullah al Khumaini (rh). Sebab tidak satu pun penulis sejarah, sengawur apapun tulisannya yang menyebut bahwa Sayyid Allamah Abdul Husain al Mûsawi sebagai asinten Imam Khumaini!!

Sedekar untuk mengingat data saja saya sebutkan tanggal kelahiran dan wafat Sayyid Abdul Husain al Mûsawi.
Beliau lahir di kota al Kâdzimiyah-Irak pada tahun 1290 H dan wafat pada hari senin tanggal 8 Jumada ats Tsaniyah tahun 1377 dan dikebumikan di kota Najaf Irak, di samping makam kakek beliau; Imam Ali as..

Sayyid Abdul Husain al Mûsawi sudah meraih derajat ijtihad sementara ketika itu Imam Khumaini masih muda belia…
Ada perbedaan usia yang sangat mencolok antara kedua imam agung tersebut!
Sayyid Abdul Husain lebih banyak tinggal di Lebanon untuk perjuangan menyebarkan agama dan membela wathan islami dari penjajahan Barat saat itu…
Sementara Imam Khumaini lebih banyak tinggal di kota ilmu Qom-Iran sebelum kemudian diusir Syah Iran ke Najaf-Irak.
Pendek kata, tidak ada satupun sejarawan yang menyebut bahwa Sayyid Abdul Husain adalah asisten Imam Khumaini!!

Selain itu, tidak ada nama kitab al Yaqîn dalam daftar nam-nama kitab yang dikarang oleh Abdul Husain Syarafuddîn al Mûsawi…
Nama-nama kitab-kitab beliau telah disebutkan dengan tuntas oleh para ulama dan tidak ada nama al Yaqîn sebagai kitab karya beliau...
Inilah nama-nama kitab karangan beliau:
  1. Al Murâj’ât.
  2. al Fushûl al Muhimmah.
  3. Ajwibah Masâil Musa Jârullah.
  4. Al kalimatul Gharrâ’ Fî Tafdhîl az Zahrâ’.
  5. Al Majâlis al Fâkhirah Fî Maâtim al ‘Itrah ath Thâhirah.
  6. Abu Hurairah.
  7. Bughyatur Râghibîn (masih belum sempat naik cetak).
  8. Falsafatul Wilâyah wa al Mîtsâq.
  9. Tsabtul Atsbât Fî Silsilatul Ruwât.
  10. Masâil Fiqhiyah.
Dari sini dapat kita saksikan betapa kerdil dan jahilnya mereka yang menuliskan bahwa Abdul Husain al Mûsawi adalah asisten Imam Khumaini dan ia adalah penulis kitab al Yaqîn!!
Tetapi kejahilan Tim Sidogiri supanya tidak berhenti para kebutaannya akan nama-nama dan sejarah ulama Syi’ah dan kitab-kitab karangan mereka, akan tetapi kajahilan mereka itu juga tentang kota-kota yang penduduknya mayoritas Syi’ah! Mereka tidak mengetahui bahwa kota Najaf, -kota di mana Imam Ali as. (khalifah Ahlusunnah keempat) dikebumikan- itu terletak di negera Irak!

Hal ini membuktikan “kecintaan yang mendalam” Tim Sidogiri kepada Imam Ali as., sampai-smpai kota tempat dikebumikannya saja mereka tidak mengetahuinya!!
Ketika membicarakan kitab-kitab hadis standar Syi’ah, Tim Sidogiri menuliskan:
“Kedua kitab tersebut (Ushûl dan Furû’ al Kâfi) telah nmengalami cetak ulang. Ushûl al Kâfi telah dicetak sejak tahun 1376 H. di Najaf Iran.” (Mungkinkah:76).

Ibnu Jakfari: Adik-adikku yang tergabung dalam Tim Sidogiri, Najaf itu di Irak bukan di Iran!
Tapi tak apa lah, toh mengenal nama-nama bukan rukun Islam atau rukun Iman yang akan ditanyakan di kuburan nanti! Lagi pula di PONPES tradisional sepertinya pelajaran Geografi dan pengenalan peta Dunia Islam belum diajarkan, jadi pantas kalau mereka buta akan kota-kota Islam. Sepertinya mereka terlalu sibuk mempelajari limu falaq untuk mengenal “Bintang-bintang Kecil di Langit Yang Tinggi”, bintang Zuhal… bintang ini bintang itu sampai-sampai tidak sempat mengenal peta Dunia Islam!!! Terlalu lama hidup di awang-awang!!

Jadi, menurut hemat saya, jika kejahilah Tim Sidogiri sudah sampai batas seperti itu lebih awlâ dan afdhal apabila mereka tidak usah membahas tentang Syi’ah! toh kenyataannya mereka selalu gagal memahaminya! Lebih baik waktu mereka dibuang untuk ngaji “Kitab-kitab Kuning Protolal” atau “Kitab-kitab Jenggotan” dengan duduk bersila di hadapan pak Kiai! Itu akan lebih bermanfa’at!

Sebab ternyata meneliti Syi’ah modal utama yang dibutuhkan adalah kesanggupan intelektual dan bukan kedunguan dan kejahilan!

Dan kitab kalian adalah kitab fitnah dan kejahilan!!

Sumber:
1. http://secondprince.wordpress.com/
2. http://syiahali.wordpress.com/
3. http://jakfari.wordpress.com/
4. Dan berbagai sumber lainnya.

Terkait Berita: