Pesan Rahbar

Home » » Fakta Syi’ah Indonesia tidak didanai Iran, wahabi salafi didanai Saudi + AS + Israel

Fakta Syi’ah Indonesia tidak didanai Iran, wahabi salafi didanai Saudi + AS + Israel

Written By Unknown on Thursday 10 July 2014 | 04:02:00


Warga yang menamakan diri Lembaga Persatuan Umat Islam (LPUI) mendatangi kantor PMI Pusat untuk menemui sang ketua yang juga mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pertemuan itu dimaksudkan untuk mendapat naungan agar konflik Sampang, Madura segera berakhir.

Ketua LPUI Nurut Tamam Bukhori menjelaskan, pihaknya telah melakukan mediasi antara warga Sunni dan Syiah di Sampang. Mereka telah membuat kesepakatan damai atau islah.

"Kami semua sudah menyatakan islah. Warga Sunni telah menyadari kalau apa yang dilakukan terhadap saudaranya itu salah. Bahkan mereka datang ke rusun tempat warga Syiah mengungsi dan untuk meminta maaf dan saling berjabat tangan," kata Nurut di hadapan JK, Jumat (4/10/2013).

Dia menjelaskan, piagam perdamaian itu kemudian dibawa ke Pemda Sampang. Namun piagam itu ditolak. Pemda menganggap, piagam itu palsu dan tidak berdasar.

"Kami sudah datang menunjukkan piagam islah yang telah disepakati. Tapi dianggap palsu oleh pemerintah," lanjut Nurut.

Sikap seperti inilah yang ingin dikonsultasikan kepada JK. Mereka mengeluhkan sikap Pemda Sampang yang malah terkesan tidak terima dengan perdamaian ini. Padahal warga sendiri sudah berdamai.

"Di bawahnya sudah damai, nah tinggal yang di atasnya ini kok terasa sangat sulit," ujar Nurut.

Menanggapi hal itu, Jusuf Kalla yang karib disapa JK ini menilai, masalah tersebut tidak terlalu berat apabila benar-bemar ingin diselesaikan. Hanya butuh yang baik dari berbagai pihak.

"Jadi ini masalahnya tidak terlalu berat memang kalau mau diselesaikan. Tapi harus kerja sama dengan masyarakat sendiri, pemda setempat dan kita menghargai usaha masyarakat itu. Pemerintah kan sudah mengarah ke positif. Walaupun seperti yang dikeluhkan tadi, masih ada pihak pemerintah yang belum 100 persen mendukung," ucap JK.

Menurut dia, apa yang telah diperbuat warga dalam bentuk perdamaian harus didukung. Termasuk pemerintah, baik daerah maupun pusat.

"Kita harap apa yang diprakarsai masyarakat kita dukung bersama agar terjadi perdamaian," tambah JK.

Meski begitu, pria yang terkenal apik (baik) dalam mendamaikan konflik ini belum menentukan sikap apa yang akan dilakukan atas keluhan yang diterimanya.

"Saya ingin pelajari dulu laporannya dan konsultasikan ke pemerintah setempat," tandas Jusuf Kalla. (Riz) (Rizki Gunawan) http://news.liputan6.com/read/711587/pendamai-sampang-minta-bantuan-jusuf-kalla

Ketua PBNU KH Said Aqil Siradj Membolehkan Syiah.

 
Ketua PBNU KH Said Aqil Siradj Membolehkan Syiah
Dibawah ini adalah sebuah tulisan yang diambil sepenuhnya dari majalah SYI’AR yang kebetulan memuat wawancara dengan DR. KH. Said Aqiel Siradj (sekarang Ketua Umum PBNU). Tulisan ini memberikan gambaran singkat namun jelas tentang Syi’ah dan budayanya serta relasinya terhadap tradisi NU. Sebagai seorang cendekiawan muslim, ulasan beliau cukup memberikan wawasan tentang bagaimana seharusnya sikap umat nahdliyin terhadap tudingan golongan tertentu.

Tulisan yang judul aslinya tentang “Ja’fari Mazhab Resmi Islam ke-5” saya ambil dengan tujuan sebagai penambah khazanah pengetahuan bagi umat muslim pada umumnya dan Nahdliyin pada khususnya. Semoga bermanfaat!! Jazakumullah Khoiron Katsiro kepada majalah Syi’ar.
Bicaranya lugas khas kiai pesantren. Namun data dan istilah yang rancak terselip dalam kalimat-kalimatnya menunjukkan bahwa dia bukan sekadar kiai pesantren biasa, melainkan juga intelektual yang mengenyam pendidikan tinggi dan mempunyai pergaulan yang luas. Kyai Said, demikian sapaan akrab DR. KH. Said Aqiel Siradj.

Ditemui SYI’AR di ruangannya di kantor PBNU, ulama asal Palimanan, Cirebon, ini cerita banyak tentang kunjungannya ke Qatar, sikapnya tentang kerukunan antar-mazhab, kultur Syiah dalam NU dan penjabarannya tentang kondisi umat Islam.

TENTANG SUNNI-SYIAH.
Anda bisa ceritakan tentang pertemuan Qatar?
Saya diundang dalam pertemuan Suni-Syiah di Doha, ibukota Qatar, pada 20-22 Januari 2007. Tujuannya mempersempit atau memperkecil sudut pandang Suni-Syiah yang sudah barang tentu penting sekali.

Pertemuan pada hari pertama memang panas. Terutama pihak Suni. Yusuf Qardhawi, Syekh Wahbah Zuhaili dan Syekh Ali Syabuni punya syarat bahwa mereka bisa bertemu apabila pihak Syiah menghentikan caci maki terhadap sabahat. Mereka tidak akan mau bertemu apabila Syiah masih mengatakan misalnya ‘laknat Allah’ kepada Aisyah karena Suni mengatakan ‘Semoga Allah meridhainya’.

Kemudian yang sangat disayangkan dan juga dikritik oleh Syekh Yusuf Qaradhawi adalah penyebaran Syiah di kalangan Suni. Dia juga bilang Indonesia sebagai salah satu basis penyebaran Syiah dengan menyebarkan buku-buku terjemahan dan lain sebagainya.

Lebih seru lagi, Syekh Qaradhawi di forum ini meminta Ali Taskhiri mengucapkan Aisyah radhiya Allahu anha (ra). Dan Syekh Ali Taskhiri mau melakukannya. Tidak berhenti di situ, dia juga minta semua utusan Iran mengucapkan hal yang sama seperti Ali Taskhiri. Ini kejadian yg sangat disayangkan dan sesungguhnya tidak perlu terjadi di forum yang mulia ini. Tetapi pada hari kedua sudah mulai cair.
Hasil dari seminar itu, pada intinya, masing-masing pihak menghargai peranan masing-masing dan mengendalikan kalangan ekstrim dari masing-masing mazhab.

Menurut Ali Taskhiri, di kalangan Syiah memang ada juga orang-orang yang ekstrim dan fanatik dan dengan tidak bertanggungjawab mencaci maki sahabat dan Suni. Demikian pula di Suni. Sementara NU sendiri tidak pernah mencaci maki Syiah. Tapi di kalangan Wahabi memang banyak yang ekstrim.

Pada pertemuan itu, saya diberi kesempatan berbicara dua kali. Pada forum tersebut, saya mengajak kedua pihak untuk masing-masing menulis buku tentang pengakuan dan penghargaan Suni terhadap Syiah dalam membangun peradaban. Begitu juga Syiah, menulis buku tentang peranan Suni dalam membangun peradaban.

Sebenarnya hal (pertemuan Suni-Syiah) ini sudah lama dilakukan oleh Syekh Syaltut dan Ayatullah Burujerdi. Hasil dari kesepakatan kedua tokoh tersebut adalah bahwa mazhab Ja’fari diajarkan secara resmi di al-Azhar. Bahkan salah satu keberhasilan tersebut adalah diakuinya mazhab Ja’fari sebagai mazhab resmi dalam Islam sebagaimana empat mazhab lainnya. Bahkan rektor Al-Azhar, Dr. Ahmad Thayyib, mengatakan banyak kaidah hukum yang diambil dari mazhab Ja’fari adalah sah, ketika tidak ditemukan pada empat mazhab. Walhasil, mazhab Ja’fari adalah setara dengan empat mazhab lainnya.

Hal apakah yang mendorong terselenggaranya pertemuan tersebut?
Saya kira pertemuan itu didorong oleh kondisi di Irak. Masing-masing menuduh. Suni menuding Iran menyuplai senjata. Demikian pula Syiah menuding kelompok Suni Irak mendapat senjata dari Saudi. Lepas dari masalah itu semua, perpecahan di Irak harus dihentikan. Para ulama di sana harus mengendalikan umatnya, karena bukan hanya sekadar perbedaan pendapat tapi juga sudah ribuan nyawa melayang di sana.

Apakah benar Iran di belakang konflik sektarian itu?

Saya tahu ini rekayasa Amerika. Saya tahu sengaja dibangun opini bahwa ini adalah konflik mazhab Suni-Syiah. Padahal ini murni politik, toh dulu tidak pernah terjadi konflik seperti ini.
Saya bisa tegaskan di sini bahwa Iran, selalu dan selamanya, membela Palestina. Padahal di Palestina tidak ada Syiah, semuanya Suni. Tapi Iran matian-matian sampai berkorban dan rela ditekan Amerika karena perjuangannya bagi Palestina. Karena itu harus dipahami Iran berdiri bukan hanya untuk Syiah, bukan hanya untuk partai, tapi juga untuk Islam.

Apakah pertemuan Doha itu memang khusus untuk masalah sektarian di Irak atau memang pertemuan reguler?
Pertemuan Doha ini terdorong karena keadaan di Irak. Kalau yang reguler adalah yang di Iran dan semua pihak diundang dalam pertemuan itu.
Walhasil, masing-masing pihak selalu ada yang ekstrim, dan itu salah. Di Syiah ada yang ekstrim mencaci maki Suni dan di Sunni juga tidak kurang atau kelewatan.

Waktu Imam Khomeini pulang ke Iran, terbit sebuah buku yg menghujat beliau kira-kira judulnya Ja’a Daurul Majus ‘Tibalah Saatnya Majusi Kembali’. Itu sudah keterlaluan.

Sebenarnya bila bicara masalah perbedaan mazhab, itu bukan konsumsi pasar. Bukan obrolan orang awam. Tapi kalau masing-masing sudah menyebarkan buku murahan dan saling caci maki dan menjadi konsumsi awam akan berbahaya sekali. Bahaya terhadap Islam.

Jadi siapa yang berhak menetralisir segala macam isu yang bisa memecah belah persatuan umat ini?
Ulama, dong. Seperti yang saya katakan tadi, Syekh Al-Azhar, Syekh Mahmud Syaltut, mengadakan pendekatan dengan Ayatullah Burujerdi yang kemudian berdampak besar, sampai akhirnya Mazhab Ja’fari resmi dianggap sebagai mazhab kelima, selevel dengan mazhab yang empat.

Apa isu Suni-Syiah demikian krusialnya sampai-sampai diadakan pertemuan Doha? Apa tidak ada isu lain?
Kenyataannya, sekarang (di Irak) sudah saling bunuh. Faktanya begitu. Dalang di belakang kejadian ini kita semua tahu. Juga isu senjata Syiah disuplai Iran dan senjata Sunni disuplai Saudi. Kita semua tahu siapa dalang sesungguhnya. Ini adalah kerjaan Amerika untuk memecah belah Irak. Tapi kan, beberapa ulama terpengaruh. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Syekh Qardhawi, Wahbah Zuhaili dan Ali Syabuni barangkali terpengaruh juga oleh isu ini.

Seandainya kita bisa berbicara dengan jernih, kembali pada dasar yang paling prinsip, semua mazhab hakikatnya sama kecuali pada hal-hal yang furu’ (parsial). Kenapa kita bisa dialog dengan non-Muslim tapi tidak bisa dengan Syiah kalau tidak dibesar-besarkan oleh kepentingan politik?.

TENTANG TEOLOGI KERUKUNAN.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil seiring dengan berkembangan Pluralitas dan Multikultural saat ini?
Satu, kita harus memahami watak orang Irak. Sejak dulu mereka susah dipersatukan. Masyarakat Irak pernah bersatu ketika ia dipimpin oleh seorang diktator yaitu Hajjaj bin Yusuf Tsaqafi. Setelah itu selalu saja ada ajang pertikaian.

Irak modern sekarang ini adalah mayoritas Suni kalau dilihat dari Kurdi non-Arab dan mayoritas Syiah kalau dilihat dari Arabnya saja. Jadi (mayoritas) Arab Irak itu Syiah, sedangkan Arab Irak Suni sedikit. Tapi kalau menghitung Kurdi yang non-Arab maka Suni menjadi mayoritas.
Kita berkata terus terang: ayo, Anda mau berangkat dari mana, yang mau ditilik darimana? Bila qaumiah Arabiah (Nasionalisme Arab), maka yang akan jadi mayoritas adalah mayoritas Syiah. Untuk Suni sendiri, dia harus memasukkan suku Kurdi. Masalahnya, suku Kurdi sendiri mazlum (tertindas) selama kekuasaan Saddam Hussain.

Satu-satunya presiden yang membunuh rakyatnya sendiri dengan senjata massal, terlepas adanya oposisi atau tidak, hanyalah Saddam Hussain. Di Halabja, jangankan suku Kurdi, ayam, bebek dan unggas lain yang tak tahu menahu pun, semuanya pada musnah.
Banyak juga presiden yang membunuh rakyatnya sendiri secara massal tapi tidak dengan senjata pemusnah massal seperti yang dilakukan oleh Saddam Hussain.
Jadi Saddam Hussain lah yang pertama kali menggunakan senjata pemusnah massal untuk membunuh rakyatnya sendiri. Korbannya ada yang menyong mulutnya, ada yang kulitnya terkelupas dan lain sebagainya. Yang selamat pun mengalami cacat.

NU dikenal sebagai kelompok konservatif dan Muhammadiyah modernis. Sehingga NU bisa dikatakan memiliki ikatan emosional dengan tradisi-tradisi atau agama-agama lokal seperti Islam waktu telu dan Sunda wiwitan. Bagaimana pendapat Anda ?
Kita tetap harus berdakwah tentang Islam yang sebenarnya kepada mereka. Ada prinsip-prinsip ma’lum min ad-din bidh-darûrah (yaitu ada prinsip agama yang tidak bisa ditawar), seperti rukun Islam itu ada lima, rukun iman itu ada enam, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, al-Quran itu wahyu terakhir. Masalah rincian yang parsialnya silakan berbeda.

Kalau begitu, dari berbagai mazhab di Indonesia yang keras dan yang lunak itu, kira-kira perekatnya apa?
Tetap. Kalau mereka mereka masih meyakini rukun Iman dan rukun Islam, mereka masih dikategorikan Islam.
Soalnya masih ada kelompok yang masih mempermasalahkan masalah-masalah yang kecil-kecil begitu.
Gak apa-apa, masalah-masalah itu justru merupakan dinamika kita dalam bermasyarakat. Yang tahlil, yang nggak tahlil, yang salat tarawih 20 atau 8 rakaat itu dipersilakan.

Masih ada yang menyesatkan dan mengafirkan orang tanpa dasar. Padahal mereka tahu bahwa kelompok yang mereka kafirkan itu masih mengimani Allah, al-Quran dan sebagainya?
Kalau begitu nggak akan pernah ketemu. Jangankan dengan non-Muslim, dengan sesama Muslim pun, baik yang Persis, NU, Muhammadiyah, atau pun Syiah, tidak akan ketemu kalau itu masih dipersoalkan.

Ada kalangan yang berpendapat bahwa karena mayoritas Indonesia itu Islam dan tradisinya adalah tradisi Muslim itu maka formalisasi syariat Islam melalui Perda-perda syariat Islam akan semakin menguatkan posisi Islam Indonesia. Pandangan Anda?
Pertama-tama, yang Anda harus ketahui, berapa persen masyarakat Indonesia yang familiar dengan al-Quran? Yang melek sejarah Islam saja, berapa persen? Paling-paling Cuma 12% yang bisa baca dan familiar dengan al-Quran. Kita ini masih dalam marhalah (fase) dakwah, masih jauh dari Islam yang sebenarnya kita inginkan.

TENTANG MAULID NABI SAW
Kenapa perayaan Maulid Nabi di masyarakat NU itu lebih meriah dan lebih simbolis ketimbang di masyarakat Muhammadiyah?
Karena di sini ada budaya Syiah. NU menerima budayanya, bukan fikih atau teologinya. Budaya Syiah itu ya mencintai Nabi dan Ahlulbait. Di dalam bait-bait syair Barzanji tidak ada yang memuja dan nyanjung Abu Bakar, Umar dan Usman. Nggak ada.

Contohnya, “Kami mempunyai bapak yang sangat kami cintai, yaitu Muhammad, kami punya Ali al-Murtadha, kami punya as-Sibthain (Hasan dan Husain), kam Imam min ba’da khalafu (dan imam-imam setelahnya) seperti Ali Zainal Abidin, anaknya Muhammad al-Baqir, sebaik-baiknya wali, dan putranya ash-Shadiq (Imam Ja’far Shadiq) dan putranya Ali Ridha, begitu lho.

Jadi budaya Syiah masuk ke NU. Bahkan budaya Syiah pun masuk pesantren. Contohnya penghormatan kepada kyainya. Kalau kyainya meninggal maka yang menggantikannya adalah anaknya sekalipun secara kualitas sangat jauh berbeda. Soalnya keilmuannya, ya dia akan bisa mendapatkan dari guru-gurunya yang lain.

Kalau banyak berasal dari kultur Syiah, apakah masyarakat yang sadar akan beralih ke gaya mencintai Nabi ala Muhammadiyah?
Nggak. Silakan Maulid Nabi dan Dibaan itu dikritik, tetap saja nggak bisa hilang dari kami. Malah yang kritik itu sendiri yang terpental.

Mengapa?
Sebab Allah Swt sendiri yang memuji beliau. Dalam al-Quran, “Innaka la’alâ khuqin azhîm”. Dan kita punya keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah pemberi syafaat sebagaimana yang tercantum di dalam hadis-hadis sahih. Orang-orang yang banyak dosanya, kalau mereka berziarah kepada Nabi Muhammad dan beristigfar, dan Nabi sendiri memintakan ampunan, pasti mereka akan diampuni dosa-dosanya. “Walau annahum zhalamû anfusahum jâ’ûka fastagfaruhumullah wastagfaruhumur- rasul. Lawajadûllaha tawwabar-rahima.”.

Ada yang bertanya, apakah Nabi Muhammad saw masih hidup sampai sekarang? Jawabannya, ya. Nabi masih hidup sampai sekarang. Buktinya, “Assalamu ‘alaika” dalam tahiyat salat, “‘alaika” berarti beliau masih hidup.

Jadi, mereka yang datang ke kuburan jasad Nabi (di Madinah) lalu dia beristigfar dan Nabi memantau istigfar kita kepada Allah, maka Allah akan pasti akan mengampuni dosa-dosanya.

TENTANG KULTUR SYIAH dan NU.
Suni plus kultur Syiah ini, apa hanya khas di NU saja ataukah ada di tempat lain juga?
Tidak. di Mesir Maulid Nabi semarak sekali, ada tahlilan dan tawasulan. Begitu pula di Maroko. Di Saudi nggak semua (mengharamkan) , hanya Najd dan Riyadh saja. Orang-orang Hijaz dan Madinah masih (membaca) Barzanji segala macam.

Pada dasarnya umat Islam yang ada di Nusantara ini pada umumnya, terutama NU, berhutang budi banyak terutama kepada Ahlulbait yang telah menyebarkan Islam di Nusantara sejak dahulu kala. Kita semua tahu bahwa beberapa Wali Songo itu rata-rata keturunan Ahlulbait. Karena itu budaya Ahlulbait, budaya Syiah, mempunyai kesamaan dengan budaya Islam Indonesia. Seperti tawassul kepada Sayidina Ali dan Ahlulbait lainnya. Doa-doa seperti hizib yang dibaca oleh orang-orang kampung itu dimulai dengan (mengirim) surah Al-Fatihah kepada Rasulullah dan Ahlulbait.

Tapi tradisi-tradisi seperti itu mulai menghilang dengan datangnya Wahabisme dan modernitas?
Di Indonesia ada syair yang dibacakan kalau ada yang tertimpa musibah atau penyakit menular, yaitu: “li khamsatun utfi biha harral wabai hatimah, al-Mustafa wal murtadha wabna huma wa Fathimah” (Saya mempunyai lima orang yang bisa menolak bala yaitu yang pertama, al-Mustafa Muhammad, yang kedua al-Murtahda Ali, dan kedua anakanya Hasan dan Husain, serta yang kelima Fathimah).
Itu dibacakan oleh orang-orang kampung. Luar biasa. Selama itu masih dibaca, selama itu pula budaya Syiah masih ada di Indonesia.

Dengan kata lain, Anda ingin mengatakan bahwa Wahabisme tidak bisa masuk ke dalam tradisi NU?
Ya. Silahkan mereka membuat yayasan di mana-mana, tetapi karena sudah jadi budaya itu tidak akan lepas dari NU.

Bagaimana kasus komunitas Syiah di Bondowoso yang diisukan dekat dengan NU?
NU tidak pernah memusuhi Syiah. Mungkin malah sayang Syiah. Tapi bagaimanapun NU kan Suni yang beraliran Asy’ari dan di bidang tasawufnya adalah al-Ghazali.
Hubungan kita dengan Ahlulbait (Syiah) sudah sangat indah sekali, tidak bisa dilepaskan atau dijauhkan antara keduanya.
Orang-orang awam belum mengetahui sejauh mana budaya Syiah itu. Hanya kita-kita yang berpendidikan sajalah yang memahami semua hal itu.

Bagaimana dengan transfer khazanah keilmuan dari Persia ke budaya Indonesia?
Sangat luar biasa. Contohnya, huruf terakhir kata Arab yang diserap dalam Bahasa Indonesia yang berakhiran “h” dibaca “t”, seperti “surat”. Ini adalah budaya Persia.

Ada lagi budaya Persia yang masuk ke dalam budaya Indonesia. Kalau kita membaca al-Quran, misalnya “Hudan lil-muttaqin” , maka (di akhir ayat pendengar) akan dijawab dengan “Allah” (dengan nada panjang dan lembut). Itu merupakan budaya Iran yang mencirikan kelembutan khas Iran.

Mesir tidak begitu. Kalau mereka mendengar kata “Hudan lil-muttaqin” dibacakan maka mereka akan menjawab “Allahu Akbar” (dengan suara lantang). Kalau mereka mendengar orang membaca al-Quran dengan merdu kemudian tersentuh hatinya, seperti bacaan Syekh Abdul Basith, maka mereka akan berucap “Allah” (dengan keras).

Konflik antar mazhab semakin mengeras semenjak Wahabisme muncul.

Bagaimana NU memahami Wahabi?
Saya memahami Wahabi bagian dari Suni, tetapi Suni versi Mazhab Hambali. Hambali sendiri adalah di antara empat (mazhab) yang paling keras. Hambali ini pun kemudian ditafsirkan oleh Ibnu Taimiyah sehingga menjadi lebih keras. Operasionalnya dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, menjadi semakin keras lagi dibandingkan dengan kepala induk dari mazhab ini sendiri. Salah seorang imam yang paling keras adalah Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab lebih keras lagi daripada Ibnu Taimiyah.

Apakah yang Anda bisa simpulkan dari fenomena ini?

Kesimpulannya yang ingin saya sampaikan adalah bahwa Islam datang ke Indonesia dulu bil hikmah wal mau’izhah wal mujadalah. Dengan penuh hikmah (wisdom), akhlakul karimah, budaya, mauizhah (ceramah yang bagus), dengan diskusi dan debat yang ideal dan bagus. Semua itu dilakukan oleh Ahlulbait dan diteruskan oleh para mubalig dan para Kyai.

Konon ada beberapa kyai yang keturunan Ahlulbait, tapi gelarnya dikesampingkan dan ditutupi. Saya sendiri, katanya, ada (garis) keturunan dari Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati. Kyai Sahal Mahfudz keturunan Sunan Kudus. Dan apalagi Gus Dur keturunan Sunan Ampel. Semua itu kembali kepada Ahlulbait. Orangtua-orangtua kita menghapus atau tidak menyebutkan al-Haddad, al-Habsyi dan sebagainya. Semua leluhur saya bliang begitu. Kakek saya semuanya keturunan Ahlulbait.

Kesimpulan kedua, karena dakwahnya bil hikmah, maka budaya itu menyatu dengan kehidupan kita sebagai orang Islam melalui salawatan, puji-pujian dan melalui doa-doa. Jadi kita tidak bisa dipisahkan dengan budaya Ahlulbait. Sekali lagi, budayanya lho, bukan akidah atau politiknya.
Cara berpikir Syiah boleh kita ambil meskipun kita berfikih Syafi’i dan berakidah Asy’ari. Lama-lama ini akan menjadi sebuah budaya dan nggak usah ditutup-tutupi.

Di Indonesia juga ada tradisi Asyura (seperti upacara Tabut di Padang dan itu adalah budaya Syiah) juga tradisi mencintai Imam Ali. Semua orang tahu bahwa Sayidina Ali adalah seorang yang hebat dan mulia. Semua ini sudah menjadi sebuah budaya yang turun temurun yang diciptakan di komunitas masyarakat Islam Indonesia
.
Salah satu menanamkan nilai-nilai adalah lewat peringatan-peringat an, dan itu juga menjadi momentum persatuan umat.

Ya. Dulu Maulid Nabi dimulai pertama kali oleh Khalifah Mu’idz Lidinillah, khalifah Fathimiah, salah satu khalifah keturunan Abdullah dari Tunisia tahun 363 H. Dia lalu masuk Kairo dan mengalahkan Ahmad bin Thulun. Khalifah Mu’idz kemudian menyatukan umat untuk merayakan Maulid Nabi secara besar-besaran.

Dia kemudian mendirikan sekolah al-Azhar dengan nama Jauhar ath-Thaqul, lalu membangun kota Qahirah (Kairo) hingga kemudian dikalahkan oleh Dinasti Mamalik dan kemudian oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.

Artinya, seremonial-seremoni al seperti itu bisa menyatukan umat, dan menyatakan kepada umat bahwa kita memiliki seorang pemimpin yang namanya Muhammad dan kita harus mengikuti ajaran dan dakwahnya. Hal ini, sama halnya dengan kita memperingati hari 17 Agustus, untuk memperingati bahwa dulu bapak-bapak dan orangtua-orangtua kita telah mengorbankan nyawa, harta dan pikirannya demi kemerdekaan dan membangun Negara Indonesia yang tercinta ini. Adapun bentuk seremonialnya bisa disesuaikan dengan aneka kebudayaan umat yang ada, seperti di Yogyakarta misalnya dengan cirinya sendiri, di Cirebon dengan cirinya sendiri dan di Mesir pun akan lain lagi.


kata Quraish, banyak di antara umat yang terjebak pada sikap yang picik, tanpa wawasan akal yang memadai. Tanpa menelaah kitab-kitab secara benar, banyak yang merasa dirinya paling benar dan tiba-tiba saja mengkafirkan yang lain. Ia tidak menampik fakta banyak ulama masa silam yang juga terjebak kebodohan, sehingga mempengaruhi umat di masa kini. Makanya, sikap kritis mesti diperlukan untuk menelaah kembali semua pemikiran di masa silam demi menemukan titik-titik kesamaan di masa kini.

“Kalau kita mau cari perbedaan supaya kita konflik, akan banyak sekali ditemukan. Namun, apa tujuannya kita berkonflik? Kita semakin membatasi diri kita. Lebih baik kita mencari titik kesamaan supaya kita bersatu sebagai sesama umat Islam,“ katanya.
Prof. DR. Quraish Shihab : “Siapa yang tidak mengagungkan Imam Husain maka diragukan keimanannya.”.  
DR. Quraish Shihab saat menerima tamu dari Iran yang bermadzab Syiah.
Jakarta - Kita tidak dapat menjangkau seluruh makna arba’în. Kita tidak tahu persis mengapa angka 40 hari itu yang dipilih; bukan 30, bukan 20, bukan juga 100. Tapi yang jelas angka 40 disebut di dalam Al-Quran sebanyak empat kali. Nabi Musa AS tadinya dijanjikan untuk “bertemu” dengan Allah, tapi kemudian Allah menyempurnakannya: … Maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam (QS. Al-A’râf [7] : 142). Seorang manusia oleh Al-Quran juga dinyatakan bahwa manusia mencapai kesempurnaannya. Hatta idzâ balagha asyuddahu wa balagha arba’în sannah (QS. Al-Ahqâf [46] : 15). Bani Israil pun yang dihukum Tuhan, disebutkan bahwa mereka dihukum Tuhan tersesat selama 40 tahun..

Dalam hadis-hadis pun kita temukan angka 40 itu. Sekian banyak ulama, baik dari mazhab apapun, mengakui sabda Nabi yang menyatakan, “Barang siapa yang menghafal 40 hadis dan memeliharanya, ia akan dibangkitkan kelak dalam kelompok orang-orang alim.” Karena itu dari kalang Sunni misalnya, kita menemukan Imam Nawawi menyusun Al- Arba’în An-Nawawiah. Dalam kalangan Syiah kontemporer Imam Khomeini menulis 40 hadis pilihan. Kita menemukan di dalam hadis misalnya, ada hadis yang menyatakan “Barang siapa yang shalat 40 kali— dalam riwayat lain 40 hari —di Madinah Rasul, maka ia terbebas dari kemunafikan.”.

Kita menemukan misalnya dalam hukum, 2,5% zakat harta atau 1 bagi setiap 40 ekor binatang; juga menggunakan angka 40. Kelihatannya 40 ini adalah angka kesempurnaan. Jika demikian kalau kita memperingati tokoh yang telah berlalu, yang kita ingin teladani pada masa keempatpuluhnya, maka sebenarnya salah satu yang diharapkan adalah kesempurnaan keteladan kita kepada beliau. Hal kedua yang ingin saya garis bawahi adalah, Allah SWT memerintahkan kita untuk merenung. Berulang-ulang dalam Al- Quran, tidak kurang 200 kali, kata “merenung”, “mengingat” terulang di dalamnya.

Banyak hal yang perlu direnungkan. Sejak dulu misalnya, Allah berpesan kepada Nabi Musa agar mengingatkan kaummya: Wa dzakkirhum bi ayyâmillâh. Ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah (QS. Ibrâhîm [14] : 5), maka kita dapat berkata, bahwa salah satu hari Allah adalah hari gugurnya Sayyidina Husain. Saya terkadang berpikir, kalau unta atau sapi dijadikan Allah min sya’âirillâhsya’âirillâh? Kalau Ka’bah, al-hadya, al- qalâid (binatang yang dibawa ke Ka’bah untuk disembelih saat haji), semua dinamai Allah sebagai sya’âirillâh, maka heran rasanya kalau ada tokoh, baik yang disebut di dalam Al-Quran maupun yang tidak, selama dia tokoh, heran kalau dia tidak dapat dinilai sebagai salah satu dari sya’âirillâh. (bagian dari syiar-syiar Allah), maka apakah tokoh tidak dapat menjadi salah satu dari sya’airillah?.

Seperti kita baca dalam Al-Quran: Barang siapa yang mengagungkan sya’âirillâh (syiar-syiar Allah) maka sesungguhnya itu adalah tanda ketakwaan dari hati (QS. Al-Hajj [22] : 32). Itu sebabnya kita merayakan maulid Nabi, itu sebabnya kita mengagungkan tokoh-tokoh. Itu sebabnya sebagaimana kita bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad, sebagaimana kita menyambut tokoh- tokoh yang kita agungkan, kita pun wajar bersedih dalam batas-batas yang dibenarkan agama, dengan kepergian siapa yang mesti kita cintai..
Syi’âr – sya’âir – sya’irah seakar dengan kata syu’ûr, rasa. Setiap yang menjadi syiar mesti menimbulkan rasa. Ketika pada hari Idul Adhha misalnya, kita melihat kambing, domba atau sapi yang dijadikan syiar oleh Allah, maka ketika itu dia tidak menjadi syiar kalau dia tidak menjadi tanda kebesaran Allah dan tidak timbul di dalam hati Anda rasa kekaguman akan kebesaran Allah. Ketika kita menjadikan seorang tokoh sebagai syiar, maka harus timbul rasa di dalam hati Anda. Rasa hormat, rasa kagum dan boleh jadi rasa menyesal kenapa kita tidak hidup pada masa beliau (Imam Husain) dan ikut berjuang bersama beliau.
.
Hal ketiga yang ingin saya kemukakan, mengapa kita mengagungkan Sayyidina Husain? Tentu akan sangat panjang uraian kalau kita berbicara tentang beliau. Kita hanya bisa menunjuk dengan jari telunjuk; kita tidak dapat merangkul semua dari keistimewaan beliau. Untung kata orang menunjuk ke suatu gunung yang tinggi terkadang lebih mampu untuk menggambarkannya dari pada usaha kedua lengan untuk merangkul dunia ini. Kita hanya ingin menunjuk dan menyinggung sedikit dari banyak yang diakui oleh seluruh muslim, apapun mazhabnya baik Sunni atau Syiah, dan yang terdapat dalam semua kitab menyangkut Sayyidina Husain.
.
Pertama, beliau dan Sayyidina Hasan adalah Sayyid Syabâb Ahli Jannah (Pemimpin Pemuda Penghuni Surga), semua mengakui. Ada hal yang menarik dari dua sosok agung ini. Sepintas terlihat bahwa kepribadiannya bertolak belakang. Sayyidina Hasan mau damai, Sayyidina Husain revolusioner. Kelihatannya bertolak belakang, tapi sebenarnya tidak bertolak belakang. Semua bersumber dari didikan ayah beliau, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dan semua yang dari Imam Ali bersumber dari Rasulullah SAW. Semua diajarkan untuk membela agama dan mempertahankannya sambil melihat kondisi yang sedang dialami..
Kondisi yang dihadapi oleh Imam Hasan sudah berbeda dengan kondisi yang dialami oleh Imam Husain. Ketika masa Sayyidina Hasan diperlukan kedamaian yang bersyarat. Tetapi ketika kedamaian yang bersyarat itu ternodai, situasi berubah dan tampillah Sayyidina Husain.  Kalau begitu, ketika Sayyidina Husain bersedia gugur walau dengan memberi pilihan kepada pengikutnya untuk mundur ketika dikepung, beliau juga dalam perjuangannya bukan menuntut kekuasaan. Yang beliau inginkan ketika itu adalah syu’ûr, rasa, kepekaan terhadap ajaran agama dan nilai-nilainya. Yang beliau inginkan ketika itu adalah tumbuh suburnya ajaran ini yang sejak masa ayah beliau sudah mulai menjauh dari nilai-nilai yang diajarkan Rasul.
Abbas Al-Aqqad, seorang ulama Mesir yang diakui otoritas keilmuannya, menulis dalam buku Abqarîyat ‘Ali mengatakan bahwa kendati Sayyidina Ali merasa bahwa beliau wajar untuk menjadi  khalifah setelah Rasul, tetapi beliau tidak ingin menuntut itu sebelum umat menyerahkannya kepada beliau. Ditulis oleh ulama-ulama Syiah, salah satunya di dalam buku Ashlu Syî’ah wa Ushulihâ, bahwa Sayyidina Ali menerima kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar dan Umar, kepimpinan dalam urusan kenegaraan karena beliau melihat bahwa apa yang dilakukannya sudah sesuai dengan jalan Rasulullah. Walaupun dalam buku itu dikatakan beliau tidak menyerahkan soal imamah keagamaan. Sekali lagi saya ingin katakan, ketika Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain dan sebelumnya Sayyidina Ali, beliau tidak pernah berpikir untuk duduk sebagai penguasa. Ini ‘kan suatu ajaran yang perlu kita camkan sekarang ini.
Hal terakhir yang saya ingin kemukakan dalam konteks berbicara tentang Imam Husain adalah bahwa beliau, menurut Nabi SAW, adalah Sayyîd Asy-Syuhadâ, penghulu, tokoh yang terutama dari para syuhada. Saya tidak ingin membatasi pengertian syuhada itu hanya dalam arti orang yang gugur membela agama. Syuhada adalah bentuk jamak dari syahîd. Syahid itu kata yang patronnya bisa berarti objek dan bisa berarti subjek. Syahâdah adalah kesaksian. Kalau dia berarti subjek maka syahîd berati yang menyaksikan, kalau dia berarti objek berarti bahwa beliau yang disaksikan.
Keguguran dan darah yang terpancar memang menjadi saksi akan ketulusan perjuangan beliau. Tapi karena kita tidak ingin membatasi arti syahadah hanya pada pengertian gugur di medan juang, itu juga berarti ketika kita menjadikan beliau sebagai syahîd (yang disaksikan), berarti kita ikut menyaksikan dihadapan Allah berdasarkan pada pengetahuan kita bahwa beliau tokoh dan di sisi lain kita menyaksikan beliau sebagai teladan kita dalam hidup. Itu sebabnya dalam Quran disebutkan: Wa kadzâlika ja’alnâkum ummatan wasatha litakûnû syuhadâ ‘alâ an-nâs wa yakûna ar- rasûl ‘alaikum syahîda. Dan Kami telah menjadikan kalian umat pertengahan agar kamu menjadi teladan-teladan atas manusia, sedang Rasul adalah teladan kamu (QS. Al-Baqarah [2] : 143).
Mengapa saya berkata begitu? Karena kita tidak pernah berkata bahwa hidup ini hanya di dunia; kita berkata hidup di dunia ini adalah perjuangan sepanjang masa. Kita perlu teladan- teladan yang baik, dan keteladan Imam Husain itu berlanjut hingga sekarang. Itu sebabnya tadi dikatakan sampai sekarang masih jutaan orang berkunjung ke Karbala, sampai sekarang saya tahu persis di Mesir, Masjid Imam Husain itu dikunjungi orang; yang berkunjung bukan hanya orang Syiah tapi juga Sunni yang mengelilingi bagaikan bertawaf di sana. Mengagungkan Imam Husain karena perjuangannya sehingga kita dapat berkata, “Siapa yang tidak mengagungkan beliau (Imam Husain) maka diragukan keimanannya.” Aqûlu qauli hadzâ wastaghfirullâh lî walakum.
(Deleteisrael/ICC.doc).
Sumber: Ceramah disampaikan oleh Prof. DR. M. Quraish Shihab dalam acara Peringatan Arbain Imam Husain di Islamic Cultural Center, Jakarta, pada tanggal 16 Februari 2009 (20 Shafar 1430 H).
*****
Konflik Syiah yang terjadi pekan lalu di Sampang, Madura, membuat banyak orang mulai bertanya ada apa sebenarnya dengan Syiah. Siapa mereka dan kenapa bisa berlanjut konfliknya hingga bersimbah darah? Menteri Agama Indonesia ke-15, Muhammad Quraish Shihab, membedah dua kelompok ini dalam buku yang berjudul Sunnah-Syiah, Bergandengan Tangan, Mungkinkah?

Pria 68 tahun ini mengawali kisah dua kelompok besar ini dengan menjelaskan apa itu perbedaan dalam Islam. Ia kemudian membedah perbedaan umum antara Sunnah dan Syiah. Menurut lelaki kelahiran Sulawesi selatan ini, secara umum ada dua kelompok umat Islam dengan jumlah pengikut yang besar yaitu kelompok Ahlussunnah wa al-Jamaah dan kelompok Syiah.

Kelompok pertama secara harfiah dari kata Ahl as-sunnah adalah orang-orang yang konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad. Baik dalam tuntunan lisan maupun amalan serta sahabat mulia beliau. Golongan ini percaya perbuatan manusia diciptakan Allah dan baik buruknya karena qadha dan qadar-Nya. Kelompok Ahlussunah juga memperurutkan keutamaan Khulafa”ar-Rasyidin sesuai dengan urutan dan masa kekuasaan mereka.

Shihab mengaku kesulitan untuk menjelaskan siapa saja yang dinamai Ahlussunah dalam pengertian terminologi. Secara umum, melalui berbagai pendapat, golongan ini adalah umat yang mengikuti aliran Asy”ari dalam urusan akidah dan keempat imam Mahzab (Malik, Syafi”i, Ahmad bin Hanbal, dan Hanafi).

“Sebelum memulai dengan siapa Syiah, perlu digarisbawahi, kelompok Syiah pun menamai diri Ahlussunah,” ujar dia. Tapi definisinya tentu berbeda. Syiah memang mengikuti tuntunan sunah Nabi, tapi ada sejumlah perbedaan bentuk dukungan dan tuntunan itu.

Muhammad Jawad Maghniyah, ulama beraliran Syiah, mendefinisikan tentang kelompoknya. Syiah yang secara kebahasaan berarti pengikut, pendukung, pembela, dan pecinta ini adalah kelompok yang meyakini bahwa Nabi Muhammad telah menetapkan dengan nash (pernyataan yang pasti) tentang khalifah beliau dengan menunjuk Imam Ali.

“Definisi ini hanya mencerminkan sebagian dari golongan Syiah, tapi untuk sementara dapat diterima,” kata Shihab.

Perbedaan antara Syiah dan Ahlusunnah yang menonjol adalah masalah imamah atau jabatan Ilahi. Khususnya ada tiga hal pokok yang diyakini Syiah dan ditentang Ahlussunnah. Ketiganya adalah pandangan tentang Nabi belum menyampaikan seluruh ajaran/hukum agama kepada umat, imam-imam berwenang mengecualikan apa yang telah disampaikan Nabi Muhammad SAW, dan imam-imam mempunyai kedudukan yang sama dengan Nabi dalam segi kemaksuman (keterpeliharaan dari perbuatan dosa, bahkan tidak mungkin keliru dan lupa).

Keberatan itu, tulis Shihab, tertuang dalam buku karangan Syaikh Abu Zahrah berjudul Tarikh al-Maadzahib al-Islamiyah. Bagi kaum Syiah, imam yang mereka percayai ada dua belas orang jumlahnya. Mulai dari Imam Ali hingga Imam Mahdi. Mereka adalah manusia pilihan Tuhan yang kekuasaannya bersumber dari Allah.

Sebagai negara induk aliran Syiah, Iran tak memiliki banyak pengaruh dengan penganut Syiah di Indonesia. Malah ada kecenderungan mereka cuek. Begitulah anggapan cendekiawan Jalaluddin Rakhmat yang juga Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI).

Iran dengan pengikut Syiah di Indonesia, kata Kang Jalal, sapaan Jalaluddin Rakhmat, hanya memiliki ikatan ideologi saja. Namun, secara hubungan, pemerintah Iran hampir tak pernah memberikan bantuan ke Indonesia. “Kami bangun sekolah di berbagai tempat, pemerintah Iran tak pernah membantu,” kata Kang Jalal, Kamis, 30 Agustus 2012.

Tapi, tiap ada pujian soal Syiah di Indonesia, yang menerima adalah pemerintah Iran. Mereka dianggap berhasil memajukan Syiah di Indonesia. “Saya pun protes ke Kedutaan Besar Iran di Indonesia. Kami yang capek, mereka yang dapat penghargaan,” ujarnya.

Bantuan pemerintah Iran ke pemeluk Syiah di Indonesia hanya berupa buku atau penyelenggaraan seminar. Menurut Kang Jalal, bantuan dana itu pun tak secara utuh. Hanya setengah dari biaya yang diperlukan. “Karena dana dari Iran kurang, IJABI pun sering nombok. Jadi kami kapok kerja sama dengan mereka lagi,” kata dia.

Bila dilihat dari segi ideologi, tak ada perbedaan antara Syiah di Indonesia dan Iran. Keduanya menganut agama Syiah Itsna Asyariyah atau Imamah. Yakni ajaran yang mengutamakan masalah kepemimpinan. “Ajaran itu tercantum dalam undang-undang Iran, dan kami juga Syiah Itsna Asyariyah,” ujar Kang Jalal.

(ABNS)
Pendamai Sampang Minta Bantuan Jusuf Kalla
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: