Pesan Rahbar

Home » , , , , , , , , , , , , » Menjawab Fitnahan Khofifah Indar Parawansa (Juri Pemilihan Da’i Muda ANTEVE) Bahwa Nikah Mut’ah Menularkan Penyakit, Menghina Dan Merugikan Wanita

Menjawab Fitnahan Khofifah Indar Parawansa (Juri Pemilihan Da’i Muda ANTEVE) Bahwa Nikah Mut’ah Menularkan Penyakit, Menghina Dan Merugikan Wanita

Written By Unknown on Saturday 12 July 2014 | 12:28:00

Oleh: Ustad Husain Ardilla


Malam minggu lalu HP saya berdering, seseorang bertanya pada saya : “Acara Pemilihan Da’i Muda ANTEVE” menghujat syi’ah, peserta ada yang menghujat nikah mut’ah disusul komentar  Khofifah…
Saya langsung menggebrak meja menghadapi tuduhan ini.







Penulis: Muhammad Malullah
Tebal: 228 halaman.
Harga: Rp. 33.500, -


BUKU ISLAM ” Katanya Nikah Ternyata Zina “ 





Dan Ulama2 di Iran tdk ada yg mengharamkan nikah mut’ah itu…
Jadi kalau ada wanita tidak tidak mau melakukan mut’ah itu tidak menjadi masalah, tetapi yg jadi masalah ketika dia mengharamkan apa yg dihalalkan Allah…

Di iran yang mayoritas adalah syiah, Wanita2nya menolak dinikahi secara mut’ah. (boleh survey)
Bahkan menurut Murtadha Muthhari tentang argumentasi boleh/tidaknya mut’ah yaitu : “Menghidupkan kembali sunnah yang telah terlupakan/terabaikan” , Ini menunjukkan bahwa mut’ah tidak populer lagi.
Kalau Ibu Khofifah Indar Parawansa (juri Pemilihan Da’i Muda ANTEVE) tidak setuju dengan Mut’ah tidak menjadi masalah, yang penting tidak mengharamkan apa yg dihalalkan Allah.. Masih lebih baik dari pada Khalifah Umar bin Khatab yg berani mengharamkan apa yg di halalkan Allah..

sebaiknya jika ingin mut’ah hendaknya meminta izin kepada orangtua sehingga tidak menjadi aib bagi ajaran Rasulullah Saw, jangan seperti ahlussunah yang bahkan sebagian ustadnya senang jika anak – anaknya berpacaran gaya barat dengan zinah yang sembunyi – sembunyi, mereka mengetahui anaknya berzinah dengan berpacaran tapi mereka membiarkan.. malah mendukung.. innalillahi wa inna ilaihi raji’un.. bahkan ada istilah ustad cinta yang di tayangkan di televisi nasional..

Ibu juga bisa menyuruh anak laki ibu untuk mut’ah dgn anak perempuan saya.. Tapi saya akan bertanya kepada anak saya yg perempuan bahwa apakah dia mau di nikahi mutah dgn anaknya ibu? kalau dia tidak mau berarti pernikahan itu tidak akan terjadi…

Dan juga apabila anak saya mau dinikahi mut’ah dengan anak laki ibu, dia akan melihat ke taqwaan anak ibu kepada Allah seberapa jauh, dan anak perempuan saya akan meminta maharnya 1 buah pesawat private jet beserta crew nya + 1 Apartemen mewah, jangka waktu mut’ahnya hanya 1 hari, dan anak perempuan saya mensyaratkan tidak boleh melakukan hubungan sex… Kalau anak ibu sanggup atas yg disyaratkan oleh anak perempuan saya maka pernikahan itu akan terjadi… Tapi kalau tidak sanggup maka tidak akan terjadi… Jadi anak saya tidak rugi kan?? dia menerima mahar tapi tidak ada hubungan sex sebelum nikah daim..
Pertanyaan saya dimana kerugian anak saya seandainya nikah mut’ah itu terjadi???

anda mengharamkan mutáh,…lalu bagaimana komentar anda ttg seorang anggota dewan dari partai “kemunafikan sekali” yang bermodalkan sunnah rasul dgn jenggot, tapi ketangkap di panti pijat lalu menangis malu karena menyesal telah mempermalukan partai…bukan karena malu kepada ALLAH…
berarti dia lebih taat pada UMAR yg melarang mutáh dari pada ALLAH ketika masuk panti pijat…atau mungkin karena UMAR tdk melarang ke panti pijat.

Apapun yg di Halalkan Allah bukan berarti wajib dilakukan… Misalnya, daging kambing itu jelas Halal, akan tetapi tidak di wajibkan utk dimakan oleh setiap muslim, bahkan kalau membahayakan dirinya krn suatu penyakit maka bisa jadi haram dimakan bgi penderita penyakit tertentu… Begitu pulah dgn Nikah Muta’ah, hal itu Halal, namun tidak wajib dilakukan oleh setiap muslim.. Yang terpenting siapapun yg mau melakukannya harus mengetahui persis syarat2 Nikah mut’ah itu agar tidak melakukan pelanggaran hukum Allah…
.
Perlu anda ketahui bahwa Nikah apapun bentuknya harus ada akadnya sedangkan dalam akad ini terdapat Ijab dan Kabul, status wanita adalah berada dalam wilayah ijab sebagai kunci dimulainya akad, bagimana anda katakan wanita sebagi objek kalau pada prinsip pernikahan akadnya adalah kepasrahan diri wanita trelebih dahulu baru berikutnya ada kata kabul (terima) dari pihak lelaki, dalam hal ini wanita harus bijaksana mempertimbangkan sebelum memasrahkan dirinya kepada lelaki bagimana konsekwensi yang terbangun setelah memasrahkan dirinya ….

Sepintas itu adalah pembelaan terhadap wanita, tapi itulah sebenarnya perkataan yang mungkar dan dusta menyamakan wanita dengan ibu. Itu bukan kata saya tapi kata quran sbb :
Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun (Al-Mujaadila-2).
Dibawanya pula nama Syiah dan non Syiah. Padahal semua golongan yang membolehkan atau tidak ini merujuk pada quran dan hadist. Artinya mutah itu bukan ciptaan syiah atau non syiah. bagi saya ini menunjukkan kedangkalan pengetahuan dan pengkajian.

Biar bisa dilihat siapa yang membela wanita itu. kita yang tidak setuju dengan mutah atau ALlah yang membolehkan mutah ? …
Hukum dan perintah tuhan itu mutlak. Sekiranya semua wanita didunia ini menolaknya,…………. apa mungkin Tuhan membatalkan sebuah hukum gara gara diprotes ? … apa tuhan itu Bodoh sehingga membolehkan mutah ? …

Bagi saya, mut’ah itulah yang sesungguhnya membela para wanita. Faktanya berpa banyak PELACUR yang bertebaran saat ini ? .. baik yang terbuka atau tertutup ? …. bagaimana para wanita pelacur itu dihinahkan dan disepelekan ? dianggap kelas dua dan dimarjinalisasi ? ….. mana pembelaan terhadap kaum ini atas nama sesama wanita ? …. Bagaimana pula pembelaan kita terhadap wanita yang dijadikan simpanan para bos ?
santapan malam oknum DPR ? ….
benarlah kata Imam Ali : sekiranya mutah itu tidak dilarang tidak ada yang akan berbuat zina kecuali orang yang keterlaluan ……..

jangan sampai kita ingin mengugurkan sebuah kebenaran cuma dengan prasangka dan perasaan saja saya kira berbicara tentang kebenaran suatu hukum ato konsep manusia tidak perlu di minta pendapatnya karena yang aku pahami konsep nikah mut’ah telah di ajarkan dalam islam tinggal bagaimana hal ini di perjelas akan kebenaran dalam menjalankan dalam konteks sosialnya…serta hal ini aku ragukan kalo kita langsung melibatkan untuk menilai tanpa mengkaji terlebih dahulu karena para ibu dan wanita sangat sensitif dan mengunakan persaannya apa lagi yang belum paham, sementara mereka paham bagimana kedudukan dalam ajaran islam seperti hukum poligami bayak para ibu menolak sementara apa yang mereka tolak adalah hukum Tuhan telah ditentukan…saya sepakat kepada abang yang menyarankan untuk mengkaji bagaimana nikah Mut’ah dalam islam.

Anda benar2 tidak ingin mencari kebenaran, tetapi anda mencari pendukung utk meyatakan bahwa hukum Allah itu bisa di amandemen oleh manusia dalam kasus nikah mut’ah sehingga anda ingin menanyakan kepada ibu2 dan wanita di grup ini tentang nikah mut’ah menurut pandangan mereka… Apakah kalau ibu dan wanita2 mengatakan bahwa nikah mutah itu banyak mudaratnya, lalu hukum Allah bisa di amandemen oleh para ibu2 dan wanita?

Anda sdh mengetahui bahwa nikah mut’ah itu adalah HALAL, dan yg MENGHARAMKAN adalah Khalifah ke dua Umar bin Khatab.. Dan sudah dibuktikan berdasarkan dalilnya secara jelas ke Halalan nikah Mut’ah.

Allah lebih mengetahui yg terbaik buat umat manusia… Apapun yg di halalkan itu pasti banyak manfaatnya bagi manusia itu sendiri…
Betul kita harus mengikuti ajara Rasul tanpa dikurangi dan ditambah… yang Halal tetap halal dan yg haram tetap haram…Begitu pula dgn hukum nikah mut’ah itu jelas Halal… Namun tidak wajib dilakukan setiap manusia…

Mengenai untung dan ruginya itu tergantung dari sudut mana kita memandang… Misalnya anda mengatakan dengan nikah mut’ah itu yg menjadi korban dari Buaya Darat adalah wanita.. Betul namanyanya juga Buaya darat.. tanpa ada ikatan apapun pasti yg jadi korban wanita…

Kalau wanita mendapatkan pria soleh bukan buaya darat… maka wanita itu akan selamat dari buaya darat…Sebab, Nikah mut’ah itu adalah nikah yg disepakati antara wanita dan pria… Dan Wanita yg mengucapkan ijab dan prianya yg mengabulkan… kalau wanitanya tidak mau nikah mut’ah ya tidak akan terjadi perkawinan itu.. Jadi semuanya tergantung keinginan wanitanya bukan keinginan pria…. Pria hanya menyetujui /mengabulkan permintaan wanitanya .. Dimana letak kerugian wanitanya??? Apakah wanita akan lebih beruntung kalau tidak ada ikatan perkawinan??? artinya suka sama suka???

Saya pikir konsep mut’ah itu salah satu solusi bagi yg sangat membutuhkan, baik laki2 maupun wanita. Karena saya penasaran saya pinjam pada teman buku karya Murtadha muthahhari ttg nikah mut’ah. Itu sangat bagus, khususnya bagi para mahasiswa dan mahasiswi, sebagai pengganti pacaran yg dlm Islam diharamkan. Tentu dg sarat2 tertentu yakni tdk berhubungan badan.

Jadi, saya kira nikah mut’ah itu bagus tergantung pada pelakunya. Yg harus dibina itu mental pelakunya.
Kita harus berprasangka baik bahwa tidak semua kaum ibu dirugikan oleh konsep nikah mut’ah, bahkan mungkin ada yg diuntungkan. Karena saya punya teman gadis, ketika ia tunangan ia nikahkan mut’ah oleh kedua orang tuanya dan dapat restu oleh ortu kedua belah, ia nikah mut’ah dg calonnya selama 1 tahun sampai dilangsung nikah permanen & resepsi pernikahan. Ini jelas positif. Jadi, nikah mut’ah itu, dampak negatif dan positifnya, bergantung pada pelakunya. Sama halnya nikah permanen.

JANGAN MENILAI HUKUM ALLAH itu dengan SENTIMEN dan protes, apalagi dalam kasus mutah yang dinyatakan halal. Karena hukum tuhan itu pasti BERSIFAT ADIL, BAIK, dan BERMANTAAT. Bagaimanapun akan mentah Hukum Halanya mutah ini jika dikaikankan dengan ego, sentimen .. bagaimana jika itu anak saya ?? .

Nikah mutah adalah salah satu hukum Ilahi. Dari segi rukun dan syarat syahnya nikah mutah tidak jauh berbeda dg hukum nikah daim, yang membedakan adalah masalah jangka waktunya.
Mungkin bagi sebagian orang nikah mutah itu selalu identik dg pelampiasan seks. Jika tujuanya hanya untuk itu, maka nikah mutah sperti itu tidaklah dibenarkan.

Betul sekali bahwa mahar itu sebaiknya sesuai kemampuan… Akan tetapi Anda mempersalahkan hukum Allah bahwa wanita disini dirugikan dalam perkawinan Mut’ah… Dan saya sdh menjawabnya… Dan pertanyaan saya dimana kerugian atas perkawinan Mut’ah itu? Anda tidak menjawabnya…

Perkawinan Imam Ali dan Fatimah itu bukan nikah mut’ah, jadi disini anda jangan mengambil contoh yg tidak sesuai… Masah anda mengambil perbandingan antara buah apel dan jeruk.. tentu berbedah..
Kan anda ingin mengawinkan putra anda dgn anak perempuan saya dgn perkawinan nikah mut’ah… Makanya saya memberikan ilustrasi demikian sesuai aturan nikah Mut’ah…. DIMANA KERUGIAN ANAK PEREMPUAN SAYA?

Jadi Nikah Mut’ah pun tidak se enaknya kaum lelaki bisa melakukan atas dasar kemauan lelaki itu… makanya disinilah kita harus membekali umat itu dgn aturan hukum yg jelas, sehingga tidak dipermainkan oleh manusia2 lelaki buaya atau lelaki hidung belang…

Anda tidak mengetahui hukum nikah mut’ah, tetapi anda langsung mengatakan bahwa nikah mut’ah merugikan kaum wanita… Apakah Allah tidak paham hukum yg DIA buat?… Dan saya bertanya tentang kerugian wanita akibat nikah mut’ah, anda tidak menjawabnya keruguian tersebut…
Sekarang ini kan sdh jelas bahwa Nikah Mut’ah itu Halal, dan yg mengharamkan Umar bin Khatab…
Sekali lgi sayakatakan bahwa hukum nikah mut’ah itu Halal, namun tidak diwajibkan utk dilakukan setiap manusia…

Setuju sekali bahwa kaum wanita diberikan kesempatan utk menyampaikan pendapat… Tetapi ketika masuk kepada Halal dan Haram maka otoritas tertinggi itu adalah Allah… Bukan manusia… Manusia hanya mentaati dan patuh, atau Menolak dan membangkang kepada Allah.. Hukum Allah tidak boleh dirubah yg Halal menjadi Haram begitupula sebaliknya atas kesepakatan manusia… Emangnya manusia lebih mengetahui hukum2 Allah atas kemudaratan dan kebaikan suatu hukum yg Allah buat???

Putri saya tidak akan laku buat pria yg hidung belang, karena putri saya, saya bekali dgn ilmu agama yg benar… Dan kalau anak ibu itu pria yg bertaqwa maka saya akan nikahkan dgn putri saya dengan pernikahan mut’ah, dgn mahar hanya quraan saja tidak menjadi masalah, tetapi anak putri saya mensyaratkan dlm pernikahan mut’ah itu tidak boleh melakukan hubungan sex selama jangkah waktu yg disepakati bersama… Kalau anak ibu yg taat beragama maka dia tidak akan melanggar perjanjian itu…

Maka pertanyaannya adalah DIMANA KERUGIAN ANAK SAYA DALAM NIKAH MUT’AH SEPERTI INI? Yang jelas mereka sdh menjadi muhrim dan terhindar dari perzinaan kalau mereka pegangan tangan… karena pegangan tangan pun dgn bukan muhrimnya itu adalah perbuatan zinah..
Menurut anda siapa otoritas tertinggi yg bisa menentukan Halal dan Haram nya hukum Allah selain Allah? apa rujukannya? pasti jawabnya merujuk kepada kitab suci kitab kebenaran yakni Alquraan… Kalau kita merujuk ke Alquraan, apanya yg bahaya… krn jika kita umat berselisi dalam hadis maka kembali ke Alquraan…

Menurt Dalil2 yg ada baik sunni maupun syiah mengatakan bahwa surat an nisa 24 itu berkenaan tentang hukum Mut’ah… dan hadis yg mendukungnya pun sdh dijelaskan melalui jalur sunni dan syiah…
Ibu, Adakah ayat yg bisa membatalkan surat anisa 24? sehingga ayat itu telah dibatalkan oleh Allah dgn firman Nya? Tolong tunjukkan dengan dalil dan nash yg kuat dari jalur sunni dan syiah…
Ibu, coba anda sebutkan referensi hadis yg mengharamkan nikah Mut’ah? dan inipun sdh terjawab oleh Pa Shodiq…

Mengenai manfaat dan mudarat suatu hukum Allah itu bergantung kepada masing2 menilai dari sudut pandang mana dia melihat… Namun hukum Allah itu dapat dipastikan manfaatnya untuk manusia.. tidak ada kemudaratannya… Tapi manusianya yg melanggar hukum itu yg membuat menjadi mudarat… Dan kalau manusia yg melanggar berarti manusianya yg harus dihukum bukan hukum Allah yg di haramkan oleh manusia…

Misalnya, anda melanggar lampu merah dijalan, apakah lampuh merahnya dicabut, atau yg melanggar kena tilang? Jelas yg melanggar pasti dihukum…
Ilustrasi yg pertama saya buat bagi lelaki hidung belang yg kaya raya dgn mahar yg sangat berat dan wkatu yg singkat atas perkawinan mut’ah..

Jadi intinya, saya ingin menyampaikan kepada ibu bahwa pernikahan mut’ah itu tidak ada yg dirugikan selama masing pihak pria dan wanita nya mengetahui hukum mut’ah yg benar sesuai hukum Allah…
Terima kasih ya bu.. Maaf kalau ada kata2 yg menyinggung… Ini semua saya sampaikan hanya utk menegakkan hukum Allah… Bahwa hukum Allah itu pasti bermaanfaat buat manusia itu sendiri… Tetapi kebanyakan manusia tdk memahaminya….

Halal dan haram dalam satu subjek hukum mustahil inklud menjadi suatu predikat, karena bernilai kontradiktif, Mut’ah sebagai subjek hukum niscaya hanya memiliki satu predikat kalau tidak haram berarti halal, nah sekarang dalam diskusi tema ini dan tema sebelumnya, forum berusaha mencari objektifitas hukumnya berdasarkan argumentasi2 yang sudah terbangun dari rujukan berbagai pihak yang berkompeten, demikian ini mustahil bila pada akhirnya tidak tercapai titik temunya.

Perlu diketahui disini bahwa hukum nikah apapun bentuknya Temporary ( Mut’ah ) atau Permanent ( Da’im ) tentu berlaku positif dengan latar belakang dan tujuannya dengan seluruh tuntunannya, hanya saja perlu juga difahami bahwa hukumnya mempunyai dinamika bergantung pada situasi dan kondisi yang berlaku sehingga statusnya bisa berubah menjadi hukum yang beragam, Mubah Wajib, sunnah bahkan haram, yang demikian ini adalah realistis dan bukan merupakan alibi yang dibuat-buat…!

“Nikah Mut’ah sama dengan “Prostitusi Sah” mohon anda pertanggung jawabkan gimana anologi ini di jabarkan secara logis dan realistis, Nikah Mut’ah pastinya subjek berbeda dengan Prostitusi ..?!

Dalam pernikahan apapun bentuknya Wanita harus siap dengan segala kedewasaannya, apalagi dari pihak wanita yang memulai perkawinan melalui Ijab yang disampaiukan kepada lelaki, hukum tidak bisa dinegasikan karena oknum pelakunya yang tidak konsekwen terhadap tuntunannya. Apakah kalau bernikah sirri (sebagimana yang anda sarankan) tidak menutup adanya kasus penyimpangan juga..?

aku tidak mau menyelewengkan hukum Allah hanya karena hati yang diliputi hawa nafsu.Janganlah mengharamkan apa yang sudah dihalalkan.Bukankah imam Ali sudah mengatakan andai saja Umar tidak mengharamkan mutah maka tidak akan ada zina dimuka bumi ini kecuali dia sudah benar2 kufur.Islam ini rahmat,jadi Allah telah mempermudah kita,kenapa mempersulit diri sendiri.Mencari2 pembenaran terhadap pikiran2 manusia yg selalu dipermainkan syetan.

Mengikuti hadis tsaqalain mengenai Pesan Rasul saw untk bpegang pd al-Qur’an dan ahlulbaitnya agar tdk terSESAT, so… Klo mutah aja msh diperselisihkan hukumnya yg jelas sdh ada ptunjuknya dr al-Quran & ahlulbait, sama aj nyesatin diri sendiri ^_^

Nikah mut’ah ADA dalam Islam, dan hukumnya halal SEJAK ZAMAN NABI saw HINGGA HARI KIAMAT, karena ayat tersebut (An-Nisa’: 24) hukumnya tidak pernah dimansukh. Pendapat ini disepakati oleh SEMUA ULAMA dari kalangan mazhab Ahlul bait (as), dan SEBAGIAN ULAMA Ahlussunnah juga berpendapat seperti ini.

maka halal nya nikah mut’ah akan tetap seperti itu, mulai dibolehkannya oleh Allah swt, para RasulNya yg maksum & para ImamNya yg maksum, hingga kiamat, asalkan “benar” caranya, namun sesuatu yg halal akan menjadi haram jika “salah” caranya.
Contoh praktis sbb:
Minum madu itu adalah halal, bahkan dianjurkan. Namun jika “caranya” salah, mis: minum 1 tong@50 liter sekaligus, maka akan jadi “haram”. Penyebab haramnya bukan karena madunya an-sich, namun karena cara minum madunya, bukan karena madunya itu sendiri.

Nah, kini “madu” disini adalah “nikah”, baik itu mut’ah (temporarry) atau da’im (permanent).
Seseorang dapat menikmati “madu” secara permanen atau temporary asal minumnya tak sekaligus 1 tong@50 liter, sebab pencernaannya tak akan mampu (salah caranya).

Jika dia mengambil 1 tong madu sekaligus diminum, atau,
Sebagian kecil diminum, smentara sebagian besar didiamkan saja, maka ada sebagian besar madu yang terlantar, akibatnya madu itu akan rusak/mubazir.

Seorang pria dapat mengkabul ijab “nikah” wanita secara permanen atau temporary, asalkan tak mengkabul ijabnya 1000 wanita sekaligus, sebab kapasitas lahir/batin pria tsb tak akan mampu (salah caranya), atau,
Mengkabul sebagin kecil saja, sementara sebagian besar istri2nya didiamkan saja, sehingga banyak istrinya yg terlantar, akibatnya rusak lahir/batin istri2nya itu, sehingga terjadi mubazir.

Jadi yang lebih penting adalah berlakunya prinsip “kewajaran/keadilan, saling setuju antar pihak, dan tidak melebihi kapasitas” sehingga tak terjadi kemubaziran dalam hal apa saja yang halal (contoh: minum madu, atau mengabulkan ijabnya para wanita).

Mudah2an dapat dipahami oleh akal sehat, tanpa prasangka buruk.
Protokoler (cara) nikah mut’ah maupun da’im sudah banyak dibahas, namun yang lebih penting adalah “implementasi”nya, jangan sampai NIKAH hanya ada di KERTAS, namun tak ada di REALITAS kehidupan manusia
.
Secara ringkas nikah mut’ah adalah sbb:
1. LAMARAN (boleh oleh calon mempelai pria atau wanita).
Jika hal-hal yg dilamar (dipropose) telah disepakati oleh kedua belah pihak, maka
2. IJAB (oleh pihak wanita, dengan menyebutkan jangka waktu, syarat2 yg jika dilanggar dengan sendirinya nikah menjadi batal / tidak berlaku lagi, walau belum jatuh temponya)
3. QABUL (oleh pihak pria, yang menegaskan bahwa jangka waktu dan syarat2 yg diajukan pihak wanita seluruhnya dapat dikabulkan)
4. MAHAR (wajib diberikan jika kedua belah pihak telah bercampur)
.
Anda asal ikutan saja… kenapa.. Jelas2 Umar sendiri yg mengatakan bahwa dialah yg mengharamkan hukum Mut’ah… sekarang anda menanyakan bahwa kenapa Imam Ali tidak melarangnya… Wong Nabi Muhammad saja dikhianati oleh umar apalagi mau mendengar perkataan Imam Ali…
Makanya Imam Ali jelas mengatakan bahwa kalau Umar tidak melarang nikah mut’ah maka tidak ada manusia yg melakukan perzinaan kecuali manusia yg celaka…. Ini Jelas Hadisnya penentangan terhadap keputusan/ijtihad umar…

Anak yg lahir dari nikah mut’ah tidak hanya mewarisi nasab ayahnya (paternal), atau ibunya saja (maternal); melainkan mewarisi nasab kedua orang-tuanya (parental).

Anak itu juga (dapat) mewarisi harta, ilmu, tradisi kedua orang tuanya, asalkan memenuhi syarat2 tertentu.
Sedangkan Allah SWT Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum. Jika hukum halal itu berdampak negatif, maka bisa jatuh haram bagi org2 tertentu. Ini banyak sekali contohnya, sehingga tak perlu dituangkan di sini.
Sekali lagi nikah Mut’ah itu adalah pernikahan yg di HALAL KAN Allah…

Namun tidak wajib dilakukan…. JELAS… Tergantung dari masing2 individu… Sama halnya dengan daging kambing itu Halal, namun tidak wajib harus makan daging kambing… tergantung individu masing2… JELAS… Anda ini memaksa org syiah itu wajib melakukan mut’ah…. Dan saya sudah katakan dari awal bahwa mut’ah itu bukan kewajiban tetapi perbuatan yg di halalkan Allah… Dan yg mengharamkan adalah Umar bin Khatab…

Anda baca baik2 lgi ya.. Bahwa NIKAH MUT’AH ITU ADALAH PERNIKAHAN YG DIHALALKAN, TETAPI TIDAK WAJIB DILAKUKAN… TERGANTUNG DARI INDIVIDU MASING2..
YANG MENJADI MASALAH BESAR ADALAH MENGHARAMKAN APA YG DIHALALKAN ALLAH, DAN MENGHALALKAN APA YG DIHARAMKAN ALLAH…

Hukum Mut’ah itu jelas di HALAL kan oleh Allah, namun bukan sesuatu yg diwajibkan utk dilakukan, sama halnya seperti daging kambing itu halal utk dimakan tetapi tidak wajib utk dimakan oleh setiap muslim… Untuk itu kalau ditanyakan bahwa Nabi Saww, Imam Ali, Imam Khomeni, Imam Sistani.. mereka tidak melakukannya, namun mereka semua tidak berani meng HARAM kan apa yg di HALAL kan Allah… Karena itu mereka adalah hambah Allah yg TAAT kepada Allah… Lain halnya dengan Umar bin Kahtab, dia berani meng HARAM kan apa yg di HALAL kan oleh Allah…

Jadi jelas sekali hukum Allah itu… Namun kebanyakan manusia tidak beriman… inilah firman Allah…
HALAL nya nikah mut’ah bukan berarti harus di lakukan oleh setiap muslim… Tapi jangan juga berani mengharamkan hukum Allah, kecuali mau mengikuti jejak Umar bin Khatab yg menjadi pemipin kaum perzinaan.. karn Imam Ali mengatakan bahwa kalau saja Umar tidak mengharamkan pernikahan mut’ah maka tidak ada manusia yg berzina, kecuali orang jahil/bodoh…

Namun pada faktanya kebanyakan orang mengikuti ijtihad Umar… Nah, apa ibu kepingin menjadi bagian manusia yang kebanyakan itu??? Tanyakan Ali Reza apa sindiran Allah dalam firman Nya mengenai kebanyakan manusia itu??? Ali Reza lebih paham… dia itu sobatnya Umar Surabaya, Usman, dan Umar bin Khotob…

Ini tulisan Ali Reza yg dia kutip dari Alquraan tentang kebanyakan manusia itu bagaimana???:
Allah swt berfirman dalam Alquran :
Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati bicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu kehadapan mereka niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. 6:111).

Allah berfirman :
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka LEBIH SESAT lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai. (QS. 7:179).

Juga dalam firmanNya:
44. atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu). (QS. 25:44)
Lihatlah sudara Usman dengan bangganya mengatakan bahwa org syiah tidak menjawabnya… sudah terjawab semuanya tentang Hukum mut’ah itu..

Anda tau bahwa anda bagian dari kebanyakan umat yg tidak beriman yg disindir oleh Allah itu..
Hukum Allah mengenai HALAL dan HARAM itu tidak bergantung kepada pendapat umum manusia… Manusia itu adlah ciptaan Allah dan Allahlah yg lebih mengetahui mana yg terbaik buat umatnya…
Semua ulama ahli tafsir sunni dan syiah sepakat bahwa surat an nisa 24 itu mengenai HALAL nya pernikahan mut’ah, dan tidak ada ayat yg membatalkan surat an nisa 24 itu, dan tidak ada hadis yg bisa membatalkan ayat quraan…. Ini sangat jelas sekali..

Namun yg mengharamkan itu adalah Umar bin Khatab… Apakah dia bisa membatalkan hukum Allah??? Apakah dia lebih mengetahui daripada Allah yg menciptakan alam semesta ini? Apakah para wanita lebih mengetahui daripada Allah tentang hukum2 Nya? Apakah Allah tidak mengetahui hukum Nya sehingga DIA tidak membatalkan Nya???

Sekali lagi saya katakan bahwa:
NIKAH MUT’AH ITU HALAL DAN BUKAN SUATU KEWAJIBAN UMAT ISLAM UTK DILAKUKAN… KALAU PARA IBU DAN BAPAK TIDAK MAU MELAKUKAN DAN MENGHARAMKAN UTK DIRINYA SENDIRI ITU BISA DITERIMA, TETAPI KALAU KITA MENGHARAMKAN UTK UMAT ISLAM MAKA ANDA TELAH MEMBANGKAN DENGA HUKUM ALLAH… INI JELAS SEKALI…

hukum nikah mut’ah itu menyangkut pria juga.. agar pria mengetahui bahwa tidak bisa juga sembarangan melakukan nikah mut’ah…. kalau melakukan mut’ah tidak sesuai syariah juga akan menjadi penyelewengan hukum Allah… Sama halnya nikah daim/permanen kalau dilakukan tanpa mengetahui syariahnya maka akan terjadi penyelewengan dan akan mudarat juga… sama halnya kalau mau makan kambing tapi tidak mengetahui secara syariahnya akan menjadi haram dimakan…

Hukum Allah itu sangat jelas kalau kita kembali mengambil ilmu Allah dari sumbernya yakni Nabi Muhammad melalui pintunya Imam Ali dan 11 imam berikutnya… Namun kebanyakan manusia itu mengambil ilmu Allah dari para sahabat Nabi bukan melalui pintunya, jadi beginilah akibatnya…
Disinilah kembali lagi ke Firman Allah bahwa kebanyakan manusia itu tidak beriman…Jadi jelas, pengikut ahlussuna wal jamaah dan kaum wahabi itulah kebanyak dari umat Islam, yg dianjurkan Allah agar jangan mengikutinya… Karena mereka akan membawa kearah kesesatan… Tanyakan  tentang kebanyakan manusia itu bagimana dalam sindiran Allah di dalam kitab Alquraan…
pertanyaannya adalah, Apakah hadis dapat membatalkan ayat quraan??? semua ulama akan sepakat mengatakan TIDAK BOLEH…

Pertanyaan selanjutnya, apakah ada ayat quraan yg membatalkan surat an nisa 24 tentang hukum mut’ah? kalau ada silahkan ibu sebutkan…
Jadi jelas sekali, hukum nikah mut’ah itu jelas HALAL, dan yg mengharamkan adalah Umar bin Khatab atas pengakuannya sendiri bahwa mutah masih berlaku di zaman Nabi Saww dan mulai saat ini saya meng haramkan nya… Jadi apa otoritas Umar berani meng Haramkan apa yg dihalalkan Allah…
Mabk, Afifa, sekarang jelas tidak mengenai HAlal dan Haramnya nikah Mut’ah??? kalau belum jelas tolong dimana ketidak jelasan HALAL dan HARAM nya nikah mut’ah… Setelah itu baru kita masuk bab berikutnya mengenai syarat2 mut’ah itu dan bagaimana melakukannya agar sesuai dgn syariah.. TIDAK SEPERTI YG DIPUNCAK ITU.

Apapun sesuatu yg Halal kalau dikerjakan tidak sesuai dgn syariah maka akan menjadi haram. Untuk itu saya mengajak untuk mengetahui dulu dan memahami HALAL dan HARAM nya pernikahan mut’ah. Termasuk nikah Daim/permanen kalau tidak sesuai dgn syariah maka akan terjadi ke zoliman.
Maaf kalau ada kata2 yg menyinggung. semua ini krn saya ingin menjelaskan hukum pernikahan Mut’ah ini sebatas pengetahuan saya. Kalau ada yg mengakui pengikut Syiah lalu mengharamkan apa yg dihalalkan Allah maka dia bukan dari golongan syiah, dalam hal ini ulama2 syiah sepakat bahwa Hukum Nikah mut’ah itu adalah HALAL. dan sebagian Ulama2 sunni dan syiah meng Halalkan Nikah Mut’ah itu.
Kalau ada yg membaca tulisan dan komentar anda hanya org2 kebanyakan yg akan membenarkannya… karn saya paham sepaham-pahamnya Firman Allah bahwa kebanyakan manusia itu mengambil jalan kesesatan.

Nikah Mut’ah itu adalah HALAL, dan anda lebih mulia dimata Allag ketiban Umar bin Kahatb dan pengikutnya yg berani meng HARAM kan hukum Allah yg jelas2 HALAL.
Mengenai org2 mulia tidak melakukan pernikahan mut’ah itu bukan berarti mereka harus meng HARAM kan apa yg di HALAL kan Allah, krn kita tau mereka itu adalah Hambah2 yag Taat dan sangat mulia di hadapan Allah sehingga mereka tidak berani meng Haramkan apa saja yg di Halalkan oleh Allah. Berbeda dgn si Umar bin Khatab dia lebih pandai dari Allah.

saya juga sepakat anda bahaw segala sesuatuyan HALAL kalau dilakukan tidak sesuai syariah Allah termasuk dan tidak terbatas pada hukum perkawinan mut’ah maka akan menjadi mudarat dan haram dilakukan. Karena itu pasti dilakukan dgn hawa nafsu kebinatangan.
Nikah permanen / Daim kalau dilakukan tidak sesuai syariah maka akan menjadi mudarat.
Makan daging kambing yg halal akan menjadi haram kalau didapatkan dari hasil yg tidak halal dan dipotong tidak sesuai syariah akan menjadi Haram.
Sedekah juga demikian, kalau anda memberikan sedekah dari uang haram maka sedekah anda tidak diterima.

Jadi, apapun yg kita lakukan harus sesuai dgn syariah termasuk nikah mut’ah. Kalau ada umat yg melanggar syariah termasuk nikah mut’ah itu maka kita tidak boleh mengharamkan hukum Allah. Namun para pelanggar lah yg harus di hukum. dan kalau dia lolos dari hukum dunia, dia tidak akan lolos dari hukum akherat. karna Allah mencatat setiap perbuatan umat Nya Zolim. Mereka no-syiah itu sebenarnya paham bahwa Nikah mut’ah itu Halal. Namun mereka salah pengertian bahwa meskipun Halal bukan berarti wajib di lakukan utk setiap muslim.

Sama halnya dgn halalnya daging kambing, tapi tidak semua umat islam diwajibkan makan daging kambing.
Mereka juga, sering mengatakan Nikah Mut’ah itu adalah bentuk perzinaan yg dilegalkan. Disinilah kebodohan mereka yg mengharamkan hukum Allah. Karena jelas beda antara zina dan nikah. Zina itu melakukan hubungan pria dan wanita tanpa ijab dan kabul. sementara nikah mut’ah melakukan hubungan antara pria dan wanita dgn di awali ijab kabul terlebih dahulu. Perzinaan tidak ada masa iddah, sementara mut’ah ada masa iddha.

Nikah mut’ah itu di HALAL kan Allah, sementara perzinaan di HARAM kan Allah.

Nikah Mut’ah di dalam Al-Qur’an.
Ummat Islam sepakat tentang dasar syariat nikah mut’ah, hanya saja yang menjadi perbedaan pendapat, adalah apakah hukum nikah mut’ah itu dimansukh (dihapus) atau tidak? Umumnya ulama Ahlussunnah berpendapat dimansukh, sedangkan ulama mazhab Ahlul bait sepakat bahwa hukum nikah mut’ah tidak dimansukh.

Dalil disyariatkannya nikah mut’ah terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi saw. Di dalam Al-Qu’an terdapat dalam Surat An-Nisa’: 24. Ayat ini diturunkan untuk menetapkan syariat nikah mut’ah. Keterangan lebih rinci silahkan merujuk pada kitab-kitab berikut:
1. Tafsir Al-Qurthubi, jilid 5, halaman 130.
2. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 1, halaman 474.
3. Tafsir Ar-Razi, jilid 3, halaman 200 dan 201, cetakan Al-Amirah, Mesir.
4. Tafsir Ath-Thabari, jilid 5, halaman 9, cetakan lama.
5. Tafsir Abi Sa`udah, catatan pinggir tafsir Ar-Razi, jilid 3, halaman 251.
6. Tafsir An-Naisaburi, catatan pinggir Ath-Thabari, jilid V, halaman 18.
7. Tafsir Al-Kasysyaf, Az-Zamakhsyari, jilid 1, halaman 498, cet Bairut.
8. Tafsir Al-Khazi, jilid 1, halaman 357.
9. Tafsir Al-Alusi, jilid V, halaman 5.
10. Tafsir Al-Baidhawi, jilid 1, halaman 259.
11. Tafsir Ibnu Hiyan, jilid 3, halaman 218.
12. Tafsir Ad-Durrul Mantsur, jilid 2, halaman 140.
13. Tafsir Nailul Awthar, jilid VI, halaman 270 dan 275.
14. Tafsir Al-Baidhawi, catatan pinggir Tafsir Al-Khazin jilid 1, halaman 423.
15. Syarah Shahih Muslim, oleh An-Nawawi, bab Nikah Muth’ah, jilid 9, halaman 140.
16. Sunan Al-Baihaqi, jilid VII, halaman 205.
17. Mustadrak Al-Hakim, jilid 2, halaman 305.
18. Musnad Ahmad, jilid 4, halaman 346, cetakan lama.
19. Bidayatul Mujtahid, jilid 2, halaman 178.
20. Mushannaf Abdurrazzaq, jilid 7, halaman 497 dan 498.
21. Al-Idhah oleh Ibnu Syadzan, halaman 440.
22. Ahkamul Qur’an, Al-Jashshash, jilid 2, halaman 178.
23. Az-Zuwaj Al-Muwaqqat fil Islam, halaman 32 dan 33.
24. Al-Bayan, oleh Al-Khu’i, halaman 313.
25. Ath-Tharaif, Ibnu Thawus, halaman 459.
26. At-Tashil, jilid 1, halaman137.
27. Al-Jawahir, jilid 30, halaman 148, cetakan Najef.
28. Kanzul Irfan, jilid 2, halaman 2, halaman151.
29. Al-Mut’ah, Al-Fukaiki.
30. Dalailul Shidqi, Al-Mudhaffar, jilid 3.
31. Al-Fushulul Muhimmah wal Masailul Fiqhiyyah, Syarafuddin Al-Musawi.
32. Al-Ghadir, jilid 6, halaman 229-235.
33. Ahkamul Qur’an, Abu Bakar Al-Andalusi Al-Qadhi, jilid 1, halaman 162.

Umar bin Khaththab yg Menghapus Nikah Mut’ah.
Alasan Umar bin Khatab melarang nikah mut’ah tertera dalam riwayat dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “Kami melakukan nikah mut’ah dengan mahar segenggam kurma dan tepung selama beberapa hari pada zaman Rasulullah SAW dan zaman Abu Bakar, sehingga Umar melarang selubungan dengan prsoalan ‘Amir bin Huraits.” Silahkan rujuk:
1. Shahih Muslim, kitab nikah, bab nikah mut’ah, jilid 4, halaman 131,cet Al-Amirah.
2. Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi,jilid 9,halaman 183.
3. Al-Mushanaf, Abdurazzaq,jilid 7,halaman 500.
4. Sunan Al-Baihaqi, jilid 7,halaman 304.
5. Musnad Ahmad, jilid 3, halaman 304.
6. Za’dul Ma’ad, Ibnu Qayyum, jilid 1, halaman 205.
7. Fathul Bari,jilid 11,halaman 76.
8. Kanzul Ummal,jlid 8,halaman 293.

PARA SAHABAT DAN TABI’IN.
Yang Menghalalakan Nikah Mut’ah
Para sahabat dan Tabi’in yang menhalalkan nikah mut’ah, antara lain:
1. Imran bin Hushain, silahkan rujuk:
1. Shahih Muslim, kitab haji,jilid 1,halaman 474.
2. Shahih Bukhari, kitab tafsir Surat Al-Baqarah, jilid 7,halaman 24,cet tahun
1277H.
3. Tafsir Al-Quthubi,jilid 2,halaman 265;jilid 5,halaman 33.
4. Tafsir Ar-Razi,jilid 3,halaman 200 dan 202, cet. Pertama.
5. Tafsir An-Naisaburi,catatan pinggir tafsir Ar-Razi 3/200.
6. Tafsir Ibnu Hiyan, jilid , halaman 218.
7. Sunan Al-Kubra,Al-Baihaqi,jilid 5,halaman 20.
8. Sunan An-Nasa’i,jilid 5, halaman 155.
9. Musnad Ahmad,jilid 4, halaman 436,cet.pertama, dengan sanad yang shahih.
10. Fathul Bari,jilid 3,halaman 338.
11. Al-Ghadir,jilid 6, halaman 198-201.
12. Al-Mihbar,Ibnu Habib,halaman 289.
13. Al-Mut’ah,Al-Fukaiki,halaman 64.
14. Az-Zuwaj Al-Muaqqat fil Islam,halaman 124.
2. Jabir bin Abdullah Al-Anshari.Silahakan rujuk:
1. Umdatul Qari,Al-’aini’,jilid 8,halaman 310.
2. Bidayatul Mujatahid,Ibnu Rusyd,jilid 2,halaman 58.
3. Shahih Muslim,kitab nikah,bab nikah mut’ah,jilid 1,halaman 39.
4. Musnad Ahmad,jilid 3,halaman 380.
5. Tibyanul Haqaiq,syara Kanzud Daqaiq.
6. Sunan Al-Baihaqi,jilid 7,halaman 206.
7. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 205,206,208,dan209-211.
8. Jami’ul Ushul,Ibnu Atsir.
9. Taysirul Wushul,Ibnu Daiba,jilid4,halaman 262.
10. Za’dul Ma’ad,Ibnu Qayyum,jilid1,halaman 144.
11. Fathul Bari,Ibnu hajar,jilid 9,halaman 141dan 150;jilid 9,halaman
172 dan174, cet. Darul Ma’rifah.
12. Kanzul Ummal,jilid 8,halaman 294,cet.pertama.
13. Catatan pinggir Al-Muntaqa,Al-Faqi,jilid 2, halaman 520.
14. Al-Muhalla,Ibnu hazm,jilid 9,halaman 519.
15. Nailul Awthar,jilid 6,halaman 270.
16. As-Sarair,halaman 311.
17. Al-Jawahir,jilid 30,halaman 150.
18. Mustadrakul Wasail,jilid 2,halaman 595.
19. Az-Zuwaj Al-Muaqqat fil Islam,halaman 124.
20. Al-Mut’ah,Al-Fukaiki,halaman 44.
21. Al-Mushannaf,abdurrazzaq,jilid 7,halaman 497.
22, Ajwibah Masail Musa Jarullah,Syarafuddin Al-Musawi,halaman 111.
Pendapat yang mengatakan bahwa Jabir bin Abdullah Al-Anshari mengeluarkan pengharaman nikah mut’ah, itu tidak benar,Silahkan rujuk: Muqaddimah Mir’atul ‘Uqul, jilid 1,halaman 299.
3. Abdullah bin Mas’ud, Silahkan rujuk:
1. Shahih Bukhari, kitab nikah mut’ah; Shahih Muslim,jilid 4,halaman 130.
2. Ahkamul Qur’an,Al-Jashshash,jilid 2,halaman 184.
3. Sunan Al-Baihaqi,jilid 7,halaman 200.
4. Tafsir Al-Qurthubi,jilid 5, halaman 130.
5. Tafsir Ibnu Karsir, jilid 2, halaman 87.
6. Ad-Durul Mantsur,jilid 2, halaman 207, menukil darai 9 Huffazh.
7. Al-Ghadir, jilid 6, halaman 220.
8. Al-Muhalla, Ibnu Hazm,jilid 9,halaman 519.
9. Al-Bayan,Al-Khu’i,halaman 320.
10. Za’dul Ma’ad,jilid 4, halaman 6; jilid 2,halaman 184.
11. Syarhul Muwaththa’, Az-Zarqani, catatan pinggir Al-Munraqa, jilid 2,halaman
520.
12. Syarhul Lum’ah,jilid 5,halaman 282.
13. Fathul Bari,jilid 9,halaman 102 dan 150; jilid 9, halaman 174,cet. Darul
Ma’rifah
14. Syarhun Nahji, Al-Mu’tazili, jilid 12,halaman 254.
15. As-Sarair, halaman 311.
16. Al-Jawahir, jilid 30, halaman 150.
17. Mustadrakul Wasail ,jilid 2,halaman 595.
4. Abdullah bin Umar.
At-Tirmidzi meriwatyatkan dalam kitab Shahihnya, dari Ibnu Umar,ia ditanya
oleh seorang laki – laki dari penduduk Syam tentang Nikah mut’ah maka ia menjawab: “Nikah mut’ah itu hal.”Kemudian laki-laki itu berkata,:”Tetapi ayahmu telah melarangnya.” Maka ia berkata :”Bila kamu telah mengetahui,ayahku melarangnya, sedangkan Rasulullah SAW membolehkannya, apakah kamu akan menunggalkan sunnah Rasul lalu mengekitu ayahku.”
Riwayat ini juga diriwatyatkan oleh :
1. Ath-Tharaif,Ibnu Thawus,halaman 460,cet.Qum.
2. Syarhul Lum’ah,Asy-Syahid Tsani,jilid 5,halaman 283.
3. Jawahirul Kalam,An-Najafi,jilid 30,halaman 145.
4. Dalailush Shidqi,jilid 3,halaman 97.
5. Al-Bihar, Al-Majlisi,jilid 8,halaman 286,cet.lama, mengutip dari Shahih
At-Tirmidzi.
Tetapi,kami tidak mendapati riwayat ini dalam Shahih Tirmidzi dalam makna ini, yang kami dapati riwayat yang mendekati maknanya tentang Mut’ah haji, yakni ia ditanyai tentang mut’ah haji. Rujuklah kitab tersebut,jilid i,halaman 157; dan cet.yang lain jilid 3, halaman 184.
Bisa jadi riwayat tersebut dibuang atau diselewengkan,Allah Maha Mengetahui.
Al-Araji meriwayatkan,ada seorang k\laki-laki bertanya kepada Ibnu Umar tentang nikah mut’ah,ketika itu aku berada disisinya,maka ia berkata: “Demi Allah,
pada zaman Rasulullah kami bukan orang – orang yang berzina dan berbuat keji.”
Tentang riwayat ini silahkan rujuk:
1. Musnad Ahmad,jilid 2,halaman 95,hadis 5694; jilid 2,halaman104, hadis 5808.
2. Majma’uz Zawaid,jilid 7, halaman 332 – 333.
3. Muqaddimah Mir’atul’Uqul, jilid 1, halaman 295.
Riwayat bahwa Ibnu Umar mengharamkan nikah mut’ah silahakan rujuk:
1. Majma’uz Zawaid, jilid 4, halaman 265, ia mendhaifkan riwayat ini.
2. Al-Mushannaf, Abdurrazzaq, jilid 7, halaman 502.
3. Mushannaf Ibni Abi Syaiba, jilid 4,halaman 293.
4. Tafsir As-Syuthi, jilid 2,halaman 140.
5. Sunan Al-Baihaqi, jilid 7, halaman 206.
6. Muqaddimah Mir’atul’Uqul, jilid 1,halaman 295.
5. Muawiyah bin Abi sofyan, silahkan rujuk:
1. Al-Muhalla,Ibnu Hazm,jilid 9,halaman 519.
2. Umdatul Qari, al-’Aini,jilid 8, halaman 310.
3.Catatan pinggir Al-Muntaqa,jilid 2, halaman 520.
4. Al-Bayan, Al-Khu’i,halaman 314.
5. Ath-Tharaif,Ibnu Thawus,halaman 458.
6. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 221.
7. Jawahirul Kalam, jilid 30,halaman 150.
8. Syarhul Muwaththa’,Az-Zarqani.
9. Al-Mushannaf,jilid 7,halaman 496 – 499.
10. Fathul Bari, jilid 9,halaman 174,cet.Darul ma’rifah.
6. Abu Said Al-Khudri,silahkan rujuk:
1. Al-Muhalla, jilid 9, halaman 519.
2. Umdatul Qari,jilid 8, halaman 310.
3. Catatan pinggir Al-Munraqa,jilid 2,halaman 520.
4. Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abl Hadid,jilid 12/254.
5. Fathul Bari,jilid 9, halaman 174.
6. As-Sarair, Ibnu Idris,halaman 311.
7. Al-Bayan,Al-Khu’i, halaman 514.
8. Al-Ghadir, jilid 6, halaman208 dan 221.
9. Jawahirul Kalam,jilid 30, halaman 150.
10. Az-Zuwaj Al-Muaqqat fil Islam, halaman 125.
11. Musnad Ahmad, jilid 3, halaman 22.
12. Majma’uz Zawaid, jilid 4, halaman 264.
13. Mushannaf Abdurrazzaq, jilid 7, halaman 571.
14. Al-Mughni, Ibnu Qudamah,jilid 7, halaman 571.
7. Salamah bin Umayah bin Khalf, silahkan rujuk:
1. Al-Muhalla, jilid 9,halaman 519.
2. Syarhul Muwaththa’, Az-Zarqani.
3. Al-Ishabah, jilid 2,halaman 63.
4. Catatan pinggir, Al-Muntaqa, jilid 2, halaman 520.
5. Al-Bayan, halaman 314.
6. Al-Ghadir, jilid 6, halaman 221.
7. Al-Jawahir,jilid 30,halaman 150.
8. Az-Zuwaj Al-Muaqqat fil Islam,halaman 314.
9. Fathul Bari, jilid 9,halaman 174.
10. Nailul Awthar.
11. Al-Ishabah, jilid 2,halaman 61; jilid 4,halaman 324.
12. Al-Mushannaf,jilid 7,halaman 499.
8. Ma’bad bin Muawiyah, silahkan rujuk:
1. Al-Muhalla,jilid 9,halaman 519.
2. Syarhul Muwatha’, Az-Zarqani.
3. Catatan pinggir Al-Muntaqa,jilid 2,halaman 520.
4. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 221.
5. Al-Jawahir,jilid 30,halaman 150.
6. Az-Zuwaj Al-Muaqqat fil Islam,halaman 137.
7. Al-Mushannaf, Abdurrazzaq,jilid 7,halaman 499.Dan dalam diterangkan bahwa
Ma’bad dilahirkan dari nikah mut’ah.
8. Fathul Bari, jilid 9,halaman 174.
9. Zubair bin Awwam,ia melakukan nikah mut’ah dengan Asma’ puteri Abu Bakar,dan melahirkan anak bernama Abdullah.Silahkan rujuk:
1. Al-Muhadharat,Al-Raghib Al-Isfahani,jilid 2,hal.94.
2. Al-Iqdu Al-Farid,jilid 2,halaman 139.
3. Musnad Abi Dawud Ath-Thayalisi.
4. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 208 dan 209.
5. Murujudz Dzahabi,jilid 3, halaman 81.
6. Az-Zuwaj Al-Muaqqat fil Islam,halaman 101 dan 127.
7. Syarah Najul Balaghah,Ibnu Abil Hadid,jilid 20/130.
10. Khalid bin Muhajir bin Khalid Al-Makhzumi,rujuk:
1. Shahih Muslim, kitab nikah, bab nikah mut’ah ,jilid 4,halaman 133,cet. Al-
Amirah.
2. Sunan Al-Baihaqi,jilid 7,halaman 205.
3. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 221.
4. Al-Mushannaf,jilid 7,halaman 205.
11. Amer bin Huraits, silahkan rujuk:
1. Fathu Bari,jilid 9,halaman 141; jilid 11/76.
2. Kanzul Ummal,jilid 8,halaman 293.
3. Catatan pinggir Al-Muntaqa,jilid 2,halaman 520.
4. Al-Bayan,halaman 314.
5. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 221.
6. Shahih Muslim,kitab nikah,bab nikah mut’ah,jilid 4,halaman 131.
7. Al-Mushanaf,jilid 7,halaman 500.Dan dalam kitap ini tertulis Amer bin
Hausyab,penyimpan dari Aner bin Hiraits.
12. Ubay bin Ka’b,silahakan rujuk:
1. Tafsir Ath-Thabari,jilid 5,halaman 9, tentang bacaan Ubay”Ila ajalin
Musamma”
(dalam ayat mut’ah).
2. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 221.
3. Al-Jawahir,jilid 30,halaman150.
4. Ahkamul Qur’an,,Al-Jshshash, jilid 2, halaman 147.
13. Rabi’ah bin Umayah,silahkam rujuk:
1. Al-Muwaththa’, Al-Maliki,jilid 2,halaman 30.
2. As-Sunan Al-Kubra, Al-Baihaqi,jilid 7,halaman 206.
3. Al-Umm,Asy-Syafi’i,jilid 7,halaman 219.
4. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 221.
5. Musnad Asy-Syafi’i, halaman 132.
6. Al-Mushannaf,jilid 7,halaman 503.
7. Al-Jawahir,jilid 30,halaman 150.
8. Al-Ishaba,jilid 1,halaman 514.
9. Tafsir As-Suyuthi,jilid 2,halaman 141.
10. Ajwiba Masail Musa Jarullah, Syarafuddin Al-Musawi, halaman 116.
14. Sumair,dan bisa jadi Sammarah bin Jundab, silahkan rujuk:
1. Al-Ishabah,Ibnu Hajar, jilid 2,halaman 519.
2. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 221.
15. Said bin Jubair,silahkan rujuk:
1. Al-Muhalla,Ibnu Hazm,jilid 9,halaman 519.
2. Tafsir Ath-Thabari,jilid 5,halaman 9.
3. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 221.
4. Tafsir Ibnu Katsir.
5. Al-Mushannaf,jilid 7,halaman 496.
6. Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Habil Hadid,jilid 12/254.
16. Thawus Al-Yamani, silahkan rujuk:
1.Al-Muhalla, jilid 9,halaman 915.
2. Catatan pinggir Al-Muntaqa,jilid 2,halaman 520.
3. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 222.
4. Al-Mughni,Ibnu Qudamah,jilid 7,halaman 571.
17. ‘Atha’ Abu Muhammad Al-Madani,silahkan rujuk:
1. Al-Mushannaf,jilid 7,halaman 497.
2. Bidayatul Mujtahid,Ibnu Rusyd,jilid 2,halaman 63.
3. Al-Muhalla,jilid 9, halaman 519.
4. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 222.
5. Ad-Durul Mantsur,jilid 2,halaman 140.
6. Mukhtashar Jami’Bayan Al-Ilmi,halaman 196, sebagaimana dikutip di dalam
Ajwibah masail Musa Jarullah,halaman 105. Silahkan rujuk: Dirasat wal
Buhuts fit Tarikh wal Islam jilid 1/14,tetapi Sa’udi membuang riwayat ini
dari kitab Jami’
Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi ketika dicetak pada tahun 1388.H.
18. As-Sudi, Silahkan rujuk:
1. Tafsir As-Sudi.
2. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 222.
3. Tafsir Ibnu Katsir.
19. Mujahid,silahkan rujuk:
1. Tafsir Ath-Thabari,jild 5,halaman 9.
2. Al-Ghadir, jilid 6,halaman 222.
3. Tafsir Ibnu Katsir.
4. Syarah Nahjul Bajaghah, Ibnu Hadid, jilid 12/254.
20. Zufar bin Aus Al-Madani,silahkan rujuk:
1. Bahrur Raiq,Ibnu Najim,jilid 3, halaman 115.
2. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 222.
21. Abdullah bin Abbas,silahkan rujuk:
1. Tafsir Ath-Thabari,jilid 5, halaman 9.
2. Ahkamul Qur’an, Al-Jashshash,jilid 2,halaman 147.
3. Sunan Al-Baihaqi,jilid 7,halaman 205.
4. Al-Kasysyaf, Az-Zamakhsyari,jilid 1,halaman 519.
5. Tafsir Al-Qurthubi,jilid 5,halaman 130 dan 133.
6. Al-Muhalla,Ibnu Hazm,jilid 9,halaman 519.
7. Al-Mughni,Ibnu Qudamah,jilid 9,halaman 571.
8. Fathul Bari,jilid 9,halaman 172, cet. Darul Ma’rifah.
22. Asma’ puteri Abu Bakar,silahkan rujuk:
1. Musnad Ath-Thayalisi, hadis 1637.
2. Al-Muhalla,Ibnu Hazm, jilid 9,halaman 519.
3. Syarah Nahjul Balaghah,Ibnu Abil Hadid,jilid 20/130.

Ibnu Hazm, dalam kitabnya Al-Muhalla 9/519, setelah manetapakan jumlah sahabat yang membolehkan nikah mut’ah, ia berkata: Ini diriwayatkan dari Jabir dan seluruh sahabat sejak masa Rasulullah SAW,Abu Bakar, dan sampai pertengahan masa kekhalifahan Umar. Kemudian ia berkata: Dari tabi’in adalah Thawus, Said bin Jubair dan seluruh fuqaha Mekkah.
Abu Umar, penulis kitab I-Isti’ab berkata, bahwa sahabat – sahabat Ibnu Abbas dari penduduk Mekkah dan Yaman, semuanya memandang nikah mut’ah adlah halal menurut mazhab Ibnu Abbas, sementara semua manusia mengharamkan. Silahkan rujuk:
1. Tafsir Al-Qurthubi,jilid 5,halaman 133.
2. Fathul Bari,jilid 9,halaman 142,cet. Darul Ma’rifah.
3. Catatan pinggir Al-Muntaqa,jilid 2,halaman 520.

Al-Qurthubi dalam tafsirnya 5/132 berkata : penduduk Mekah banyak mempraktekan nikah mut’ah.
Ar-Razi dalam tafsirnya 3/200, tentang ayat mut’ah berkata: mereka berbeda pendapat dalam hal apakah ayat itu dimanskh atau tidak ? Para tokoh Ummat mayoritas mengatakan dimansukh dan sebagian mereka mengatakan tidak dimansukh,hukumnya tetap berlaku sebagaimana adanya.
Ibnu Hiyan dalam tafsirnya,setalah mengutip hadisnya yang membolehkan nikah mut’ah, ia berkata: Atas dasar inilah seluruh ahlul bait dan pengikutnya menghalalkan nikah mut’ah.
Ibnu Juraij Abdul Mulk bin Abdul Aziz Al-Makki, wafat tahun 15 H., ia membolehkan nikah mut’ah. Asy-Syafi’i berkata: Ibnu Juraij memut’ahi 70 wanita.
Adz-Dzahabi mengatakan : Ibnu Juraij memur’ahi 90 wanita. Silahkan rujuk:
1. Tahdzibut Tahdzib,jilid 6,halaman 406.
2. Mizanul I’tidal,jilid 2, halaman 151.

Iman Malik bin Annas adalah salah seorang Fuqaha Ahlus sunnah yang membolehkan nikah mut’ah . Silahkan rujuk kitab – kitab berikut: Al-Mabsuth,As-sarkhasi; Syarah Kanzud Daqaiq; Fatawa Al-Faraghi;Khizatur Riwayat, Al-Ghadi,Al-Kafi fil furu’ Al-Hanafiyah;’Inayah Syarhul Hidayah; Syarah Al-Muwaththa’, Az-Zarqani; Al-Ghadir 6/222-223;dan tafsir Al-Qurthubi, jilid 5, halaman 130.
Dan siapa yang ingin mempelajari lebih mendalam tentang ketidakberdasarkan pendapat yang menasikh dan mengharamkan nikah mut’ah, dan ketidakberdasarkan dua hal ini secara syar’i, silahkan rujuk kepada kitab – kitab:
1. Al-Ghadir,jilid 6, halaman 223-240.
2. Al-Bayan, Al-Khu’i,halaman 315.
3. Muqaddimah Mir’atul’Uqul,jilid 1,halaman 273-325.

Adapun Mazhab Ahlul bait, yang dipimpin oleh Imam Ali (a.s), mereka membolehkan nikah mut’ah. Ini berdasarkan riwayat yang masyhur dan mutawatir dari Imam Ali (a.s) bahwa beliau berkata:
“Seandainya Umar tidak melarang nikah mut’ah,niscaya tidak ada orang berzina kecuali orang yang celaka.” Silahkan rujuk:
1. Tafsir Ath-Thabari, jilid 5,halaman 6, dengan sanad yang shahih.
2. Tafsir Ar-Razi,jilid3,halaman 200.
3. Tafsir Ibnu Hiyan,jilid 3,halaman 218.
4. Ad-Durul Mantsur,jilid 2,halaman 140.
5. Tafsir An-Naisaburi,catatan pinggir tafsir Ar-Razi,jilid 3.
6. Kanzul Ummal,jilid 8,halaman 294.
7. Syarah Nahjul Balaghah,Ibnu Abil Hadid, jilid 12,halaman 253 dan 254.

Adapun hadis – hadis mereka dari jalur mazhab Ahlul Bait, hiasannya bagaikan matahari di siang hari pada musim bunga. Untuk itu silahkan rujuk: Wasailu Asy-Syi’ah, jilid 14,halaman 436 dan selanjutnya.
Kajian tentang nikah mu`ah ada tiga macam: Kajian teologis, kajian fiqhiyah (tentang halal dan haramnya), kajian tafsir dan hadis (apakah surat An-Nisa’: 24 sebagai ayat penetapan syariat nikah mut`ah?).
Pendapat-pendapat tentang nikah mu`ah:
1. Nikah mut`ah tidak pernah disyariatkan di dalam Islam.
2. Nikah mut`ah disyariatkan di dalam Islam kemudian dimansukh
3. Nikah mut`ah disyariatkan di dalam Islam dan tidak pernah dimansukh

Pendapat Pertama: Mut`ah sebagai perbuatan zina dan keji. Berarti Nabi saw pernah membolehkan sahabatnya melakukan perbuatan zina dan keji. Apa alasannya? Dharurat atau rukhshah?
Pendapat kedua: Kapan dimansukh oleh Nabi saw? Ayat apa yang memansukhnya?
Dalam kelompok ini ada beberapa pendapat.
1. Dimansukh oleh Surat Al-Mu’minun: 5-7
2. Dimansukh oleh ayat tentang iddah yaitu Surat Ath-Thalaq: 1
3. Dimansukh oleh ayat tentang waris yaitu Surat An-Nisa’: 12
4. Dimnsukh oleh ayat tentang muhrim (orang-orang yang haram dinikahi) yaitu Surat An-Nisa’: 23
5. Dimansukh oleh ayat tentang batasan jumlah istri yaitu Surat An-Nisa’: 3
6. Dimansukh oleh hadis Nabi saw.

Jawaban:
Terhadap pendapat yang pertama: Tidak sesuai dengan hukum nasikh-mansukh, karena Surat An-Nisa’: 24 (tentang nikah mut`ah) ayat Madaniyah sedangkan Surat Al-Mu’minun: 5-7 ayat Makkiyah. Tidak ayat Makkiyah menasikh ayat Madaniyah.

Terhadap pendapat ke 2, 3, 4, dan ke 5: Hubungan Surat An-Nisa’: 24 dengan ayat-ayat tersebut bukan hubungan Nasikh-Mansukh, tetapi hubungan umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad (mutlak dan terbatas). Memang sebagian ulama Ushul figh mengatakan bahwa jika yang khusus diikuti oleh yang umum dan berlawanan dalam penetapan dan penafian, maka yang umum menasikh yang khusus. Tetapi menggunakan kaidah dalam masalah ini sangat lemah dan tidak sesuai dengan pokoh persoalannya.
Misalnya ayat tentang Iddah sifat umum dan terdapat di dalam Surat Al-Baqarah sebagai awal surat Madaniyah, diturunkan sebelum surat An-Nisa’ yang di dalam terdapat ayat tentang nikah mu`ah. Demikian juga ayat tentang batasan jumlah istri, dan muhrim terdapat di dalam Surat An-Nisa’ sebagai pengantar ayat tentang nikah mut`ah saling berkaitan satu sama lain. Semua ayat itu bersifat umum, dan ayat tentang nikah mut`ah sebagai ayat yang bersifat khusus diakhir dari yang umum. Bagaimana mungkin pengantar menasikh penutup pembicaraan.

Wabil khusus, pendapat yang mengatakan ayat tentang Iddah menasikh ayat nikah mut`ah sama sekali tidak berdasar, karena hukum iddah itu berlaku juga dalam nikah mut’ah selain di dalam nikah permanen.

Demikian juga pendapat yang mengatakan ayat tentang muhrim menasikh ayat nikah mu`ah, semuan perempuan yang haram dinikahi saling berkaitan dan tak terpisahkan dengan segala bentuk pernikahan baik permanen maupun mut`ah. Bagaimana mungkin pengantar pembicaraan menasikh penutupnya. Lagi pula ayat tersebut tidak menunjukkan larangan hanya terhadap nikah permanen.

Pendapat yang keenam: Ayat nikah mut’ah dimasukh oleh hadis Nabi saw. Pendapat ini sama sekali tidak berdalil, karena secara mendasar ia bertentangan dengan riwayat-riwayat mutawatir yang menjelaskan Al-Qur’an, dan riwayat-riwayat yang merujuk kepada Al-Qur`an.

Riwayat-Riwayat Penasikhan (Penghapusan hukum) nikah mut`ah.
Dalam Ad-Durrul Mantsur: Abdurrazzaq, Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari Al-Juhani, ia berkata: “Pada tahun Fathu Mekkah Rasulullah saw mengizinkan kami melakukan nikah mut`ah. Lalu kami bersama seorang laki-laki dari kaumku melakukan bepergian. Aku lebih tampan darinya; masing-masing kami membawa kain berwarna. Kain warna kainku sudah lapuk, warna kain dia masih baru dan bagus. Ketika sampai di Mekkah kami berjumpa dengan seorang perempuan jalanan. Lalu kami berkata kepadanya: Maukah kamu nikah mu`ah dengan salah seorang dari kami? Ia menjawab: Apa yang akan kamu berikan?

Kemudian masing-masing kami menunjukkan kain-warna kami, ia pun melihatnya. Temanku melihat perempuan itu sambil berkata: Kain warna ini sudah lapuk, sedangkan kain-warnaku masih bagus. Perempuan itu berkata: Dengan kain yang ini aku mau. Kemudian aku melangsungkan nikah mu`ah dengannya. Dan kami tetap melakukan nikah ini sehingga Rasulullah saw mengharamkannya.

Dalam kitab yang sama: Malik, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib: “Sesungguhnya Rasulullah saw melarang nikah mut`ah pada hari Khaibar, dan melarang makan daging keledai yang jinak.”

Dalam kitab yang sama: Ibnu Syaibah, Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari Salamah bin Akwa’, ia berkata: “Rasulullah saw memberi rukhshah (kemudahan) kepada kami untuk melakukan nikah mut`ah tiga hari pada tahun terjadinya perang Authas, setelah itu beliau melarangnya.”

Dalam Syarah Shahih At-Tirmizi oleh Ibnul Arabi: dari Ismail, dari ayahnya, dari Az-Zuhri, ia berkata, Saburah meriwayatkan: “Rasulullah saw melarang nikah mut`ah pada haji wada’”. Dalam redaksi yang hampir sama juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, ia berkata: “Rasulullah saw melarang nikah mut`ah pada haji qada’ setelah beliau membolehkannya dalam waktu yang tertentu. Sementara Al-Hasan mengatakan bahwa nikah dilarang pada Umrah qadha’.

Dalam kitab yang sama: Az-Zuhri mengatakan, sesungguhnya Nabi saw melarang nikah mut`ah pada perang Tabuk.

Dalam Ad-Durrul Mantsur: Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Dzar, ia berkata: Rasulullah saw membolehkan para sahabatnya melakukan nikah mut`ah hanya tiga hari, kemudian beliau mengharamkannya.

Dalam Ad-Durrul Mantsur: Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, dan Muslim meriwayatkan dari Saburah, ia berkata: Aku melihat Rasulullah saw berdiri di antara tiang dan pintu sambil berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah menghalalkan nikah mut`ah. Dan ingatlah, sekarang aku melarangnya hingga hari kiamat. Barangsiapa yang mempunyai isteri mut`ah hendaknya dicerai, dan jangan mengambil sedikit pun mahar yang telah diberikan kepada mereka.”

Dalam kitab yang sama: Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Al-Hasan, ia berkata: “Demi Allah, tidak ada nikah mut`ah kecuali hanya tiga hari yang diizinkan oleh Rasulullah saw, kemudian sebelum dan sesudahnya tidak ada nikah mut`ah.”

Riwayat-riwayat yang membolehkan.
Dalam Shahih Bukhari: meriwayatkan dari Abu Jumarah, ia berkata: “Pada suatu ketika Ibnu Abbas ditanyai tentang nikah mut`ah, kemudian ia menjawab, nikah mut`ah itu rukhshah (kemudahan). Lalu budaknya berkata kepadanya, bukankah nikah mut`ah itu hanya sebagai rukhshah dalam keadaan dharurah, dan perempuan itu sendiri jarang sekali yang bersedia melakukannya, kemudian Ibnu Abbas menjawab, memang.
Dalam Tafsir Ath-Thabari: meriwayatkan dari Mujahid tentang firman Allah swt Surat An-Nisa’:24 adalah ayat tentang nikah mut`ah.

Dalam kitab yang sama: meriwayatkan dari As-Sudi tentang ayat ini, ia berkata: “Ayat ini adalah ayat tentang nikah mut`ah. Seorang laki-laki boleh menikahi perempuan dengan syarat waktu yang ditentukan (nikah mut`ah). Jika masanya sudah habis, sang suami tidak mempunyai apapun dari perempuan itu, dan ia suci darinya. Ia harus mensucikan diri dari kasih sayangnya, antara keduanya tidak waris, dan tidak saling mewarisi.

Dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Ad-Durrul Mantsur meriwayatkan dari Abdurrazzaq dan Ibnu Abi Syaibah, dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: “Kami pernah bersama Rasulullah saw dalam suatu peperangan, dan kami tidak membawa isteri-isteri. Kemudian kami bertanya kepada Rasulullah saw, apakah sebaiknya kami berkebiri? Beliau melarang kami melakukan hal itu, dan mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut`ah dengan mahar sehelai baju untuk waktu tertentu. Kemudian beliau membacakan firman Allah swt:

ياايها الذين آمنوا لاتحـرموا طيبات مااحل الله لكم

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu.” (Al-Maidah: 87).

Dalam Ad-Durrul Mantsur: Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Nafi` bahwa Ibnu Umar pernah ditanyai tentang nikah mut`ah, lalu ia menjawab: haram. Kemudian dikatakan kepadanya, Ibnu Abbas membolehkan nikah mut`ah. Ia berkata: Mengapa dia tidak membolehkannya pada zaman pemerintahan Umar bin Khattab.
Dalam kitab yang sama: Ibnu Mundzir, Ath-Thabari dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Said bin Jubair, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, tahukah Anda akibat fatwa Anda tentang pembolehan nikah mut`ah? Fatwa Anda tersebar di seluruh penjuru negeri, dan disebut-sebut oleh para penyair. Apa yang mereka katakan? Tanya Ibnu Abbas. Mereka berkata:
Kukatakan kepada kawanku yang lama berada dalam perantauan
Tidakkah kamu ingin melaksanakan fatwa Ibnu Abbas?
Serumah dengan si cantik, penghibur
Sambil menunggu teman dalam perjalanan.
Mendengar itu Ibnu Abbas terkejut dan berkata: Inna lillâhi wa inna ilayhi raji`ûn. Demi Allah, bukan demikian yang kumaksudkan dalam fatwaku. Aku tidak menghalalkannya kecuali Allah menghalalkan bangkai, darah dan daging bagi orang yang dalam keadaan darurat. Demikian juga nikah mut`ah, seperti memakan bangkai, darah dan daging babi.

Kementar:
Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut nikah mut’ah dilarang oleh Nabi saw pada waktu yang bebeda-beda, dan dimansukh oleh ayat yang berbeda-beda pula. Dalam riwayat-riwayat tersebut nampaknya Nabi saw dengan alasan dharurat atau rukhshah, membolehkannya, kemudian melarangnya lagi, kemudian membolehkan lagi, kemudian melarang hingga hari kiamat.

Ada pendapat yang mengatan: Hadis-hadis Nabi dan pernyataan-pernyataan sahabat yang meriwayatkan nikah mut`ah, semuanya menunjukkan bahwa Nabi saw memberi rukhshan (kemudahan) kepada sahabat-sahabatnya untuk melakukannya dalam sebagian peperangan, kemudian beliau melarang mereka, kemudian memberi rukhshah lagi sekali atau dua kali, kemudian melarang mereka lagi dengan larangan untuk selamanya.

Sesungguhnya rukhshah itu ada karena adanya kesulitan untuk menghindari zina dan jauh dari isteri-isteri mereka. Jadi rukhshah itu bertujuan untuk meringankan dua kondisi yang sangat berbahaya tersebut. Sehingga, jika seorang laki-laki melakukan nikah mut`ah dengan seorang perempuan dan tinggal bersamanya dalam waktu tertentu, hal ini merupakan langkah yang lebih mudah daripada mengekang diri untuk tidak berzina dengan perempuan yang memungkinkan untuk melakukannya.

Sanggahan Penulis: Apa yang dikatakan oleh pendapat tadi bahwa semua riwayat menunjukkan pemberian rukhshah dalam sebagian peperangan, kemudian Nabi saw melarangnya, kemudian beliau memberi rukhshah lagi sekali atau dua kali, kemudian beliau melarang lagi untuk selamanya. Pendapat ini sama sekali tidak sesuai dengan riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan sebelumnya. Hendaknya Anda mengkaji kembali riwayat-riwayat tersebut sehingga Anda tahu bahwa riwayat-riwayat itu mendustakan pendapat ini.
Pendapat tersebut juga mengatakan: Ahlussunnah memandang rukhshah dalam nikah mut`ah satu kali atau dua kali dengan tujuan sebagai tahapan untuk melarang perbuatan zina, seperti tahapan dalam mengharamkan khomer, keduanya adalah perbuatan keji yang tersebar pada zaman jahiliah, hanya saja perbuatan zian hanya tersebar di kalangan budak-budak perempuan bukan di kalangan perempuan-perempuan yang merdeka.

Sanggahan Penulis: Pernyataan bahwa rukhshah dalam nikah mut`ah sebagai tahapan untuk melarang perbuatan zina, mengharuskan pendapat tadi berkesimpulan bahwa nikah mut`ah adalah salah satu bentuk perzinaan, nikah mut`ah sama seperti perzinaan yang tersebar pada zaman jahiliah, kemudian untuk melarang perzinaan tersebut Nabi saw mengambil langkah tahapan yang halus dan lembut dengan membolehkan mut`ah agar para sahabatnya mau menerimanya, kemudian beliau melarang segala bentuk perzinaan kecuali mut`ah. Sehingga saat itu tinggal perzinaan dalam bentuk mut`ah, kemudian Nabi saw memberi rukhshah untuk melakukan zina dalam bentuk mut`ah, kemudian beliau melarangnya, kemudian memberi rukhshah lagi sampai waktu tertentu yang memungkinkan untuk melarangnya secara pasti, lalu beliau melarangnya untuk selamanya.

Demi Allah, sungguh pendapat tersebut telah mempermainkan syariat agama yang suci, yang Allah tidak menghendakinya kecuali untuk mensucikan ummat Rasulullah saw dan melengkapi nikmat atas mereka.
Kajilah dengan teliti pernyataan pendapat tadi:

Pertama: Ia telah menisbatkan kepada Nabi yang suci saw pelarangan nikah mut`ah, kemudian memberi rukhshah, kemudian melarang, kemudian memberi rukhshah lagi. Sementara ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil untuk mengharankan nikah mut`ah adalah ayat-ayat Makkiyah yaitu: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minun: 4-7).

Jadi, pendapat yang bersikeras itu telah menisbatkan kepada Nabi saw menasikh ayat-ayat tersebut. Denagan kata lain, menganggap Nabi saw memberi rukhshah, kemudian menghapus rukhshah tersebut dan menetapkan hukum yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut, kemudian menghapus kembali, kemudian menetapkan kembali. Coba Anda pikirkan, bukankah hal yang demikian itu berarti menisbatkan kepada
Nabi yang suci sikap pelecehan terhadap kitab Allah?

Kedua: Ayat-ayat Al-Qur’an yang melarang perbuatan zina: Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya perbuatan zina adalah perbuatan keji, dan sesuatu yang buruk. (Al-Isra’: 32). Coba Anda bayangkan, adalah bahasa yang lebih jelas dari bahasa ayat ini, sementara ayat ini adalah ayat Makkiyah dan terdapat dalam rentetan ayat-ayat yang melarang perbuatan zina.

Katakan, marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu … dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. (Al-An`am: 151). Kata Fawâhisya bentuk jamak dari Fâhisya dan didahului ole Al, dan terletak dalam kontek kalimat larangan. Ini berarti bahwa larangan itu mencakup seluruh perbuatan yang keji dan segala bentuk perzinaan, sementara ayat ini juga ayat Makkiyah.

Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan-perbuatan yang keji , baik yang tampak maupun yang tersembunyi. (Al-A`raf: 33). Demikian juga ayat telah kami sebutkan yaitu:
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minun: 4-7). Dua surat ini adalah surat Makkiyah, juga ayat-ayat (yang oleh pendapat tadi) dijadikan dasar untuk mengharamkan nikah mut`ah, dan juga ayat-ayat yang mengharamkan segala bentuk perzinaan adalah ayat Makkiyah.

Inilah ayat-ayat yang terpokoh yang melarang perbuatan zina dan segala bentuk perbuatan keji, yang semuanya adalah ayat Makkiyah. Maka ayat yang mana lagi yang akan dijadikan dasar oleh pendapat tersebut untuk mengharamkan nikah mut`ah. Atau sebagaimana yang nampak dalam pendapatnya ia akan menggunakan Surat Al-Mu’minun: 5-7 untuk mengharamkan nikah mu`ah? Dengan asumsi Allah swt secara tegas mengharamkan nikah mu`ah, kemudian Nabi saw mengharamkannya secara bertahap dari rukhshah ke rukhshah dengan tujuan merayu manusia agar mau menerimanya. Sementara Allah swt menegaskan kecintaan-Nya kepada Nabi saw dengan cinta yang sebenarnya di dalam firman-Nya:
Sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka menjadikan kamu sebagai sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir sedikit cenderung kepada mereka. Kalau terjadi demikian, benar-benarlah kami Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati … (Al-Isra’: 73-75).

Ketiga: Pemberian rukhshah yang dinisbatkan kepada Nabi saw. Dari rukhshah ke rukhshah yang lain. Jika pemberian rukhshah itu bukan ketentuan syariat yang membolehkan, dan yang semestinya nikah mut`ah termasuk perbuatan zina dan perbuatan keji, maka jelas pemberian rukhshah itu adalah sikap penentangan Nabi saw terhadap Tuhannya, padahal beliau ma`shum dengan pemeliharaan Allah swt. Dan jika rukhshah itu datang dari Tuhannya, berarti Allah telah memerintahkan untuk melakukan perbuatan keji. Sementara Allah swt dengan tegas menolak perbuatan keji:
Katakanlah, sesungguhnya Allah tidak menyuruh melakukan perbuatan keji. (Al-A`raf: 28).

Jika pemberian rukhshah itu dengan ketentuan syariat yang menghalalkan, berarti mut`ah itu bukan perbuatan zina dan keji, dan merupakan ketentuan syariat yang dibatasi dengan batasan-batasan tertentu, tidak tergolong pada peringkat-peringkat yang diharamkan.
Siapa sebenarnya yang melarang nikah mut’ah?

Dalam Ad-Durrul Mantsur, Abdurrazzaq dan Ibnu Mundzir meriwayatkan dari `Atha`, dari Ibnu Abbas, ia berkata: Semoga Allah merahmati Umar bin Khattab, tidak ada mut`ah kecuali rahmat dari Allah untuk ummat Muhammad. Sekiranya Umar tidak melarangnya, niscaya ummat tidak melakukan perzinaan kecuali orang yang celaka. Selanjutnya Ibnu Abbas berkata: Mut`ah itu adalah suatu pernikahan yang ditetapkan di dalam firman Allah Surat An-Nisa’:24 sehingga demikian dan demikian, dari waktu demikian dan demikian.

Kemudian Ia berkata: Dalam nikah mut`ah antara suami-isteri tidak ada waris, jika kedua saling merelakan setelah waktunya berakhir, itu suatu kenikmatan; jika keduanya berpisah, maka itu pun suatu kenikmatan dan antara keduanya tidak ada ikatan pernikahan. Ada juga riwayat yang bersumber dari `Atha` bahwa ia mendengar Ibnu Abbas berkata: Nikah mut`ah itu halal hingga sekarang.

Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Ad-Durrul Mantsur menyebutkan riwayat dari Abdurrazzaq dan Abu Dawud tentang ayat yang menasikh(menghapus) hukum nikah mut`ah. Ia ditanyai tentang ayat ini: Benarkah ayat ini dimansukh? Ia menjawab: Tidak. Ali bin Abi Thalib berkata: Kalau sekiranya Umar tidak melarang nikah mut`ah, niscaya tidak ada yang berzina kecuali orang yang celaka.

Dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Kami melakukan nikah mut`ah dengan mahar segenggam kurma dan gandum, beberapa hari pada zaman Rasulullah saw dan khalifah Abu Bakar, sehingga Umar melarangnya karena kasus Amer bin Huraits.

Dalam Ad-Durrul Mantsur, Malik dan Abdurrahman meriwayatkan dari Urwah bin Zubair bahwa pada suatu hari Khawlah binti Hakim datang dan melapor kepada Umar bin Khattab: Sesungguhnya Rabi`ah bin Umayyah melakukan mut`ah dengan seorang perempuan hingga ia hamil. Kemudian Umar keluar dari rumahnya sambil menarik-narik bajunya dan berkata: Inilah akibat mut`ah, kalau sekiranya aku sudah membuat keputusan tentangnya sebelumnya, niscaya aku rajam ia.

Dalam Kanzul Ummal, dari Sulaiman bin Yasar, dari Ummu Abdillah binti Abi Khaitsamah, ia berkata: Pada suatu ketika ada seorang laki-laki datang ke negeri Syam, dan ia tinggal di rumahku. Ia berkata, aku tidak tahan hidup sendirian, carikan aku perempuan untuk mut`ahi. Ummu Abdillah berkata: Aku tunjukkan padanya seorang perempuan, dan ia memenuhi persyaratannya dan berjanji untuk berlaku adil; kemudian ia tinggal bersama perempuan itu dan melakukan apa yang ia inginkan. Setelah ia pergi aku memberitakan kejadian itu kepada Umar bin Khattab, lalu ia mengirim utusan kepadaku dan bertanya: Benarkah kejadian itu? Ya, jawabku. Utusan itu berkata: Jika laki-laki itu benar-benar melakukannya, bawalah perempuan itu ke sini; jika laki-laki benar melakukannya, aku akan menceriterakan hal itu kepada Umar bin Khattab.

Selajutnya Umar bin Khattab memanggilnya dan bertanya: Mengapa kamu melakukan hal itu? Laki-laki itu menjawab: Aku melakukan hal ini pada zaman Nabi saw dan beliau tidak melarangnya hingga beliau wafat. Dan hal yang sama juga aku lakukan pada zaman Abu Bakar dan ia tidak melarangnya sampai ia meninggal; kemudian aku lakukan pada zaman Anda, dan Anda pun belum pernah menceriterakan kepada kami dasar pelarangan melakukan hal ini. Kemudian Umar berkata: Demi Zat yang menguasai diriku, sekiranya kamu melakukan hal ini, niscaya aku rajam kamu. Kemudian laki-laki itu berkata: Jelaskan kepadaku sehingga jelas bagiku perbedaan antara nikah dan zina.

Dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad meriwayatkan dari `Atha`, ia berkata: Setelah Jabir bin Abdullah selesai melakukan umrah, kami berkunjung ke rumahnya, ketika itu ada sekelompok orang bertanya kepadanya tentang sesuatu, kemudian mereka menyebutkan mut`ah. Jabir berkata: Kami melakukan mut`ah pada masa Rasulullah saw, masa Abu Bakar, dan Umar bin Khattab. Menurut riwayat dari Ahmad, sehingga akhir masa kekhalifahan Umar bin Khattab.

Dalam Sunan Al-Baihaqi, dari Nafi`, dari Abdullah bin Umar, ketika ia ditanya tentang nikah mut`ah, ia berkata: Nikah mut`ah itu haram menurut Umar, dan sekiranya ada orang yang melakukannya, ia pasti merajamnya dengan batu.

Dalam Sunan Al-Baihaqi: Jabir berkata, Umar berdiri kemudian berkata: sesungguhnya Allah menghalalkan kepada Rasul-Nya apa yang diinginkan dengan apa yang diinginkan, maka hendaknya kamu menyempurnakan haji dan umrah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, dan hentikan melakukan nikah ini, tidak ada seorang pun laki-laki yang menikahi perempuan dengan waktu yang ditentukan kecuali aku rajam dia.

Dalam Tafsir Al-Qurthubi, dari Umar bin Khattab, dalam khutbahnya ia berkata: Dua mut`ah ada pada zaman Rasulullah saw, akulah yang melarang keduanya dan memberikan sangsi atas keduanya: mut`ah haji dan nikah mut`ah.

Hmm.. mari saya terangkan silsilah Imam kami.
Imam Muhammad al Mahdi bin Hassan al Askarri bin Ali al Hadi bin Muhammad al Jawad bin Ali al Ridha bin Musa al Kazhim bin Ja’far al Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin al Sajjad bin Hussain Sayyid al Syuhada wa Hassan al Mujtaba bin Ali bin Abi Thalib wa Fathimah az Zahra binti Rasulullah Muhammad Saww..

Kami mendapat dan mengamalkan ajaran Islam kami dari Rasulullah dan Ahlul baitnya Sebagai Berikut:
1. Imam Ali bin Abi Thalib as.
Nama : Ali bin Abi Thalib as
Gelar : Amirul Mukminin
Julukan : Abu AL-Hasan, Abu Turab
Ayah : Abu Thalib (Paman Rasululullah saww)
Ibu : Fatirnah binti Asad
Tempat/Tgl Lahir : Mekkah, Jum’at 13 Rajab
Hari/Tgl Syahadah : Malam Jum’ at, 21 Ramadhan 40 H.
Umur : 63 Tahun
Sebab Syahadah : Ditikam oleh Abdurrahman ibnu Muljam.
Makam : Najaf Al-Syarif
Jumlah Anak : 36 Orang, 18 laki-laki dan 18 perempuan

Anak laki-laki :
1. Hasan Mujtaba, 2. Husein, 3. Muhammad Hanafiah, 4. Abbas al-Akbar, yang dijuluki Abu Fadl, 5. Abdullah al-Akbar, 6. Ja?far al-Akbar, 7. Utsman al- Akbar, 8. Muhammad al-Ashghar, 9. Abdullah al-Ashghar, 10. Abdullah, yang dijuluki Abu Ali, 11. ?Aun, 12. Yahya, 13. Muhammad al Ausath, 14. Utsman al Ashghar 15.Abbas al-Ashghar, 16. Ja?far al-Ashghar, 17. Umar al-Ashghar, 18. Umar al-Akbar

Anak Perempuan :
1. Zainab al-Kubra, 2. Zainab al-Sughra, 3.Ummu al-Hasan, 4. Ramlah al-Kubra, 4. Ramlah al-Sughra, 5. Ummu al-Hasan, 6. Nafisah, 7. Ruqoiyah al-Sughra, 8. Ruqoiyah al-Kubra, 9. Maimunah, 10. Zainab al-Sughra, 11. Ummu Hani, 12. Fathimah al-Sughra, 13.Umamah, 14.Khodijah al-Sughra, 15 Ummu Kaltsum, 16. Ummu Salamah, 17. Hamamah, 18. Ummu Kiram

2. Imam Hasan Al-Mujtaba as.
Nama : Hasan
Gelar : al-Mujtaba
Julukan : Abu Muhammad
Ayah : Ali bin Abi Thalib
Ibu : Fathimah az-Zahra
Tempat/Tgl Lahir : Madinah, Selasa 15 Ramadhan 2 H.
Hari/Tgl Syahadah : Kamis, 7 Shafar Tahun 49 H.
Umur : 47 Tahun
Sebab Syahadah : Diracun Istrinya, Ja’dah binti As-Ath.
Makam : Baqi’ Madinah

Jumlah Anak : 15 orang; 8 laki-laki dan 7 perempuan
Anak Laki-laki : Zaid, Hasan, Umar, Qosim, Abdullah, Abdurrahman, Husein, Thalhah
Anak Perempuan : Ummu al-Hasan, Ummu al-Husein, Fathimah, Ummu Abdullah, Fathimah, Ummu Salamah, Ruqoiyah

3. Imam Husain bin Ali as.
Nama : Husain
Gelar : Sayyidu Syuhada’, As-Syahid bi Karbala
Julukan : Aba Abdillah
Ayah : Ali bin Abi Thalib.
lbu : Fatimah Az-Zahra
Tempat/Tgl Lahir : Madinah, Kamis 3 Sya’ban 3 H.
Hari/Tgl Syahadah : Jum ‘at 10 Muharram 61 H.
Umur : 58 Tahun
Sebab Syahadah : Dibantai di Padang Karbala
Makam : Padang Karbala

Jumlah anak : 6 orang; 4 laki-laki dan 2 perempuan
Anak laki-laki : Ali Akbar, Ali al-Autsat, Ali al-Asghar, dan Ja?far
Anak Perempuan ; Sakinah dan Fathimah

4. Imam Ali Zainal Abidin as.
Nama : Ali
Gelar : Zainal Abidin, As-Sajjad
Julukan : Abu Muhammad
Ayah : Husein bin Ali bin Abi Thalib
Ibu : Syahar Banu
Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 15 Jumadil Ula 36 H.
Hari/Tgl Syahadah : 25 Muharram 95 H.
Umur : 57 Tahun
Sebab Syahadah : Diracun Hisyam bin Abdul Malik, di Zaman al-Walid.
Makam : Baqi’ Madinah

Jumlah Anak : 15 orang; 11 Laki-Laki dan 4 Perempuan
Anak Laki-laki : Muhammad Al-Baqir, Abdullah, Hasan, Husein, Zaid, ‘Amr Husein Al-Asghor,
Abdurrahman, Sulaiman, Ali, Muhammad al-Asghor
Anak perempuan : Hadijah, Fatimah, Aliyah, Ummu Kaltsum

5. Imam Muhammad Al-Baqir as.
Nama : Muhammad
Gelar : Al-Baqir
Julukan : Abu Ja’far
Ayah : Ali Zainal Abidin
lbu : Fatimah binti Hasan
Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 1 Rajab 57 H.
Hari/Tgl Syahadah : Senin, 7 Dzulhijjah 114 H.
Umur : 57 Tahun
Sebab Syahadah : Diracun Hisyam bin Abdul Malik.
Makam : Baqi?, Madinah

Jumlah Anak : 8 orang; 6 laki-laki dan 2 perempuan
Anak Laki-laki : Ja?far Shodiq, Abdullah, Ibrahi, Ubaidillah, Reza, Ali
Anak Perempuan : Zainab, Ummu Salamah

6. Imam Ja?far Ash-Shadiq as.
Nama : Ja’far
Gelar : Ash-Shadiq
Jlillikan : Abu Abdillah
Ayah : Muhammad al-Baqir
lbu : Fatimah
Tcmpat/Tgl Lahir : Madinah, Senin 17 Rabiul Awal 83 H.
Hari/Tgl Syahadah : 25 Syawal 148 H.
Umur : 65 Tahun
Sebab Syahadah : Diracun Manshur al-Dawaliki
Makam : Baqi’, Madinah

Jumlah Anak : 10 orang; 7 laki-laki, 3 perempuan
Anak Laki-laki : Ismail, Abdullah, al-Afthah, Musa al-Kadzim, Ishaq, Muhammad al-Dhibbaja, Abbas, Ali
Anak Perempuan : Fatimah, Asma, Ummu Farwah

7. Imam Musa Al-Kadzim as.
Nama : Musa
Gelar : Al-Kadzim
Julukan : Abu Hasan Al-Tsani
Ayah : Ja’far Shodiq
Ibu : Hamidah AL-Andalusia
Tempat/Tgl Lahir : Abwa’ Malam Ahad 7 Shofar 128 H.
Hari/Tgl Syahadah : Jum’at 25 Rajab 183 H.
Umur : 55 Tahun
Sebab Syahadah : Diracun Harun Ar-Rasyid.
Makam : Al-Kadzimiah

8. Imam Ali Ar-Ridha as.
Nama : Ali
Gelar : Ar-Ridha
Julukan : Abu al-Hasan
Ayah : Musa al-Kadzim
Ibu : Taktam yang dijuluki Ummu al-Banin
Tempat/Tgl Lahir : Madinah, Kamis, 11 Dzulqo’dah 148 H
Hari/Tgl Syahadah : Selasa, 17 Shafar 203 H.
Umur : 55 Tahun
Sebab Syahadah : Diracun Makinun al-Abbasi.
Makam : Masyhad, Iran

Jumlah Anak : 6 orang; 5 Laki-laki dan 1 Perempuan
Anak laki-laki : Muhmmad Al-Qani’, Hasan, Ja’far, Ibrahim, Husein
Anak perempuan : Aisyah

9. Imam Muhammad Al-Jawad as.
Nama : Muhammad
Gelar : Al-Jawad, Al-Taqi
Julukan : Abu Ja’far
Ayah : Ali Ar-Ridha
Ibu : Sabikah yang dijuluki Raibanah
Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 10 Rajab 195 H.
Hari/Tgl Syahadah : Selasa, Akhir Dzul-Hijjah 220 H.
Umur : 25 Tahun
Sebab Syahadah : Diracun istrinya.
Makam : Al-Kadzimiah

Jumlah Anak : 4 Orang; 2 laki-laki dan 2 perempuan
Anak Laki-laki : Ali, Musa
Anak Perempuan : Fatimah, Umamah

10. Imam Ali Al-Hadi An-Naqi as.
Nama : Ali
Gelar : al-Hadi, al-Naqi
Julukan : Abu al-Hasan al-Tsaalits
Ayah : Muhammad Al-Jawad
lbu : al-Maghrabiah
Tempat/Tgl : Madinah, 15 Dzul-Hijjah/ 5 Rajab 212 H.
Hari/Tgl Syahadah : Senin, 3 Rajab 254 H
Umur : 41Tahun
Sebab Syahadah : Diracun Al-Mu’tamad al-Abbasi.
Makam : Samara

Jumlah Anak : 5 orang; 4 Laki-Laki dan Perempuan
Anak Laki-laki : Abu Muhammad al-Hasan, al Husein, Muhammad, Ja?far
Anak Perempuan : Aisyah

11. Imam Hasan Al-Askari as.
Nama : Hasan
Gelar : Al-Askari
Julukan : Abu Muhammad
Ayah : Ali Al-Hadi
Ibu : Haditsah
Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 10 Rabiul Tsani 232 H.
Hari/Tgl Syahadah : Jum’at, 8 Rabiul Awal 260 H
Umur : 28 Tahun
Sebab Syahadah : Diracun Khalifah Abbasiah.
Makanan : Samara’
Jumlah Anak : 1 orang ; Muhammad Al-Mahdi

12. Imam Muhammad Al-Mahdi as.
Narna : Muhammad
Gelar : Al-Mahdi, Al-Qoim, Al-Hujjah, AL-Muntadzar,
Shohib Al-Zaman, Hujjatullah
Julukan : Abul Qosim
Ayah : Hasan AL-Askari
Ibu : Narjis Khotun
Tempal/Tgl Lahir : Samara’, Malam Jum’at 15 Sya’ban 255 H.
Ghaib Sughra : Selama 74 Tahun, di mulai sejak kelahirannya hingga tahun 329
Ghaib Kubra : Sejak Tahun 329 hingga saat ini.

Sekarang coba tolong jelaskan dari mana ibu khofifah mendapatkan sumber ajaran Islam yang ibu yakini ?
Kami juga menghormati Para sahabat Pak.. contohnya : Salman al Farisi, Abu Dzar al Ghifari, Miqdad al Kindi, Ammar ibn Yasir dan lainnya yang Shaleh dan tetap setia pada amanat Rasulullah Saww.

Salman al-Farisi r.a. berkata:”Aku menemui Rasulullah saww, dan kulihat al-Husein sedang berada di pangkuan beliau. Nabi mencium pipinya dan mengecupi mulutnya, lalu bersabda: “Engkau seorang junjungan, putra seorang junjungan dan saudara seorang junjungan; engkau seorang Imam putra seorang Imam, dan saudara seorang Imam; engkau seorang hujjah, putra seorang hujah, dan ayah dari sembilan hujjah. Hujjah yang ke sembilan Qoim mereka yakni Al-Mahdi.” (al-Ganduzi, Yanabi? al Mawaddah)

Berkata Jabir bin Samurrah : “Saya ikut bersama ayah menemui Nabi saww, lalu saya mendengar beliau hersabda: “Persoalan lima ini belum akan tuntas sebelum berjalan pemerintahan 12 (dua belas) khalifah di tengah-tengah mereka”. Kemudian beliau mengatakan sesuatu yang tidak bisa saya dengar. Karena itu, beberapa waktu kemudian saya bertanya kepada ayah: “Apa yang beliau katakan?”. Nabi mengatakan: “Semua khalifah itu berasal dan kalangan Quraisy”. Jawab ayahku. (Shahih Muslim Jilid 3, Bukhari, Al-Tirmizi dan Abu Daud)

Bukankah Rasulullah saww tidak meminta upah apapun kecuali agar umatnya mencintai keluarganya. Sebagaimana firman Allah (as-Syura 23). “Dan bukti kecintaan kita kepada keluarganya adalah dengan mengikuti mereka.”.

Sekarang anda lebih mencintai mana? dari saya mendengar anda lebih gesit membela Umar dari pada Ahlul bait Nabi?

ibu khofifah berada dalam posisi mana? Membela Ahlul Bait Atau Bani Umayyah dan para Sufyani ?
dan kembali ke Nikah Mut’ah lalu mengapa ayat – ayat al Quran tentang halalnya nikah mut’ah masih ada sedangkan nikah mut’ah nya dilarang oleh Umar? Kalau ibu yang terhormat masih saja beranggapan Rasulullah Saww mengharamkan/melarang nikah mut’ah berarti ibu  tidak menyimak semua penjelasan saya tadi.

APA YANG DIKATAKAN RASUL SAW HARAM, YA HARAM SAMPAI AKHIR JAMAN
DAN YANG DIKATAKAN HALAL…..YA.HALAL SAMPAI AKHIR JAMAN…..
MUT’AH YA HALLLALLLL……..

Katanya Nikah Ternyata Zina.




BUKU ISLAM ” Katanya Nikah Ternyata Zina “




Jawaban  Pihak  Syi’ah ::
Membaca paragraf pertama saja saya sudah tersenyum bahkan sampai-sampai ingin tertawa. Betapa tidak, pada paragraf pertama tersebut dikatakan bahwa nikah mut’ah itu disejajarkan dengan perzinahan atau dalam artian lain bahwa nikah mut’ah sama dengan perzinahan, tidak ada beda di antara keduanya.

Sayyed Husain Khomeini cucu Imam Imam Khomeini) menyampaikan kepada Al-Arabiyya.net bahwa Ketika ditanya tentang pendapat pribadinya tentang kawin mut`ah, putra Mustafa Khomeini ini menjawab, “Sebagai keyakinan keagamaan, saya menganggapnya memang ada dalam Islam dan Al-Qur’an, meskipun ditolak oleh kalangan Ahlus-Sunnah. Akan tetapi, kawin mut`ah telah disalahgunakan. Sebetulnya ia dibolehkan demi menghalangi manusia daripada prostitusi dan perbuatan zina, namun adakalanya ia sama saja seperti zina, bahkan lebih jahat daripada zina. Walaupun demikian, memang dalam buku2 fiqih yang ditulis oleh para fuqaha Syi`ah, terdapat dua jenis perkawinan, satu yang disebut perkawinan permanen dan yang lainnya disebut perkawinan sementara. Begitulah yang disepakati oleh semua ahli fiqih Syi`ah.

Saya yakin orang yang berpikir jernih dan tidak mendahulukan hawa nafsunya akan menganggap bahwa pernyataan seperti itu adalah keliru. Nikah mut’ah adalah ikatan tali pernikahan antara seorang laki-laki dan wanita dengan mahar yang telah disepakati dalam akad, sampai pada batas waktu tertentu. Sedangkan perzinahan adalah hubungan antara laki-laki dan wanita yang bukan muhrim dan merupakan perbuatan dosa besar. Pernah ada teman saya yang bertanya apakah nikah mut’ah itu bisa tanpa wali, saksi, dan pemberian nafkah? Mendengar pertanyaan seperti itu, saya teringat dengan perkataan seorang ustadz yang mengatakan bahwa tidak wajib adanya wali dan saksi, tetapi alangkah baiknya jika ada wali dan saksi. Mengenai pemberian nafkah – masih menurut ustadz itu – tergantung perjanjian ketika akad.

Hukum Nikah Mut’ah dalam Al-Qur’an
Allah berfirman, “…Maka istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka mahar (mas kawin) dengan sempurna…” (Q.S. An-Nisa: 24).

Al-Qurthubi, Al-Syaukani dan orang-orang yang sependapat dengan mereka mengatakan bahwa hampir semua ulama menafsirkan ayat tersebut dengan nikah mut’ah yang sudah ditetapkan sejak permulaan Islam. (Tafsir Qurthubi, juz 5, hlm. 130; Ma’a Al-Qur’an karangan Baquri, hlm. 167; Al-Ghadir, juz 6, saduran dari tafsir Syaukani, juz 1, hlm. 144).

Dalam Mustadrak Al-Hakim dan kitab-kitab yang lain disebutkan bahwa Ibnu Abbas bersumpah bahwa Allah menurunkan ayat tersebut untuk pembatasan waktu dalam mut’ah. (Mustadrak Al-Hakim, juz 2, hlm. 305 berikut keterangan Al-Dzahabi yang terdapat di tepi kitab tersebut pada hlm. Yang sama).
Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Said bin Zubair, dan Ibnu Mas’ud membaca ayat tersebut dengan menyisipkan tafsirnya dengan bacaan sebagai berikut: “Barangsiapa di antara kalian melakukan perkawinan dengan menggunakan batas waktu maka bayarlah maharnya.”.

Al-Razi dan Al-Naisaburi setelah meriwayatkan bacaan tesrebut dari Ibnu Abbas dan Ubai bin Ka’ab berkata, bahwa seluruh sahabat tidak ada yang menyalahkan bacaan kedua sahabat itu sehingga dapat dikatakan bahwa bacaan tersebut telah disepakati kebenarannya oleh seluruh umat. (Tafsir Al-Naisaburi yang terdapat di tepi kitab Tafsir Al-Thabari juz 5, hlm. 18 dan dalam Kitab Tafsir Al-Razi, juz 10, hlm. 51, cet. Th. 1357 H).

Berdasarkan ayat al-Qur’an di atas dan beberapa tafsirnya diketahui bahwa Islam telah mensyariatkan nikah mut’ah. Namun, ada sebagian orang yang menganggap bahwa nikah mut’ah telah dinasakh oleh ayat al-Qur’an yang lain.

Untuk menjawab pernyataan seperti itu, cukuplah saya mengutip perkataan Al-Zamakhsyari dalam buku tafsirnya A-Kasysyaf “Kalau kalian bertanya kepadaku apakah ayat mut’ah sudah dihapus, maka akan kujawab ‘tidak’, karena seorang wanita yang dinikahi secara mut’ah dapat disebut sebagai istrinya.” (Al-Kasysyaf juz 3, hlm. 177, cet. Beirut).Anehnya lagi, ada beberapa kalangan yang menganggap bahwa nikah mut’ah telah dinasakh (dihapus) oleh hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Aalihi wassalam. Tetapi pendapat kebanyakan sahabat dan pengikut Al-Zhahiri, Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayatnya mengatakan bahwa hadits tidak dapat menasakh Al-Qur’an. (Al-Mustashfa juz 1, hlm. 124).

Hadits-hadits yang mengatakan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan – menurut saya – tidak dapat kita ikuti, karena terjadi kontradiksi antara hadits yang satu dengan yang lain mengenai waktu pengharamannya, diantaranya sebagai berikut:
1. Nikah mut’ah halal pada permulaan Islam, diharamkan pada saat perang Khaibar. (Zad Al-Ma’ad, hlm. 183)
2. Dihalalkan pada permulaan Islam, diharamkan pada Fath Mekkah.Diharamkan pada hari Haji Wada’ (Al-Sirah Al-Halabiyah, juz 3, hlm. 104)
3. Diharamkan pada saat perang Tabuk, dll.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa nikah mut’ah dibolehkan sebanyak 7 kali dan dilarang 7 kali, yakni pada saat perang Khaibar, Perang Hunain, saat Rasulullah melakukan Umrah Qadha’, Fath Mekkah, Perang Authas, Perang Tabuk, dan Haji Wada’.

Untuk anggapan yang seperti ini cukuplah kita kutip perkataan Ibnu Qoyyim, “Tidak pernah terjadi dalam syariat penghapusan dua kali dalam satu masalah, dan tidak pernah terjadi penghapusan tentang mut’ah.” (Zad Al-Ma’ad, juz 2, hlm. 183).

Siapa yang Mengharamkan Nikah Mutah?
“Kita, para sahabat di zaman Nabi Sawaw dan di zaman Abu Bakar melakukan mut’ah dengan segenggam kurma dan tepung sebagai mas kawinnya, kemudian Umar mengharamkannya karena ulah Amr bin Khuraits.” (Shahih Muslim, juz 4, hlm. 131, cet. Masykul Th. 1334 H).

Al-Hakam, Ibnu Juraij dan sesamanya meriwayatkan bahwa Imam Ali kw berkata, “kalau bukan karena Umar melarang nikah mut’ah maka tidak akan ada orang berzina kecuali orang-orang yang benar-benar celaka.”

Dalam riwayat lain Imam Ali berkata, “Kalau pendapatku tentang nikah mut’ah tidak kedahuluan Umar, aku akan perintahkan nikah mut’ah. Setelah itu, jika masih ada orang yang berzina dia memang benar-benar celaka.” (Tafsir Thabari, juz 5, hlm. 9) SANADNYA SHAHIH.
Umar adalah yang pertama kali melarang nikah mut’ah. (Tarikh Khulafa’, Imam as-Suyuthi, Bab II, hlm. 158).

Dari riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa nikah mut’ah halal di zaman Nabi Sawaw dan zaman Abu Bakar, tetapi ketika Umar menjadi khalifah, ia mengharamkan nikah mut’ah hanya karena ulah seseorang. Tentunya pendapat Umar ini tidak pantas kita ikuti, apalagi pengharaman atas nikah mut’ah hanya karena adanya penyelewengan yang dilakukan perorangan. Apakah jika ada orang yang menyalahgunakan nikah da’im kita akan mengharamkan nikah da’im (nikah permanen)?

Ada beberapa kawan kita yang ”shaleh” sering kali mengatakan bahwa bukan Umar yang mengharamkan nikah mut’ah. Umar hanya mempertegas apa yang telah diharamkan oleh Rasulullah.
Marilah kita menyimak secara seksama apa yang diucapkan oleh Umar, ”Dua mut’ah yang dilakukan pada masa Rasulullah (Saw.) tetapi aku melarang kedua-duanya dan aku akan mengenakan hukuman ke atasnya, iaitu mut’ah perempuan dan mut’ah haji.””.

Silakan Anda cermati, disitu Umar dalam mengharamkan nikah mut’ah tidak mengatasnamakan Rasulullah, tetapi mengatasnamakan dirinya sendiri (ra’yu), terlihat dalam kalimat, “Dua mut’ah yang dilakukan pada masa Rasulullah (Saw.) tetapi aku melarang kedua-duanya.”.

Umar sendiri dalam suatu riwayat mengakui bahwa ia yakin betul Allah telah mensyariatkan nikah mut’ah di dalam Al-Qur’an.
“Saya melarang nikah mut’ah walaupun nikah itu disebut dalam al-Qur’an dan juga haji tamattu’ walaupun haji itu dikerjakan oleh Nabi Sawaw.” (Sunan An-Nasai juz 5, hlm. 153; Al-Ghadir, juz 6, hlm. 205, di situ disebutkan bahwa keseluruhannya hasil ijtihad Umar).
Bahkan, Ibnu Umar ketika di tanya, “Bukankah ayahandamu mengharamkannya (nikah mut’ah)? Ia menjawab, “Benar! Tetapi itu pendapatnya sendiri. (Dalail Al-Shidq, juz 3, hlm. 97).

Hadits-hadits Ahlulbayt Tentang Nikah Mut’ah.
Imam Ja’far Shadiq meriwayatkan dari ayah-ayahnya bahwa Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Farji-farji wanita bisa menjadi halal dengan tiga cara, yaitu nikah da’im, nikah mut’ah, dan dengan memilikinya sebagai budak.”Diriwayatkan bahwa Imam Ali pernah melakukan mut’ah dengan seorang wanita dari Bani Nasyhal di kota Kufah. (Al-Wasa’il bab Nikah Mut’ah)

Abi Bashir berkata dalam shahihnya: Aku bertanya kepada Imam Baqir tentang halalnya nikah mut’ah. Beliau menjawab: Halalnya nikah mut’ah tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 24. (Al-Wasa’il bab Nikah Mut’ah).
 
Dan masih banyak lagi hadits dari keluarga Rasulullah yang suci mengenai halalnya nikah mut’ah. Untuk mengakhiri tulisan saya kali ini, saya akan mengutip tulisan Prof. Sachiko Murata, “Nikah mut’ah adalah cara yang paling tepat dalam menyelesaikan krisis seksual generasi muda Amerika, saya cukup heran dengan bangsa muslim yang menolak cara paling sehat, aman, dan melindungi hak perempuan. Jika bangsa Islam menolak maka saya menyerukan kepada bangsa eropa dan amerika mengadopsi mut’ah sebagai alternatif paling solusif dan sehat.

Nikah Mut’ah adalah HALAL berdasarkan Firman Allah SWT :“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu ni`mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. An Nisa [4] : 24}Tetapi kedua golongan 
Islam (Suni dan Shiah) tetap berbeda pendapat tentang PENGHARAMAN Nikah Mut’ah.
Golongan Suni mempunyai tiga pendapat sehubungan dengan pengharaman Nikah Mut’ah, yaitu :
1. Pendapat yang mengatakan bahwa Nikah Mut’ah telah diharamkan, kemudian dihalalkan, kemudian diharamkan, kemudian dihalalkan dan akhirnya di haramkan, berdasarkan Hadist Nabi SAW.
Bantahan Shiah : 
a. Hadist Nabi SAW tidak biasa membatalkan (memanzukhkan) firman Allah SWT pada Al Qur’an. Karena hanya Allah SWT yang berhak memanzukhkan ayat Al Qur’an.
b. Hadist2 telah pengharaman yang berulang-ulang itu semuanya merupakan Hadist Ahad yang tidak berkuataan sahih.
c. Tidak mungkin Rasulullah SAW mengharamkan nikah mut’ah karena alasan perzinahan, kemudian menghalalkan lagi, kemudian pengharamkan lagi, kemudian menghalalkan lagi dan akhirnya mengharamkan. Bukankah selama penghalalan kembali itu berarti juga Rasulullah SAW menghalalkan perzinaan?
2. Pendapat yang mengatakan bahwa Nikah Mut’ah dihalalkan pada masa Nabi SAW, masa Abu Bakar dan dua tahun pertama masa Umar bin Khattab, kemudian diharamkan oleh Khalifah Umar Bin Khattab bersamaan dengan pengharaman Mut’ah 
Haji (Haji Tamattu).Bantahan Shiah : a. Kalau Nabi SAW saja tidak bisa membatalkan (memanzukhkan) firman Allah SWT pada Al Qur’an, maka apalagi Umar bin Khattab.
b. Kalau Nabi SAW saja tidak bisa mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah (Nikah Mut’ah – QS. An Nisa [4]: 24) , maka apalagi Umar Bin Khattab.
3. Pendapat yang mengatakan Nikah Mut’ah yang tercantum pada QS. An Nisa [4] :24 telah dibatalkan (di naskhkan) oleh Allah Ta’ala berdasarkan firman Allah SWT:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (QS. Al Mukminun [23] : 1-6 dan Al Ma’arij [70] : 29-30).

Bantahan Shiah :
Meskipun Surat Al Mukminun (Surat ke-23) dan Surat Al Ma’arij (Surat ke-70) sedangkan Surat An Nisa merupakan Surat ke-4, dalam Mushaf Al Qur’an. Namun berdasarkan turunnya Surat Al Qur’an, maka Surat Al Mukminun merupakan Surat Makkiyah ke- 74 dan Surat Al Ma’arij merupakan Surat Makkiyah ke-79, sedangkan Surat An Nisaa merupakan Surat Madaniyah ke-6.

Tidak Ada Satu Ayat Quran pun Turun Mengharamkan Nikah Bertempoh ini atau Nikah Mutaah
Sehingga tidaklah mungkin Surat Al Mukminun dan Surat Al Ma’arij dikatakan telah membatalkan ayat tentang Nikah Mut’ah pada Surat An Nisaa yang diturunkan belakangan daripada kedua Surat terdahulu.

Suatu ayat hanya dapat dibatalkankan oleh ayat lainnya yang diturunkan kemudian, berdasarkan firman Allah SWT :
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguh-nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS. Al Baqarah [2] : 106)

Berdasarkan penjelasan di atas maka Nikah Mut’ah adalah HALAL berdasarkan QS. An Nisaa [4] : 24. Dan segala sesuatu yang di-HALAL-kan oleh Allah tidak bisa di-HARAM-kan oleh manusia. Dan apa yang Halal menurut Allah SWT pastinya didalamnya hanya mengandung kebaikan serta terbebas dari keburukan. Namun ada diantara manuasia yang merasa dirinya lebih hebat dari Allah SWT, sehingga menilai di dalam Nikah Mut’ah semata-mata hanya terdapat keburukan (seperti diartikan sebagai penghalalan pelacuran, dsb).

Dewasa ini banyak dari kalangan Ulama Suni di Indonesia yang berpendapat bahwa Nikah Mut’ah adalah Halal berdasarkan nash Al Qur’an, dan bahkan tidak sedikit diantaranya yang melakukannya, bukan semata-mata karena kebutuhan seksual, tetapi guna menunjukan ke-halalan Nikah Mut’ah itu sendiri.
Halalnya Nikah Mut’ah bukanlah berarti wajib atau di sunnahkan untuk dilakukan, melainkan siapapun diperbolehkan memilih untuk melakukan ataupun meninggal-kannya (tidak melakukannya). Tetapi ia menjadi wajib bagi sepasang pria wanita yang tidak terikat pada Nikah Daim (Nikah Permanen) yang melakukan hubungan seksual. Karena tanpa Nikah Mut’ah maka hubungan seksual tersebut menjadi tergolongan perbuatan zina yang mendatangkan dosa.

Seseorang boleh saja mengatakan, “Aku tidak memerlukan Nikah Mut’ah, karena aku tidak akan mungkin terjerumus pada perbuatan zina”, meskipun sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Maha Mengetahui bahwa manusia tidak bisa menahan hawa nafsunya (syahwatnya). Nah Nikah Mut’ah adalah rahmat Allah Ta’ala kepada Umat Muhammad SAW untuk menyelamatkannya dari jurang perzinaan. Nikah Mut’ah adalah solusi Islam sebagai agama terakhir terhadap praktek perzinaan, yang menjangkiti keturunan Adam as sejak generasi awal serta tidak kunjung berhasil dihapuskan semata-mata melalui ancaman dosa dan larangan oleh syariat2 yang diturunkan sebelumnya.

Bagi setiap mukmin tersedia dua alternatif (dalam hal tidak dapat menahan hawa nafsu seksualnya yang tidak tertampung oleh isteri2nya atau yang belum mempunyai isteri tetapi telah cukup umur), yaitu 1). melakukan hubungan seksual dengan Nikah Mut’ah, atau 2). melakukan hubungan seksual tanpa Nikah Mut’ah.
Sementara itu dikalangan umat Islam terjadi perbedaan pendapat tentang halal dan haramnya Nikah Mut’ah. Sebagai seorang yang berakal, bagaimanakah anda menentukan pilihan atas kedua alternatif di atas?
Kebenaran hakiki adalah sisi Allah SWT.

Jika Nikah Mut’ah adalah haram di sisi Allah, maka sekalipun anda melaksananya, tetap tergolong sebagai zina.

Jika Nikah Mut’ah adalah Halal di sisi Allah, maka sungguh merugi jika tidak melaksanakannya, karena seharusnya bisa terhindar dari perbuatan zina, tetapi karena kekerasan kepala, malah terjerumus pada perbuatan zina.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa pembicaraan tentang Nikah Mut’ah sangat tidak disenangi oleh sebagian umat Islam sendiri terutama dari kalangan wanita. Seperti halnya juga berbicara tentang Poligami yang sampai sekarang belum bisa diterima oleh kebanyakan kaum muslimah.
Tetapi berbicara tentang aqidah dan syariat agama bukanlah tergantung pada senang atau tidak senangnya pihak2 tertentu. Slogan ISLAM YANG KAFFAH (Menyeluruh) adalah termasuk dalam hal pembicaraan seperti ini. (Apa yang engkau anggap buruk belum tentu hal itu buruk disisi Allah)Sebagai penutup, saya kutip ucapan Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib as: “Bilamana saja Umar tidak melarang Nikah Mut’ah, niscaya tidak ada lagi seorang mukminpun yang akan terjerumus kedalam zina, kecuali mereka yang benar2 celaka”.
Sesungguhnya perkara nikah mut’ah ini menjadi polemic yang cukup tajam di kalangan Muslimin,hal ini semata karena mereka hanya melihat dari satu sisi saja.Mereka lalai bahwa asal hukum wanita adalah harta,maka daripada itu membutuhkan adanya mahar & akad.Ketika terjadi perangpun Istri dimasukkan pada kelompok yang boleh dijadikan harta rampasan perang,maka bila memandang wanita secara harta,nikah mut’ah tidak akan menjadi masalah.
Dari Ruwaifi’ bin Tsabit al-Anshari bahwa ia berkhutbah di hadapan kami dan berkata, “Sungguh aku tidak berbicara kepada kalian melainkan sesuatu yang telah aku dengar dari Rasulullah saw, beliau berkata pada hari peperangan Hunain, ‘Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir menyiramkan airnya ke tanaman orang lain, yakni menyetubuhi wanita hamil (dari orang lain). Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir menggauli tawanan wanita hingga ia memastikan ketidak hamilannya. Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir menjual ghanimah (harta rampasan perang) sehingga dibagikan’,” (Hasan, HR Abu Dawud [2158], Ahmad [IV/108 dan 108-109], al-Baihaqi [VII/449]).
Dari ‘AbduLLAAH bin ‘Abbas r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang menjual harta rampasan perang (ghanimah) sehingga dibagikan, melarang menggauli tawanan wanita yang hamil hingga melahirkan kandungannya dan melarang memakan daging binatang buas yang bertaring,” (Shahih, HR an-Nasa’i [VII/301], ad-Daraquthni [III/68-69], al-Hakim [II/137], Abu Ya’la [2414]).
Sudah menjadi kesepakatan segenap kaum muslimin bahwa nikah mut’ah pernah ada pada zaman Rasul sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab standar Sunni maupun Syiah. Disebutkan bahwa Rasul pernah membolehkan pernikahan jenis tersebut, akan tetapi lantas terjadi perbedaan pendapat diantara para pengikut Islam adakah Rasul sampai akhir hayat beliau tetap membolehkan pernikahan itu ataukah tidak? Sebagian dari mereka mengatakan bahwa sebelum pulangnya Rasul ke rahmatuLLAAH Beliau telah melarang pernikahan tersebut atau dengan istilah yang sering dipakai hukum dibolehkannya nikah mut’ah telah mansukh (terhapus). 
Sebagian lagi mengatakan bahwa sampai akhir hayat beliaupun beliau tidak pernah melarangnya, akan tetapi seorang yang bernama Umar bin Khatab lah yang kemudian melarangnya sewaktu ia menjabat kekhalifahan.Definisi Nikah Mut’ah , dalam Terminologi Bahasa Arab Asal kata mut’ah dalam bahasa arab adalah dari akar kata mata’a, yang mengarah pada makna bersenang-senang dan memanfaatkan. Al Munjid menerangkan arti kata mata’ sebagai berikut :Al Mata’, bentuk pruralnya adalah al amti’ah, sedang bentuk jam’ul jama’nya adalah amati’ dan amatii’. 
Seluruh yang dimanfaatkan dari perhiasan dunia baik sedikit maupun banyak. … tamatta’a atau istamta’a : memanfaatkan sesuatu dalam waktu yang lama. AlMunjid hal 7462) Definisi IstilahSedangkan yang dimaksud dengan nikah mut’ah dalam pembahasan kali ini adalah pernikahan yang ditentukan sampai waktu tertentu, yang mana setelah waktu yang ditentukan habis selesailah pernikahan itu. Imam Syafi’i berkata :Nikah mut’ah yang dilarang adalah seluruh bentuk pernikahan yang ditentukan hingga waktu tertentu, baik waktu itu sebentar maupun lama. [43].
Abu Laits Assamarqondi berkata: Nikah mut’ah hukumnya haram, bentuknya adalah : aku nikahkan anakku untuk waktu sehari atau sebulan[44] 
Imam Nawawi dalam al majmu’ syarah muhazzab berkata : Nikah Mut’ah adalah seperti bentuk demikian : Aku nikahkan kamu dengan anakku selama sehari atau sebulan, yaitu pernikahan yang ditentukan hingga waktu tertentu. Jika waktu yang ditentukan telah selesai maka selesailah pernikahan itu.
 Ibnu Dhawayyan berkata :
yaitu menikahkan anaknya hingga batas waktu tertentu, dan mensyaratkan bahwa setelah jangka waktu selesai maka tercerailah suami istri itu.[45]

Dari penjelasan tentang arti nikah mut’ah di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa nikah mut’ah adalah bentuk pernikahan yang selesai bila waktu yang disepakati telah tiba. Setelah waktunya tiba, kedua suami istri akan terpisah tanpa ada proses perceraian sebagaimana pernikahan yang dikenal dalam Islam.
Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa hukum nikah mut’ah adalah tetap diperbolehkan dan tidak pernah mansukh. Jadi masih diperbolehkan hingga kelak hari kiamat. Syiah Imamiyah berdalil dengan ucapan Imam mereka yaitu Abu Ja’far, yang nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali Al Baqir :

1- عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهْلِ بْنِ زِيَادٍ وَ عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ جَمِيعاً عَنِ ابْنِ أَبِي نَجْرَانَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ حُمَيْدٍ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ نَزَلَتْ فِي الْقُرْآنِ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَ لا جُناحَ عَلَيْكُمْ فِيما تَراضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ .[64] ك ج 5 ص 448

Dari Abu Bashir dia berkata : aku bertanya pada Abu Ja’far Alaihissalam tentang mut’ah. Lalu dia menjawab :  ALLAAH telah mewahyukan dalam Al Qur’an Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya,[65] (footnote : syiah memahami ayat ini bukan dalam kontek istri, jika ayat ini difahami dengan kontek istri tentu tidak dapat dijadikan dalil bagi diperbolehkannya nikah mut’ah)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سُلَيْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) يَقُولُ كَانَ عَلِيٌّ ( عليه السلام ) يَقُولُ لَوْ لَا مَا سَبَقَنِي بِهِ بَنِي الْخَطَّابِ مَا زَنَى إِلَّا شَقِيٌّ .[66]

Dari Abdullah bin Sulaiman dia berkata : Aku mendengar Abu Ja’far berkata : Ali bin Abi Thalib berkata : jika anak Khottob tidak mendahului aku, maka tidak ada yang berzina kecuali orang yang celaka.

عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَمَّنْ ذَكَرَهُ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ إِنَّمَا نَزَلَتْ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً .[67]

Dari Ibnu Abi Umair dari seseorang yang telah memberitahunya, dari Abu AbduLLAAH dia berkata : Ayat yang sebenarnya turun dari ALLAAH adalah ” Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka hingga waktu tertentu, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban,

عَلِيٌّ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ أُذَيْنَةَ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ جَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَيْرٍ اللَّيْثِيُّ إِلَى أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) فَقَالَ لَهُ مَا تَقُولُ فِي مُتْعَةِ النِّسَاءِ فَقَالَ أَحَلَّهَا اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ ( صلى الله عليه وآله ) فَهِيَ حَلَالٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَقَالَ يَا أَبَا جَعْفَرٍ مِثْلُكَ يَقُولُ هَذَا وَ قَدْ حَرَّمَهَا عُمَرُ وَ نَهَى عَنْهَا فَقَالَ وَ إِنْ كَانَ فَعَلَ قَالَ إِنِّي أُعِيذُكَ بِاللَّهِ مِنْ ذَلِكَ أَنْ تُحِلَّ شَيْئاً حَرَّمَهُ عُمَرُ قَالَ فَقَالَ لَهُ فَأَنْتَ عَلَى قَوْلِ صَاحِبِكَ وَ أَنَا عَلَى قَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) فَهَلُمَّ أُلَاعِنْكَ أَنَّ الْقَوْلَ مَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) وَ أَنَّ الْبَاطِلَ مَا قَالَ صَاحِبُكَ قَالَ فَأَقْبَلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَيْرٍ فَقَالَ يَسُرُّكَ أَنَّ نِسَاءَكَ وَ بَنَاتِكَ وَ أَخَوَاتِكَ وَ بَنَاتِ عَمِّكَ يَفْعَلْنَ قَالَ فَأَعْرَضَ عَنْهُ أَبُو جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) حِينَ ذَكَرَ نِسَاءَهُ وَ بَنَاتِ عَمِّهِ . [68]

Dari Zurarah dia berkata : Ibnu Umair Allaithy pada Abu Ja’far, lalu dia bertanya : apa pendapat anda tentang nikah mut’ah? Lalu Abu Ja’far menjawab : telah dihalalkan oleh Allah dalam Al Qur’an dan melalui lisan RasulNya, maka hukumnya tetap halal hingga hari kiamat. Lalu dia bertanya : Wahai Abu Ja’far apakah orang seperti anda mengatakan hal ini sedangkan umar telah melarang dan mengharamkan mut’ah? Lalu Abu Ja’far mengatakan : walaupun telah dilarang oleh Umar. Dia berkata : Aku memohon pada Allah agar anda dijauhkan dari menghalalkan perkara yang telah diharamkan oleh Umar. Lalu Abu Ja”far berkata : engkau memegang pendapat kawanmu, dan aku memegang hadits Nabi, mari kita memohon laknat dari ALLAAH bahwa yang benar adalah apa yang diucapkan RasuluLLAAH dan omongan kawanmu adalah batil. Lalu Abu Umair mengatakan pada Abu Ja’far : Apakah anda suka jika istri anda, anak wanita anda, saudara wanita anda dan anak wanita paman anda dinikahi secara mut’ah? Lalu Abu Ja’far berpaling ketika disebut istrinya dan anak pamannya.

Nikah mut’ah adalah halal tapi Imam Abu Ja’far sendiri tidak senang jika ada orang yang menikahi anaknya atau anak pamannya dengan nikah mut’ah. Yang mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar, yang berani-beraninya mengharamkan perbuatan yang dihalalkan oleh Nabi. Sampai Imam Abu Ja’far berani bermula’anah, memohon laknat dari Allah jika pendapatnya salah.
Ahlussunnah sepakat bahwa nikah mut’ah haram hukumnya, maka tidak akan anda temukan dalam kitab fiqih ulama ahlussunnah mana pun penjelasan tentang cara-cara mut’ah dan pekara-perkara yang berkaitan dengan mut’ah. Karena keyakinan syi’ah Imamiyah atas dibolehkannya mut’ah, maka dalam kitab-kitab mereka tercantum penjelasan mengenai nikah mut’ah.

Berikut ini kami paparkan sebagian penjelasan yang ada dalam kitab-kitab ulama syiah megenai mut’ah.
1. Nikah Mut’ah adalah bukan pernikahan yang membatasi istri hanya empat.

الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ الْأَشْعَرِيِّ عَنْ بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْأَزْدِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا الْحَسَنِ ( عليه السلام ) عَنِ الْمُتْعَةِ أَ هِيَ مِنَ الْأَرْبَعِ فَقَالَ لَا[69].

Dari Abubakar bin Muhammad Al Azdi dia berkata :aku bertanya kepada Abu Hasan tentang mut’ah, apakah termasuk dalam pernikahan yang membatasi 4 istri? Dia menjawab tidak.
Wanita yang dinikahi secara mut’ah adalah wanita sewaan, jadi diperbolehkan nikah mut’ah walaupun dengan 1000 wanita sekaligus, karena akad mut’ah bukanlah pernikahan. Jika memang pernikahan maka dibatasi hanya dengan 4 istri.

7- الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ سَعْدَانَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ زُرَارَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ ذَكَرْتُ لَهُ الْمُتْعَةَ أَ هِيَ مِنَ الْأَرْبَعِ فَقَالَ تَزَوَّجْ مِنْهُنَّ أَلْفاً فَإِنَّهُنَّ مُسْتَأْجَرَاتٌ [70].

Dari Zurarah dari Ayahnya dari Abu Abdullah, aku bertanya tentang mut’ah pada beliau apakah merupakan bagian dari pernikahan yang membatasi 4 istri? Jawabnya : menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan.
2. Syarat Utama Nikah Mut’ah
Dalam nikah mut’ah yang terpenting adalah waktu dan mahar. Jika keduanya telah disebutkan dalam akad, maka sahlah akad mut’ah mereka berdua. Karena seperti yang akan dijelaskan kemudian bahwa hubungan pernikahan mut’ah berakhir dengan selesainya waktu yang disepakati. Jika waktu tidak disepakati maka tidak akan memiliki perbedaan dengan pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam.

- عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهْلِ بْنِ زِيَادٍ وَ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ جَمِيعاً عَنِ ابْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ جَمِيلِ بْنِ صَالِحٍ عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ لَا تَكُونُ مُتْعَةٌ إِلَّا بِأَمْرَيْنِ أَجَلٍ مُسَمًّى وَ أَجْرٍ مُسَمًّى [71].

Dari Zurarah bahwa Abu Abdullah berkata : Nikah mut’ah tidaklah sah kecuali dengan menyertakan 2 perkara, waktu tertentu dan bayaran tertentu.
3. Batas minimal mahar mut’ah
Di atas disebutkan bahwa rukun akad mut’ah adalah adanya kesepakatan atas waktu dan mahar. Berapa batas minimal mahar nikah mut’ah?

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) عَنْ أَدْنَى مَهْرِ الْمُتْعَةِ مَا هُوَ قَالَ كَفٌّ مِنْ طَعَامٍ دَقِيقٍ أَوْ سَوِيقٍ أَوْ تَمْرٍ .[72]
الكافي ج 5 ص 457

Dari Abu Bashir dia berkata : aku bertanya pada Abu Abdullah tentang batas minimal mahar mut’ah, lalu beliau menjawab bahwa minimal mahar mut’ah adalah segenggam makanan, tepung, gandum atau korma.
4. Tidak ada talak dalam mut’ah
dalam nikah mut’ah tidak dikenal istilah talak, karena seperti di atas telah diterangkan bahwa nikah mut’ah bukanlah pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam. Jika hubungan pernikahan yang lazim dilakukan dalam Islam selesai dengan beberapa hal dan salah satunya adalah talak, maka hubungan nikah mut’ah selesai dengan berlalunya waktu yang telah disepakati bersama. Seperti diketahui dalam riwayat di atas, kesepakatan atas jangka waktu mut’ah adalah salah satu rukun/elemen penting dalam mut’ah selain kesepakatan atas mahar.

3- مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ ابْنِ فَضَّالٍ عَنِ ابْنِ بُكَيْرٍ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ عِدَّةُ الْمُتْعَةِ خَمْسَةٌ وَ أَرْبَعُونَ يَوْماً كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) يَعْقِدُ بِيَدِهِ خَمْسَةً وَ أَرْبَعِينَ فَإِذَا جَازَ الْأَجَلُ كَانَتْ فُرْقَةٌ بِغَيْرِ طَلَاقٍ[73]

Dari Zurarah dia berkata masa iddah bagi wanita yang mut’ah adalah 45 hari. Seakan saya melihat Abu Abdullah menunjukkan tangannya tanda 45, jika selesai waktu yang disepakati maka mereka berdua terpisah tanpa adanya talak.
5. Jangka waktu minimal mut’ah.
Dalam nikah mut’ah tidak ada batas minimal mengenai kesepakatan waktu berlangsungnya mut’ah. Jadi boleh saja bersepakat nikah mut’ah dalam jangka waktu satu hari, satu minggu, satu bulan bahkan untuk sekali hubungan suami istri.

عَنْ خَلَفِ بْنِ حَمَّادٍ قَالَ أَرْسَلْتُ إِلَى أَبِي الْحَسَنِ ( عليه السلام ) كَمْ أَدْنَى أَجَلِ الْمُتْعَةِ هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَتَمَتَّعَ الرَّجُلُ بِشَرْطِ مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ قَالَ نَعَمْ .[74]

Dari Khalaf bin Hammad dia berkata aku mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu mut’ah? Apakah diperbolehkan mut’ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan suami istri? Jawabnya : ya
Orang yang melakukan nikah mut’ah diperbolehkan melakukan apa saja layaknya suami istri dalam pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam, sampai habis waktu yang disepakati. Jika waktu yang disepakati telah habis, mereka berdua tidak menjadi suami istri lagi, alias bukan mahram yang haram dipandang, disentuh dan lain sebagainya. Bagaimana jika terjadi kesepakatan mut’ah atas sekali hubungan suami istri? Yang mana setelah berhubungan layaknya suami istri mereka sudah bukan suami istri lagi, yang mana berlaku hukum hubungan pria wanita yang bukan mahram? Tentunya diperlukan waktu untuk berbenah sebelum keduanya pergi.

ع أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) عَنِ الرَّجُلِ يَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ عَلَى عَرْدٍ وَاحِدٍ فَقَالَ لَا بَأْسَ وَ لَكِنْ إِذَا فَرَغَ فَلْيُحَوِّلْ وَجْهَهُ وَ لَا يَنْظُرْ [75]

Dari Abu AbdiLLAAH, ditanya tentang orang nikah mut’ah dengan jangka waktu sekali hubungan suami istri. Jawabnya : ” tidak mengapa, tetapi jika selesai berhubungan hendaknya memalingkan wajahnya dan tidak melihat pasangannya”.
6. Nikah mut’ah berkali-kali tanpa batas.
Diperbolehkan nikah mut’ah dengan seorang wanita berkali-kali tanpa batas, tidak seperti pernikahan yang lazim, yang mana jika seorang wanita telah ditalak tiga maka harus menikah dengan laki-laki lain dulu sebelum dibolehkan menikah kembali dengan suami pertama. Hal ini seperti diterangkan oleh Abu Ja’far, Imam Syiah yang ke empat, karena wanita mut’ah bukannya istri, tapi wanita sewaan. Disini dipergunakan analogi sewaan, yang mana seseorang diperbolehkan menyewa sesuatu dan mengembalikannya lalu menyewa lagi dan mengembalikannya berulang kali tanpa batas.

1- عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) قَالَ قُلْتُ لَهُ جُعِلْتُ فِدَاكَ الرَّجُلُ يَتَزَوَّجُ الْمُتْعَةَ وَ يَنْقَضِي شَرْطُهَا ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا رَجُلٌ آخَرُ حَتَّى بَانَتْ مِنْهُ ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا الْأَوَّلُ حَتَّى بَانَتْ مِنْهُ ثَلَاثاً وَ تَزَوَّجَتْ ثَلَاثَةَ أَزْوَاجٍ يَحِلُّ لِلْأَوَّلِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا قَالَ نَعَمْ كَمْ شَاءَ لَيْسَ هَذِهِ مِثْلَ الْحُرَّةِ هَذِهِ مُسْتَأْجَرَةٌ وَ هِيَ بِمَنْزِلَةِ الْإِمَاءِ [76].

Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja’far, seorang laki-laki nikah mut’ah dengan seorang wanita dan habis masa mut’ahnya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa mut’ahnya, lalu nikah mut’ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa mut’ahnya tiga kali dan nikah mut’ah lagi dengan 3 lakii-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama? Jawab Abu Ja’far : ya dibolehkan menikah mut’ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut’ah adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya.
7. Wanita mut’ah diberi mahar sesuai jumlah hari yang disepakati.
Wanita yang dinikah mut’ah mendapatkan bagian maharnya sesuai dengan hari yang disepakati. Jika ternyata wanita itu pergi maka boleh menahan maharnya.

292
3- عَنْ عُمَرَ بْنِ حَنْظَلَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ قُلْتُ لَهُ أَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ شَهْراً فَأَحْبِسُ عَنْهَا شَيْئاً قَالَ نَعَمْ خُذْ مِنْهَا بِقَدْرِ مَا تُخْلِفُكَ إِنْ كَانَ نِصْفَ شَهْرٍ فَالنِّصْفَ وَ إِنْ كَانَ ثُلُثاً فَالثُّلُثَ[77] . ك ج 5 ص 461

Dari Umar bin Handholah dia bertanya pada Abu AbduLLAAH : aku nikah mut’ah dengan seorang wanita selama sebulan lalu aku tidak memberinya sebagian dari mahar, jawabnya : ya, ambillah mahar bagian yang dia tidak datang, jika setengah bulan maka ambillah setengah mahar, jika sepertiga bulan maka ambillah sepertiga maharnya.
8. Jika ternyata wanita yang dimut’ah telah bersuami ataupun seorang pelacur, maka mut’ah tidak terputus dengan sendirinya.
Jika seorang pria hendak melamar seorang wanita untuk menikah mut’ah dan bertanya tentang statusnya, maka harus percaya pada pengakuan wanita itu. Jika ternyata wanita itu berbohong, dengan mengatakan bahwa dia adalah gadis tapi ternyata telah bersuami maka menjadi tanggung jawab wanita tadi.

1- عَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) إِنِّي أَكُونُ فِي بَعْضِ الطُّرُقَاتِ فَأَرَى الْمَرْأَةَ الْحَسْنَاءَ وَ لَا آمَنُ أَنْ تَكُونَ ذَاتَ بَعْلٍ أَوْ مِنَ الْعَوَاهِرِ قَالَ لَيْسَ هَذَا عَلَيْكَ إِنَّمَا عَلَيْكَ أَنْ تُصَدِّقَهَا فِي نَفْسِهَا [78].

Dari Aban bin Taghlab berkata: aku bertanya pada Abu AbduLLAAH, aku sedang berada di jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik dan aku takut jangan-jangan dia telah bersuami atau pelacur. Jawabnya: ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya.
Ayatollah Ali Al Sistani berkata :
Masalah 260 : dianjurkan nikah mut’ah dengan wanita beriman yang baik-baik dan bertanya tentang statusnya, apakah dia bersuami ataukah tidak. Tapi setelah menikah maka tidak dianjurkan bertanya tentang statusnya. Mengetahui status seorang wanita dalam nikah mut’ah bukanlah syarat sahnya nikah mut’ah[79]
9. Nikah mut’ah dengan gadis.

2- مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ وَ عَبْدِ اللَّهِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ زِيَادِ بْنِ أَبِي الْحَلَّالِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) يَقُولُ لَا بَأْسَ بِأَنْ يَتَمَتَّعَ بِالْبِكْرِ مَا لَمْ يُفْضِ إِلَيْهَا مَخَافَةَ كَرَاهِيَةِ الْعَيْبِ عَلَى أَهْلِهَا[80] ك ج 5 ص 462

Dari ziyad bin abil halal berkata : aku mendengar Abu AbduLLAAH berkata tidak mengapa bermut’ah dengan seorang gadis selama tidak menggaulinya di qubulnya, supaya tidak mendatangkan aib bagi keluarganya.
10. Nikah mut’ah dengan pelacur.
Diperbolehkan nikah mut’ah walaupun dengan wanita pelacur. Sedangkan kita telah mengetahui di atas bahwa wanita yang dinikah mut’ah adalah wanita sewaan. Jika boleh menyewa wanita baik-baik tentunya diperbolehkan juga menyewa wanita yang memang pekerjaannya adalah menyewakan dirinya.
AyatoLLAAH Udhma Ali Al Sistani mengatakan :
Masalah 261 : diperbolehkan menikah mut’ah dengan pelacur walaupun tidak dianjurkan, ya jika wanita itu dikenal sebagai pezina maka sebaiknya tidak menikah mut’ah dengan wanita itu sampai dia bertaubat.[81]
11. Pahala yang dijanjikan bagi nikah mut’ah.

عَنْ أَبِيْ جَعْفَرٍ ع قال: قُلْتُ لَهُ: (لِلْمُتَمَتِّعِ ثَوَابٌ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ يُرِيْدُ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ تَعَالىَ وَخِلاَفًا عَلىَ مَنْ أَنْكَرَهَا لَمْ يُكَلِّمْهَا كَلِمَةً إِلاَّ كَتَبَ اللهُ تَعَالىَ لَهُ بِهَا حَسَنَةً، وَلَمْ يَمُدْ يَدَهُ إِلَيْهَا إِلاَّ كَتَبَ اللهُ لهُ حَسَنَةً، فَإِذَا دَنَا مِنْهَا غَفَرَ اللهُ تَعَالَى لَهُ بِذَلِكَ ذَنْبًا، فَإِذَا اغْتَسَلَ غَفَرَ اللهُ لَهُ بِقَدْرِ مَا مَرََََََََََََََّ مِنَ الْمَاءِ عَلىَ شَعْرِهِ، قُلْتُ: بِعَدَدِ الشَّعْرِ؟ قَالَ: نَعَمْ بِعَدَدِ الشَّعْرِ))[82]. فقيه ج 3 ص 464

Dari Sholeh bin Uqbah, dari ayahnya, aku bertanya pada Abu AbduLLAAH apakah orang yang bermut’ah mendapat pahala? Jawabnya : jika karena mengharap pahala Allah dan tidak menyelisihi wanita itu, maka setiap lelaki itu berbicara padanya pasti ALLAAH menuliskan kebaikan sebagai balasannya, setiap dia mengulurkan tangannya pada wanita itu pasti diberi pahala sebagai balasannya. Jika menggaulinya pasti ALLAAH mengampuni sebuah dosa sebagai balasannya, jika dia mandi maka ALLAAH akan mengampuni dosanya sebanyak jumlah rambut yang dilewati oleh air ketika sedang mandi. Aku bertanya : sebanyak jumlah rambut? Jawabnya : Ya, sebanyak jumlah rambut.

4601 – وَقَالَ أَبُوْجَعْفَرٍ ع: (إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ لَمَّا اُسْرِيَ بِهِ إِلىَ السَّمَاءِ قَالَ: لَحِقَنِيْ جِبْرِئِيْل عليه السلام فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُوْلُ: إِنِّي قََََََََدْ غَفَرْتُ لِلْمُتَمَتِّعِيْنَ مِنَ أُمَّتِكَ مِنَ النِّسَاءِ)[83].

Abu Ja’far berkata “ketika Nabi sedang isra’ ke langit berkata : Jibril menyusulku dan berkata : wahai Muhammad, ALLAAH berfirman : Sungguh AKU telah mengampuni wanita ummatmu yang mut’ah
12. hubungan warisan.
Ayatullah Udhma Ali Al Sistani dalam bukunya menuliskan : Masalah 255 : Nikah mut’ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan sampai mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini[84].
13. Nafkah.
Wanita yang dinikah mut’ah tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami.
Masalah 256 : Laki-laki yang nikah mut’ah dengan seorang wanita tidak wajib untuk menafkahi istri mut’ahnya walaupun sedang hamil dari bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah disepakati pada akad mut’ah atau akad lain yang mengikat[85]

Dari dua pendapat diatas dalam tulisan ini akan di bahas manakah dari pendapat tersebut yang lebih dekat pada kenyataan? Apakah nikah mut’ah telah dimansukh oleh Rasul atau tidak? Kalaulah tidak lantas apakah wewenang dan dasar yang dipakai oleh Umar untuk mengharamkannya? Adakah ia melakukan berdasarkan konsep ijtihad?

Sedang Imam Ali  sebagai khalifah keempat ahlissunnah- tidak pernah mengharamkannya? Bolehkah dalam Islam melakukan ijtihad walau bertentangan dengan ayat atau riwayat yang sebagai sumber utama syariat Islam? Kalaulah kita terima bahwa nikah jenis itu haram karena ijtihad Umar kenapa mut’ah haji (haji tamattu’) yang juga diharamkan oleh Umar tetap dianggap halal oleh seluruh kaum muslimin? Bukankah kalau kita menerima ijtihad Umar tentang pelarangan nikah mut’ah berarti juga harus menerima pelarangannya atas mut’ah haji?

Yang perlu diingat oleh pembaca yang budiman adalah bahwa kita disini dalam rangka mencari kebenaran akan konsep hukum mut’ah dan lepas dari permasalahan praktis dari hal tersebut, oleh karenanya dalam membahas haruslah didasari oleh argumen dari teks agama ataupun akal dan bukan bersandar pada emosional maupun fanatisme golongan.

Argumentasi dari Kitab-kitab Standar Ahlissunnah akan Pembolehan Nikah Mut’ah.
Sebagaimana yang telah singgung diatas bahwa nikah mut’ah pernah disyariatkan oleh ALLAAH sebagaimana yang telah disepakati oleh seluruh ulama’ kaum muslimin, hal ini sesuai dengan ayat yang berbunyi: “dan (diharamkan atas kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki,   sebagai ketetapanNYA atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina, maka (istri-istri) yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu,   Qs; An-Nisaa’:24).

Jelas sekali bahwa ayat tersebut berkenaan denga nikah mut’ah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para perawi hadis dari sahabat-sahabat Rasul seperti: Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Habib bin Abi Tsabit, Said bin Jubair, Jabir bin Abullah al-Anshari (ra) dst.
Pendapat beberapa ulama’ tafsir dan hadis ahlussunnah.

Adapun dari para penulis hadis dan penafsir dari ahlussunnah kita sebutkan saja secara ringkas:
1. Imam Ahmad bin Hambal dalam “Musnad Ahmad” jilid:4 hal:436.
2. Abu Ja’far Thabari dalam “Tafsir at-Thabari” jilid:5 hal:9.
3. Abu Bakar Jasshas dalam “Ahkamul-Qur’an” jilid:2 hal:178.
4. Abu bakar Baihaqi dalam “as-Sunan-al-Qubra” jilid:7 hal:205.
5. Mahmud bin Umar Zamakhsari dalam “Tafsir al-Kassyaf” jil:1 hal:360.
6. Fakhruddin ar-Razi dalam “Mafatih al-Ghaib” jil:3 hal:267.
7. dst.

Pendapat beberapa Sahabat (Salaf Saleh) dan Tabi’in.
Beberapa ungkapan para sahabat Rasul dan para tabi’in (yang hidup setelah zaman para sahabat) sebagai contoh pribadi-pribadi yang mengingkari akan pelarangan (pengharaman) mut’ah: Imam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diungkapakan oleh Thabari dalam kitab tafsirnya (lihat: jil:5 hal:9) dimana Imam Ali bersabda: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benarbenar celaka saja”.

Riwayat ini sebagai bukti bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Umar bin Khatab, lantas setelah banyaknya kasus perzinaan dan pemerkosaan sekarang ini –berdasarkan riwayat diatas- siapakah yang termasuk bertanggungjawab atas semua peristiwa itu?

Abdullah bin Umar bin Khatab (putera khalifah kedua), sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab musnadnya (lihat: jil:2 hal:95) dimana Abdullah berkata ketika ditanya tentang nikah mut’ah: “Demi ALLAAH, sewaktu kita dizaman Rasul tidak kita dapati orang berzina ataupun serong”. Kemudian berkata, aku pernah mendengar Rasul bersabda: “sebelum datangnya hari kiamat akan muncul masihud-dajjal dan pembohong besar sebanyak tiga puluh orang atau lebih”. Lantas siapakah yang layak disebut pembohong dalam riwayat diatas tadi? Adakah orang yang memutar balikkan syariat Rasul layak untuk dibilang pembohong?

AbduLLAAH bin Masud, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:7 hal:4 kitab nikah bab:8 hadis ke:3), dimana Abdullah berkata: “sewaktu kita berperang bersama Rasulullah sedang kita tidak membawa apa-apa, lantas kita bertanya kepada beliau: bolehkah kita lakukan pengebirian? Lantas beliau melarang kita untuk melakukannya kemudian beliau memberi izin kita untuk menikahi wanita dengan mahar baju untuk jangka waktu tertentu. Saat itu beliau membacakan kepada kami ayat yang berbunyi: “wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah ALLAAH halalkan bagi kalian dan janganlah kalian melampaui batas…”(Qs Al-Ma’idah:87).

Cobalah renungkan makna ayat dan riwayat diatas lantas hubungkanlah antara penghalalan ataupun pengharaman nikah mut’ah! Manakah dari dua hukum tersebut yang sesuai dengan syariat Allah yang dibawa oleh Rasul?

Imran bin Hashin, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya, (lihat: jil:6 hal:27 kitab tafsir; dalam menafsirkan ayat: faman tamatta’a bilumrati ilal-hajji (Qs Al-Baqarah)), dimana Imran berkata: “Diturunkan ayat mut’ah dalam kitabullah (Al-Qur’an) kemudian kita melakukannya di zaman Rasul, sedang tidak ada ayat lagi yang turun dan mengharamkannya, juga Rasul tidak pernah melarangnya sampai beliau wafat”.

Riwayat seperti diatas juga dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab musnadnya. Dua riwayat ini menjelaskan bahwa tidak ada ayat yang menghapus (nasikh) penghalalan mut’ah dan juga sebagai bukti mahwa mut’ah sampai akhir hayat Rasul beliau tidak mengharamkannya.

Ibn Abi Nadhrah, sebagaimana yang dinukil oleh al-Muslim dalam kitab shahihnya (lihat: jil:4 hal:130 bab:nikah mut’ah hadis ke:8), dimana Ibn abi nadhrah berkata: “Dahulu Ibn abbas memerintahkan (baca:menghalalkan) nikah mut’ah sedang Ibn zubair melarangnya kemudia peristiwa tersebut sampai pada telinga Jabir bin Abdullah al-Anshori (ra) lantas dia berkata: “Akulah orang yang mendapatkan hadis tersebut, dahulu kita melakukan mut’ah bersama Rasulullah akan tetapi setelah Umar berkuasa lantas ia mengumumkan bahwa; “Dahulu ALLAAH menghalalkan buat Rasul-Nya sesuai dengan apa yang dikehendakinya, maka umat pun menyempurnakan haji dan umrah mereka, juga melakukan pernikahan dengan wanita-wanita tersebut, jika terdapat seseorang menikahi seorang wanita untuk jangka wanita tertentu niscaya akan kurajam ia dengan batu”.

Riwayat diatas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya (lihat: jil:1 hal:52). Dikatakan bahwa Abi Nadhrah berkata: “Aku berkata kepada Jabir bin Abdullah Anshari (ra), sesungguhnya Ibn zubair melarang nikah mut’ah sedangkan Ibn Abbas membolehkannya”. Kemudian ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama RasuluLLAAH (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah dan nikah mut’ah”.

Dua riwayat diatas dengan jelas sekali menyebutkan bahwa pertama orang yang mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar bukan Rasul ataupun turun ayat yang berfungsi sebagai penghapus hukum mut’ah sebagaimana yang dikatakan sebagian orang yang tidak mengetahui tentang isi kandungan yang terdapat dalam buku-buku standar mereka sendiri.

Sebagai tambahan kami nukilkan pendapat Fakhrur Razi dalam tafsir al-Kabir, ketika menafsirkan ayat 24 surat an-Nisa. Ar-Razi mengutip ucapan Umar (“ Dua jenis mut’ah yang berlaku di masa rasulullah, yang kini ku larang dan pelakunya akan kuhukum, adalah mutah haji dan mut’ah wanita” ) dalam menetapkan pengharaman nikah mut’ah. Begitu juga tokoh besar dari kamu Asy,ariyah, Imam al-Qausyaji dalam kitab Syarh At-Tajrid, dalam pengharamannya mut’ah adalah ucapan Umar (ucapan Umar: Tiga perkara yang pernah berlaku di zaman Rasulullah, kini kularang, kuharamkan dan kuhukum pelakuknya adalah mut’ah wanita dan mutah haji serta seruan (azan): hayya ‘ala khayr al-‘amal (marilah mengerjakan sebaik-baik amal)). Qusyaji membela tindakan Umar ini, menyatakan bahwa semata-mata takwil atau ijtihad Umar.
AbduLLAAH ibn Abbas, sebagaimana yang dinukil oleh al-Jasshas dalam Ahkamul-Qu’an (jil:2 hal:179), Ibn Rusyd dalam bidayatul mujtahid (jil:2 hal:58), Ibn Atsir dalam an-Nihayah (jil:2 hal:249), al-Qurtubi dalam tafsirnya (jil:5 hal:130), suyuti dalam tafsirnya (jil:2 hal:140) dikatakan bahwa Ibn Abbas berkata: “semoga ALLAAH merahmati Umar, bukanlah mut’ah kecuali merupakan rahmat dari ALLAAH bagi umat Muhammad (SAW) jikalau ia (Umar) tidak melarang mut’ah tersebut niscaya tiada orang yang menghendaki berbuat zina kecuali ia bisa terobati”.

Riwayat yang dikemukakan oleh Ibn Khalqan dalam kitab Wafayaatul-A’yaan jil:6 hal:149-150, durrul mantsur jil:2 hal:140, kanzul ummal jil:8 hal:293, tarikh tabari jil:5 hal:32, tarikh Ibn khalkan jil:2 hal:359, tajul-arus jil:10 hal:200. Dan masih banyak lagi riwayat dalam kitab-kitab lainnya.

Untuk mempersingkat tulisan singkat ini kita cukupkan hanya dengan menyebutkan riwayat-riwayat diatas. Untuk melengkapinya akan kita sebutkan beberapa permasalahan yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang tidak paham akan maksud dari hikmah Ilahi tentang penghalalan nikah mut’ah dan kita berusaha untuk menjawabnya secara ringkas.

Soal: Salah satu fungsi pernikahan adalah untuk membina keluarga dan menghasilkan keturunan dan itu hanya bisa terwujud dalam nikah da’im (baca:nikah biasa), sedang nikah mut’ah tujuannya hanya sekedar sebagai pelampiasan nafsu belaka.

Jawab: Jelas sekali bahwa pertanyaan diatas menunjukkan akan adanya percampuran paham antara hukum obyek dengan fungsi/hikmah pernikahan. Yang ia sampaikan tadi adalah berkisar tentang hikmah pernikahan bukan hukum pernikahan. Karena kita tahu bahwa Islam mengatakan bahwa sah saja orang menikah walaupun dengan tidak memiliki tujuan untuk hal yang telah disebutkan diatas, sebagaimana orang lelaki yang sengaja mengawini wanita yang mandul atau wanita tua sehingga tidak terlintas sama sekali dibenaknya untuk mendapat anak dari wanita tersebut ataupun lelaki yang mengawini seorang wanita dengan nikah daim akan tetapi hanya untuk beberapa saat saja-taruhlah dua bulan saja- setelah itu ia talak wanita tersebut. Dua contoh pernikahan tersebut jelas tidak seorang ulama pun yang mengatakan bahwa itu batil hukumnya sebagaimana yang disampaikan oleh penulis tafsir “Al-Manaar” dimana ia mengatakan: “pelarangan para ulama’ terdahulu maupun yang sekarang akan nikah mut’ah mengharuskan juga pelarangan akan nikah dengan niat mentalak (istrinya setelah beberapa saat) walaupun para ahli fiqih sepakat bahwa akad nikah dikatakan sah walaupun ada niatan suami untuk menikahinya hanya untuk saat tertentu saja sedang niat tersebut tidak diungkapkannya saat akat nikah, sedang penyembunyian niat tersebut merupakan salah satu jenis penipuan sehingga hal itu lebih layak untuk dihukumi batil jika syarat niat tadi diungkapkan sewaktu akad dilangsungkan” (Tafsir al-Manaar jil:5 hal:17).

Dari sini kita akan heran melihat orang yang menganggap bahwa mut’ah hanya berfungsi sebagai sarana pelampiasan nafsu belaka dan bukankah dalam nikah da’im pun bisa saja orang berniat untuk pelampiasan nafsu saja, niatan itu semua kembali kepada pribadi masing-masing bukan dari jenis pernikahannya.
Soal: Nikah mut’ah menjadikan wanita tidak dapat menjaga kehormatan dirinya karena ia bisa berganti-ganti pasangan kapanpun ia mau, padahal Islam sangat menekankan penjagaan kehormatan terkhusus bagi para wanita.

Jawab: Justru dalam nikah mut’ah sama seperti nikah da’im dimana bukan hanya wanita yang ditekankan untuk menjaga kehormatannya tapi bagi silelaki pun diharuskan untuk menjaga hal tersebut, karena legalitas pernikahan tersebut sudah ditetapkan dalam syariat maka dengan cara inilah mereka menjaga kehormatan mereka dan tidak menjerumuskan diri mereka keperzinaan. Dalam Islam ada tiga alternatif dalam menangani gejolak nafsu birahi:Nikah da’im, Nikah mut’ah dengan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dan meredam nafsu dengan puasa misalnya.

Sekarang jika seseorang tidak mampu melaksanakan nikah da’im dengan berbagai alasan seperti karena masalah ekonomi, studi ataupun yang lainnya, dan untuk meredam nafsu dengan puasa misalnya iapun tidak mampu atau gejolaknya muncul diwaktu malam yang tidak memungkinkan untuk puasa, maka alternatif terakhir dengan nikah mut’ah tadi.

Inilah yang diajarkan Islam kepada pengikutnya karena kita tahu bahwa Islam adalah agama terakhir, syariatnya pun adalah syariat terakhir yang dibawa oleh Nabi terakhir maka ia harus selalu up to date dan universal yang mencakup segala aspek kehidupan manusia yang mampu menjawab apapun kemungkinan yang bakal terjadi, dan ia merupakan agama yang bijaksana dimana salah satu ciri hal yang bijak adalah disaat ia melarang sesuatu maka ia harus memberi jalan keluarnya. Lantas jika seseorang tidak dapat melakukan nikah da’im ataupun meredam nafsunya lantas apa yang harus ia lakukan, sementara Islam melarang penyimpangan seksual jenis apapun? Atau jika ada seorang pemuda ingin mengenal seorang wanita lebih dekat untuk nanti menjadikannya seorang istri dalam masa pendekatan itu – karena boleh jadi gagal karena tidak ada kecocokan- hubungan apakah yang harus ia lakukan sehingga ia dapat berbicara dengan wanita tersebut berdua-duaan sedang Islam melarang berpacaran tanpa ada ikatan pernikahan?
Dan banyak lagi contoh lain yang Islam sebagai agama terakhir dan sebagai agama yang bijak dituntut untuk mampu menjawab tantangan tersebut, jika mut’ah diharamkan lantas kira-kira jalan keluar manakah yang akan diberikan oleh si pengharam mut’ah tadi? Oleh karenanya jangan heran jika Imam Ali (AS) mengeluarkan statemen seperti diatas ( Imam Ali: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”).

Kesalahan besar yang selama ini banyak terdapat pada benak kaum muslimin adalah mereka sering mengidentikkan nikah mut’ah dengan hubungan seksual padahal tidak mesti semacam itu –sebagaimana nikah da’im dengan anak dibawah usia yang diperbolehkan oleh para ahli fiqih semuanya- bisa saja siwanita mensyarati untuk tidak melakukan hal tersebut dalam akad nya sehingga mut’ah hanya sebagai sarana untuk menghilangkan dosa -semasa berkenalan untuk nantinya menikah daim- dengan adanya ikatan pernikahan diantara mereka.

Soal: Adanya beberapa sumber dari ahlussunnah yang menunjukkan adanya pelarangan mut’ah walaupun dari sisi waktu dan tempat pelarangannya berbeda-beda sehingga menjadi argumen bahwa ayat mut’ah (an-Nisaa:23) sudah terhapus dengan riwayatriwayat itu, seperti:
1. Dibolehkannya mut’ah lantas dilarang pada seusai perang Khaibar.
2. Dibolehkannya nikah mut’ah lantas dilarang pada saat Fathul-Makkah.
3. Hanya dibolehkan pada saat peristiwa Awthas saja.
4. Diperbolehkan pada saat umrah qadha’ saja.

Jawab: Kita bisa katakan bahwa:
1. Ungkapan-ungkapan yang berbeda-beda itu menunjukkan tidak adanya kesepakatan akan pelarangannya karena perbedaan riwayat menunjukkan bahwa riwayat itu tunggal sifatnya (khabar wahid) dan riwayat jenis itu tidak bisa dijadikan sandaran sebagai penghapus hukum yang ada dalam Al-Qur’an, oleh karenanya Imran bin Hashin mengatakan tidak ada riwayat ataupun ayat yang menghapus hukum mut’ah (lihat kembali riwayat Imran diatas).
2. Khalifah kedua sebagai pengharam mut’ah pun tidak menyandaran ijtihadnya – kalaulah itu bisa disebut ijtihad- kepada ayat ataupun riwayat karena memang tidak ada riwayat yang menghapus hukum mut’ah tersebut sehingga dari sinilah menyebabkan banyak sahabat yang menentang keputusan Umar dalam pengharaman mut’ah. Kalau ada ayat atau riwayat yang mengharamkan nikah Mut’ah, kenapa Umar menyandarkan pelarangannya pada diri sendiri? Bukankah dengan menyandarkan pada ayat dan riwayat dari Rasul maka pendapatnya akan lebih kuat?
Soal: Diperbolehkannya melakukan nikah mut’ah adalah sebagaimana diperbolehkannya memakan daging babi yaitu pada saat-saat tertentu saja (dharurat) karena mut’ah sama hukumnya seperti zina yaitu haram, maka sebagaimana haramnya babi dalam saatsaat tertentu halal maka pada saat-saat tertentupun mut’ah halal juga hukumnya.

Jawab: Jelas penyamaan antara diperbolehkannya makan daging babi disaat dharurat berbeda dengan mut’ah, salah satu perbedaannya adalah:
Hukum dharurat hanya pada hal-hal yang mengakibatkan kelangsungan hidup (jiwa) terancam oleh karenanya diperbolehkan makan daging babi sebatas untuk menyambung hidup saja sehingga dilarang untuk makan secara berlebihan, adapun mut’ah apakah ia sama seperti daging babi sehingga jika seseorang tidak mut’ah lantas ia terancam kelangsungan hidupnya?
Kalaupun –walaupun alasan ini tidak dapat diterima- mut’ah bisa disamakan sama seperti daging babi yaitu terkenai hukum dharurat, lantas kenapa banyak sahabat yang melakukan mut’ah saat itu padahal gairah seksual tidak mesti muncul bersamaan sebagaimana rasa lapar?
Kalau dikatakan hukum dharurat itu ada, seharusnya hukum setelah hilang nya dharurat, kembali ke hukum awal nya (haram), akan tetapi yang kita dapati bahwa rasulullah tidak mengharamkan sampai akhir hayatnya. Sehingga tidak benar penghalalan hukum mutah itu dikarenakan dharurat.

Penutup:
Dari sini jelaslah bahwa nikah mut’ah diperbolehkan oleh syariat Islam –yang bersumber dari ayat dan hadis shohih- dimana sepakat kaum muslimin bahwa sumber syariat hanyalah ALLAAH semata sebagaimana ayat yang berbunyi: “keputusan menetapkan suatu hukum hanyalah hak ALLAAH”(Qs Yusuf:67). Sedang Rasul diutus untuk menjelaskannya oleh karenanya apa yang diungkapkan oleh beliau merupakan apa yang sudah disetujui oleh ALLAAH. Rasul bersabda:“dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”(Qs An-Najm:3-4). Oleh karenanya:“apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”(Qs Al-Hasyr:7).

Adapun ucapan para sahabat jika sesuai dengan firman ALLAAH atau ungkapan Rasul maka bisa juga dikategorikan sebagai teks agama, akan tetapi jika tidak maka hal itu telah keluar dari apa yang telah tercantum dari ayat-ayat diatas tadi karena mereka manusia biasa seperti kita yang juga bisa salah sehingga tidak bisa dijadikan rujukan dalam menangani masalah syariat secara independen (mustaqil) tanpa tolok ukur kebenaran yang lain. Karena jika tidak, apa mungkin akan kita jadikan tolok ukur sedang kita dapati banyak pendapat mereka yang saling paradoksal sebagaimana yang kita saksikan tadi, bukankah dalam situasi perbedaan pendapat semacam itu kita diperintahkan untuk kembali kepada ALLAAH & Rasuln : kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada ALLAAH dan Rasul jika kamu benar-benar beriman kepada  ALLAAH dan hari akhir”(Qs An-Nisaa’:59).

Bukanlah ALLAAH dan RasulNYA tetap menghalalkan nikah mut’ah? Sewaktu sumber syariat adalah Al-Qur’an dan Hadis shohih lantas apakah diperbolehkan orang berijtihad –yang lantas hasilnya-hasilnya dianggap sebagai syariat- akan tetapi bertentangan dengan kehendak ALLAAH dan Rasul yang sebagai sumber syariat?, bukankah dalam Al-Qur’an telah ditetapkan bahwa; “dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila ALLAAH dan RasulNYA telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barang siapa yang mendurhakai ALLAAH dan Rasul-NYA maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata”(Qs al-Ahzab:36).

Apakah pemberian ketetapan lain yang tidak sesuai dengan ketetapan ALLAAH dan Rasul tersebut tidak dikategorikan sebagai bid’ah -yang berarti mengada-adakan hukum syariat- dimana dalam riwayat disebutkan bahwa semua jenis bid’ah adalah sesat – “kullu bid’atin dholalah” -sehingga tidak ada lagi lubang untuk membagi bid’ah kepada bid’ah yang baik dan yang buruk? Lantas apakah konsekwensi bagi orang ahli bid’ah yang berarti ahli kesesatan yang dalam riwayat tentang bid’ah juga telah disebutkan “wakullu dhalalatin finnaar”? Kemudian apakah kita akan terus mengikuti ahli bid’ah dengan mengharamkan nikah mut’ah?

Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh khalifah kedua?
Dan masih banyak pertanyaan lain yang harus dijawab oleh saudara saudara ahlussunnah yang berkisar tentang mut’ah. Renungkanlah dan bacalah saudara-saudaraku.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya ALLAAH tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS; Al-Maaidah:87).


[43] Asysyafi’i. Muhammad bin Idris. Al Umm. Darul Kutub Al Ilmiyyah, . Tanpa Tahun, Dari CD Maktabatul Fiqh, Jilid 5, Hal. 10
[44] Assamarqondi. Abu Laits. Al Muhazzab.. Beirut. Dar Ihya’ Turats Al Arabi . Tanpa Tahun. jilid 2 hal 54. Dari CD Maktabatul Fiqh
[45] Ibnu Dhawayyan. Manarussabil. Al Maktab Al Islami. Dari CD Maktabatul Fiqh, Tanpa Tahun.
[46] AnNisa’. 4 : 25
[47] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahanya, Tanpa Tahun, Cetakan Saudi Arabia. Hal. 121
[48] Ibnu Katsir. Tafsir Al Qur’an Al Adzim. 1992. Darul Fikr. Beirut. jilid 1 hal 588
[49] Al Mu’minun. 23 : 5, 6
[50] Departemen Agama RI, Op. Cit. Hal 526
[51] Ibnu Katsir. Tafsir Al Qur’an Al Adzim. 1992. Darul Fikr. Beirut. jilid 3 hal 294
[52] AnNur. 24 : 33
[53] Departemen Agama RI, Op. Cit. Hal 549
[54] Ibnu Katsir. Tafsir Al Qur’an Al Adzim. 1992. Darul Fikr. Beirut. Jilid 1 hal 588
[55] Ibnu Hajar Al Asqalani. Fathul Bari bisyarhi Sohihil Bukhori. Jilid 9 .Hal 166 Kitab Nikah. Bab Naha Rasulullah An Nikahil Mut’ati Akhiiron.. Darul Ma’rifah Beirut. Tanpa Tahun . 9 : 166 hadits No. 5115
[56] AnNawawi. Muhyiddin.. Sohih Muslim Bisyarhin Nawawi. Jilid 9 Hal 184 . Kitab Nikah Bab Nikahul Mut’ah, wa bayan annahu ubiihaTsumma Nusikh Tsumma Ubiiha Tsumma Nusikha Da rul Ma�rifah. Beirut Tanpa Tahun : 9 : 187. Hadits no. 3404
[57] AnNawawi. Muhyiddin.. Op. Cit. Jilid 9 : 187. Hadits no. 3404
[58] AnNawawi. Muhyiddin.. Ibid Jilid 9 hal 184
[59] AnNawawi. Muhyiddin.. Ibid… Kitab Nikah Bab Nikahul Mut’ah, wa bayan annahu ubiiha y Tsumma Nusikh Tsumma Ubiiha Tsumma Nusikha Da rul Ma�rifah. Beirut Tanpa Tahun : 9 : 186. Hadits no. 3402
[60] AnNawawi. Muhyiddin.. Op. Cit Jilid 9 hal 183
[61] AnNawawi. Muhyiddin.. Loc. Cit.
[62] Assamarqondi. Abu Laits. Al Muhazzab.. Beirut. Dar Ihya’ Turats Al Arabi. Tanpa Tahun . Dari CD Maktabatul Fiqh Jilid 2 hal 54
[63] Al Sarkhasi, Syamsuddin.. Al Mabsut. Beirut. Darul Kutub Al Ilmiyyah. 1993 . jilid 5. hal. 153 Dari CD Maktabatul Fiqh
[64] Al Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Al Kafi.. http://www.islam4u.com Tanpa Tahun. Jilid 5 hal. 448
[65] Syiah memahami ayat ini bukan dalam kontek istri, jika ayat ini difahami dengan kontek istri tentu tidak dapat dijadikan dalil bagi diperbolehkannya nikah mut’ah
[66] Al Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Loc. Cit. Riwayat. No2
[67] Al Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Op. Cit. Jilid 5 hal. 448 . Riwayat. No. 3
[68] [68] Al Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Loc. Cit. Riwayat. No. 4
[69] Al Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Op. Cit . Jilid 5 hal. 451 .
[70] Al Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Op. Cit. Jilid. 5 Hal. 452
[71] Al Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Op. Cit. Jilid. 5 Hal. 455
[72] Al Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Ibid . Jilid. 5 Hal. 457
[73] Al Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Ibid . Jilid. 5 Hal. 458
[74] Al Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Ibid . Jilid. 5 Hal. 460
[75] Al Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Loc. Cit
[76] Al Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Loc. Cit
[77] Al Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Ibid . Jilid. 5 Hal. 452
[78] Al Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Ibid t. Jilid. 5 Hal. 462
[79] Al Sistani. Ali. Minhajusholihin. http://www.al-shia.com. Tanpa Tahun Jilid 3 hal 82
[80] Al Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Loc. Cit
[81] Al Sistani. Ali. Op. Cit. Jilid 3 hal. 8
[82] Al Qummi. Muhammad bin Ali bin Husein bin Babawaih.. Man La yahdhuruhul faqih.www.al-shia.com Tanpa Tahun. Jilid 3. Hal 464
[83] Al Qummi. Muhammad bin Ali bin Husein bin Babawaih..Loc. Cit
[84] Al Sistani. Ali. Op. Cit. Hal. 80
[85] Al Sistani. Ali. Loc. Cit.

Nikah Mut’ah, Halal atau Haram?

 

Salah satu masalah fikih yang diperselisihkan antara pengikut Ahlulbait (Syiah) dan Ahlusunnah adalah hukum nikah Mut’ah. Tentang masalah ini ada beberapa hal yang perlu kita ketahui, berikut ini akan kita bahas bersama.

Pertama: Defenisi NikahMut’ah.
Kedua: Tentang ditetapkannya mut’ah dalam syari’at Islam.
Ketiga: Tidak adanya hukum baru yang me-mansukh-kannya.
Keempat: Hadis-hadis yang menegaskan disyari’atkannya.
Kelima: Bukti-bukti bahwa Khalifah Umar-lah yang mengharamkannya.

Difinisi Nikah Mut’ah:
Ketika menafsirkan ayat 24 surah al-Nisa’-seperti akan disebutkan di bawah nanti, Al-Khazin (salah seorang Mufasir Sunni) menjelaskan difinisi nikah mut’ah sebagai berikut, “Dan menurut sebagian kaum (ulama) yang dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah nikah mut’ah yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya telah habis maka wanita itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talaq (cerai), dan ia (wanita itu) harus beristibrâ’ (menanti masa iddahnya selasai dengan memastikan kesuciaannya dan tidak adanya janin dalam kandungannya_pen), dan tidak ada hak waris antara keduannya. Nikah ini boleh/halal di awal masa Islam kemudian diharamkan oleh Rasulullah saw.”[1] Dan nikah Mut’ah dalam pandangan para pengikut Ahlulbait as. adalah seperti difinisi di atas.

NikahMut’ah Telah Disyari’atkan.
Dalam masalah ini telah disepakati bahwa nikah mut’ah telah disyari’atkan dalam Islam, seperti juga halnya dengan nikah daa’im (permanen). Semua kaum Muslim dari berbagai mazhab dan aliran tanpa terkecuali telah sepakat bahwa nikah Mut’ah telah ditetapkan dan disyari’atkan dalam Islam. Bahkan hal itu dapat digolongkan hal dharuruyyat minaddin (yang gamblang dalam agama). Alqur’an dan sunah telah menegaskan disyari’atkannya nikah Mut’ah. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat tentang apakah ia kemudian dimansukhkan atau tidak?

Al-Maziri seperti dikutip al-Nawawi mengatakan, “Telah tetap (terbukti) bahwa nikah Mut’ah adalah boleh hukumnya di awal Islam… .” [2] Ketika menjelaskan sub bab yang ditulis Imam Bukhari: Bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (Bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).

Ibnu Hajar mendifinisikan nikah mut’ah, “Nikah mut’ah ialah menikahi wanita sampai waktu tertentu, maka jika waktu itu habis terjadilah perpisahan, dan difahami dari kata-kata Bukhari akhiran (pada akhirnya) bahwa ia sebelumnya mubaah, boleh dan sesungguhnya larangan itu terjadi pada akhir urusan.” [3]

Al-Syaukani juga menegaskan bahwa nikah mut’ah adalah pernah diperbolehkan dan disyari’atkan dalam Islam, sebelum kemudian, katanya dilarang oleh Nabi saw., ia berkata, “Jumhur ulama berpendapat sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat ini ialah nikah mut’ah yang berlaku di awal masa Islam. Pendapat ini dikuatkan oleh qira’at Ubai ibn Ka’ab, Ibnu Abbas dan Said ibn Jubair dengan tambahan إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى .” [4]

Ibnu Katsir menegaskan, “Dan keumuman ayat ini dijadikan dalil nikah mut’ah, dan tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya nikah mut’ah itu ditetapkan dalam syari’at pada awal Islam, kemudian setelah itu dimansukhkan… .” [5]

Ayat Tantang Disyari’atkannya Nikah Mut’ah.
Salah satu ayat yang tegas menyebut nikah bentuk itu seperti telah disinggung di atas ialah firman Allah SWT.

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوْهُنَّأُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً … (النساء:24)

“Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka upah (mahar)nya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban…” (QS:4;24)

Ayat di atas mengatakan bahwa wanita-wanita yang telah kamu nikahi dengan nikah mut’ah dan telah kamu gauli maka berikanlah kepada mereka itu mahar secara sempurna. Kata اسْتَمْتَعْتُمْ berartikan nikahmut’ah yaitu nikah berjangka waktu tertentu sesuai kesepakatan antara kedua pasangan calon suami istri. Dan dipilihnya kata tersebut disebabkan nikah mut’ah memberikan kesenangan, kenikmatan dan manfaat.
Dalam bahasa Arab kata mut’ah juga diartikan setiap sesuatu yang bermanfaat, kata kerja istamta’a artinya mengambil manfaat[6].

Para sahabat telah memahami ayat di atas sebagai ayat yang menegaskan disyari’atkannya nikahtersebut, sebagian sahabat dan ulama tabi’in seperti Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Said ibn Jubari, Mujahid dan as Suddi membacanya:

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ – إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى- فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً

dengan memberi tambahan kata إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka waktu tertentu). Bacaan tesebut tentunya sebagai sekedar penjelasan dan tafsir, bukan dengan maksud bahwa ia dari firman Allah SWT. Bacaan mereka tersebut dinukil oleh para ulama besar Ahlusunah seperti Ibnu Jarir al-Thabari, Al-Razi, al-Zamakhsyari, Al-Syaukani dan lainnya yang tidak mungkin saya sebut satu persatu nama-nama mereka. Qadhi Iyaadh seperti dikutip al-Maziri, sebagaimana disebutkan Al Nawawi dalam syarah Shahih Muslim, awal Bab Nikah Mut’ah bahwa Ibnu Mas’ud membacanya dengan tambahan tersebut. Jumhur para ulama pun, seperti telah Anda baca dari keterangan Al-Syaukani, memehami ayat tersebut sebagai yang menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah.

Catatan:
Perlu Anda cermati di sini bahwa dalam ayat di atas Allah SWT berfirman menerangkan apa yang dipraktikkan kaum Muslim dari kalangan sahabat-sabahat Nabi suci saw. dan membimbing mereka akan apa yang harus mereka lakukan dalam praktik yang sedang mereka kerjakan. Allah SWT menggunakan kata kerja bentuk lampau untuk menunjuk apa yang telah mereka kerjakan: اسْتَمْتَعْتُمْ, dan ia bukti kuat bahwa para sahabat itu telah mempraktikan nikah mut’ah. Ayat di atas sebenarnya tidak sedang menetapkan sebuah hukum baru, akan tetapi ia sedang membenarkan dan memberikan bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam bermut’ah. Bukti lain bahwa ayat di atas sedang menerangkan hukum nikah mut’ah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut telah dimansukhkan oleh beberapa ayat, seperti akan disinggung nanti. Itu artintya mereka mengakui bahwa ayat di atas tegas-tegas menerangkan hukum nikah Mut’ah!

Klaim Pe-mansukh-an Hukum Nikah Mut’ah Dalam Al qur’an.
Ketegasan ayat diatas adalah hal yang tidak disangsikan oleh para ulama dan ahli tafsir. Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwa hukum itu walaupun telah disyari’atkan dalam ayat tersebut di atas, akan tetapi ia telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Para ulama’ Sunni telah menyebutkan beberapa ayat yang dalam hemat mereka sebagai ayat naasikhah (yang memasukhkan) ayat Mut’ah. Di bawah ini akan saya sebutkan ayat-ayat tersebut.

Ayat Pertama:
Firman Allah SWT:

و الذين هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حافِظُونَ إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُهُمْ، فَإِنَّهُمْ غيرُ مَلُوْمِيْنَ. (المؤمنون:5-6)

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal yang tiada tercela.” (QS:23;5-6) Keterangan Ayat:
Dalam pandangan mereka ayat di atas menerangkan bahwa dibolehkan/ dihalalkanya menggauli seorang wanita karena dua sebab; pertama, hubungan pernikahan (permanen).Kedua, kepemilikan budak.
Sementara itu kata mereka wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah, bukan bukan seorang istri.

Tanggapan:
Pertama, yang perlu difahami ialah bahwa mut’ah adalah sebuah ikatan pernikahan dan perkawinan, baik dari sudut pandang bahasa, tafsir ayat maupun syari’at, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi ia sebenarnya dalam keumuman ayat di atas yang diasumsikan sebagai pemansukh, tidak ada alasan yang membenarkan dikeluarkannya dari keumuman tersebut. Kata Azwaajihim dalam ayat di atas mencakup istri yang dinikahi baik dengan akad nikah daim (permanent) maupun akadnikah Mut’ah.

Kedua, selain itu ayat 5-6 Surah Mu’minun (sebagai pemansukh) berstatus Makkiyah (turun sebelum Hijrah) sementara ayat hukum Mut’ah (ayat 24 surah al-Nisa’) berstatus Madaniyah (turun setelah Hijrah). Lalu bagaimana mungkin ayat Makkiyah yang turun sebelum ayat Madaniyah dapat memansukhkannya?! Ayat yang memansukh turun lebih dahulu dari ayat yang sedang dimansukhkan hukumnya. Mungkinkah itu?!

Ketiga, Tetap diberlakukannya hukum nikah Mut’ah adalah hal pasti, seperti telah ditegaskan oleh para ulama Sunni sendiri. Az- zamakhsyari menukil Ibnu Abbas ra.sebagai mengatakan, “Sesungguhnya ayat Mut’ah itu muhkam (tidak mansukh)”. Pernyataan yang sama juga datang dari Ibnu Uyainah.

Keempat, Para imam Ahlubait as. menegaskan bahwa hukum yang terkandung dalam ayat tersebut tetap berlaku, tidak mansukh.

Kelima, Ayat 5-6 Surah Mu’minun sedang berbicara tentang hukum nikah permanen dibanding tindakan-tindakan yang diharamkan dalam Syari’at Islam, seperti perzinahan, liwath (homo) atau kekejian lain. Ia tidak sedang berbicara tentang nikah Mut’ah, sehingga diasumsikan adanya saling bertentangan antara keduanya.

Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan nikah Mut’ah itu bukan berstatus sebagai isrti, zawjah, maka anggapan itu tidak benar. Sebab:
1. Mereka mengatakan bahwa nikah ini telah dimansukhkan dengan ayat إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ … atau ayat-ayat lain atau dengan riwayat-riwayat yang mereka riwayatkan bahwa Nabi saw. telah memansukhnya setelah sebelumnya pernah menghalalkannya. Bukankah ini semua bukti kuat bahwa Mut’ah itu adalah sebuah akad nikah?! Bukankah itu pengakuan bahwa wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah itu adalahh seorang isrti, zawjah?! Sekali lagi, terjadinya pemansukhan -dalam pandangan mereka- adalah bukti nyata bahwa yang dimansukh itu adalah nikah!
2. Tafsiran para ulama dan para mufassir Sunni terhadap ayat surah An Nisaa’ bahwa yang dimaksud adalah nikah Mut’ah adalah bukti nyata bahwa akad Mut’ah adalah akad nikah dalam Islam.
3. Nikah Mut’ah telah dibenarkan adanya di masa hidup Nabi saw. oleh para muhaddis terpercaya Sunni, seperti Bukhari, Muslim, Abu Daud dll.
4. Ada ketetapan emas kawin, mahar dalam nikah Mut’ah adalah bukti bahwa ia adalah sebuah akadnikah. Kata أُجُوْرَهُنَّ (Ujuurahunna=mahar mereka). Seperti juga pada ayat-ayat lain yang berbicara tentang pernikahan.

Perhatikan ayat 25 surah An Nisaa’, ayat 50 surah Al Ahzaab(33) dan ayat 10 surah Al Mumtahanah (60). Pada ayat-ayat di atas kata أُجُوْرَهُنَّ diartikan mahar.

Ayat Kedua dan Ketiga:

Allah SWT berfirman:

وَلَكُمْ نِصْفُ ما تَرَكَ أَزْواجُكُمْ. (النساء:12)

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu.” (QS:3;12)

Dan

وَ إِذا طَلَّقْتُمُ النِساءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ. (الطلاق:1)

“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaknya kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)iddahnya (yang wajar).” (QS65;1)

Keterangan:
Ringkas syubhat mereka dalam masalah ini ialah bahwa seorang istri itu dapat mewarisi suaminya, dan dapat diceraikan dan baginya hak mendapatkan nafkah dari suami. Semua ini adalah konsekuensi ikatan tali pernikahan. Sementara itu, dalam kawin Mut’ah hal itu tidak ada, seorang istri tidak mewarisi suaminya, dan hubungan itu berakhir dengan tanpa talak/tidak melalui proses penceraian, dan tiada atas suami kewajiban nafkah. Maka dengan memperhatikan ini semua Mut’ah tidak dapat disebut sebagai akad nikah, dan wanita itu bukanlah seorang istri! Tanggapan Atas Syubhat di Atas:
1. Syarat yang diberlakukan dalam akad Mut’ah sama dengan yang diberlakukan dalam nikah daim (permanen), sebagimana dalam nikah daim disyaratkan beberapa syarat, seperti, harus baligh, berakal (waras jiwanya), bukan berstatus sebagai hamba sahaya, harus ada saling rela, dan …demikian pula dalam nikah Mut’ah tanpa ada sedikitpun perbedaan. Adapun masalah talak, dan saling mewarisi, misalnya, ia bukan syarat sahnya akad pernikahan… ia adalah rentetan yang terkait dengannya dan tetap dengan tetap/sahnya akad itu sendiri. Oleh sebab itu hal-hal di atas tidak disebutkan dalam akad. Ia berlaku setelah terjadi kematian atau penceraian. Seandainya seorang istri mati tanpa meninggalkan sedikitpun harta waris, atau ia tidak diceraikan oleh suaminya hingga ia mati, atau suami menelantarkan sebagian kewajibannya, maka semua itu tidak merusak kebashan akad nikahnya. Demikian pula tentang nafkah dan iddah.
2. Redaksi akad yang dipergunakan dalam nikah daim tidak berbeda dengan yang dipergunakan dalam nikah Mut’ah, hanya saja pada Mut’ah disebutkan jangka waktu tertentu.
3. Antara dua ayat yang disebutkan dengan ayat Mut’ah tidak ada sedikit pertentangan. Anggapan itu hanya muncul karena ketidak fahaman semata akan batasan Muthlaq (yang mutlak tanpa ikatan) dan Muqayyad (yang diikat), yang umum dan yang khusus. Karena sesungguhnya ayat Mut’ah itu mengkhususkan ayat tentang pewarisan dan talak.
4. Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan akad nikah Mut’ah itu bukan seorang istri, maka anggapan itu tidak benar karena:
A. Sebab pewarisan itu bukanlah konsekuensi yang berkalu selamanya dalam pernikahan, yang tidak dapat berpisah sama sekali. Di sana ada pengecualian- pengecualian. Seorang wanita ditetapkan sebagai sitri namun demikian ia tidak mewairisi suaminya, seperti seorang istri yang berbeda agama (Kristen misalnya) dengan suaminya (Muslim), atau istri yang membunuh suaminya, atau seorang wanita yang dinikahi seorang laki-laki dalam keadaan sakit kemudian suami tersebut mati sebelum sempat berhubungan badan dengannya, atau apabila istri tersebut berstatus sebagai budak sahaya… bukankan dalam contoh kasus di atas wanita itu berstaus sebagai isri, namun demikian -dalam syari’at Islam- ia tidak mewarisi suaminya.
B. Ayat tentang warisan (ayat 12 surah An Nisaa’) adalah ayat Makkiyah sementara ayat Mut’ah adalah madaniyah. Maka bagaimana mungkin yang menasakh turun lebih dahulu dari yang dimansukh?!
5. Adapun anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab tidak ada keharusan atas suami untuk memberi nafkah, maka anggapan ini juga tidak tepat, sebab:
A. Nafkah, seperti telah disinggung bukan konsekusensi pasti/tetap berlaku selamanya atas seorang suami terhadap istrinya. Dalam syari’at Islam, seorang istri yang nasyizah (memberontak kepada suaminya, tidak mau lagi berumah tangga), tiada kewajiban atas suami memberinya nafkah. Demikian disepakati para ulama dari seluruh mazhab.
B. Dalam akad Mut’ah sekali pun, kewajiban nafkah tidak selamanya gugur. Hal itu dapat ditetapkan berdasarkan syarat yang disepakati antara keduannya. Demikian diterangkan para fuqaha’ Syi’ah.
6. Adapun anggapan karena ia tidak harus melakukan iddah (menanti janggak waktu tertentu sehingga dipastikan ia tidak sedang hamil dari suami sebelumnya = tiga kali masa haidh) maka ia bukan seoarng istri. anggapan ini adalah salah, dan sekedar isu palsu, sebab seorang wanita yang telah berakhir janggka waktu nikah Mut’ah yang telah ditentukan dan disepakati oleh keduanya, ia tetap wajib menjalani proses iddah. Dalam fikih Syi’ah para fuqaha’ Syi’ah menfatwakan bahwa masa iddah atasnya adalah dua kali masa haidh.
7. Adapun anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab ia berpisah dengan suaminya tanpa melalui proses perceraian, sementara dalam Al qur’an ditetapkan hukum perceraian bagi suami istri yang hendak berpisah.

Maka hal itu tidak benar, sebab:
A. Perceraian bukan satu-satunya yang merusak akad penikahan. Seorang istri dapat saja berpisah dengan suaminya dengan tanpa perceraian, seperti pada kasus, apabila istri tersebut murtad, atau apabila ia seorang hamba sahaya kemudian ia dijual oleh tuannya, atau istri yang masih kanak-kanak, kemudian istri suami tersebut menyusuinya (sehingga ia menjadi anak susunya), atau ketika ibu suami itu menyusui anak istrinya… Atau istri seorang laki-laki yang murtad, atau istri yang terbukti terdapat padanya cacat, ‘uyuub yang menyebabkan gugurnya akad nikah, seperti apabila istri itu ternyata seorang wanita gila dan …. Bukankah dalam semua kasus di atas istri itu berpisah dari suaminya tanpa melalui proses talak?!
B. Seorang wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah tidak berarti selamanya menjadi monopoli suami itu yang tidak akan pernah bisa berpisah. Dalam nikah Mut’ah ketetapan tentang waktu berada di tangan si wanita dan pri itu. Merekalah yang menetukan jangka waktu bagi pernikahan tersebut.
C. Kedua ayat itu tidak mungkin dapat menasikhkan hukum nikah Mut’ah yang disepakati kaum Muslim (Sunni-Syi’ah) akan adanya di awal masa Islam.

Dan saya cukupkan dengan memaparkan contoh-contoh ayat yang diasumsikan sebagai penasakh hukum nikah Mut’ah yang telah ditetapkan dalam Ayat Mut’ah (ayat 24 surah An Nisaa’). Dalil Sunnah
Adapun bukti dari sunnah Nabi saw. bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan dalam Islam dan tidak pernah dimansukhkan oleh sesuatu apapun adalah banyak sekali, di antaranya ialah apa yang diriwayatkan “Imraan ibn Hushain” yang menegaskan bahwa ayat di atas turun berkaitan dengan hukum nikah mut’ah dan ia tetap, muhkam (berlaku) tidak dimansukhkan oleh sesuatu apapun sampai Umar mengharamkannya. Selain riwayat dari “Imraan ibn Hushain”, sahabat-sabahat lain seperti Jabir ibn Abdillah, Salamah ibn al-Akwa’, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Akwa’ ibn Abdullah, seperti diriwayatkan hadis-hadis mereka oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan juga Imam Muslim dalam Shahihnya juga menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah. Al-hasil, hadis tentang pernah disyari’atkannya bahkan masih tetap dihalalkannya nikah mut’ah banyak sekali dalam buku-buku hadis andalan Ahlusunah.

Hukum Nikah Mut’ah Tidak Pernah Dimansukhkan.
Para Imam suci Ahlubait as., dan tentunya juga para pengikut setia mereka (Syi’ah Imamiyah) meyakini bahwa nikah mut’ah masih tetap disyari’atkan oleh Islam dan ia halal sampai hari kiamat tiba, tidak ada sesuatu apapun yang menggugurkan hukum dihalalkannya.

Dan seperti telah Anda baca sebelumnya bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan Islam; Alqur’an turun untuk membenarkan praktik nikah tersebut, Nabi saw. mengizinkan para sahabat beliau melakukannya, dan beliau juga memerintahkan juru penyampai untuk mengumandangkan dibelohkannya praktik nikah mut’ah. Jadi atas yang mengaku bahwa hukum nikah mut’ah yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya itu sekarang dilarang, maka ia harus mengajukan bukti.

Sementara itu, seperti akan Anda saksikan nanti, bahwa klaim adanya pengguguran (pe-mansuk-han) hukum tersebut adalah tidak berdasar dan tidak benar, ayat-ayat Alqur’an yang kata mereka sebagai pemansukh ayat mut’ah tidak tepat sasaran dan hanya sekedar salah tafsir dari mereka, sedangkan hadis-hadis yang mereka ajukan sebagai bukti adanya larangan juga centang perentang, saling kontradiksi, di samping banyak darinya yang tidak sahih. Di bawah ini akan saya sebutkan beberapa hadis yang tegas-tegas mengatakan bahwa nikah mut’ah adalah halal dan tidak pernah ada hukum Allah SWT yang mengharamannya.

Hadis Pertama: Hadis Abdullah ibn Mas’ud.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Qais ibn Abi Hazim ia mendengar Abdullah ibn Mas’ud ra. berkata:
“Kami berperang keluar kota bersama Rasulullah saw., ketika itu kami tidak bersama wanita-wanita, lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mengebiri diri?”, maka beliau melarang kami melakukannya lalu beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan mahar (emas kawin) bitstsaub, sebuah baju. Setelah itu Abdullah membacakan ayat:

يَا أَيُّها الذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّباتِ ما أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَ لاَ تَعْتَدُوا، إِنَّ اللهَ لا يُحِبُّ المعْتَدِيِنَ.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan jangan kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(QS:5;87)“

Hadis di atas dapat Anda temukan dalam:
1. Shahih Bukhari:
· Kitabut tafsir, bab Qauluhu Ta’ala يَا أَيُّها الذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّباتِ ما أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ .[7]
·Kitabun Nikah, bab Ma Yukrahu minat Tabattul wal Khashbaa’.[8]
2. Shahih Muslim:
· Kitabun Nikah, bab Ma Ja’a fi Nikah al-Mut’ah[9]

Ketika menerangkan hadis di atas, Ibnu Hajar dan al-Nawawi mengatakan:
“kata-kata ‘beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan mahar (emas kawin) sebuah baju’ sampai jangka waktu tertentu dalam nikah mut’ah… .” Ia juga mengatakan bahwa pembacaan ayat tersebut oleh Ibnu Mas’ud adalah isyarat kuat bahwa beliau meyakni dibolehkannya nikah mut’ah, seperti juga Ibnu Abbas.

Hadis Kedua: Hadis Jabir Ibn Abdillah dan Salamah ibn al-Akwa’ ra yaitu:
A. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hasan ibn Muhammad dari Jabir ibn Abdillah dan Salamah ibn Al-Akwa’ keduanya berkata:
“Kami bergabung dalam sebuah pasukan, lalu datanglah rasul (utusan) Rasulullah sa., ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mengizinkan kalian untuk menikah mut’ah, maka bermut’ahlah kalian.”

Hadis di atas dapat Anda baca dalam:
1. Shahih Bukhari: Kitabun Nikah, bab Nahyu Rasulillah saw ‘An-Nikah al-Mut’ah ‘Akhiran.[10] 2. Shahih Muslim: Kitabun Nikah, bab Nikah al-Mut’ah.[11]

B. Jabir ibn Abdillah dan Salamah ibn al-Akwa’: Sesungguhnya Rasulullah saw. datang menemui kami dan mengizinkan kami untuk bermut’ah.[12]

Hadis Ketiga:
Hadis Jabir ibnAbdillah:
A. Muslim meriwayatkan dari Atha’, ia berkata:
“Jabir ibn Abdillah datang untuk umrah, lalu kami mendatanginya di tempat tinggalnya dan orang-orang bertanya kepadanya banyak masalah, kemudian mereka menyebut-nyebut mut’ah, maka Jabir berkata, “Kami bermut’ah di masa Rasulullah saw., masa Abu Bakar dan masa Umar.”[13]

B. Dari Abu Bashrah, ia berkata:
“Aku berada di sisi Jabir lalu datanglah seseorang dan berkata, ” Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair berselisih tentang dua jenis mut’ah”. Jabir berkata,” Kami melakukannya bersama Rasululah saw., kemudian Umar melarang melaksanakan keduanya, maka kami tidak kembali (melakukannya) lagi.”[14]

C. Abu Zubair berkata, “Aku mendengar Jabir ibn Abdillah berkata:
“Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits.”[15] Ibnu Jakfari berkata:
Jelaslah bahwa maksud Jabir dengan ucapannya bahwa “Kami bermut’ah di masa Rasulullah…”, “Kami melakukannya bersama Rasululah saw” bukanlah bahwa saya sendirian melakukannya hanya sekali saja, akan tetapi ia hendak menjelaskan bahwa kami (saya dan rekan-rekan sahabat Nabi saw.) melakukannya banyak kali, dan dengan sepengetahuan Nabi saw., beliau membenarkannya dan tidak melarangnya sampai beliau dipanggil Allah SWT ke alam baqa’. Dan ini adalah bukti kuat bahwa tidak pernah ada pengharaman dari Allah dan Rasul-Nya, nikah mut’ah tetap halal hingga hari kiamat, sebab “halalnya Muhammad saw. adalah halal hingga hari kiamat dan haramnya Muhammad adalah haram hingga hari kiamat”, kecuali jika kita meyakini bahwa ada nabi baru setelah Nabi Muhammad saww dan ada wahyu baru yang diturunkan Jibril as. setelah sempurnanya agama Islam.

Adapun arahan sebagian ulama, seperti al-Nawawi yang mengatakan bahwa para sahabat mulia itu mempraktikan nikah mut’ah di masa hidup Nabi saw. dan juga di masa kekhalifahan Abu Bakar dan beberapa tahun masa kekhalifahan Umar itu dikarenakan mereka belum mengetahui pemansukhan hukum tersebut, adalah ucapan tidak berdasar, sebab bagainama mungkin pemansukhan itu samar atas para sahabat itu -dan tidak jarang dari mereka yang dekat persahabatannya dengan Nabi saw.-, sementara pemansukhan itu diketahui oleh sahabat-sabahat “cilik” seperti Abdullah ibn Zubair atau yang lainnya?!

Bagaimana mungkin juga hukum pengharaman mut’ah itu juga tidak diketahui oleh Khalifah Umar, sehingga ia membiarkan praktik nikah mut’ah para sabahat, dan baru sampai kepadanya berita pemansukhan itu di masa akhir kekhalifahannya?! Ketika menerangkan ucapan Jabir, “sampai Umar melarangnya”, Al-Nawawi berkata, “Yaitu ketika sampai kepadanya berita pemansukhan.”[16]

Selain itu jelas sekali dari ucapan Jabir bahwa ia menisbatkan pengharaman/ larangan itu kepada Umar “sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits”. Jadi larangan itu bukan datang dari Allah SWT dan Rasul-Nya, ia datang dari Khalifah Umar dalam kasus Amr ibn Huraits. Umar sendiri seperti telah Anda baca dalam pidatonya menegakan bahwa dua jenis mut’ah itu ada di masa Rasululah saww. dan beliau menghalalkannya, namun ia (Umar) melarangnya!

Coba Anda perhatikan hadis di bawah ini: Al-Baihaqi meriwayatkan dalam as-Sunan al-Kubranya dari Abu Nadhrah dari Jabir ra.:
saya (Abu Nadhrah) berkata, ” Sesungguhnya Ibnu Zubair melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya”. Maka jabir berkata, “Di tangan sayalah hadis ini berputar, kami bermut’ah bersama Rasulullah saw. dan Abu Bakar ra. dan ketika Umar menjabat sebagai Khalifah ia berpidato di hadapan orang-orang, “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah saw. adalah Rasul utusan Allah, dan Alqur’an adalah Alqur’an ini. Dan sesungguhnya ada dua jenis mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah saw., tapi aku melarang keduanya dan memberlakukan sanksi atas keduanya, salah satunya adalah nikah mut’ah, dan saya tidak menemukan seseorang yang menikahi wanita dengan jangka tertentu kecuali saya lenyapkan dengan bebatuan. Dan kedua adalah haji tamattu’, maka pisahkan pelaksanaan haji dari umrah kamu karena sesungguhnya itu lebih sempurna buat haji dan umrah kamu.”[17]

Dan selain hadis yang telah disebutkan di atas masih banyak hadis-hadis lain yang sengaja saya tinggalkan, sebab apa yang telah disebut sudah cukup mewakili.
Dan kini mari kita meyimak hadis-hadis yang mengharamkan nikah Mut’ah.

Riwayat-riwayat Pengharaman Nikah Mut’ah.
Setelah kita simak sekelumit hadis yang menerangkan tetap berlakunya hukum kehalalan nikah mut’ah, maka sekarang kami akan mencoba menyajikan beberapa hadis terkuat yang dijadikan hujjah oleh mereka yang meyaniki bahwa hukum halalnya nikah mut’ah telah dimansukhkan.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa kasus pengharaman nikah mut’ah -dalam pandangan yang mengharamnkan- adalah terbilang kasus aneh yang tidak pernah dialami oleh satu hukum Islam lainnya, yaitu dihalalkan kemudian diharamkan, kemudian dihalalkan dan kemudian diharamkan lagi. Dan sebagiannya hanya berlangsung beberapa hari saja.[18]

Imam Muslim dalam kitab Shahihnya menulis sebuah judul, “Bab Nikah-ul Mut’ah wa Bayaanu ‘Annahu Ubiiha Tsumma Nusikha Tsumma Ubiiha Tsumma Nusikha wa istaqarra Tahriimuhu Ila yaumil Qiyamah (Bab tentang Nikah mut’ah dan keterangan bahwa ia dibolehkan kemudian dimansukkan kemudian dibolehkan kemudian di mansukhkan dan tetaplah pengharaman hingga hari kiamat)”.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir mengatakan, “Imam Syafi’i dan sekelompok ulama berpendapat bahwanikah mut’ah dibolehkan kemudian dimansukhkan kemudian dibolehkan kemudian dimansukhkan, dua kali.” [19]

Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan:
“Masalah kesepuluh: para ulama berselisih pendapat berapa kali ia dibolehkan dan mansukhkan… ia mengatakan bahwa mut’ah pada awalnya dilarang kemudian dibolehkan kemudian Nabi melarang pada perang Khaibar kemudian mengizinkan lagi pada fathu Makkah kemudian mengharamkannya setelah tiga hari berlaku dan ia haram hingga hari kiamat. Ibnu al-Arabi berkata: “Adapun nikah mut’ah ia termasuk hukum syari’at yang aneh sebab ia dibolehkan pada awal masa Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar kemudian dibolehkan pada perang Awthas kemudian di haramkan setelah itu dan tetaplah pengharaman, dan tidak ada yang menyamainya kecuali masalah kiblat… ulama lain yang telah merangkum hadis-hadis masalah ini mengatakan ia meniscayakan adanya penghalalan dan pengharaman sebanyak tujuh kali…”.[20]

Kemudian ia menyebutkan tujuh peristiwa dan kesempatan penghalalan dan pengharaman nikahmut’ah tersebut yang terbilang aneh yang tetuntunya mengundang kecurigaan akan kebenarnnya itu. Sebab kesimpulan ini diambil sebenarnya karena mereka menerima sekelompok hadis yang mengharamkan nikah tersebut, sementara hadis-hadis itu tidak sepakat dalam menyebutkan waktu ditetapkannya pengharaman, akaibatnya harus dikatakan bahwa ia terjadi bebarapa kali. Hadis-hadis tentangnya dapat kita kelompokkan dalam dua klasifikasi global,

pertama, hadis-hadis yang dipandang lemah dan cacat baik sanad maupun matannya oleh para pakar dan ulama Ahlusunnah sendiri. Hadis-hadis kelompok ini tidak akan saya sebutkan dalam kajian kali ini, sebab pencacatan para pakar itu sudah cukup dan tidak perlu lagi tambahan apapun dari saya, dan sekaligus sebagai penghematan ruang dan pikiran serta beban penelitian yang harus dipikul.

Kedua, hadis-hadis yang disahihkan oleh para ulama Ahlusunnah, namun pada dasarnya ia tidak sahih, ia lemah bahkan sangat kuat kemungkinan ia diproduksi belakangan oleh para sukarelawan demi mencari “keridhaan Allah SWT”, hasbatan, untuk mendukung dan membenarkan kebijakan para khulafa’.

Dan untuk membuktikan hal itu saya perlu melakukan uji kualitas kesahihan hadis sesuai dengan kaidah-kaidah yang dirancang para pakar dan ulama.

Hadis Pertama:
Dalam Shahih Muslim, Sunan al-Nasa’i, al-Baihaqi dan Mushannaf Abdir Razzaq, (dan teks yang saya sebutkan dari Mushannaf) dari Ibnu Syihab al-Zuhri, dari Abdullah dan Hasan keduanya putra Muhammad ibn Ali (Hanafiyah) dari ayah mereka, bahwa ia mendengar Ali berkata kepada Ibnu Abbas, “Sesungguhnya kamu benar-benar seorang yang taaih (bingung dan menyimpang dari jalan mustaqiim), sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarangnya (nikah mut’ah) pada hari peperangan Khaibar dan juga mengharamkan daging keledai jinak.” [21]

Hadis di atas dengan sanad yang sama dan sedikit perbedaan dalam redaksinya dapat Anda jumpai dalam Shahih Bukhari, Sunan Abu Daud, Ibnu Majah, al-Turmudzi, al-Darimi, Muwaththa’ Imam Malik, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Musnad Ahmad dan al-Thayalisi dll.[22]

Hadis kedua:
Para muhaddis meriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghiffari ra. bahwa ia berkata:
“Sesungguhnya nikah mut’ah itu hanya dihalalkan khusus untuk kami para sahabat Rasulullah saw. untuk jangka waktu tiga hari saja kemudian setelahnya Rasulullah saw. melarangnya.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Itu dibolehkan karena rasa takut kita dan karena kita sedang berperang.” [23]

Hadis Ketiga:
Dalam Shahih Muslim, Sunan al-Darimi, Ibnu Majah, Abu Daud, dan lainnya (redaksi yang saya sebutkan in dari Muslim) dari Saburah al-Juhani, sesungguhnya ia berperang bersama Rasulullah saw. menaklukkan kota Mekkah. Ia berkata,
“Kami tinggal selama lima belas hari (tiga puluh malam dan siang), maka Rasulullah saw. mengizinkan kami menikahi wanita dengan nikah mut’ah. Lalu saya dan seseorang dari kaumku keluar, dan aku memiliki kelebihan ketampanan di banding dia, ia sedikit jelek, masing-masing kami membawa selimut, selimutku agak jelek adapun selimut miliknya baru, sampailah kami dibawah lembah Mekkah atau di atasnya, kami berjumpa dengan seorang wanita tinggi semanpai dan lincah, kami berkata kepadanya, “Apakah Anda sudi menikah mut’ah dengan salah seeoarng dari kami?” wanita itu bertanya, “Apa yang akan kalian berikan sebagai mahar?”. Maka masing-masing dari kami membeberkan selimutnya, wanita itu memperhatikan kami, dan ia melihat bahwa temanku memperhatikan dirinya dari kaki hingga ujung kepala, temanku berkata, “Selimut orang ini jelek sedangkan selimutku baru”. Kemudian wanita itu megatakan, “Selimut orang itu lumayan. Ia ucapkan dua atau tiga kali. Kemudian saya menikahinya dengan nikah mut’ah, dan aku belum menyelesaikan jangka waktuku melainkan Rasululah saw. telah mengharamkannya. [24]

Dalam riwayat lain: Rasulullah saw. bersabda, “Hai manusia! Sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian bermut’ah dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sekarang hingga hari kiamat.” [25]

Dalam riwayat lain: “Aku menyaksikan Rasulullah berdiri diantara rukun dan maqam (dua sudut ka’bah) sambil bersabda…. (seperti sabda di atas)”. [26]

Dalam riwayat lain: “Rasululah memerintah kami bermut’ah pada tahun penaklukan kota Mekkah ketika kami memasuki kota tersebut, kemudian kami tidak keluar darinya melainkan beliau telah melarangnya”. [27]
Dalam riwayat lain: “Aku benar-benar telah bermut’ah di masa Rasulullah saw. dengan seorang wanita dari suku bani ‘Amir dengan mahar dua helai selimut berwarna merah kemudian Rasulullah saw. melarang kami bermut’ah”. [28]

Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada Fathu Makkah”.[29]
Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang mut’ah, beliau bersabda, “Sesungguhnya ia haram sejak hari ini hingga hari kiamat”. [30]

Dalam Sunan Abu Daud, al-Baihaqi dan lainnya diriwayatkan dari Rabi’ ibn Saburah, ia berkata, “Aku bersaksi atas ayahku bahwa ia menyampaikan hadis bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada haji wada“. [31]

Dalam riwayat lain: “Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada fathu Mekkah”. [32] Hadis Keempat:
Dalam Shahih Muslim, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Musnad Ahmad dan lainya (dan redaksi yang saya kutip adalah dari Muslim) diriwayatkan dari Salamah ibn al-Akwa’, ia berkata, “Rasulullah saw. mengizinkan pada tahun perang Awthas untuk bermut’ah selama tiga hari kemudian beliau melarangnya.” [33] Awthas adalah lembah di kota Thaif. Dan perlu Anda ketahui bahwa peristiwa Awthas terjadi beberapa bulan setelah fathu Mekkah, walaupun dalam tahun yang sama.[34]

Inilah beberapa hadis yang menjadi andalah dan sandaran terkuat pengharaman nikah mut’ah oleh Nabi saw. dan saya berusaha meriwayatkannya dari sumber-sumber terpercaya. Dan kini mari kita telaah hadis-hadis di atas tersebut.

Tentang hadis Imam Ali as. Ada pun tentang hadis Imam Ali as. yang diriwayatkan Zuhri melalui dua cucu Imam Ali as.; Abdullah dan Hasan putra Muhammad ibn Ali as. yang mendapat sambutan luar biasa sehingga hampir semua kitab [35] hadis berebut “hak paten” dalam meriwayatkannya, -tidak seperti biasanya dimana kitab- kitab itu kurang antusias dalam meriwayatkan hadis-hadis dari beliau as. dan tidak memberikan porsi layak bagi hadis-adis Imam Ali as. seperti porsi yang diberikan kepada riwayat-riwayat para sahabat yang berseberangan dengan beliau dan yang diandalkan oleh para penentang Ali as. dan Ahlulbait Nabi saw.-.
Adapun tentang hadis Imam Ali di atas maka ada beberapa hal yang perlu Anda ketahui tentangnya.

Pertama,
ia dari riwayat Zuhri, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab Az Zuhri lahir pada tahun 58 H dan wafat tahun 124H. Ia dekat sekali dengan Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik dan pernah dijadikan qodhi (jaksa) oleh Yazid bin Abdul Malik. Ia dipercaya Hisyam menjadi guru privat putra-putra istana. Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib-nya[36]menyebutkan, “Hisyam memerintahnya untuk mengajarkan kepada putra-putranya hadis, lalu ia mendektekan empat ratus hadis”.
Tampaknya Zuhri sangat diandalkan untuk meramu riwayat demi mendukung kepentingan rezim bani Umayyah yang berkuasa saat itu dengan menyajikan riwayat-riwayat yang berseberangan dengan ajaran Ahlulbait as. namun justru dia sajikan dengan menyebut nama para pemuka Ahlulbait as. sendiri, atau riwayat-riwayat yang justru melecehkan keagungan Ahlulbait as., namun sekali lagi ia sajikan dengan mengatas-namakan pribadi-pribadi agung Ahlulbait as., seperti tuduhannya melalui riwayat yang ia produksi bahwa Imam Ali dan Fatimah as. melakukan tindakan kekafiran dengan menentang Nabi saw. Zuhri tampaknya memilih spesialisasi dalam bidang ini. Dan adalah aneh seorang Zuhri yang dikenal benci kepada Imam Ali as. tiba-tiba sekarang tampil sebagai seorang muhaddis yang sangat peduli dalam menyampaikan riwayat-riwayat dari Ali as.

Ibnu Abi al-Hadid, ketika menyebut nama-nama para perawi yang membenci Imam Ali as, ia menyebut, “Dan Zuhri adalah termasuk yang menyimpang dari Ali as”.[37]

Sufyan bin Wakii’ menyebutkan bahwa Zuhri memalsukan banyak hadis untuk kepentingan Bani Marwan. Ia bersama Abdul Malik melaknat Ali as. Asy-Syadzkuni meriwayatkan dari dua jalur sebuah berita yang menyebutkan bahwa Zuhri pernah membunuh seorang budaknya tanpa alasan yang dibenarkan.[38]

Kedua,
terlepas dari penilaian kita terhadap kualitas salah satu mata rantai perawi dalam hadis tersebut yang telah Anda baca, maka di sini ada beberapa catatan yang perlu Anda perhatikan. Pertama: Dalam hadis tersebut ditegaskan bahwa Imam Ali as. menegur dan menyebut Ibnu Abbas ra. sebagai seorang yang menyimpang karena ia masih menghalalkan nikah mut’ah padahal nikah tersebut telah diharamkan pada peristiwa peperangan Khaibar. Selain nikah mut’ah, daging keledai jinak juga diharamkan saat itu. Jadi menurut Imam Ali as. keduanya diharamkan pada peristiwa tersebut.

Di sini kita perlu meneliti kedua masalah ini, akan tetapi karena yang terkait dengan masalah kita sekarang adalah nikah mut’ah maka telaah saya akan saya batasi pada pengharaman nikah mut’ah pada hari Khaibar.

Pengharaman nikah Mut’ah pada hari Khaibar.
Pengharaman Nabi saw. atas nikah mut’ah pada peristiwa Khaibar, seperti ditegaskan para ulama Ahlusunnah sendiri, seperti Ibnu Qayyim, Ibnu Hajar dkk. tidak sesuai dengan kanyataan sejarah, sebab beberapa tahun setelah itu nikah mut’ah masih dibolehkan oleh Nabi saw., seperti contoh pada tahun penaklukan kota Mekkah. Oleh karenanya sebagian menuduh Imam Ali as. bodoh dan tidak mengetahui hal itu, sehingga beliau menegur Ibnu Abbas dengan teguran yang kurang tepat, sebab, kata mereka semestinya Imam Ali as. berhujjah atas Ibnu Abbas dengan pengharaman terakhir yaitu pada penaklukan kota Mekkah agar hujjah sempurna, dan kalau tidak maka hujjah itu tidak mengena[39].

Selain itu, dalam peristiwa penyerangan ke kota Khaibar, tidak seorangpun dari sahabat Nabi saw. yang bermut’ah dengan wanita-wanita yahudi, dan mereka tidak juga memohon izin kepada Nabi saw. untuk melakukannya. Tidak seorangpun menyebut-nyebut praktik sabahat dan tidak ada sebutan apapun tentang mut’ah. Di kota Khaibar tidak ada seorang wanita muslimahpun sehingga sah untuk dinikahi secara mut’ah, sementara dihalalkannya menikah dengan wanita yahudi itu belum disyari’atkan, ia baru disyari’atkan setelah haji wada’ dengan firman Allah ayat 5 surah al-Maidah. Demikian ditegaskan Ibnu Qayyim dalam Zaad al-Ma’aad.[40]

Ketika menerangkan hadis Imam Ali as. dalam kitab al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, Ibnu Hajar al-Asqallani menegaskan, “Dan kata pada hari Khaibar bukan menunjukkan tempat bagi diharamkannyanikah mut’ah, sebab dalam ghazwah (peperangan) itu tidak terjadi praktik nikah mut’ah”.[41]
Ibn Hajar juga menukil al-Suhaili sebagai mengatakan, “Dan terkait dengan hadis ini ada peringatan akan kemusykilan, yaitu sebab dalam hadis itu ditegaskan bahwa larangan nikah mut’ah terjadi pada peperangan Khaibar, dan ini sesuatu yang tidak dikenal oleh seorangpun dari ulama pakar sejarah dan perawi atsar/data sejarah.[42]

Al-hasil, hadis tersebut di atas tegas-tegas mengatakan bahwa pada peristiwa Khaibar Nabi mengharamkan nikah mut’ah dan juga keledai, Ibnu Hajar berkomentar, “Yang dzahir dari kata-kata (dalam hadis itu) pada zaman Khaibar adalah menunjuk waktu pengharaman keduanya (mut’ah dan daging keledai)”[43], sementara sejarah membuktikan bahwa pada peristiwa itu sebenarnya tidak terjadi pengharaman, sehingga untuk menyelamatkan wibawa hadis para muhadis agung itu, mereka meramu sebuah solusi yang mengatakan bahwa hadis Imam Ali as. itu hanya menujukkan pengharaman keledai saja, adapun pengharaman nikah mut’ah sebenarnya hadis itu tidak menyebut-nyebutnya barang sedikitpun!
Penafsiran nyeleneh ini disampaikan oleh Sufyaan ibnu Uyainah, ia berkata, “Kata-kata (dalam hadis itu) pada zaman Khaibar hanya terkait dengan waktu pengharaman keledai jinak bukan terkait dengannikah mut’ah.”[44]

Dan upaya untuk mengatakan bahwa hadis itu tidak menunjukkan pengharaman nikah mut’ah pada zaman Khaibar yang dilakukan sebagian ulama hanya karena mereka terlanjur mensahihkan hadis-hadis yang mengatakan bahwa sebenarnya nikah mut’ah itu masih dibolehkan setelah zaman Khaibar. Demikian diungkap oleh Ibnu Hajar.[45]

Akan tetapi arahan itu sama sekali tidak benar, ia menyalahi kaidah bahasa Arab dan lebih mirip lelucon, sebab;

A. Dalam dialek orang-orang Arab dan juga bahasa apapun, jika Anda mengatakan, misalnya
أَكْرَمْتُ زَيْدًا و عَمْروًا يَوْمَ الجمعةِ

“Saya menghormati Zaid dan ‘Amr pada hari jum’at”.

maka semua orang yang mendengarnya akan memahami bahwa penghormatan kepada keduanya itu terjadi dan dilakukan pada hari jum’at.

Bukan bahwa dengan kata-kata itu Anda hanya bermaksud menghormati ‘Amr saja, sementara terkait dengan pak Zaid Anda tidak maksudkan, penghormatan itu mungkin Anda berikan pada hari lain. Sebab jika itu maksud Anda semestinya Anda mengatakan:

أَكْرَمْتُ زَيْدًا و أَكْرَمْتُ عَمْروًا يَوْمَ الجمعةِ

“Saya menghormati Zaid , dan saya menghormati ‘Amr pada hari jum’at”.
Dalam riwayat itu kata kerja nahaa itu hanya disebut sekali, oleh karena itu ia mesti terkait dengan kedua obyek yang disebutkan setelahnya. Dan saya tidak yakin bawa para ulama itu tidak mengerti kaidah dasar bahasa Arab ini.

B. Anggapan itu bertentangan dengan banyak riwayat hadis Imam Ali as. dan juga dari Ibnu Umar yang diriwayatkan para tokoh muhadis, seperti Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad yang tegas-tegas menyebutkan bahwa waktu pengharaman nikah mut’ah adalah zaman Khaibar. Merka meriwayatkan:

نَهَى رسولُ اللهِ (ص) عن مُتْعَةِ النساءيَومَ خيْبَر، و عن لُحُومِ الحمرِ الإنْسِيَّةِ.

“Rasulullah saw. melarang nikah kmut’ah pada hari Khaibar, dan juga daging keledai”. [46]

Ibnu Jakfari berkata:
Bagaimana kita dapat benarkan riwayat-riwayat kisah pengharaman itu baik di hari Khaibar maupun hari dan kesempatan lainnya, sementara telah datang berita pasti dan mutawatir bahwa Khalifah Umar ra. berpidato mengatakan bahwa dua jenis mut’ah itu ada dan berlaku di masa hidup Nabi saw. akan tetapi saya (Umar) melarang, mengharamkan dan merajam yang melakukan nikahnya:

مُتْعَتانِ كانَتَا على عَهْدِ رَسُول ِاللهِ أنا أَنْهَى عَنْهُما وَ أُعاقِبُ عليهِما : مُتْعَةُ الحج و متعة النِّسَاءِ.

“Ada dua bentuk mut’ah yang keduanya berlaku di sama Rasulullah saw., aku melarang keduannya dan menetepkan sanksi atas (yang melaksanakan) keduanya: haji tamattu’ dan nikah mut’ah.[47]

Bagaiamana dapat kita benarkan riwayat-riwayat itu sementara kita membaca bahwa Jabir ibn Abdillah ra. berkata dengan tegas, “kami bermut’ah di masa Rasulullah saw., masa Abu Bakar dan masa Umar.”[48]
Dalam kesempatan lain ia mengatakan, “Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits.”[49]

Bagaimana kita dapat menerima riwayat hadis-hadis yang mengatakan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan di masa Nabi saw. oleh beliau sendiri, sementara itu Khalifah Umar tidak pernah mengetahuinya, tidak juga Khalifah Abu Bakar dan tidak juga para sahabat dan tabi’in mengetahuinya, bahkan sampai zaman kekuasaan Abdullah ibn Zubair -setelah kematian Yazid ibn Mu’awiyah- dan tidak juga seorang dari kaum Muslim mengetahui riwayat-riwayat sepeti itu. Andai mereka mengetahuinya pasti ia sangat berharga dan sangat mereka butuhkan dalam mendukung pendapat mereka tentang pengharaman nikah mut’ah tersebut.
Dan pastilah para pendukung kekhalifahan akan meresa mendapat nyawa baru untuk membela diri dalam pengharaman sebagai tandingan bukti-bukti sunah yuang selalu di bawakan sahabat-sabahat lain yang menhalalkan nikah mut’ah seperti Ibnu Abbas, Abdullah ibn Mas’ud dan Jabir, misalnya.

Dalam perdebatan yang terjadi antara pihak yang mengharamkan dan pihak yang menhalalkan mereka yang mengharamkan tidak pernah berdalil bahwa Rasulullah saw. telah mengharamkannya di Khaibar… atau pada peristiwa penaklukan kota Mekkah dan lain sebaigainya. Bagaimana mungkin hadis Imam Ali as. dapat kita terima sementara kita menyaksikan bahwa beliau bersabda:

,لَوْ لاَ أَنَّ عُمر نَهَى الناسَ عَنِ المُتْعَةِ ما زَنَى إلاَّ شَقِيٌّ.

“Andai bukan karena Umar melarang manusia melakukan nikah mut’ah pastilah tidak akan berzina kecuali orang yang celaka”.Demikian disebutkan ar Razi dari al-Thabari. [50]

Dan Muttaqi al-Hindi meriwayatkan dari Imam Ali as. beliau bersabda:

لَوْ لا ما سَبَقَ مِنْ نَهْيِ عُمر بن الخطاب لأَمَرْتُ بالمُنْعَةِ، ثُمَّ ما زنى إلا شقي

“Andai bukan karena Umar ibn Khaththab sudah melarang nikah mut’ah pastilah akan aku perintahkan dengannya dan kemudian tidaklah menlakukan zina kecuali orang yang celaka”. [51]
Bagaimana mungkin kita menerima riwayat para ulama itu dari Imam Ali as. yang menegur Ibnu Abbas ra. sementara kita menyaksikan Ibnu Abbas adalah salah satu sahabat yang begitu getol menyuarakan hukum halalnya nikah mut’ah, beliau siap menerima berbagai resiko dan teror dari Abdullah ibn Zubair pembrontak yang berhasil berkuasa setelah kematian Yazid?

Apakah kita menuduh bahwa Ibnu Abbas ra. degil, angkuh menerima kebenaran yang disampaikan maha gurunya; Imam Ali as. sehingga ia terus saja dalam kesesatan pandangannya tentang halalnyanikah mut’ah? Adapun dongeng-dengeng yang dirajut para sukarelawan bahwa Ibnu Abbas bertaubat dan mencabut fatwanya tentang halalnya nikah mut’ah, adalah hal mengelikan setelah bukti-bukti tegak dengan sempurna bahwa ia tetap hingga akhir hayatnya meyakni kehalalan nikah mut’ah dan mengatakannya sebagai rahmat dan kasih sayang Allah SWT untuk hamb-hamba-Nya:

ما كانَتْ المُتْعَةُ إلاَّ رَحْمَةً رَحِمَ اللهُ بِها أُمَّةَ محمد (ص)، لَوْ لاَ نَهْيُهُ (عمر) ما احْتاجَ إلى الزنا إلاَّ شقِي

Tiada lain mut’ah itu adalah rahmat, dengannya Allah merahmati umat Muhammad saw., andai bukan karena larangan Umar maka tiada membutuhkan zina kecuali seorang yang celaka. [52].
Bagaimana dongeng rujuknya Ibnu Abbas ra. dapat dibenarkan sementara seluruh ahli fikih kota Mekkah dan ulama dari murid-muridnya meyakini kehalalan nikah mut’ah dan mengatakan bahwa itu adalah pendapat guru besar mereka?!

Telaah terhadap Hadis Rabi’ ibn Saburah.
Adapun tentang riwayat-riwayat Rabi’ ibn saburah, Anda perlu memperhatikan poin-poin di bawah ini.
Pertama,
seperti Anda saksikan bahwa banyak atau kebanyakan dari riwayat-riwayat para muhadis Ahlusunnah tentang pengharaman nikah mut’ah adalah dari riwayat Rabii’ -putra Saburah al-Juhani- dari ayahnya; Saburah al-Juhani. Hadis-hadis riwayat Saburah al-Juhani tentang masalah ini berjumlah tujuh belas, Imam Muslim meriwayatkan dua belas darinya, Imam Ahmad meiwayatkan enam, Ibnu Majah meriwayatkan satu hadis. Dan di dalamnya terdapat banyak berbeda-beda dan ketidak akuran antara satu riwayat dengan lainnya.

Di antara kontradiksi yang ada di dalamnya ialah:
A. Dalam satu riwayat ia menyebutkan bahwa yang bermut’ah dengan wanita yang ditemui adalah ayahnya, sementara dalam riwayat lain adalah temannya.

B. Dalam sebuah riwayat ia menyebutkan bahwa bersama ayahnya adalah temannya dari suku bani Sulaim, sementara dalam riwayat lain adalah anak pamannya.

C. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa mahar yang diberikan kepada wanita itu adalah sehelai kain selimut, sementara dalam riwayat lainnya ia mengatakan dua selimut berwarna merah.

D. Sebagian riwayatnya mengatakan bahwa wanita itu memilih ayahnya karena ketampanan dan ayahnya masih muda sementara yang lain mengatakan karena selimut ayahnya masih baru.

E. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sempat bersama wanita itu selama tiga hari sebelum akhirnya dilarang Nabi saw. sementara yang lainnya mengatakan bahwa hanya semalam, dan keesokan harinya telah dilarang.

F. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sejak hari pertama kedatangan di kota Mekkah telah keluar mencari wanita yang mau dinikahi secara mut’ah, sementara yang lainnya mengatakan bahwa itu setelah lima belas hari, setelah Nabi saw. mendapat laporan bahwa wanita-wanita di Mekkah tidak mau kecuali nikah dengan jangka waktu, kemudian Nabi saw. mengizinkan dan Saburah pun keluar mencari wanita yang mau dinikahi. Dan masih banyak pertentangan lain yang dapat disaksikan dalam riwayat-riwayat yang dikutip dari Rabi’ ibn Saburah, seperti apakah ayahnya sebelumnya telah mengetahui konsep nikah mut’ah, atau belum, ia baru tahu dan diizinkan Nabi saw. setelah wanita-wanita kota Mekkah enggan kecuali nikah dengan jangka waktu.

Kedua,
disamping itu kita menyaksikan bahwa Saburah ayah Rabi’ -sang perawi- mendapat izin langsung dari Rasulullah saw. untuk bermut’ah, atau dalam riwayat lain Nabi-lah yang memerintah para sahabat beliau untuk bermut’ah dihari-hari penaklukan (fathu) kota Mekkah, dan setelah ia langusng merespon perintah atau izin itu, dan ia mendapatkan pada hari itu juga wanita yang ia nikahi secara mut’ah tiba-tiba keesokan harinya ketika ia salat subuh bersama Nabi saw. beliau berpidato mengharamkan nikahmut’ah yang baru saja beliau perintahkan para sahabat beliau untuk melakukannya, logiskah itu?! Dalam sekejap mata, sebuah hukum Allah SWT berubah-ubah, hari ini memerintahkan keesokan harinya mengharamkan dengan tanpa sebab yang jelas!Tidakkah para pakar kita perlu merenungkan kenyataan ini?!

Ketiga,
terbatasnya periwayatan kisah Saburah hanya pada Rabi’ putranya mengundang kecurigaan, sebab kalau benar ada pe-mansuk-han kehalalan nikah mut’ah pastilah para sahabat besar mengetahuinya, seperti tentang penghalalan yang diriwayatkan oleh para sahabat besar dan dekat.

Keempat,
riwayat Rabi’ ibn Saburah itu bertentangan dengan riwayat para sahabat lain seperti Jabir ibn Abdillah, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, ‘Imraan ibn Hushain, Salamah ibn al-Akwa’ dan kawan-kawan.
Dan riwayat-riwayat mereka tidak mengahadapi masalah-masalah seperti yang menghadangf riwayat-riwayat Rabi’ ibn Saburah.

Catatan Penting!
Sebenarnya dalam peristiwa itu tidak ada pengharaman yang ada hanya Nabi saw. memerintah para sahabat yang bermut’ah dan jangka waktunya belum habis agar meninggalkan wanita-wanita itu sebab Rasulullah saw. bersama rombongan akan segera meninggalkan kota Mekkah. Akan tetapi para sukarelawan itu memanfaatkan hal ini dan memplesetkannya dengan menambahkan bahwa Nabi berpidato mengharamkannya. Sekali lagi, Nabi saw. hanya memerintahkan para sahabat beliau yang bermut’ah agar menghibahkan sisa waktu nikah mut’ah mereka kepada wanita-wanita itu sebab rombongan segera meninggalkan kota suci Mekkah.

Hal ini dapat Anda temukan dalam riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, Ahmad dalam Musnadnya, dan al-Baihaqi dalam Sunannya, juga dari Sabrah. Dari Rabi’ ibn sabrah al-Juhani dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah saw. mengizinkan kami bermut’ah, lalu aku bersama seorang berangkat menuju seeorang wanita dari suku bani ‘Amir, wanita itu muda, tinggi semampai berleher panjang, kami menawarkan diri kami, lalu ia bertanya, “Apa yang akan kalian berikan?” Aku menjawab, “Selimutku”. Dan temanku berkata, “Selimutku”. Selimut temanku itu lebih bagus dari selimutku tapi aku lebih muda darinya. Apabila wanita itu memperhatikan selimut temanku, ia tertarik, tapi ketika ia memandangku ia tertarik denganku. Lalu ia berkata, “Kamu dan selimutmu cukup buatku! Maka aku bersamanya selama tiga hari, kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa di sisinya ada seorang wanita yang ia nikahi dengan mut’ah hendaknya ia biarkan ia pergi/tinggalkan”.[53]

Dalam pernyataan itu tidak ada pengharaman dari Nabi saw. Ada pun hadis Abu Dzar, adalah aneh rasanya hukum itu tidak diketahui oleh semua sahabat sepanjang masa hidup mereka sepeninggal Nabi saw. termasuk Abu Bakar dan Umar, hingga sampai dipenghujung masa kekhalifahan Umar, ia baru terbangun dari tidur panjangnya dan mengumandangkan suara pengharaman itu. Jika benar ada hadis dari Nabi saw., dimanakah hadis selama kurun waktu itu.Yang pasti para sukarelawan telah berbaik hati dengan membantu Khalifah Umar ra. jauh setelah wafat beliau dalam memproduksi hadis yang dinisbatkan kepada Nabi saw., agar kebijakan pengharaman itu tidak berbenturan dengan sunah dan ajaran Nabi saw. dan agar Khalifah Umar tampil sebagai penyegar sunah setelah sekian belas tahun terpasung.

Dan kebaikan hati sebagian ulama dan muhadis berhati luhur dengan memalsu hadis bukan hal aneh, dan saya harap anda tidak kaget. Karena memang demikian adanya di dunia hadis kita; kaum Muslim. Tidak semua para sukarelawan yang memalsu hadis orang bejat dan jahat, berniat merusak agama, tidak jarang dari mereka berhati luhur, rajin dan tekun beribadah, hanya saja mereka memiliki sebuah kegemaran memalsu hadis atas nama Rasulullah saw. Dan para sukarelawan model ini adalah paling berbahaya dan mengancam kemurnian agama, sebab kebanyakan orang akan terpesona dan kemudian tertipu dengan tampilan lahiriah yang khusu’ dan simpatik mereka. Demikian ditegaskan ulama seperti Al Nawawi dan Al Suyuthi.

————–***————–
CATATAN KAKI:
[1] Tafsir Khazin (Lubab al-Ta’wiil).1,506
[2] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9179, bab Nikah al-Mut’ah.
[3] Fathu al-Baari.19,200, Ktaabun- Nikah, bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).
[4] Tafsir Fathu al-Qadir.1,449.
[5] Tafsir Ibnu Katsir.1,474.
[6] Ibid.
[7] Fathu al-Baari.17,146, hadis no.4615.
[8] Ibid.19,142-143, hadis no.5075.
[9] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182.
[10] Fathu al-Baari.19,206-207, hadis no.5117-5118.
[11] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182. hanya saja kata rasul (utusan) diganti dengan kata munaadi (pengumandang pengumuman).
[12] Ibdi.183.
[13] Ibid.183.
[14] Ibdi.184.
[15] Ibid.183-184.
[16] Ibid.183.
[17] Al-Sunan al-Kubra, Kitab al-Mut’ah, Bab Nikah-ul Mut’ah.7,206 dan ia mengatakan bahwa hadis ini juga diriwayatkan Muslim dari jalur lain dari Hummam.
[18] Keterangan lebih lanjut baca Fath al-Baari.19,201 203 dan Syarah al-Nawawi atas Shahih Muslim,9179-180.
[19] Tafsir Ibnu Katsir.1,484, pada tafsir ayat 24 surah al-Nisaa’.
[20] Al-Jaami’ Li Ahkaami Alqur’an.5130-131.
[21] Shahih Muslim (dengan syarah al-Nawawi), Kitab al-Nikah, bab Nikah-ul Mut’ah.9,189-190, dua hadis terakhir dalam bab tersebut, Sunan al-Nasa’i, bab Tahriim al-Mut’ah, Sunan al-Baihaqi, Kitab al-Nikah, bab Nikah al-Mut’ah.7,201, Mushannaf Abdur Razzaq.7,36 dan Majma’ al-Zawaid.4,265.
[22] Bukhari, Kitab al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, dan bab Nahyu Rasulillah ‘an nikah al-mut’ah akhiran, bab al-hiilah fi al-nikah, Sunan Abu Daud.2,90, bab Tahriim al-Mut’ah, Sunan Ibnu Majah.1,630, Kitab-un Nikah, bab an-nahyu ‘an Nikah al-Mut’ah, hadis no.1961, Sunan al-Turmudzi (dengan syarah al-Mubarakfuuri).4,267-268, bab Ma ja’a fi Nikah al-Mut’ah(27), hadis no.1130 Muwaththa’, bab Nikah mut’ah, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.4,292 Sunan al-Darimi.2,140 bab al-Nahyu ‘an Mut’ah al-Nisa’, Musnad al-Thayalisi hadis no.111 dan Musnad Imam Ahmad.1,79,130 dan142, dan Anda dapat jumpai dalam Fathu al-Baari dalam baba-baba tersebut di atas.
[23] Baca Sunan al-Baihaqi.7,207.
[24] Shahih Muslim.9,185.
[25] Ibid.186.
[26] Ibdi.
[27] Ibid.187.
[28] Ibdi.188-189.
[29] Ibid.187.
[30] Ibid.189.
[31] Abu Daud.2,227, Kitab al-Nikah, bab Nikah al-Mut’ah dan Sunan al-Baihaqi.7,204.
[32] Sunan al-Baihaqi.7,204.
[33] Shahih Muslim.9,184, Mushannaf.4,292, Musnad Ahmad.4,55, Sunan al-Baihaqi.7,204 dan Fath al-Baari.11,73.
[34] Baca Sunan al-Baihaqi.7,204.
[35] Seperti Anda saksikan bahwa hadis tersebut telah saya kutipkan dari empat belas sumber terpercaya.
[36] 9,449.
[37]Syarh Nahjul Balaghah 1, 371-372.
[38] Ash-Shirath al-Mustaqim.3,245.
[39] Fathu al-Baari.19,202 menukil pernyataan al-Baihaqi.
[40] Zaad al-Ma’aad.2,204, pasal Fi Ibaahati Mut’ati al-Nisaa’i tsumma Tahriimuha (tentang dibolehkannya nikah mut’ah kemudian pengharamannya). Dan keterangan panjang Ibnu qayyim juga dimuat Ibnu Hajar.
[41] Fath al-Baari.16,62. hadis no.4216.
[42] Ibid.19,202.
[43] Ibid.201.
[44] Ibdi.202.
[45] Ibid.
[46] Bukhari Bab Ghazwah Khaibar, hadis no.4216, Kitab al-Dzabaaih, bab Luhuum al-Humur al-Insiyyah, hadis no.5523, Shahih Muslim, bab Ma Ja’a Fi Nikahi al-Mut’ah (dengan syarah a-Nawawi).9,190, Sunan Ibnu Majah.1, bab al-Nahyu ‘an Nikah al-Mut’ah (44) hadis no1961 dan Sunan Al-Baihaqi.7,201, dan meriwayatkan hadis serupa dari Ibnu Umar. Dan di sini sebagian ulama melakukan penipuan terhadap diri sendiri dengn mengatakan bahwa sebenarnya dalam hadis itu ada pemajuan dan pemunduran, maksudnya semestinya yang disebut duluan adalah Luhum Humur insiyah bukan Mut’ah al-Nisaa’. (Fath al-baari.16,62) Mengapa? Sekali lagi agar riwayat Bukhari dkk. di atas tetap terjaga wibawanya dan agar tidak tampak bertentang dengan kenyataan sejarah.
[47] Ucapan pengharaman ini begitu masyhur dari Umar dan dinukil banyak ulama dalam buku-buku mereka, di antaranya: Tafsir al-Razi.10,50, Al-Jashshash. Ahkam Alqur’an.2,152, Al-Qurthubi. Jami’ Ahkam Alqur’an.2,270, Ibnu Qayyim. Zaad al-Ma’ad.1,444 dan ia megatakan” dan telah tetap dari Umar…, Ibnu Abi al-Hadid. Syarh Nahj al-Balaghah.1,182 dan 12,251 dan 252, Al-Sarakhsi al-Hanafi. Al-Mabsuuth, kitab al-Haj, bab Alqur’an dan ia mensahihkannya, Ibnu Qudamah. Al-Mughni.7,527, Ibnu Hazam. Al-Muhalla.7,107, Al-Muttaqi al-Hindi. Kanz al-Ummal.8,293 dan294, al-Thahawi. Syarh Ma’ani al-Akhbaar.374 dan Sunan al-Baihaqi.7,206.
[48] Ibid.183.
[49] Ibid.183-184.
[50] Mafaatiih al-Ghaib (tafsir al-Razi).10,51
[51] Kanz al-Ummal.8,294.
[52] Dan dalam sebagian riwayat إلاَّ شفي dengan huruf faa’ sebagai ganti huruf qaaf, dan artinay ialah jarang/sedikit sekali. Pernyataan Ibnu Abbas diriwayatkan banyak ulama, seperti Ibnu al-Atsir dalam Nihayahnya, kata kerja syafa.
[53] Shahih Muslim.9,184-185, Sunan al-Baihaqi.7,202, dan Musnad Ahmad.3,405.

Sumber:  http://syiahali.wordpress.com/
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: