Pertanyaan:
Apa perbedaan dua kalimat ini, lailaha illa huwa dan lailaha illaLlâh?
Jawaban Global:
Pada sebagian riwayat disebutkan bahwa Ya Huwa, Ya man la huwa illahu (Wahai Dia.. Wahai Dia yang tiada tuhan selain-Nya) adalah nama teragung Allah (ism a’zham). Jelas bahwa perbedaan antara lailaha illahu dan lailaha illaLlah yang disebutkan dalam al-Qur’an kembali pada perbedaan antara huwa dan Allah.
Yang dimaksud dengan huwa adalah sebuah sifat Allah Swt yang akan senantiasa gaib (dia) dan tidak dapat diperikan dan dicirikan.
Adapun yang dimaksud dengan Allah Swt adalah sebuah zat yang mencakup seluruh sifat jalâl (keagungan) dan jamâl (keindahan) dan tatkala disebutkan lailaha illaLlah artinya tiada tuhan selain Allah yang memiliki seluruh sifat-sifat (jalâl dan jamâl) tanpa kita harus menyebutkan bahwa zat ini berada di luar setiap sifat. Tatkala disebutkan Dia (huwa) adalah Allah (surah al-Ikhlas) artinya sifat Allah Swt dan zat-Nya adalah satu.
Jawaban Detil:
Dalam al-Qur’an kita membaca “huwalladzi lailaha illahu.” (Dia-lah Allah Yang tiada tuhan selain Dia, Qs. Al-Hasyr [89]:23).
Sementara dari sudut pandang struktur bahasa Arab, “huwa” adalah kata ganti (dhamir), harus dicamkan bahwa sebenarnya “huwa” adalah salah satu nama dari nama-nama Allah Swt. Namun huwa ini apa maknanya sebagai nama Allah Swt?
Setiap sifat yang merupakan sifat sempurna dan kita atributkan kepada Allah Swt akan menjadi kata benda (ism). Misalnya ‘ilm ketika kita atributkan kepada zat maka ilm tadi akan menjadi â’lim yang merupakan kata benda. Artinya ‘ilm adalah ajekftif (sifat) dan alim adalah kata benda (ism). Qudrat adalah ajektif dan qâdir adalah kata benda. Rahmat adalah sifat dan rahman dan rahim adalah kata benda.
Nah sekarang ketika kita berkata “huwa adalah nama Tuhan” pertanyaannya adalah yang manakah yang menjadi sifat dan yang menjadi kata benda?
Yang menjadi sifat adalah gaib mutlak. Apa yang dimaksud dengan gaib mutlak? Yaitu sebuah hakikat yang menguasai kedalaman zat-Nya dan tiada satu pun entitas yang dapat menguasai kedalaman zat-Nya.
Namun terkait dengan makrifatuLlah dan makrifatuLlah ini juga memiliki derajat yang berbeda-beda. Hal ini merupakan sebuah masalah. Adapun masalah makrifat terhadap kedalaman zat-Nya yaitu sedemikian Tuhan dikenal sehingga tidak terdapat lagi pengenalan selainnya, merupakan masalah yang lain yang terkhusus pada zat Allah Swt sendiri. Bahkan Rasulullah Saw yang nota-bene merupakan arif pertama di alam semesta tetap berkata, “Ma a’rafnâka haqqa ma’rifatik.” (Kami tidak mengenal-Mu dengan sebenar-benarnya pengenalan).[1]
Demikianlah makna “huwa” artinya engkau pada sebuah tingkatan dan derajat keberadaan bahwa meksi engkau bagiku adalah anta, namun pada satu tingkatan ia adalah huwa. Artinya tiada satu pun manusia yang dapat menguasai zat Allah Swt; atas dasar itu Dia disebut sebagai ghaib al-ghuyub (gaib segala gaib) yang menyinggung bahwa selain zat Allah Swt tiada satu pun entitas yang dapat mengakses dan menguasainya; “La ahsa tsana ‘alaik anta kama atsnaita ‘ala nafsik” (Tuhanku! Seberapa pun aku memuji-Mu aku tidak akan mampu sebagaimana selayaknya dan seharusnya aku memuji-Mu, Engkau sebagaimana diri-Mu memuji dan mencirikan diri-Mu sendiri.” Demikianlah makna huwa sebagai kata benda.[2]
Namun tatkala disebutkan “lailaha illaLlah artinya tiada tuhan selain Allah (sebuah esensi dan zat yang memiliki seluruh sifat jalâl dan jamâl). Tanpa kita harus menyinggung bahwa zat ini senantiasa tidak akan dapat dikenal.
Referensi:
[1]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 66, hal. 292, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1409 H.
[2]. Murtadha Muthahhari, Âsynâi bâ Qur’ân, jil. 6, hal. 186-187, Shadra, Teheran, Cetakan Keempatbelas, 1378 S.
(Islam-Quest/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email