Mari kita Baca Sebelumnya disini:
1. Al Baqarah Ayat 241 - 250 Dan Terjemah:
3. Al Ahzab Ayat 49 Dan Terjemah:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.
Pertanyaan:
Apakah ayat, “Famastamta’tum bih minhunna fa’tuhunna ujurahunna faridhatun” dapat dijadikan dalil atas nikah mut’ah? Mengapa Allah Swt tidak memerintahkan nikah mut’ah kepada Rasulullah Saw pada ayat ini? Dan mengapa ayat ini tatkala menjelaskan hukum istimtâ’ (mut’ah) tidak menggunakan kata kerja perintah (fi’il amr)?
Jawaban Global:
Yang dimaksud dengan istimtâ’ pada ayat, “famastamta’tum bihi minhunna fa’tuhunna ujurahunna faridhatun” (Maka istri-istri yang telah kamu nikahi secara mut‘ah di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban) adalah bahwa bahwa kapan saja engkau mendapatkan kenikmatan dari istri-istri maka hendaklah engkau menyerahkan mahar kepada mereka.
Ulama Imamiyah, sebagian sahabat dan thabi’in berkata bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah nikah mut’ah.
Muslim bin Hajjaj dalam riwayat sahih bahwa Atha berkata, “Jabir bin Abdullah kembali dari umrah dan kami datang mengunjunginya. Orang-orang bertanya tentang beberapa hal dan di antaranya adalah mut’ah. Jabir berkata, “Benar, kami pada masa Rasulullah Saw, Abu Bakar, Umar, kami melakukan mut’ah.” Kemudian kami melihat para sahabat besar dan thabi’in serta sekelompok besar ahli tafsir (mufassir) Ahlusunnah dan seluruh mufassir Syiah, seluruhnya memahami ayat di atas sebagai hukum tentang nikah mut’ah. Ayat ini berada pada tataran menghitung para wanita yang dapat dinikahi dan tidak pada tataran memerintahkan misalnya seseorang harus menikah, temporal atau permanen, pada prinsipnya pernikahan, baik temporal atau permanen, merupakan hal yang dianjurkan bukan hal yang diwajibkan.[i] Karena itu, tidak terdapat dalil untuk memahami ayat ini sebagai perintah dalam masalah pernikahan.
Oleh karena itu, dalam menjawab pertanyaan bagian kedua kami katakan bahwa petunjuk pertama atas kalimat perintah adalah kewajiban dan tiada seorang pun yang mengklaim bahwa mut’ah itu wajib sehingga memerlukan kata kerja perintah.
Referensi:
[i]. Muhammad al-Fadhil al-Langkarani, Tafshil al-Syari’ah fi Syarh Tahrir al-Wasilah, Riset dan Penerbitan, Markaz Fiqh Al-Aimmah al-Athar As, Kitab al-Nikah, hal. 7.
Jawaban Detil:
Para pakar bahasa berkata bahwa yang dimaksud dengan istimtâ’ adalah bercampur dan memperoleh kenikmatan. Dengan demikian, makna ayat ini adalah bahwa kapan saja engkau memperoleh kenikmatan dari para wanita maka engkau harus membayar maharnya.
Ibnu Abbas, Sadi, Ibnu Sa’id, sekelompok thabihin dan ulama Imamiyah berkata bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah nikah mut’ah. Hal ini adalah merupakan suatu hal yang jelas. Karena istimtâ’ dan tamattu’ meski aslinya bermakna mendapatkan manfaat dan memperoleh kelezatan, namun dalam urf syara terkhusus pada sebuah akad tatkala dirangkaikan dengan para wanita (nisa).
Karena itu, makna redaksi ayat di atas adalah, “Kapan saja engkau menikah mut’ah dengan mereka maka hendaknya kalian harus membayar mahar mereka.”
Sekelompok orang dari sahabat di antaranya Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud sebagaimana disebutkan dalam riwayat bahwa mereka membaca ayat “famastamta’tum bihi minhunna ila ajalin musamma fa’tuhunna ujurahunna; artinya bilamana “untuk waktu tertentu” engkau ingin memperoleh kenikmatan (tamattu’), maka hendaklah engkau membayar mahar mereka dan hal ini secara lugas menyatakan nikah mut’ah.
Dengan demikian, kita saksikan para sahabat dan thabi’in seperti Ibnu Abbas, alim dan mufassir terkenal Islam dan Ubay bin Ka’ab, Jabir bin Abdullah, ‘Umran bin Hushain, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Qatadah, Sadi dan sekelompok besar mufassir Ahlusunnah serta seluruh mufassir Syiah seluruhnya memahami hukum nikah mut’ah dari ayat di atas sedemikian sehingga Fakhrurazi dengan segala ketenarannya dalam melontarkan kritikan dalam masalah-masalah yang bertautan dengan Syiah, setelah membahas secara detil tentang ayat di atas, berkata, “Kami tidak mempersoalkan ayat di atas dapat dipahami sebagai hukum kebolehan nikah mut’ah, namun kami katakan bahwa hukum di atas dianulir (nasakh) setelah beberapa lama.”[1]
Adapun bagian kedua pertanyaan terkait mengapa dalam masalah nikah mut’ah Allah Swt tidak memerintahkan kepada Nabi-Nya melakukan nikah mut’ah dan pada ayat tersebut tatakala menjelaskan hukum istimtâ tidak menggunakan kata kerja perintah (fi’il amar)? Harus dikatakan bahwa:
Petunjuk pertama kata kerja perintah adalah adanya kewajiban yang harus dijalankan dan tiada seorang pun yang mengklaim bahwa nikah mut’ah itu wajib hukumnya.[2]
Karena itu, ayat mut’ah berada pada tataran menghitung para wanita yang dapat dinikahi dan tidak berada pada tataran memerintah misalnya seseorang harus menikah, temporal atau permanen, pada prinsipnya pernikahan, baik temporal atau permanen, merupakan hal yang dianjurkan bukan hal yang diwajibkan.[3] Karena itu, tidak terdapat dalil untuk memahami ayat ini sebagai perintah dalam masalah pernikahan.
Oleh karena itu, tidak terdapat dalil untuk memanfaatkan kata kerja perintah dalam masalah ini. Dari sisi lain, hukum diperuntukkan bagi semua manusia, bukan hanya Rasulullah Saw. Dengan demikian, pada ayat yang berada pada tataran menjelaskan hukum Ilahi, bahkan sekiranya yang menjadi obyek seruan itu Rasulullah Saw, maka masyarakat umum tetap tercakup di dalamnya bukan untuk beliau secara khusus.
Referensi:
[1]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 3, hal. 336, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1374 S, Cetakan Pertama.
[2]. Perlu untuk diingat bahwa kita memiliki banyak hukum yang tidak seorang pun ragu tentang kewajibannya, namun tidak dijelaskan dengan kata kerja perintah; misalnya kewajiban puasa. Allah Swt berfirman, “Wahai orang-orang beriman! Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:183).
Dan kewajiban haji dimana Allah Swt berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Qs. Ali Imran [3]: 97).
[3]. Muhammad al-Fadhil al-Langkarani, Tafshil al-Syari’ah fi Syarh Tahrir al-Wasilah, Riset dan Penerbitan, Markaz Fiqh Al-Aimmah al-Athar As, Kitab al-Nikah, hal. 7.
(Islam-Quest/ABNS)
3 Ayat Al-Qur'an Tentang Mut'ah, Al-Baqarah (2:241 dan 2:236) dan Al-Ahzab 33:49
1. Al Baqarah Ayat 241 - 250 Dan Terjemah:
241. وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ ۖحَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Kepada
wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya)
mut`ah menurut yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang
yang takwa.
242. كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ الَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya.
243.
۞ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ
حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ الَّهُ مُوتُوا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ ۚإِنَّ
الَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا
يَشْكُرُونَ
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang
yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu
(jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka:
"Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah
mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak
bersyukur.
244. وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ الَّهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ الَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
245.
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ الَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ
أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚوَالَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ
تُرْجَعُونَ
Siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
246.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلَإِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَىٰ
إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ فِي
سَبِيلِ الَّهِ ۖقَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ
أَلَّا تُقَاتِلُوا ۖقَالُوا وَمَا لَنَا أَلَّا نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ
الَّهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا وَأَبْنَائِنَا ۖفَلَمَّا
كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ
ۗوَالَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ
Apakah kamu tidak
memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika
mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: "Angkatlah untuk kami seorang
raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah". Nabi
mereka menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang,
kamu tidak akan berperang." Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau
berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari
kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?" Maka tatkala perang itu
diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang
saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim.
247.
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ الَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ
مَلِكًا ۚقَالُوا أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ
أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ ۚقَالَ
إِنَّ الَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ
وَالْجِسْمِ ۖوَالَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ ۚوَالَّهُ وَاسِعٌ
عَلِيمٌ
Nabi mereka mengatakan kepada mereka:
"Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu". Mereka
menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak
mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi
kekayaan yang banyak?" (Nabi mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah
memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh
yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.
248.
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ
التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ
مُوسَىٰ وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ ۚإِنَّ فِي ذَٰلِكَ
لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Dan Nabi mereka
mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja,
ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari
Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun;
tabut itu dibawa oleh Malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.
249.
فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ الَّهَ مُبْتَلِيكُمْ
بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ
فَإِنَّهُ مِنِّي إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ ۚفَشَرِبُوا
مِنْهُ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ ۚفَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ
آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ
وَجُنُودِهِ ۚقَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو الَّهِ كَمْ
مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ الَّهِ
ۗوَالَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Maka tatkala Thalut keluar
membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu
dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah
ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk
seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya
kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan
orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu,
orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan kami pada
hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini
bahwa mereka akan menemui Allah berkata: "Berapa banyak terjadi golongan
yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.
Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."
250.
وَلَمَّا بَرَزُوا لِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالُوا رَبَّنَا أَفْرِغْ
عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ
الْكَافِرِينَ
Tatkala
mereka nampak oleh Jalut dan tentaranya, merekapun (Thalut dan
tentaranya) berdo`a: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri
kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap
orang-orang kafir".
2. Al Baqarah Ayat 236 Dan Terjemah:
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ
فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى
الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى
الْمُحْسِنِينَ
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas
kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur
dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu
berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.
* * *
Turunnya ayat ini menurut riwayat didahului oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi pada seorang sahabat dari kaum Ansar yang menikahi seorang perempuan. Dalam akad nikahnya tidak ditentukan jumlah mahar. Dan sebelum ia bercampur, istrinya tersebut telah ditalaknya.
Setelah turun ayat ini maka Nabi memerintahkan kepadanya untuk
memberikan mutah (hadiah) kepada bekas istrinya itu meskipun hanya
berupa pakaian tutup kepala.
Seorang suami yang menjatuhkan talak pada istrinya
sebelum bercampur dan sebelum menentukan jumlah maharnya ia tidak
dibebani membayar mahar tetapi ia diwajibkan memberi mutah, yaitu
pemberian untuk menimbang-rasa bekas istrinya. Besar kecilnya jumlah
pemberian tersebut tergantung pada suami, yang kaya sesuai dengan
kekayaannya dan yang tidak mampu sesuai pula dengan kadar yang
disanggupinya. Pemberian mutah tersebut merupakan suatu kewajiban atas
laki-laki yang mau berbuat baik.
3. Al Ahzab Ayat 49 Dan Terjemah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ
تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ
فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.
*****
Pertanyaan:
Apakah ayat, “Famastamta’tum bih minhunna fa’tuhunna ujurahunna faridhatun” dapat dijadikan dalil atas nikah mut’ah? Mengapa Allah Swt tidak memerintahkan nikah mut’ah kepada Rasulullah Saw pada ayat ini? Dan mengapa ayat ini tatkala menjelaskan hukum istimtâ’ (mut’ah) tidak menggunakan kata kerja perintah (fi’il amr)?
Jawaban Global:
Yang dimaksud dengan istimtâ’ pada ayat, “famastamta’tum bihi minhunna fa’tuhunna ujurahunna faridhatun” (Maka istri-istri yang telah kamu nikahi secara mut‘ah di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban) adalah bahwa bahwa kapan saja engkau mendapatkan kenikmatan dari istri-istri maka hendaklah engkau menyerahkan mahar kepada mereka.
Ulama Imamiyah, sebagian sahabat dan thabi’in berkata bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah nikah mut’ah.
Muslim bin Hajjaj dalam riwayat sahih bahwa Atha berkata, “Jabir bin Abdullah kembali dari umrah dan kami datang mengunjunginya. Orang-orang bertanya tentang beberapa hal dan di antaranya adalah mut’ah. Jabir berkata, “Benar, kami pada masa Rasulullah Saw, Abu Bakar, Umar, kami melakukan mut’ah.” Kemudian kami melihat para sahabat besar dan thabi’in serta sekelompok besar ahli tafsir (mufassir) Ahlusunnah dan seluruh mufassir Syiah, seluruhnya memahami ayat di atas sebagai hukum tentang nikah mut’ah. Ayat ini berada pada tataran menghitung para wanita yang dapat dinikahi dan tidak pada tataran memerintahkan misalnya seseorang harus menikah, temporal atau permanen, pada prinsipnya pernikahan, baik temporal atau permanen, merupakan hal yang dianjurkan bukan hal yang diwajibkan.[i] Karena itu, tidak terdapat dalil untuk memahami ayat ini sebagai perintah dalam masalah pernikahan.
Oleh karena itu, dalam menjawab pertanyaan bagian kedua kami katakan bahwa petunjuk pertama atas kalimat perintah adalah kewajiban dan tiada seorang pun yang mengklaim bahwa mut’ah itu wajib sehingga memerlukan kata kerja perintah.
Referensi:
[i]. Muhammad al-Fadhil al-Langkarani, Tafshil al-Syari’ah fi Syarh Tahrir al-Wasilah, Riset dan Penerbitan, Markaz Fiqh Al-Aimmah al-Athar As, Kitab al-Nikah, hal. 7.
Jawaban Detil:
Para pakar bahasa berkata bahwa yang dimaksud dengan istimtâ’ adalah bercampur dan memperoleh kenikmatan. Dengan demikian, makna ayat ini adalah bahwa kapan saja engkau memperoleh kenikmatan dari para wanita maka engkau harus membayar maharnya.
Ibnu Abbas, Sadi, Ibnu Sa’id, sekelompok thabihin dan ulama Imamiyah berkata bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah nikah mut’ah. Hal ini adalah merupakan suatu hal yang jelas. Karena istimtâ’ dan tamattu’ meski aslinya bermakna mendapatkan manfaat dan memperoleh kelezatan, namun dalam urf syara terkhusus pada sebuah akad tatkala dirangkaikan dengan para wanita (nisa).
Karena itu, makna redaksi ayat di atas adalah, “Kapan saja engkau menikah mut’ah dengan mereka maka hendaknya kalian harus membayar mahar mereka.”
Sekelompok orang dari sahabat di antaranya Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud sebagaimana disebutkan dalam riwayat bahwa mereka membaca ayat “famastamta’tum bihi minhunna ila ajalin musamma fa’tuhunna ujurahunna; artinya bilamana “untuk waktu tertentu” engkau ingin memperoleh kenikmatan (tamattu’), maka hendaklah engkau membayar mahar mereka dan hal ini secara lugas menyatakan nikah mut’ah.
Dengan demikian, kita saksikan para sahabat dan thabi’in seperti Ibnu Abbas, alim dan mufassir terkenal Islam dan Ubay bin Ka’ab, Jabir bin Abdullah, ‘Umran bin Hushain, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Qatadah, Sadi dan sekelompok besar mufassir Ahlusunnah serta seluruh mufassir Syiah seluruhnya memahami hukum nikah mut’ah dari ayat di atas sedemikian sehingga Fakhrurazi dengan segala ketenarannya dalam melontarkan kritikan dalam masalah-masalah yang bertautan dengan Syiah, setelah membahas secara detil tentang ayat di atas, berkata, “Kami tidak mempersoalkan ayat di atas dapat dipahami sebagai hukum kebolehan nikah mut’ah, namun kami katakan bahwa hukum di atas dianulir (nasakh) setelah beberapa lama.”[1]
Adapun bagian kedua pertanyaan terkait mengapa dalam masalah nikah mut’ah Allah Swt tidak memerintahkan kepada Nabi-Nya melakukan nikah mut’ah dan pada ayat tersebut tatakala menjelaskan hukum istimtâ tidak menggunakan kata kerja perintah (fi’il amar)? Harus dikatakan bahwa:
Petunjuk pertama kata kerja perintah adalah adanya kewajiban yang harus dijalankan dan tiada seorang pun yang mengklaim bahwa nikah mut’ah itu wajib hukumnya.[2]
Karena itu, ayat mut’ah berada pada tataran menghitung para wanita yang dapat dinikahi dan tidak berada pada tataran memerintah misalnya seseorang harus menikah, temporal atau permanen, pada prinsipnya pernikahan, baik temporal atau permanen, merupakan hal yang dianjurkan bukan hal yang diwajibkan.[3] Karena itu, tidak terdapat dalil untuk memahami ayat ini sebagai perintah dalam masalah pernikahan.
Oleh karena itu, tidak terdapat dalil untuk memanfaatkan kata kerja perintah dalam masalah ini. Dari sisi lain, hukum diperuntukkan bagi semua manusia, bukan hanya Rasulullah Saw. Dengan demikian, pada ayat yang berada pada tataran menjelaskan hukum Ilahi, bahkan sekiranya yang menjadi obyek seruan itu Rasulullah Saw, maka masyarakat umum tetap tercakup di dalamnya bukan untuk beliau secara khusus.
Referensi:
[1]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 3, hal. 336, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1374 S, Cetakan Pertama.
[2]. Perlu untuk diingat bahwa kita memiliki banyak hukum yang tidak seorang pun ragu tentang kewajibannya, namun tidak dijelaskan dengan kata kerja perintah; misalnya kewajiban puasa. Allah Swt berfirman, “Wahai orang-orang beriman! Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:183).
Dan kewajiban haji dimana Allah Swt berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Qs. Ali Imran [3]: 97).
[3]. Muhammad al-Fadhil al-Langkarani, Tafshil al-Syari’ah fi Syarh Tahrir al-Wasilah, Riset dan Penerbitan, Markaz Fiqh Al-Aimmah al-Athar As, Kitab al-Nikah, hal. 7.
(Islam-Quest/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email