Oleh: Turan Koç
Istilah “dunia” dan “dunia lain” seperti “bumi-langit” dan “awal-akhirat”, adalah salah satu pasangan konsep yang telah dipertimbangkan bersama-sama dalam pemikiran Islam tradisional. Dunia Ini dan dunia lainnya terjadi dalam hubungan genus tertentu di berbagai perspektif, dan mereka dianalisis dalam konteks itu. Alam atau dunia persepsi akal digunakan entah sebagai langkah dalam diskusi metafisik untuk bergerak di luar dunia ini. Sehingga, setiap ketidaktahuan tentang dunia ini tentu membawa beberapa ketidaktahuan tentang dunia lain. Dengan kata lain, seseorang harus tahu keberadaan pertama atau saat kita sebelum dia tahu dunia lain (Al Qur’an, 56: 62). Begitu juga Mulla Sadra berangkat dari prinsip ini, dan mendasarkan bukti dan argumentasi bagi keberadaan kehidupan setelah kematian pada pengetahuan kita tentang dunia ini (IV. II, p. 237).
Memang, argumentasi tentang realitas dunia lain (akhirat) dan keadaan di dunia yang independen dari setelah adanya kematian; ada yang mengatakan, tidak ada hubungan kausal antara argumen untuk dunia lain dan realitas dunia ini. Namun, keyakinan kita mengenai realitas dunia lain dan bagaimana keberadaan kita di dunia yang akan, secara fundamental mempengaruhi kehidupan kita sekarang.
Pada awal diskusi kita, saya ingin membuat poin penting. Seperti diketahui, argumen filosofis bagi keberadaan dunia lain pada umumnya berusaha untuk membuktikan keabadian, sementara argumen yang bergantung pada keyakinan agama teistik telah terutama mencoba untuk membuktikan kebangkitan. Tapi, posisi Mulla Sadra cukup menarik di sini, karena ia mencoba untuk menunjukkan ajaran kebangkitan diterima oleh Islam dalam hal argumen filosofis.
Konsepsi Mulla Sadra tentang “Kebangkitan kembali (Ma’ad), seperti seluruh filsafatnya, tergantung pada pengajaran tentang “gerakan substansial” (al-Harakat al-jawhariyya). Gerakan besar ini terjadi melalui suatu tujuan, yang telah dibuang / diturunkan di sifat hal oleh Allah. Sadra mengatakan, “Allah tidak menciptakan hal-hal tanpa ada tujuan … Tidak ada hal yang mungkin/kontingen tanpa agen dan tujuan” di dunia (IV II, pp 243-244;.. Risalah al-Hasyr, p 81.). Semua hal kontingen (mumkinul wujud), dengan sifatnya, mencoba untuk mencapai melalui gerakan substansial / immaterial untuk tujuan terakhir yang tidak memiliki tujuan lain selain untuk itu. Dan tujuan yang semuanya mencoba untuk mencapai posisi yang lebih tinggi dari posisi sekarang dan lebih lengkap berkaitan dengan keberadaan. Begitu juga manusia yang sangat tidak sempurna dan bahkan ‘tidak pantas untuk menyebutkan namanya di awal keberadaannya’ (Al Qur’an, 76: l) adalah dalam proses kesempurnaan. Gerakan ini dan keinginan telah diwariskan dalam esensi hal (IV / II, p 244;. Risalah, hal 91.).
Di sisi lain, keberadaan (Wujud) dan menjadi sadar tentang keberadaan adalah kebaikan dan kebahagiaan. Semakin tinggi dan lebih lengkap keberadaan, adalah semakin tinggi kemungkinan untuk diselamatkan dari non-eksistensi yang untuk itu ada (IV. II, hal.121). Lebih jelas, keberadaan tidak disengaja, dan konsep, makna dan hakekat dari hal yang sesuatu selain identitas sebenarnya; karena keberadaan nyata. Jadi, ketika kita meninggalkan tubuh kita, kesadaran kita tentang esensi kita sendiri akan menjadi lebih kuat karena fakta bahwa kehadiran kita untuk diri kita sendiri akan lebih lengkap dan lebih tegas (IV. II, pp. 123-124).
Memang, konsepsi Mulla Sadra manusia dan hubungan tubuh-pikiran (jiwa), dengan demikian, sangat berbeda dari konsepsi dualistik klasik manusia, meskipun ia sering menggunakan beberapa istilah seperti “roh”, “tubuh”, “substansi”,” materi “, dll tampaknya konsepsinya tentang manusia adalah salah satu yang tergantung pada inseparableness pikiran dan tubuh satu sama lain, yaitu, pada konsepsi holistik manusia. Menurut Sadra, ada hubungan antara tubuh dan jiwa, seperti hubungan Aristoteles mengaku antara materi dan bentuk. “Man keluar dari potensi untuk aktual dan dari dunia ini ke yang lain, dan kemudian ia mencapai Allah (mawla) yang merupakan tujuan dari tujuan dan titik terakhir dari keinginan dan gerakan” (IV.II, p. 159 ).
Hal ini adalah diri (dhawat) dengan sifat berorientasi pada tujuan mereka dan kesempurnaan mereka. Dan di antara semua makhluk hanya manusia adalah kepribadian tunggal yang naik dari tingkat terendah ke derajat tertinggi dengan melestarikan identitas pribadinya, yang memiliki kelanjutan tertentu. kelanjutan ini diwujudkan melalui gerakan substansial berlangsung contiguously. Dan itu, bagi manusia ada tiga tingkatan eksistensi: alami, mental dan intelektual. Tidak mungkin baginya untuk menetap ke dalam penciptaan kedua (nash’a Thaniya) tanpa menyelesaikan tiga jenis keberadaan. Oleh karena itu, dari awal masa bayi untuk mencapai kesempurnaan-Nya manusia adalah fana, manusia duniawi, dan ini adalah manusia pertama. Dengan kemajuan dalam eksistensi ini ia menjadi murni dan mencapai tingkat tertentu kelembutan, dan bahwa keberadaan mental dan dunia lain menjadi aktual baginya. Ini adalah jenis kedua manusia, untuk siapa ada fakultas dan organ yang sesuai. Kemudian, ketika dia transfer dari tingkat eksistensi mental untuk tingkat eksistensi intelektual tingkat ketiga keberadaan berlangsung (IV. II, pp. 96-97).
Menurut Mulla Sadra, perkembangan ini atau proses evolusi menemukan sangat artinya dalam gerakan total seluruh alam semesta dan di yang berorientasi pada target tertentu. Fakta ini dan tujuan akhir adalah apa agama yang disebut Kembali (Ma’ad). Seluruh alam semesta dan sementara orang itu berada dalam proses bersebelahan mencapai target, yaitu, untuk Kembali, dengan yang lenyap (zawal) dan pada saat yang sama dengan yang reexisted (hudûth) terus-menerus dalam gerakan substansial. Oleh karena itu, Mulla Sadra menjelaskan Kembali dalam hal dua prinsip. Yang pertama adalah untuk membuktikan perlunya tujuan untuk sifat primordial substansial, dan kedua, untuk membuktikan ini berkenaan dengan agen aktif. Sejak, ada orientasi alami bagi manusia menuju kesempurnaan, dan ilahi, disposisi alami sehubungan dengan mencapai Prinsip Aktif. Manusia adalah dalam proses bergerak, maju dan berubah terus-menerus dari bentuk yang tidak sempurna menuju bentuk yang paling sempurna. Mungkin kesempurnaan berlaku untuk manusia dapat direalisasikan hanya di lain-dunia. Oleh karena itu, jika seorang pria melengkapi dan terdiri dari semua tingkat penciptaan faktual, maka ia akan mencapai batas resmi terakhirnya pada akhir gerakan bawaan substansial dalam pertanyaan, dan sedang menyelesaikan nya duniawi ini keberadaan berorientasi pada penciptaan dunia lain (nash ‘ a) (IV. II, pp. 158-159).
Karena lain-dunia, menurut Mulla Sadra, adalah ciptaan (insya ‘) dan origination (ibda’) berbeda dari dunia ini, sehingga juga bentuk (QS) pria yang mengambil tidak akan ada bentuk alami berkaitan dengan dunia ini, meskipun memiliki kualitas dipahami masuk akal oleh indera eksternal (IV. II, p. 254). Bahkan, manusia adalah keseluruhan yang terdiri dari tubuh dan jiwa (nafs). Baik tubuh dan jiwa ada dalam satu keberadaan tunggal, meskipun mereka berbeda mengenai tingkat mereka. Oleh karena itu, semakin jiwa mencapai kesempurnaan dalam keberadaannya, lebih murni dan lembut tubuh menjadi, dan jiwa sangat menyatu dengan tubuh, sehingga kesatuan di antara mereka menjadi lebih kencang dan bisa dipecahkan. Sehingga, ketika keberadaan intelektual aktualisasikan mereka menjadi satu kesatuan tanpa oposisi.
Hubungan antara tubuh dan jiwa, seperti yang seharusnya oleh sebagian besar orang, tidak seperti hubungan antara seorang pria dan tempat atau pakaiannya yang dapat dilepas dan jatuh di waktu. Alasan untuk yang sesat di sini adalah bahwa mereka mengira mayat yang kita miliki hanya untuk tujuan yang diawetkan, bukan untuk eksistensi, adalah tubuh nyata. Sebaliknya, tubuh yang benar adalah lebih primordial yang terang dan kekuatan hidup adalah operasi di dalamnya. Jadi tidak mungkin untuk bergerak dari itu seperti kita bergerak dari sebuah rumah yang telah dibiarkan seperti itu. The penggundulan (tajarrud) untuk makhluk perseptif tidak meninggalkan beberapa atributnya sambil menjaga dengan itu yang lain. Sebaliknya, proses ini berlangsung dengan bergerak dari tingkat yang lebih rendah dan tidak sempurna dari eksistensi keberadaan yang lebih tinggi dan lebih terhormat. Dengan kata lain, hal itu terjadi bahwa breaking tertentu off berlangsung perlahan dari penciptaan alam ini menuju penciptaan yang kedua karena fakta bahwa jiwa menjadi secara bertahap lebih mandiri. Ini terjadi hanya melalui transformasi jiwa secara bertahap dalam gerakan substansial dengan mengintensifkan dari posisi lemah untuk satu lebih kuat. The penggundulan manusia dan transferensinya dari dunia ini ke dunia lain terjadi dengan cara ini. Ketika jiwa mencapai kesempurnaan dan menjadi intelijen yang sebenarnya, fakultas juga diperkuat sesuai dengan itu (IV II, pp 51;.. 98-100; 180). Akhir dari perjalanan ini dari jiwa adalah untuk bersatu dengan Intelek Aktif. Sebab, jika tidak mungkin untuk itu untuk menghadapi dengan sesuatu, maka tidak akan ada tujuan keberadaannya. Intelek Aktif yang merupakan tujuan untuk sesuatu untuk sementara, akan akhirnya bentuknya (IV. II, p. 140).
Di tingkat keberadaan dunia lain, semua manusia dalam bentuk yang masuk akal, meskipun ada perbedaan dalam tingkat antara mereka. Mereka begitu kuat, lengkap dan abadi berkaitan dengan keberadaan dan aktualisasi mereka bahwa tidak mungkin untuk membandingkan eksistensi ini dengan adanya ini-duniawi mereka.
sensibles ini, bertentangan dengan anggapan orang biasa, namun, tidak dapat dirasakan oleh indra berlalu dr ingatan dan binasa. Di sisi lain, mereka tidak, karena beberapa pemikiran, imaginal / keadaan mental atau makhluk imaginal yang tidak memiliki eksistensi dalam realitas (Sadra mengatakan bahwa Ghazali menerima pandangan ini, tetapi tampaknya bagi saya bahwa itu tidak mudah untuk setuju dengan dia di sini ). Begitu juga mereka tidak, seperti yang dipahami oleh beberapa filsuf Peripatetik, negara intelektual atau posisi spiritual, atau kesempurnaan mental. Ini adalah nyata ( ‘Ayni) bentuk substansial, hadir dan entitas yang masuk akal. Mereka berdua mempengaruhi orang lain dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh mereka; karena mereka tidak tdk berlaku (mu’attal). Lebih jelas, tidak ada hal seperti tdk berlaku dalam keberadaan; Namun, mereka tidak milik dunia alam ini juga dapat dirasakan oleh orang-rasa alami organ (IV II, pp 147;.. 174-175; 198; 225). Kebangkitan orang mati dan penggundulan bentuk dari materi akan berlangsung sebagai ciptaan kedua (insya ‘). Meskipun keberadaan makhluk dunia lain menyerupai apa yang kita lihat dalam mimpi atau dalam cermin, penciptaan dunia lain dan bentuk ada di sana benar-benar berbeda karena fakta bahwa mereka memiliki zat suara dan eksistensi yang kuat. formulir ini, menurut mereka yang bersatu gnosis persis dengan penalaran demonstratif, adalah makhluk sangat ada dan realitas asli (IV. II, p. 176).
badan dunia lain memiliki sifat perantara, yang mengumpulkan kedua penggundulan (tajarrud), dan inkarnasi (tajassud). Sebuah badan dunia lain adalah seperti sebuah bayangan yang tak terpisahkan bagi jiwa, dan dua ini memiliki sifat dipahami yang telah bersatu dalam keberadaan. Dengan kata lain, tidak seperti ini-duniawi tubuh, tubuh dunia lain yang identik dengan jiwa (IV. II, pp. 183-184). Yang paling penting di sini adalah bahwa keberadaan dunia lain tidak diregenerasi dari prinsip materi atau asal, tapi benar-benar tergantung pada penciptaan, originasi dan penemuan Allah (insya ‘, ibda’, ikhtira ‘).
Hal yang paling masuk akal dan penting mengenai keberadaan kedua kami adalah bahwa hal itu akan menjadi ciptaan belaka, seperti penciptaan pertama kami, bukannya mengumpulkan berbagai macam komponen (IV. II, pp. 161-162). “Pembuatan (ijad) benar-benar dari-Nya; properti hanya preferensi dan tugas untuk membuat-Nya, atau fitur dikalikan diperluas dan terpancar tindakan dan keberadaan (wujud) (IV. II, p. 162) Nya. Selanjutnya, dari perspektif ini, bahkan posterioritas dan secondariness hanya evaluasi dengan perbandingan untuk originasi kami (hudûth). Jika tidak, penciptaan ini sendiri lebih sebelum dan yg; karena sebelum alam berkaitan dengan esensi dan keunggulan dalam merancang keberadaan. Oleh karena itu posterioritas yang begitu dengan referensi khusus untuk originasi dan kesempurnaan kami.
Dalam konteks ini, hal penting mengenai ajaran Mulla Sadra of Return adalah bahwa keberadaan kami yang pertama, yang, rangkaian awal telah terjadi dengan cara penciptaan tanpa waktu dan gerakan, sedangkan seri of Return akan terjadi dalam waktu dan gerakan. Ada beberapa macam eksistensi bagi manusia sebelum dia telah dibawa sebagai entitas material. Karena sifat yang melekat ia secara bertahap condong atau kemajuan terhadap dunia lainnya. Dia kembali ke tujuan yang dimaksudkan. Singkatnya, ia mulai keberadaan resmi dunia lain dengan ini-duniawi bahan keberadaan (IV. II, pp. 195-96).
Menurut Mulla Sadra, penegasan kembali tubuh (Ma’ad jismani) terutama tergantung pada prinsip-prinsip sebelas berikut, yang, pada saat yang sama, esensi dari filsafat umum nya:
①. Faktor dasar dalam semuanya ada, dan tidak hakekat (Mahiya) dan objektivitas (shay’iyya). Dengan kata lain, itu adalah identitas nyata yang ada hal yang disertai dengan itu:
②. Personifikasi dan perbedaan dari segala sesuatu dari orang lain adalah sangat keberadaan eksistensi khususnya. Adapun hal-hal yang disebut kecelakaan beton tidak tapi tanda-tanda bagi makhluk eksistensial individu. Ini berubah, tetapi entitas individu bertahan tanpa mengubah.
③. Sifat keberadaan dengan esensi sederhana (dhat) di mana tak ada komposisi eksternal maupun mental, menerima kelemahan dan kekuatan. Lebih jelas, itu adalah terus-menerus dalam proses perubahan.
④. Keberadaan menerima pergerakan mengintensifkan. Substansi perubahan keberadaan substansial dan mengalami transfigurasi. Bagian dari gerakan contigeneous tunggal tidak hadir sebenarnya.
⑤. Hal-hal yang identik dengan bentuk mereka. Pedang adalah pedang dengan ketajaman, tidak dengan besi. Materi dapat memiliki, setidaknya, potensi dari suatu hal, dan menjadi subjek untuk gerakan dan efek. Identitas suatu hal bentuknya yang sempurna.
⑥. Dalam segala hal, entitas kesatuan yang identik dengan keberadaannya, tidak dalam proses tunggal dan di satu derajat tunggal (yaitu, dalam urutan yang sama). Pada tingkat materi, yang bertentangan tidak datang bersama-sama, tetapi ketika tingkat eksistensi berlangsung, kemungkinan seperti itu datang menjadi ada.
⑦. Identitas dan individuasi dari tubuh adalah dengan jiwanya (nafs), bukan dengan mayat-nya (jirm). Jadi keberadaan dan individuasi manusia adalah terus-menerus sebagai jiwanya tetap dengan dia. Mengubah bagian bersama hidupnya tidak penting. identitas manusia tetap sama di semua perubahan ini dan transfigurasi sampai ia mengambil bentuk lain; karena ini merupakan acara yang berlangsung dalam suatu kesatuan bertahap dan bersebelahan. sifat substansial dan batas-batas eksistensial yang datang menjadi ada dengan cara gerakan substantif tidak penting. Yang penting adalah apa yang tersisa dan bertahan, dan ini bukan tapi jiwa. Oleh karena itu, tubuh tetap sebagai yang sama, meskipun dalam gerakan konstan. Begitu juga di akhirat, meskipun mengalami perubahan mendasar yang membuat mustahil untuk menyebutnya peduli, masih tubuh yang sama.
Hal ini dapat ditanya apakah tubuh manusia adalah sama di masa kecilnya dan di tahun lanjutan. Jika tubuh diambil di sini sebagai materi, tidak akan mungkin untuk mengatakan, “Ya.” Tapi, jika diambil sebagai genus, ini merupakan situasi yang ambigu. Tetapi kita dapat mengatakan bahwa orang tersebut adalah sama dalam kedua situasi, yaitu, di masa muda dan di tahun lanjutan.
⑧. Kekuatan imaginal bukanlah zat yang melekat dalam tubuh. Juga tidak ada di setiap tempat di dunia alam. Ini ada di tempat perantara antara dipisahkan dunia intelektual dan alam.
⑨. Bentuk-bentuk imaginal ada dalam jiwa seperti tindakan ada dengan agen. Gambar yang jiwa diciptakan melalui materi di dunia ini akan dibuat tanpa perlu peduli dan merasakan persepsi di dunia lain. Ketika jiwa keluar dari dunia ini tidak akan ada perbedaan antara imajinasi dan sensasi. Karena kekuatan imaginal telah menjadi lebih kuat, dan mencapai posisi yang dapat melihat dengan mata gambar apa yang dilihatnya dengan mata akal.
⑩. Bentuk-bentuk kuantitatif dan bentuk badan akan dibawa oleh lembaga jiwa di dunia lain tanpa berbagi dengan masalah ini, hanya mereka dibawa tentang berbagi dengan materi oleh agen. Semua ini ada baik dalam otak maupun di fakultas imajiner, maupun dalam dunia imajinasi universal. Singkatnya, keberadaan ini di dunia lain absen dari dunia ini.
⑪. Tempat tinggal eksistensi merupakan salah satu karena fakta bahwa mereka terhubung satu sama lain; tapi genera dari dunia dan kreasi yang besar dalam jumlah, dan tidak terbatas pada tiga. Terendah ini adalah dunia bentuk alami, yang tunduk menjadi dan pembubaran, yang tengah adalah, dunia bentuk persepsi sensual terisolasi dari materi, dan tertinggi adalah dunia bentuk dimengerti dan gambar ilahi. Di antara semua hal yang ada hanya manusia untuk tetap dalam tiga dunia tersebut. Seorang pria dari awal masa bayi nya dan seterusnya mengalami alami menjadi. Dan kemudian dia secara bertahap menjadi begitu murni dan lembut bahwa ia akhirnya mencapai ke (nafsani) tingkat dan keberadaan dunia lain nyaman untuk dibangkitkan mental. Ini adalah tingkat kedua kemanusiaan nya. Akhirnya, karena fakta bahwa ia secara bertahap menjadi lebih disempurnakan, ia mencapai tingkat ketiga keberadaan disebut manusia dimengerti (IV. II, pp. 185-194).
Jelas, menurut Mulla Sadra, personifikasi manusia berlangsung dengan jiwanya, bukan dengan tubuhnya. Hal yang kita sebut tubuh sebenarnya merupakan hal yang ambigu. Dan tidak mungkin untuk mengatakan bahwa ada diri tetap dan bertekad untuk manusia sepanjang proses keseluruhan keberadaannya. Oleh karena itu, hal ini juga tidak mungkin untuk mengatakan bahwa setiap manusia diberikan akan dibangkitkan dengan tubuh yang ia miliki dalam suatu periode tertentu (IV. II, p. 200).
Sekarang, tergantung pada ajaran ini Kembali yang kami telah mencoba segera menjelaskan, Mulla Sadra mengangkat beberapa kritik terhadap teolog yang telah menerima pemulihan tubuh atau membawanya kembali, terhadap para filsuf yang telah menerima keabadian spiritual, dan terhadap transmigrationists yang telah menyatakan bahwa jiwa transmigran dari satu ke tubuh lain. Sekarang, saya ingin memeriksa ini masing-masing:
Kinestetik KEBANGKITAN
Menurut Mulla Sadra, kesalahan terbesar para teolog (bahkan sebagian besar umat Islam) yang menerima terulangnya tubuh fisik setelah kehidupan, adalah anggapan bahwa manusia terdiri dari pengumpulan bagian-bagian seperti materi, bentuk, tubuh dan jiwa. Bagi mereka entitas penting bukan orang (shakhs) sendiri, tetapi bagian yang merupakan dia dalam anggapan mereka. Oleh karena itu, setiap orang akan binasa, bukan karena binasa bagian dengan kematian, tetapi karena evanescence dari sintesis dan komposisi. Jika, di kemudian hari, setiap jenis rekomposisi valid berlangsung antara bagian-bagian, orang asli akan kembali sekali lagi. Dengan kata lain, kebangkitan, biasanya, tidak tapi berkumpul bersama semua bagian yang tersebar di mana-mana di bumi dalam satu tempat dan membawa tentang mereka semua dalam urutan tertentu. Pandangan ini, menurut Mulla Sadra, terbuka untuk beberapa kritik. Untuk mulai dengan, pandangan ini melihat peristiwa kematian sebagai segera berakhir dari hubungan tertentu antara bagian dan sebagai pemutusan komposisi dan pengaturan antara organ. Hidup sedang terlihat di sini sebagai kategori hubungan, dan jelas ini tidak valid. Kedua, mengumpulkan bagian-bagian hancur dalam bersama-sama sekali lagi tidak mewajibkan terulangnya orang mati (tidak penting bahwa pertemuan ini bersama-sama dilakukan benar-benar atau secara khusus). Dan akhirnya, pandangan seperti itu entah bagaimana akan memerlukan tubuh dengan dua jiwa, dan ketidakabsahan ini, seperti yang akan kita lihat di bawah, jelas (IV. II, pp. 168-70).
Menurut Mulla Sadra, mereka yang memegang pandangan seperti itu tidak tahu bahwa kebangkitan akan terjadi hanya dengan cara mengubah dari ini menghilang dan reoriginating penciptaan menjadi eksistensi tetap dan abadi, dan dengan cara mengubah dari yang diciptakan dari air dan debu ke dalam keberadaan yang berbeda (IV II, pp 153;.. 157). Para teolog telah mengembangkan berbagai penjelasan mengenai membawa kembali jiwa untuk tubuh fisik ini seperti, a) penghapusan kemustahilan tentang terulangnya tubuh hancur, dan b) membawa jiwa kembali ke bagian penting (IV. II, p. 164). Bahwa desakan mereka untuk kembali jiwa hanya untuk tubuh mendekati mereka ke transmigrationists. Perbedaan yang paling penting antara mereka adalah bahwa para teolog menerima pembuatan jiwa dalam waktu dan itu akan dikembalikan ke tubuh dalam setelah-dunia, tidak di dunia ini, sementara yang lain menerima bahwa itu adalah pra-abadi dan akan kembali kepada badan di dunia ini. Semua aspirasi ini dan upaya, menurut Mulla Sadra, berasal hanya dari fakta bahwa mereka tidak tahu yang sebenarnya. Kedua akal dan wahyu mengatakan bahwa entitas berulang di dunia setelah-apa dibebankan dengan tugas dan merupakan sumber dari segala perbuatan dan tindakan (IV II, pp 165;.. 167). Mulla Sadra mengatakan, “Karena mereka tidak masuk ke rumah melalui pintu mereka, mereka tidak mampu untuk menyelesaikan jenis-jenis masalah” (IV. II, p. 201).
Di sisi lain, pernyataan dari orang-orang yang menjaga terulangnya tubuh dan jiwa dalam perselisihan dengan satu sama lain mengenai rekomposisi tubuh. Adalah berulang tubuh (Ma’ad) identik dengan tubuh ini, atau itu hanya replika (mithl) itu? Adalah kesamaan dan kemiripan berkaitan dengan masing-masing organ, bentuk dan bentuk, atau mereka yang berkaitan dengan cara lain? Para teolog telah mampu memberikan jawaban yang koheren untuk pertanyaan ini. Menurut Mulla Sadra, yang penting di sini adalah persepsi. Adapun hal yang mengamati, itu adalah jiwa itu sendiri, meskipun persepsi ini dapat terjadi hanya melalui berbagai instrumen. Hal ini untuk alasan ini bahwa, jika seorang pria melakukan kejahatan ketika ia masih muda, ia akan dihukum di tahun-tahun maju. “Memang,” kata Mulla Sadra, “berulang identik sebagai jiwa dan tubuh dengan orang ini; jiwa adalah jiwa yang sama, dan tubuh adalah tubuh yang sama. Sehingga, jika Anda melihat dia, Anda akan berkata, ‘Aku melihat begitu dan begitu seseorang yang telah berkecimpung di dunia’ “(IV. II, pp. 165-166).
Saya percaya bahwa penekanan yang dilakukan oleh Mulla Sadra tentang dimensi etis dan peradilan berkaitan dengan keberadaan dunia lain sangat penting untuk identitas pribadi. Dengan kata lain, harus dilihat untuk setiap orang yang diberikan karena ia adalah baik oleh kami dan oleh dia juga harus diperhitungkan mengenai etika dan hukum.
KEABADIAN
Beberapa pemikir yang mengikuti filsuf (filsuf) dan peripatetics -Sadra terutama menyebutkan Ibnu Sina (Avicenna) – menerima bahwa Return akan berlangsung hanya dengan cara hidup spiritual. Dengan kata lain, hanya ada sebuah keabadian dimengerti. Menurut mereka, ketika hubungan tubuh dengan jiwa berakhir itu akan hancur dan menyita keberadaannya. Jika tidak, itu akan menjadi kambuh badan hancur. Adapun jiwa, itu adalah, abadi (Baqi) substansi terisolasi; oleh karena itu, tidak ada non-eksistensi untuk itu. Bila sambungan jiwa dengan tubuh berakhir, ia akan kembali ke dunia entitas berangkat (IV. II, p.165). Selain itu, beberapa pemikir antara filsuf yang bahkan curiga tentang kelangsungan hidup makhluk yang tidak mencapai kesempurnaan intelektual (IV II, pp 115;.. 147). Hubungan antara jiwa-jiwa di dunia lain adalah sama dengan ineligibles. Dan kebahagiaan mereka juga akan berlangsung dengan cara yang sama. kesenangan dan penderitaan mereka menyerupai situasi dalam mimpi, meskipun mereka akan unggul dari mereka sehubungan dengan efek dan kemurnian.
Kritik yang paling memutuskan pandangan ini oleh Mulla Sadra adalah bahwa para filsuf, menurut dia, telah ingin mengisi dunia lain dengan gambar dan nama belaka. Namun, tidak ada eksistensi yang nyata untuk nama. Mulla Sadra mengatakan bahwa pandangan Ibnu Sina dan Farabi cukup jauh dari benar. Mereka subyektif menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang kebangkitan fisik dan mempertahankan bahwa ini hanya metafora. Mulla Sadra melihat pandangan ini sebagai kesalahan yang tidak dapat diterima. Menurut dia, mereka harus menerima pandangan seperti itu karena fakta bahwa mereka tidak dapat hamil kebangkitan fisik (Hasyr al-jismani) (IV. II, pp. 214-215). Baginya, Ibnu Sina tidak bisa memahami hubungan antara cerdas dan dimengerti (IV. II, pp. 150-151). Bahkan, keberadaan kita di dunia lain akan menjadi mental, keberadaan perceptional. Kehadiran penyebab aktif, tidak tanggap penyebab, cukup ada. Karakteristik dari jiwa ini, dan memiliki sifat yang melindungi bentuk tanpa peduli (IV. II, p. 147).
Hal lain tentang masalah ini adalah penegasan bahwa roh manusia akan bersatu dalam semangat universal tunggal setelah badan hancur. Di sini mereka menerima bahwa roh manusia menyerupai air dituangkan ke dalam cangkir yang berbeda. Dikatakan bahwa roh manusia akan bersatu setelah tubuh mereka (yang cangkir mereka) yang hancur, seperti air (s) dalam cangkir yang berbeda bersatu dalam kolam besar ketika cangkir mereka yang rusak. Mulla Sadra melihat klaim ini sebagai pernyataan tidak berdasar dan ilusi. Dia mengevaluasi setiap perbandingan antara jiwa manusia dan roh-roh dalam benda-benda fisik sebagai silogisme yang tergantung pada menyesatkan dan kesalahan (IV. II, p. 50).
REINKARNASI
Transmigrasi jiwa dari badan elemental atau alami untuk tubuh lain disebut reinkarnasi atau metempsychosis. Hal ini tidak penting apakah itu terjadi dengan cara naik atau turun (IV. II, p. 4). Menurut Mulla Sadra, alasan percaya pada reinkarnasi, setidaknya di kalangan teistik, adalah kesalahpahaman dari nabi melanjutkan dan bijaksana, atau mengambil makna dari beberapa ayat Al-Qur’an sebagai ucapan literal dan kenabian sebagai yang menunjukkan ke transmigrasi atau reinkarnasi ( IV. II, pp. 27-30). Mulla Sadra mencoba untuk menunjukkan kepalsuan ajaran ini dalam hal argumen logis dan filosofis.
Sebagaimana disebutkan di atas, ada hubungan khusus antara tubuh dan jiwa, dan kombinasi ini merupakan integrasi alam dan kesatuan. Mereka tak terpisahkan dalam gerakan penting dan substansial. Jiwa dan tubuh muncul dari potensi ke aktualitas bersama-sama, dan derajat, kekuatan dan tindakan jiwa berada pada tingkat yang sama dengan orang-orang dari tubuh selama proses gerakan substansial. Tidak mungkin ada kombinasi antara dua hal; salah satunya adalah yang sebenarnya sementara yang lain adalah potensi (IV II, pp 2-3;.. 205-206). Ada penyatuan itu, misalnya, antara materi dan bentuk dalam komposisi alami yang terdiri dari materi dan bentuk, dan karena itu tidak mungkin untuk mempertahankan salah satu dari mereka dan untuk menghancurkan yang lain. Sebab, seperti diketahui, bentuk semuanya kelengkapan dan kesempurnaan. Hubungan masing-masing jiwa dengan tubuh adalah sama. Ada ketidakterpisahan antara mereka untuk menjadi dan pembubaran. Dengan kata lain, ada koeksistensi dan pembawaan sejak lahir di antara mereka. Ketika embrio menjadi janin, maka kehidupan dan gerakan fisik awal. Namun, karena ada jenis intelektual atau lainnya eksistensi dari satu alam ini bagi jiwa-jiwa manusia, kerusakan tubuh tidak memerlukan penghancuran itu, karena, jiwa telah memperoleh keberadaan lain. Kehidupan dan gerakan tubuh tunduk jiwa. Oleh karena itu, transmigrasi jiwa dari satu tubuh ke tubuh yang lain tidak mungkin (IV II, pp 4;.. 55).
Jadi, untuk membuktikan kebangkitan fisik seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an tidak perlu, bertentangan dengan pemahaman Ghazali ini, setiap badan lainnya yang tidak melanggar identitas pribadi yang pertama (duniawi) manusia. Apa yang benar mengenai Kembali adalah kembali tubuh seperti kembali jiwa (IV. II, pp.207-208). Ini harus diingat bahwa, menurut Mulla Sadra, tubuh sedang dibawa dan didasari oleh jiwa. Alasan gagal dan menghilang dari tubuh sedang mengalami perubahan jiwa karena pendekatan untuk penciptaan kedua. Untuk alasan ini, adalah mustahil untuk menerima ajaran reinkarnasi (IV. II, pp. 47-48). Jadi, kita tidak harus mengambil ekspresi yang ditemukan dalam beberapa ayat dan perkataan kenabian akan berarti juga dangkal reinkarnasi.
Mulla Sadra mencoba untuk membuktikan kemustahilan reinkarnasi dalam hal doktrin gerakan substansial. Dan ia sangat menyatakan bahwa ada perbedaan yang sangat penting antara pandangannya dan ajaran reinkarnasi. Kita dapat meringkas bukti nya tentang ketidakmungkinan turun jenis reinkarnasi sebagai berikut: Untuk mulai dengan, ⓐ) dalam proses kesempurnaan, yaitu, dari awal konstitusi bentuk manusia untuk akhir penggundulan atau stripping off tubuh mereka (tajarrud), transformasi ini dan evolusi berlangsung sebagai kesempurnaan bersebelahan substansial. Ada kesatuan materi-bentuk atau inseparableness dari tubuh dan jiwa di sini. Menjadi setelah pembubaran dan pembubaran setelah hanya pengandaian. Ada kesinambungan dalam eksistensi (wujud), tidak becomings bertentangan satu sama lain. Ⓑ) Kedua, hal itu terjadi bahwa kesenjangan (periode tanpa gerak) datang sekitar antara waktu di mana jiwa berangkat dari tubuh pertama dan waktu di mana ia bersatu dengan yang kedua, dan tidak mungkin untuk menerima ini; karena tidak aktif (t’atil) tidak terpikirkan. Ⓒ) Ketiga, dan ini berkaitan dengan turun jenis transmigrasi, dan bukti khusus, bahwa waktu pembubaran setiap tubuh manusia harus berdekatan dengan waktu originasi dari tubuh hewan yang akan menerima jiwanya. Pandangan seperti ini tidak dapat diterima karena fakta bahwa itu memerlukan suatu perencanaan populasi, meskipun tidak ada hubungan antara mereka dan tanpa preferer (murajjih). Di sisi lain, dapat bahwa hal-hal yang berasal bisa jauh lebih banyak dari mereka yang hilang. Dalam kasus seperti itu beberapa jiwa tentu akan tetap tidak aktif. Tetapi tidak ada hal yang tidak aktif dalam keberadaan (IV. II, pp. 8-17).
Dengan demikian, ajaran Mulla Sadra of Return sangat berbeda dari ajaran reinkarnasi dalam dua cara.
_____________________________________
ORIGINAL TEXT:
BODY-MIND RELATION WITH REGARD TO LIFE AFT DEATH ACCORDING TO MULLA SADRA
Body-Mind Relationship with Regard to Life after Death according to Mulla Sadra
Turan Koç
The terms “world” and “other world” just like “the earth-heavens” and “beginning-return”, are one of the pairs of concepts that have been considered together in traditional Islamic thought. This world and the other world take place in a certain genus of relation in various perspectives, and they are analysed in that context. Natural world or the world of sense perception is used somehow as a step in metaphysical discussions to move beyond this world. Such that, any ignorance about this world necessarily brings about some ignorance about the other world. In other words, one must know our first or present existence before he knows the other world (Qur’an, 56: 62). So also Mulla Sadra sets out from this principle, and bases his proof and argumentation for the existence in the life after death on our knowledge of this world (IV. II, p. 237).
Indeed, the argumentations about the reality of other world and the state of affairs in that world are independent from after death existence; that is to say, there is no causal connection between the arguments for the other world and the reality of this world. However, our beliefs concerning the reality of other world and how our existence in that world would be, fundamentally affect our present life.
At the beginning of our discussion, I would like to make an important point. As is well known, philosophical arguments for otherworldly existence have generally tried to prove the immortality, while the arguments that depend on a theistic religious faith have particularly tried to prove the resurrection. But, Mulla Sadra’s position is quite interesting here, since he tries to demonstrate the teaching of resurrection accepted by Islam in terms of philosophical arguments.
Mulla Sadra’s conception of Return (ma‘ad), like his entire philosophy, depends on his teaching of “substantial movement” (al-harakat al-jawhariyya). This substantial movement takes place through a purpose, which has been disposed/inherited in the very nature of things by God. Sadra says, “God has created no things without purpose … There is no contingent thing without an agent and purpose” in the world (IV. II, pp. 243-244; Risalah al-hashr, p. 81). All contingent things, by their very nature, try to reach through a substantial/ immaterial movement to a last purpose that has no other purpose for it. And the purpose to which everything tries to achieve is higher than its present position and more complete with regard to existence. So also human being who is extremely imperfect and even ‘not deserve to mention his name in the very beginning of his existence’ (Qur’an, 76: l) is in this process of perfection. This movement and desire have been inherited in the essence of things (IV/II, p. 244; Risalah, p. 91).
At the other hand, existence (wujûd) and being conscious of existence are goodness and happiness. The higher and more complete the existence is, the higher the possibility to be saved from the non-existence for it is (IV. II, p.121). More clearly, the existence is not accidental, and the concept, the meaning and the quiddity of a thing are something other than its real identity; because the existence is real. Thus, when we left our bodies, our consciousness concerning our own essences would have been stronger due to the fact that our presence to ourselves would be more complete and firmer (IV. II, pp. 123-124).
Indeed, Mulla Sadra’s conception of human being and body-mind (soul) relationship, as such, is quite different from the classical dualistic conception of human being, although he frequently uses some terms such as “spirit”, “body”, “substance”, “matter”, etc. It seems that his conception of man is the one that depends on the inseparableness of the mind and the body from each other, that is, on a holistic conception of man. According to Sadra, there is a relationship between body and soul, just like the relationship Aristotle claims to be between matter and form. “Man comes out from potential to actual and from this world to the other, and then he reaches God (mawla) who is the purpose of the purposes and the last point of the desires and the movements” (IV.II, p. 159).
Things are the selves (dhawat) with natures oriented to their purposes and their perfectness. And among all creatures only the human being is a single personality who ascends from the lowest degree to the highest degrees by preserving his personal identity, which has a specific continuation. This continuation realised through substantial movement takes place contiguously. And that, for human being there are three levels of existence: natural, mental and intellectual. It is impossible for him to settle down into a second creation (nash’a thaniya) without completing these three kinds of existence. Hence, from the very beginning of babyhood to achieving his perfectness a man is a mortal, natural man, and this is the first human being. By progressing in this existence he becomes pure and reaches a certain degree of gentleness, and that a mental and otherworldly existence becomes actual for him. This is a second kind of human being, for whom there are appropriate faculties and organs. Then, when he transfers from the level of mental existence to the level of intellectual existence a third level of existence takes place (IV. II, pp. 96-97).
According to Mulla Sadra, this progression or the process of evolution finds its very meaning in a total movement of the whole universe and in being oriented towards a certain target. This fact and its final purpose is what the religion called the Return (ma’ad). The whole universe and meanwhile the man are in a contiguous process of reaching a target, that is, to a Return, by being vanished (zawal) and at the same time by being reexisted (hudûth) constantly in the substantial movement. Therefore, Mulla Sadra explains the Return in terms of two principles. The first of these is to prove the necessity of a purpose for substantial primordial natures, and secondly, to prove this with regard to an active agent. Since, there is a natural orientation for man towards perfection, and a divine, natural disposition regarding to reach the Active Principle. Man is in a process of moving, progressing and changing constantly from an imperfect form towards the most perfect form. The true possible perfectness for man can be realised only in the other-world. Therefore, if a man completes and comprises all the levels of factual creation, then he will reach his last formal limit at the end of his substantial congenital movement in question, and being completed his this-worldly existence orients to an otherworldly creation (nash’a) (IV. II, pp. 158-159).
Since the other-world, according to Mulla Sadra, is a creation (insha’) and an origination (ibda’) different from this world, so also the form (sûrah) that man takes on there will not be a natural form pertaining to this world, although it has a sensible quality perceivable by the external sense organs (IV. II, p. 254). In fact, man is a whole that consists of body and soul (nafs). Both the body and the soul exist in one single existence, even though they are different regarding their levels. Hence, the more the soul achieves perfectness in its existence, the purer and gentler the body becomes, and the soul strongly unites with the body, so the unity between them becomes firmer and unbreakable. Such that, when the intellectual existence actualised they become one single entity without any opposition.
The relation between the body and the soul, as supposed by most of the people, is not like a relation between a man and a place or his dress that can be taken off and dropped in time. The reason for being misguided here is that they suppose the corpse that we have only for the purpose of being preserved, not for the existence, is a real body. On the contrary, the true body is more primordial one that the light and force of life is operative in it. So it is impossible to move from it just like we are moving from a house that had been left as such. The denudation (tajarrud) for a perceptive being is not to leave some of its attributes while keeping with it the others. On the contrary, this process takes place by moving from a lower and imperfect level of existence to a higher and more honourable existence. In other words, it happens that a certain breaking off takes place slowly from this natural creation towards a second creation due to the fact that the soul becomes gradually more independent. This takes place only through a transformation of the soul gradually in its substantial movement by intensifying from a weak position to a stronger one. The denudation of man and his transference from this world to the other world occurs in this way. When the soul reaches its perfection and becomes actual intelligence, its faculties are also strengthened in accordance with it (IV. II, pp. 51; 98-100; 180). The final end of this journey of the soul is to unite with Active Intellect. For, if it is not possible for it to encounter with something, then there will be no purpose for its existence. The Active Intellect that is a purpose for something for a while, will be at last its form (IV. II, p. 140).
In the level of otherworldly existence, all human beings are in sensible forms, although there is a difference in degree among them. They are so strong, complete and perennial with regard to their existence and actualisation that it is impossible to compare this existence with their this-worldly existence.
These sensibles, contrary to the supposition of ordinary people, however, cannot be perceived by these evanescent and perishing senses. On the other hand, they are not, as some thought, imaginal/mental states or imaginal beings that have no existence in reality (Sadra says that Ghazzali accepted this view, but it seems to me that it is not easy to agree with him here). So also they are not, as understood by some Peripatetic philosophers, intellectual states or spiritual positions, or mental perfections. These are real (‘ayni) substantial forms, present and sensible entities. They both affect others and at the same time are affected by them; since they are not inoperative (mu‘attal). More clearly, there is no thing as inoperative in existence; however, they neither belong to this natural world nor can be perceived by these natural sense organs (IV. II, pp. 147; 174-175; 198; 225). The resurrection of the dead and the denudation of the forms from matter will take place as a second creation (insha’). Although the existence of otherworldly beings resembles to what we saw in dreams or in the mirrors, otherworldly creation and the form existed there are completely different due to the fact that they have a sound substance and a strong existence. These forms, according to those who united exact gnosis with demonstrative reasoning, are the very existent beings and genuine realities (IV. II, p. 176).
Otherworldly bodies have an intermediary nature, which gathers together both denudation (tajarrud), and incarnation (tajassud). An otherworldly body is like an inseparable shadow for soul, and these two have perceivable properties that have been united in existence. In other words, unlike this-worldly bodies, otherworldly bodies are identical with the souls (IV. II, pp. 183-184). The most important thing here is that the otherworldly existence is not regenerated from a material principle or an origin, but it depends completely on the creation, origination and invention of God (insha’, ibda’, ikhtira’).
The most reasonable and important thing regarding to our second existence is that it will be a mere creation, just like our first creation, rather than gathering various parts together (IV. II, pp. 161-162). “Making (ijad) is absolutely from Him; properties are only preferences and assignments for His making, or multiplied features to be expanded and emanated His acts and existence (wujûd) (IV. II, p. 162). Furthermore, from this perspective, even the posteriority and secondariness are only evaluations by comparison to our origination (hudûth). Otherwise, this creation itself is more prior and antecedent; because it is prior to the nature with regard to the essence and superiority in designing the existence. Therefore its posteriority is so with a special reference to our origination and perfection.
In this context, an important thing regarding Mulla Sadra’s teaching of Return is that our first existence, that is, the series of beginning has occurred by way of creation without time and movement, while the series of Return will occur in time and movement. There are some sorts of existence for human being before he has been brought about as a material entity. Because of his inherent nature he gradually inclines or advances towards the other world. He returns to the intended purpose. In short, he begins the otherworldly formal existence with his this-worldly material existence (IV. II, pp. 195-96).
According to Mulla Sadra, affirmation of bodily return (ma‘ad jismani) depends mainly on the following eleven principles, which are, at the same time, the essence of his general philosophy:
① . The basic factor in everything is existence, and not quiddity (mahiya) and objectivity (shay’iyya). In other words, it is a real identity that no thing has accompanied with it:
② . The personification and the distinction of everything from the others is the very being of its particular existence. As for the things called concrete accidents are not but the signs for individual existential beings. These change, but the individual entity endures without changing.
③ . The nature of existence with its simple essence (dhat) in which there is neither external nor mental composition, accepts weakness and strength. More clearly, it is constantly in a process of changing.
④ . Existence accepts the movement of intensifying. Any substance in its substantial existence changes and undergoes transfiguration. The parts of a single contigeneous movement are not present actually.
⑤ . Things are identical with their form. A sword is a sword with its sharpness, not with its iron. Matter can have, at least, the potentiality of a thing, and becomes a subject for its movements and effects. The identity of a thing is its perfect form.
⑥ . In everything, the unitary entity that is identical with its existence, is not in a single process and in one single degree (that is, in the same order). At the material level, the opposites don’t come together, but when the level of existence progresses, such a possibility comes into being.
⑦ . The identity and the individuation of the body is with its soul (nafs), not with its corpse (jirm). So the existence and individuation of man is continual as his soul remains with him. Changing of the parts along his life is not important. Human identity remains the same in all these changes and transfigurations until he takes on an otherworldly form; because this is an event that took place in a gradual and contiguous unity. Substantial properties and the existential limits that come into being in the way of substantive movement are not important. The important thing is what remains and endures, and this is not but the soul. Hence, the body remains as the same, even though it is in constant movement. So also in the afterlife, although it undergoes a fundamental change that makes impossible to call it matter, it is still the same body.
It can be asked whether the body of a man is the same in his childhood and in advanced years. If the body is taken here as matter, it will not be possible to say, “Yes.” But, if it is taken as genus, this is an ambiguous situation. But we can say that the person in question is the same in both situations, that is, in youth and in advanced years.
⑧ . The imaginal power is not a substance inherent in the body. Neither does it exist in any place in natural world. It exists in an intermediary place between separated intellectual world and the natural world.
⑨ . The imaginal forms exist in the soul just like an act exists with an agent. The images that the soul created through matter in this world will be created without any need to the matter and sense perception in the other world. When the soul goes out from this world there will exist no difference between imagination and sensation. Because the imaginal power has become stronger, and achieved a position that it can see by the eye of image what it sees by the eye of sense.
⑩ . The quantitative forms and corporal shapes will be brought about by the agency of the soul in the other world without any share with the matter, just they were brought about sharing with matter by an agent. All these exist neither in the brain nor in the imaginary faculties, nor in the world of universal imagination. In short, this existence is in another world absent from this world.
⑪ . The abode of existence is one due to the fact that they are connected to each other; but the genera of the worlds and creations are great in amount, and not limited to three. The lowest of these is the world of natural forms, which subject to being and dissolution, the middle one is, the world of sensual perceptual forms isolated from matter, and the highest is the world of intelligible forms and divine images. Among all existing things it is only human being to be remained in these three worlds. A man from the very beginning of his babyhood onwards undergoes a natural becoming. And later on he gradually becomes so pure and gentle that he finally reaches to a mental (nafsani) level and otherworldly existence convenient to be resurrected. This is the second level of his humanness. Finally, because of the fact that he gradually becomes more perfected, he reaches the third level of existence called intelligible man (IV. II, pp. 185-194).
Clearly, according to Mulla Sadra, personification of man takes place with his soul, not with his body. The thing that we call body is in fact an ambiguous thing. And it is impossible to say that there is a fixed and determined self for human being along the process of his entire existence. Hence, it is also impossible to say that any given man will be resurrected with a body that he has in a given period (IV. II, p. 200).
Now, depending on this teaching of Return which we have tried to explain shortly, Mulla Sadra raised some criticisms against the theologians who have accepted the restoration of the body or bringing it back, against the philosophers who have accepted a spiritual immortality, and against the transmigrationists who have maintained that the soul transmigrates from one to another body. Now, I would like to examine these respectively:
BODILY RESURRECTION
According to Mulla Sadra, the greatest mistake of theologians (even of most Muslims) who accept the recurrence of the physical body in after life, is the supposition that human being consists of gathering of the parts such as matter, form, body and spirit. For them the essential entity is not the person (shakhs) himself, but the parts that constitute him in their supposition. Hence, any person would perish, not because of perishing of his parts with death, but because of the evanescence of the synthesis and composition. If, later on, any kind of valid recomposition takes place among the parts, the original person will be returned once again. In other words, resurrection, typically, is not but gathering together all the parts scattered everywhere in the earth in a single place and bringing about them all in a specific order. This view, according to Mulla Sadra, is open to some criticisms. To begin with, this view sees the event of death as coming to an end of a certain relation between the parts and as termination of the composition and arrangement among the organs. Life is being seen here as a category of relation, and obviously this is invalid. Secondly, gathering the disintegrated parts into together once again doesn’t necessitate the recurrence of the dead person (it is not important that this gathering together is done absolutely or specifically). And finally, such a view will somehow necessitate a body with two souls, and the invalidity of this, as we will see below, is obvious (IV. II, pp. 168-70).
According to Mulla Sadra, those who hold such a view don’t know that the resurrection will take place only by way of changing from this vanishing and reoriginating creation into a fixed and everlasting existence, and by way of changing from being created from water and dust into a different existence (IV. II, pp. 153; 157). Theologians have developed various explanations concerning the bringing back of the soul to this physical body such as, a) elimination of impossibility about the recurrence of the destroyed body, and b) bringing the soul back to an essential part (IV. II, p. 164). That their insistence on returning of the soul only to a body approximate them to the transmigrationists. The most important difference between them is that the theologians accept the creation of the soul in time and it will be returned to the body in the after-world, not in this world, while the others accept that it is pre-eternal and will return to any body in this world. All these strivings and efforts, according to Mulla Sadra, stem only from the fact that they don’t know the truth. Both reason and revelation say that the recurring entity in the after-world is what charged with duties and is the source of all deeds and acts (IV. II, pp. 165; 167). Mulla Sadra says, “Since they don’t go into the houses through their doors, they are unable to settle these kinds of problems” (IV. II, p. 201).
On the other hand, the assertions of those who maintain the recurrence of both body and soul are in a disagreement with each other concerning the recomposition of the body. Is the recurring body (ma‘ad) identical with the present body, or is it only a replica (mithl) of it? Are the sameness and resemblance with regard to each one of the organs, shapes and forms, or are they with regard to any other way? Theologians have been unable to give a coherent reply to these questions. According to Mulla Sadra, the important thing here is the perception. As for the perceiving thing, it is the soul itself, although this perception can take place only through various instruments. It is for this reason that, if a man committed a crime when he was young, he would have been punished in the advanced years. “Indeed”, says Mulla Sadra, “the recurrent is identical as soul and body with this person; soul is the same soul, and body is the same body. Such that, if you see him, you will say, ‘I saw so and so a person who had been in the world’” (IV. II, pp. 165-166).
I believe that the emphasis made by Mulla Sadra on ethical and judicial dimensions with regard to otherworldly existence is extremely important for personal identity. In other words, to be seen for any given person as he is both by us and by him should also be taken into account regarding the ethics and law.
IMMORTALITY
Some thinkers who follow the philosophers (falasifa) and Peripatetics –Sadra especially mentions Ibn Sina (Avicenna)– accept that the Return will take place only by way of spiritual survival. In other words, there is only an intelligible immortality. According to them, when the relation of the body with the soul comes to an end it will be destroyed and seized its existence. Otherwise, it will be the recurrence of a destroyed entity. As for the soul, it is an isolated, immortal (baqi) substance; hence, there is no non-existence for it. When the connection of the soul with the body comes to an end, it will return to the world of departed entities (IV. II, p.165). Furthermore, some thinkers among the falasifa have even been suspicious about the survival of the souls that do not achieve the intellectual perfection (IV. II, pp. 115; 147). The relationship between the departed souls in the other world is the same as that of ineligibles. And their happiness also will take place in the same way. Their pleasures and sufferings resemble the situations in dream, although they will be superior to them with regard to the effect and purity.
The most sever criticism of these views by Mulla Sadra is that the philosophers, according to him, have wanted to fill the other world with mere images and names. However, there is no real existence for the names. Mulla Sadra said that the views of Ibn Sina and Farabi are quite far from being true. They subjectively interpret Qur’anic verses concerning physical resurrection and maintain that these are only metaphors. Mulla Sadra sees this view as an unacceptable mistake. According to him, they had to accept such a view due to the fact that they are unable to conceive the physical resurrection (hashr al-jismani) (IV. II, pp. 214-215). For him, Ibn Sina couldn’t understand the relationship between the intelligent and the intelligible (IV. II, pp. 150-151). In fact, our existence in the other world will be a mental, perceptional existence. The presence of active causes, not perceptive causes, is sufficient there. The characteristic of the soul is this, and it has a nature that preserves the forms without matter (IV. II, p. 147).
Another point concerning this problem is the assertion that the spirits of human beings will unite in a single universal spirit after the bodies are destroyed. Here they accept that human spirits resemble the water poured into different cups. It is said that human spirits will unite after their bodies (which are their cups) are destroyed, just like the water (s) in different cups unite in a large pool when their cups are broken. Mulla Sadra sees this claim as a groundless assertion and an illusion. He evaluates any comparison between human souls and the spirits within the physical objects as a syllogism that depends on sophistry and fallacy (IV. II, p. 50).
REINCARNATION
The transmigration of the soul from an elemental or natural body to another body is called reincarnation or metempsychosis. It is not important whether it takes place by way of ascending or descending (IV. II, p. 4). According to Mulla Sadra, the reason of believing in reincarnation, at least in theistic circles, is the misunderstanding of proceeding prophets and the wise, or taking the meanings of some Qur’anic verses as literal and prophetic sayings as denoting to transmigration or reincarnation (IV. II, pp. 27-30). Mulla Sadra tries to demonstrate the falsity of this teaching in terms of logical and philosophical arguments.
As pointed out above, there is a special connection between body and soul, and this combination is a natural and unitary integration. They are inseparably in an essential and substantial movement. The soul and the body emerge from potentiality to actuality together, and the degrees, powers and acts of the soul are at the same level with those of the body during the process of substantial movement. There cannot be a combination between two things; one of which is actual while the other is potential (IV. II, pp. 2-3; 205-206). There is such a union, for example, between matter and form in a natural composition consisting of matter and form, and therefore it is impossible to retain one of them and to destroy the other. For, as it is known, the form of everything is its completeness and perfectness. The relation of each soul with its body is the same. There is inseparability between them in being and dissolution. In other words, there is a coexistence and innateness between them. When an embryo becomes a fetus, then the life and physical movement start. However, since there is an intellectual or other kinds of existence than this natural one for human souls, the destruction of the body doesn’t necessitate the destruction of it, because, the soul has obtained another existence. The life and the movement of the body are subject to the soul. Therefore, the transmigration of the soul from one body to the other is impossible (IV. II, pp. 4; 55).
So, to prove the physical resurrection as described in the Qur’an there is no need, contrary to Ghazzali’s understanding, any other body which doesn’t violate personal identity of the first (this-worldly) man. What is true concerning the Return is the returning of the body just like the returning of the soul (IV. II, pp.207-208). It must be kept in mind that, according to Mulla Sadra, the body is being brought about and constituted by the soul. The reason of failing and vanishing of the body is undergoing the change of the soul due to its approximation to the second creation. For this reason, it is impossible to accept the teaching of reincarnation (IV. II, pp. 47-48). So, we should not take the expressions found in some verses and prophetic sayings to be connoting superficially reincarnation.
Mulla Sadra tries to prove the impossibility of reincarnation in terms of his doctrine of substantial movement. And he strongly maintains that there are very important differences between his view and the teaching of reincarnation. We can summarise his proofs about the impossibility of descending kind of reincarnation as follows: To begin with, ⓐ) in the process of perfection, that is, from the very beginning of the constitution of human forms to the end of their denudation or stripping off their body (tajarrud), this transformation and evolution takes place as a substantial contiguous perfection. There is a unity of matter-form or inseparableness of body and soul here. Being after dissolution and dissolution after being is only a supposition. There is continuity in existence (wujûd), not becomings contrary to each other. ⓑ) Secondly, it happens that a gap (a period without motion) comes about between the time in which the soul departed from the first body and the time in which it united with the second one, and it is impossible to accept this; because inactivity (t‘atil) is unthinkable. ⓒ) Thirdly, and this is with regards to descending kind of transmigration, and a special proof, that the dissolution time of each human body should be adjacent to the origination time of the body of any animal that will accept his soul. Such a view is unacceptable due to the fact that it necessitates a population planning, though there is no connection between them and without a preferer (murajjih). On the other hand, it can be that the originating things can be much more in number than those that vanish. In such a case some souls will necessarily remain inactive. But there is no thing inactive in existence (IV. II, pp. 8-17).
Accordingly, Mulla Sadra’s teaching of Return is quite different from the doctrine of reincarnation in two ways. Firstly, the transmigrationist speaks of a transmigration that takes place in this world, not in the other world. But, according to Mulla Sadra, this world is a process that is to be lived once. Happiness and suffering will take place in the other world. For, to be stripped off matter doesn’t necessitate denudation from size and quantity. The thing that carries out the power of perfection appropriate to the morality of the souls would be spectral imaginations or imaginal shapes. Since these are brought about by the soul, not because of its receptivity but because of its activity. Although the soul can achieve a higher level of independency, it even senses/tastes a kind of suffering and happiness in accordance with the deeds it commits in this world.
Secondly, transmigrationists speak of alternation of both place and person; but, according to Mulla Sadra, there is no such a thing. For him, changing takes place in a process of perfection, and person remains the same all along this process. Man’s acquiring various forms and shapes during this process don’t mean the loss of his personality. Therefore, there is no transition from the second creation to the first creation for that person (IV. II, pp. 19-21; Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, Albany, 1975, pp. 248-249).
Another difficulty is that human beings would be in two different kinds of existence, imaginal and intellectual, in the other world, while they were only a single species in this world. According to Mulla Sadra, the soul itself, because of the fact that it has an unnatural existence, is a substance with a nature that is able to accept various kinds of form, although it is form for this natural species and its perfection. With these peculiarities it resembles the hyle that accepts various kinds coming about from potentiality to actuality. To sum up, human being is a natural species composed from matter with a temperament in equilibrium and a perfect soul related to it. This temperament is preserved by the soul that commits the deeds and acts peculiar to it. When various states and dispositions settle down and gain stability in each soul, it comes about with these from potentiality to actuality, and takes another form. So the souls will get a different existence in the second creation. In short, the souls that are one single species in the beginning of the creation can be differentiated in many in the second creation (IV. II, pp. 19-20).
The proof that has been put forward by Mulla Sadra against the impossibility of the ascending kind of reincarnation is shortly as follows: Although there is a soul for an animal which does not have the faculty of speech and thought, this soul has been imprinted in the temperament. It is because of this peculiarity of an animal soul that it is impossible for it to transmigrate from one body to the other.
Indeed, according to Mulla Sadra, the world is a world as substance and existence, not with its specific accidents and external peculiarities. Otherwise, because of the change of its shapes, appearances and manifestations it would be another world every year, and even every day, then the term “other-world” would be a reincarnation. So also the Return would be the reconstitution of this world after it had been destroyed. However, the other-world is a complete world, and there is no sense in asking where it is (IV. II, pp. 204-205).
Now, according to Mulla Sadra, the logical fallacy in interpreting some Qur’anic verses, prophetical sayings and the views of some sages as pointing to reincarnation stems from failing to conceive the differences between the resurrection (hashr) and reincarnation (nas’h). This misunderstanding also originates from the ignorance that the other-world is an intermediary domain between the natural world and the intellectual domain. On the other hand, it is possible that they might accept such a view because of the fact that the souls were in need of the bodies at the beginning of their first creation. If we accept that the soul is in a substantial, essential movement, and at the end of this movement, by achieving a complete perfectness it obtains its independency through a formal existence, then there will be no misunderstanding of this kind. Hence, we have to understand the Qur’anic expressions that the otherworldly bodies will be identical with our present bodies with special reference of the form (sûra), not the body. After all, the individual body of a man remains the same all along his life with its form, not with its matter. “The crucial point concerning the resurrection (hashr) of human body is that the continuation of it, while remaining the same, will take place through its form and self (dhat) together with an ambiguous matter, not with its particular matter; because the matter changes constantly (IV. II, p. 32). Our existence in this world is a typical example of this, since our personification and unity in this-worldly existence has been kept the same from childhood to the end of life through the soul itself. As for the matter, it is an extremely ambiguous thing.
CONCLUSION
As it can be seen easily from the explanations we have already presented, it can be said that Mulla Sadra’s view of substantial movement and also the teaching of Return which has been developed by him on the basis of this view is a new and original way of explanation both in the history of thought of Islam and in the history of thought of the world. As we pointed out at the out set, although the terminology that Mulla Sadra used connotes a dualistic point of view of man, it is completely different from it. Hence, it is impossible to explain his conception of human being on the basis of a view aroused largely from the ancient Greek thought based on the body-mind distinction. There is almost no connection, for example, between Cartesian conception of man that is based on body-mind distinction, and Mulla Sadra’s conception of man. Hence, I believe that Sadra’s conception of man is much more appropriate to the Qur’anic holistic conception of man. So also this conception of man may be considered to be in agreement with some of the contemporary science-supported explanations of man.
Finally, I would like to remind you that there is a great similarity between Mulla Sadra’s teaching of Return and that of Ghazzali. Hence, I think that some criticism of Mulla Sadra, which has been raised against Ghazzali in this context, is a little bit extreme one.
BIBLIOGRAPHY
– al-Asfar, ed. Mohammed Rida al-Muzaffar, Tehran, 1387 AH, vol. IV, part II.
– Risala al-Hashr, ……?
– Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, Albany, 197
Source:
http://readncogitation.blogspot.co.id/2016/03/body-mind-relation-with-regard-to-life.html?m=1
(Ahmad-Samantho/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email