Foto : malayatimes.wordpress.com
”Kami orang Melayu akan setia menciptakan ibu negeri dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia yang merdeka. Kami orang Melayu bertekad untuk menjadi orang Indonesia”(Ibrahim Jacob, Tokoh Pergerakan Malaya).
Pada tanggal 8 Agustus 1945, Ibrahim Jacob bersama Boerhanoeddin Helmi menemui Soekarno, Moh. Hatta, dan Radjiman (ketua BPUPKI) di Singapura yang hendak berangkat menuju Dalat, Saigon, Vietnam Selatan untuk menemui Laksamana Terauchi. Dengan mengibarkan bendera Merah Putih saat menyambut Soekarno-Hatta, keduanya menegaskan bahwa Semenanjung Malaya tidak dapat dipisahkan dari Indonesia Raya yang akan segera diproklamasikan.
Pada tanggal 13 Agustus 1945, mereka berdua kembali menemui Soekarno dan Moh Hatta di Taiping, Perak. Menurut salah satu sumber, pertemuan kali ini melahirkan kesepakatan bahwa Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan 24 Agustus 1945 dan Semenanjung Malaya adalah bagian tak terpisahkan dari Indonesia Raya.
Kesatuan Republik Indonesia Semenanjung
Gagasan Melayu Raya ini diajukan oleh seorang guru sejarah dari Universitas Pendidikan Sultan Idris, Abdul Hadi Hassan, Malaya. Selain karena persamaan suku bangsa, bahasa, agama, dan budaya, kebanyakan rakyatnya sebagai bangsa serumpun dan serantau di Nusantara, gagasan ini didasari kesadaran sejarah bahwa wilayah Malaya Britania, Borneo Utara, dan Hindia-Belanda dulu pernah dipersatukan dalam sebuah kemaharajaan raya, seperti Sriwijaya, Majapahit, Kesultanan Malaka, dan Kesultanan Johor-Riau, hingga akhirnya dipisahkan oleh kolonialisme Inggris dan Belanda.
Pada akhir dekade 1920-an gagasan membentuk negara kebangsaan yang merdeka dan berdaulat tumbuh di antara rakyat koloni Hindia-Belanda. Sementara di Semenanjung Malaya gagasan untuk membentuk Melayu Raya diajukan, di Hindia-Belanda tokoh pemuda pergerakan nasional lebih memusatkan perhatian pada gagasan untuk menyusun negara kebangsaan Indonesia sebagai pewaris Hindia-Belanda jika kelak menjadi negara merdeka. Pada tahun 1928 dicetuskanlah Sumpah Pemuda yang bertujuan mempersatukan bangsa Indonesia dalam satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung bahasa persatuan.
Kelompok nasionalis Melayu, Kesatuan Melayu Muda, yang didirikan oleh Ibrahim Yaakob pada tahun 1938, adalah salah satu organisasi yang secara tegas menganut gagasan ini sebagai cita-cita perjuangannya.
Pada saat Perang Dunia II para pendukung gagasan Indonesia Raya atau Melayu Raya bekerja sama dengan kekuatan tentara pendudukan Jepang untuk melawan Inggris dan Belanda. Sikap bekerja sama ini didasari dengan harapan bahwa Jepang akan mempersatukan Hindia Belanda, Malaya dan Borneo dan kemudian memberikan kemerdekaan. Dipahami bahwa dengan bersatunya wilayah koloni Eropa ini dalam suatu wilayah pendudukan Jepang, maka pembentukan sebuah kesatuan negara Indonesia Raya atau Melayu Raya dimungkinkan.
Pada bulan Juli 1945 dibentuk KRIS (Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung), yang kelak diubah menjadi “Kekuatan Rakyat Indonesia Istimewa” di bawah pimpinan Datuk Ibrahim Yaakob dan Dr. Burhanuddin Al-Hemy dengan tujuan mencapai kemerdekaan dari Inggris, dan persatuan dengan Indonesia. Rencana ini sudah dirundingkan dengan Sukarno dan Hatta. Inilah yang membuat bahwa beberapa kelompok di Semenanjung Malaya mengaku sebagai “orang Indonesia”.
Soekarno dan Muhammad Yamin adalah tokoh politik Indonesia yang sepakat dengan gagasan “persatuan” ini. Akan tetapi mereka tidak menyebut gagasan ini sebagai “Melayu Raya” dan menawarkan nama lain yaitu “Indonesia Raya”. Pada hakikatnya baik Melayu Raya maupun Indonesia Raya adalah gagasan politik yang serupa. Keengganan untuk menggunakan nama Melayu Raya karena berbeda dengan di Malaya, di Indonesia istilah Melayu lebih merujuk kepada suku Melayu yang dianggap hanyalah sebagai salah satu dari berbagai suku bangsa di Nusantara, yang memiliki kedudukan yang setara dengan suku Minangkabau, Aceh, Jawa, Sunda, Madura, Bali, Dayak, Bugis, Makassar, Minahasa, Ambon, dan lain sebagainya.
Penghimpunan berdasarkan ras atau suku bangsa “Melayu” dikhawatirkan rawan dan kontra-produktif dengan persatuan Indonesia yang mencakup berbagai suku bangsa, agama, budaya, dan ras; karena banyak suku bangsa di Indonesia Timur seperti orang Papua, Ambon, dan Nusa Tenggara Timur, bukanlah termasuk rumpun Melayu Austronesia, melainkan rumpun bangsa Melanesia.
Menurut pandangan seajarawan Asvi Warman Adam, gagasan integrasi itu kandas karena Jepang menyerah 15 Agustus 1945. PETA dan Giyugun dibubarkan Jepang. Cita-cita Indonesia Raya kandas. Tanggal 19 Agustus dengan pesawat Jepang, Ibrahim ke Jakarta bersama istrinya, Mariatun Haji Siraj, ipar Onan Haji Siraj, dan Hassan Hanan. Karena situasi di Semenanjung Melayu tidak aman, Soekarno menyarankan agar Ibrahim dan rekannya bergabung dalam perjuangan di Pulau Jawa untuk mencapai cita-cita Indonesia Raya.
Pada akhir dasawarsa 1950-an, Sukarno secara tegas menolak pembentukan negara Malaysia oleh Britania Raya yang mencakup Semenanjung Malaya dan Borneo Utara. Sikap politik ini mengarah kepada Konfrontasi Indonesia-Malaysia pada awal dasawarsa 1960-an. Soekarno menandaskan bahwa negara Malaysia adalah negara boneka bentukan Inggris yang ingin membentuk kolonialisme dan imperialisme baru di Asia Tenggara dan mengepung Indonesia.
(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email