Dominasi militer dalam panggung politik Orde Baru ditandai dengan penghancuran seluruh kekuatan politik sipil yang berpotensi menentangnya. Ratusan ribu orang mati, terpenjara, terbungkam dan dipaksa tunduk di bawah todongan senapan.
Setelah lengsernya Soeharto, tuntutan agar TNI kembali ke barak gencar dikumandangkan. Indikasi awal mundurnya militer dalam politik praktis dirasakan pada tanggal 5 Agustus 2002, dimana saat pelaksanaan Sidang Tahunan MPR, Fraksi Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/Polri), melalui ketua fraksinya, Mayor Jenderal Slamet Supriyadi, menyatakan siap hengkang dari gedung MPR/DPR mulai 2004.
Walau demikian, pencabutan dwi fungsi TNI tak menyentuh inti kekuatan politik militer, yakni markas-markas komando di daerah dan penguasaan bisnis tentara. Tuntutan penggusuran militer dari wilayah politik sipil, harus dimengerti dalam konteks ekonomi-politik Orde Baru.
Intrik Politik Tentara
Dalam karyanya berjudul “Menentang Mitos Tentara Rakyat”, Coen Huasin Pontoh menjabarkan ada empat argumen yang biasa digunakan sebagai alat pembenaran dominasi militer atas otoritas sipil. Argumen pertama berkaitan dengan klaim sejarah yang mengatakan bahwa militer Indonesia lahir dari rakyat dan berjuang bersama rakyat. Argumen kedua didasarkan pada rangkaian panjang kegagalan pemerintahan sipil sejak pasca-Revolusi 1945 hingga pemerintahan parlementer dan masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Argumen ketiga dikaitkan dengan paham negara integralistik yang tidak mengenal dikotomi sipil dan militer. Sementara argumen terakhir berkaitan dengan kepentingan menguasai lapangan ekonomi.
Dari empat alasan itu, klaim historis adalah yang paling sering “dijual”, bahkan diajarkan dan dijadikan doktrin dalam kurikulum di sekolah-sekolah.
Ruth Mcvey, pakar dari Cornell University yang memliki ketertarikan yang luar biasa terhadap sejarah politik Indonesia, berpandangan bahwa sejak republik berdiri, militer (Angkatan Darat) menolak supremasi pemerintahan sipil, terutama otoritas yang dimiliki pemerintahan sipil dalam urusan militer.
Sementara sejarawan Onghokham mengemukakan bahwa pembangkangan militer terhadap otoritas sipil terutama dilakukan oleh alumni Pembela Tanah Air (Peta), barisan serdadu yang dibentuk Jepang saat berkuasa di Nusantara (1942-1945). Dalam tradisi militer Jepang, menurut Onghokham, memang tidak mengenal kata tunduk pada otoritas sipil.
Selain itu, pembangkangan Angkatan Darat (AD) pasca-Proklamasi juga dipicu kecurigaan alumni Peta atas niat pemerintah menata hubungan sipil-militer. Mereka menilai, Perdana Menteri Sjahrir kala itu adalah seorang anti-fasis yang berbahaya bagi eksistensi militer.
Konfrontasi antara kubu sipil dan kubu militer pertama kali terjadi pada 12 November 1945. Tanpa sepengetahuan pemerintahan sipil di Jakarta, para petinggi AD menggelar Konferensi Militer di kota gudeg, Jogjakarta. Dalam Konferensi itu, mereka mengangkat Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar Tentara dan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Menteri Pertahanan.
Dua hari kemudian pemerintahan sipil di Jakarta mengangkat Urip Sumoharjo sebagai Panglima AD dan Amir Syarifuddin sebagai Menteri Pertahanan. Dua keputusan yang berseberangan ini melahirkan konflik di tubuh republik yang masih bayi. Setelah berdebat panjang, akhirnya ditemukan kata sepakat. Soedirman tetap menjadi Panglima Besar Tentara. Sementara kubu militer menyerahkan posisi Menteri Pertahanan kepada Amir Syarifuddin. Namun yang perlu dicatat, kata sepakat itu tidak lantas menghentikan konflik di antara kedua kubu.
Tanggal 17 Oktober 1952, AD kembali mengganggu otoritas pemerintahan sipil. Ribuan massa dan puluhan kendaraan tempur dikumpulkan AD di depan Istana Merdeka. Mereka meminta agar Presiden Soekarno membubarkan parlemen. Soekarno jelas menolak. Untunglah tak ada perang saudara hari itu. Demonstran dan barisan tentara yang mengepung Istana membubarkan diri. Buntut dari kudeta gagal itu, Panglima AD, Jenderal Nasution, dipecat.
Puncak konflik antara sipil dan militer adalah peristiwa yang oleh kubu militer disebut Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI), dan oleh Bung Karno disebut Gerakan Satu Oktober (Gestok). Sebagai hasil akhir pemerintahan sipil Soekarno terjungkal, dan untuk pertama kali rezim militer berkuasa. Adalah Jenderal Soeharto yang naik tahta. Soeharto bukanlah alumni PETA, melainkan alumni Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL), tentara yang dibentuk pemerintah Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19. Hari ini, 18 tahun pasca tumbangnya Soeharto, supremasi sipil tidak pernah benar-benar ditegakkan. Hampir seluruh partai politik yang berkuasa, ternyata masih kerap mengandalkan “restu militer” untuk melanggengkan kekuasaannya baik secara langsung maupun tidak langsung.
Jika Militer Kembali Tergoda, Ini Salah Siapa ?
Kata sipil dalam frase supremasi sipil atau civil supremacy sebenarnya merujuk kepada masyarakat secara keseluruhan. Dan, bila diartikan lebih spesifik maka masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat dalam sebuah peradaban atau civilization –atau lebih pendek lagi, masyarakat beradab. Jadi, supremasi sipil harus dimaknai sebagai pengakuan bahwa rakyat atau masyarakat beradab adalah pemegang kekuasaan tertinggi.
Sementara itu, militer aktif dibatasi oleh hukum untuk terlibat dalam politik. Ia diharapkan menjadi aparatus yang profesional penuh menerima perintah eksekutif Pemerintah. Dengan atribut profesinya, militer mungkin dikhawatirkan tidak bisa merefleksikan keinginan seluruh bangsa. Sebagian kalangan juga mengkhawatirkan bila TNI terlibat dalam politik dan tidak mampu keluar dari kungkungan psikologis profesi dan kelompoknya yang notabene “bersenjata”, maka hal itu akan sangat membahayakan.
Keputusan MPR untuk mengakhiri sama sekali keterlibatan TNI/Polri di parlemen pada tahun 2004 bukan dengan sendirinya menghapuskan peran politik TNI sebagaimana diamanatkan oleh gerakan reformasi 1998. Dalam sistem politik yang hendak dibangun, TNI ditempatkan sebagai alat profesional dalam pertahanan negara di bawah otoritas politik.
Militer Menjamah Ranah Sipil
Laju reformasi TNI juga bisa terganggu karena kelompok sipil lemah dalam menjalankan kontrol. Peneliti dari LIPI, Ikrar Nusa Bakti, mengatakan, saat ini TNI mulai membiasakan diri untuk bekerja sesuai dengan kaidah-kaidah demokrasi. Namun demikian, menurutnya, pada tingkatan pusat dan daerah masih terjadi upaya untuk menarik “tentara dalam ke dalam politik praktis.”
Upaya ‘menarik kembali’ tentara dalam politik oleh para politisi sipil juga terlihat dari pengalaman praktek pemilihan kepala daerah di beberapa wilayah di tanah air. Sikap oknum anggota TNI yang ‘tergiur’ dunia politik praktis, menurutnya, akibat reformasi kultural di dalam TNI belum terjadi secara menyeluruh.
Ketua DPP Bidang Hukum PDI-P Trimedya Panjaitan, beberapa waktu yang lalu mengatakan, keterlibatan TNI dalam proses demokrasi seperti pilkada dikhawatirkan sebagai test case, atau uji coba untuk melihat respon publik jika nantinya TNI kembali diperbolehkan berurusan dalam politik. Senada dengan kekhawatiran ini, sejumlah anggota Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan meminta Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menangani secara serius dugaan keterlibatan TNI dalam politik pilkada serentak 2015.
Sedangkan Aktivis Imparsial, Al Araf menilai ada kecenderungan menguatnya ‘keterlibatan TNI dalam ranah urusan sipil yang melanggar hukum’.
Hal ini bisa ditelusuri dari adanya ratusan memorandum of understanding (MoU) antara TNI dengan kementerian, lembaga, universitas, perusahaan, dan pemerintah daerah. Berbagai MoU tersebut mengakibatkan dinamika TNI masuk kembali ke dalam ranah sipil dan keamanan dalam negeri, seperti terlibat penjagaan stasiun, terminal, seperti masa Orde Baru.
Dalam pandangan AL A’raf, kesepakatan tersebut telah melanggar UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Harus ada penegasan kembali bahwa tugas utama TNI adalah alat pertahanan negara.
Kecendrungan ini dikhawatirkan akan menjadi celah bagi TNI untuk kembali bermain dalam ranah politik. Belum ada koreksi serius dari otoritas sipil atas kesalahan itu. Ini salah satu faktor otoritas sipil terlihat permisif terhadap persoalan-persoalan dugaan penyimpangan TNI dan kementrian terkait, seperti ketika Panglima TNI membangun kerja sama dengan kementerian.
Konsolidasi Organisasi Sipil
Militerisme merasuki sipil yang mewujudkan diri dalam satgas-satgas partai politik, laskar-laskar bersenjata, maupun berbagai perilaku pengamanan yang berlebihan. Budaya tentara telah masuk dalam sistem nilai sipil jauh sebelum Orde Baru. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada tahun 1957-1958 mengawali budaya militer masuk ke kampus-kampus. Diperkuat kemudian dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, makin melekat dan tidak bisa dipisahkan lagi dengan dilembagakannya kekaryaan dan Dwi Fungsi ABRI.
Keberhasilan melembagakan militer sebagai alat pertahanan yang profesional di bawah kontrol otoritas politik terletak pula pada kompetensi kalangan sipil dalam memimpin negara. Juwono Sudarsono mengatakan, jika militer di masa lalu bisa disalahkan karena banyak operasi-operasi intelijen untuk melemahkan organisasi sipil, sekarang tidak ada lagi. Oleh karena itu, merupakan keharusan bagi para pemimpin sipil untuk betul-betul membenahi organisasi-organisasi masyarakat, termasuk dalam konteks ini membenahi Partai Politik.
Kemampuan organisasional yang kuat secara nyata akan bisa melawan keinginan tentara kembali ke politik pada derajat seperti masa Orde Baru.
(Empat-Pilar-MPR/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email