Mendengar tentang utang kadang menakutkan. Apalagi nominalnya mencapai ribuan triliun rupiah seperti utang Indonesia yang mencapai Rp 3.444,82 triliun.
Harap-harap cemas akan kebangkrutan mulai terasa. Tapi, coba berpikir lebih jernih dari paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menjadi pembicara dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Nahdhatul Ulama (NU) di Kantor Pusat PBNU, Jakarta, Sabtu (19/11/2016).
Dengan utang Rp 3.444,82 triliun dan asumsi PDB Rp 12.600 triliun atau sekitar US$ 1 miliar, maka rasio utang Indonesia terhadap PDB adalah sekitar 27%. Amerika Serikat (AS) memiliki PDB sekitar US$ 18.000 miliar. Rasio utang terhadap PDB mencapai 70%.
Bila dibandingkan dengan Indonesia, artinya satu orang AS memiliki utang setidaknya 50 kali utang orang Indonesia. Selanjutnya, Jepang yangg memiliki PDB US$ 4.000 miliar dengn rasio utang 200% terhadap PDB. Ini bisa diartikan utang satu orang Jepang setara dengan 10 kali orang Indonesia.
"Jadi pertanyaannya, kok mereka nggak bangkrut? nggak khawatir?," kata Sri Mulyani.
Alasannya, adalah karena ekonomi negara tersebut terus tumbuh. Kondisi ini yang bisa menjamin utang-utang dengan nilai fantastis bisa terlunasi. Sri Mulyani menegaskan, ekonomi sebuah negara dengan utang yang besar tidak boleh berhenti untuk tumbuh.
"Ekonomi mereka itu terus memproduksi," ujarnya.
Hal seperti itulah yang sedang dijalankan pemerintah. Mengeluarkan kebijakan agar ekonomi tetap berjalan. Dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih besar dibandingkan dengan utang.
Sri Mulyani memastikan bahwa itu adalah kondisi yang sehat.
"Jumlah tambahan utang tiap tahun lebih kecil dari pertumbuhan ekonominya. Tentu lebih sehat," terang Sri Mulyani.
Indonesia, kata Sri Mulyani, boleh berbangga atas beberapa kemajuan. Populasi yang besar sebagai penopang pertumbuhan ekonomi, terutama untuk kelompok masyarakat kelas menengah. Hal tersebut mendorong industri di dalam negeri ikut tumbuh.
"Jadi ekonomi itu memang kalau jumlah masyarakat sedikit, income per kapita rendah, dia makin sulit untuk membuat industri tadi yang basisnya di dalam negeri. Karena enggak ada pasarnya sebagai penopang utama," terangnya.
(Jejak-Malam/Berita-Teratas/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email