Direktur Eksekutif LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, AE Priyono (Foto: Istimewa)
Saat ini demokrasi liberal di Indonesia mengalami kebuntuan. Politik Indonesia tidak jauh dari kepentingan jahat plutokrasi (kekuasaan yang dikendalikan oleh orang-orang kaya), dan plutonomi (pertumbuhan ekonomi yang dikendalikan oleh orang-orang kaya dan berputar pada golongan orang kaya),” tegas Direktur Eksekutif LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, AE Priyono.
Akibat kegagalan praktik demokrasi tersebut, masyarakat, terutama kelas menengah intelektual di Indonesia perlu berpikir serius sebab politik Indonesia bisa semakin kacau.
“Demokratisasi Indonesia menghadapi jalan buntu (political impasse). Liberalisasi politik mengalami kejenuhan. Elektoralisme dan proseduralisme dibajak oleh oligarki,” terangnya.
Mengingat ada hubungan kewargaaan, kebangsaan dan kenegaraan terkait dengan agama, dimana Islam merupakan agama mayoritas, ia memandang bahwa selama ini politik keislaman yang bergantung pada Islam-Politik (partai-partai politik Islam) mengalami kegagalan.
Alumni FH Universitas Islam Indonesia ini mengakui kini ada situasi buruk dimana gerakan-gerakan Islam sebenarnya sedang mengalami alienasi politik.
“Jika alienasi politik di masa lalu menyebabkan Islam-politik bersekutu dengan otoritarianisme dan muncul menjadi “Islam-rezimis” maka kekuatan Islam politik formal sekarang ini, yang juga mewarisi tradisi itu, bersekutu dengan rezim oligarki. Hampir semua partai Islam maupun partai berbasis massa Islam menjadi bagian dari sistem politik elitis-oligarkis,” paparnya.
Sementara itu, di Islam kepartaian, arah gerak Islam informal bergerak tanpa arah, terpecah-pecah, dan tetap dalam situasi termarginalkan. Menurutnya, ada tiga kecenderungan umum yang menimpa umat islam di Indonesia.
“Pertama, mengalami konservatisasi [menjadi pasif secara sosial, mengalami privatisasi-eskapis]. Kedua, bergerak menjadi bagian dari radikalisasi global [menjadi sangat aktif secara politik, menjadi bagian dari wacana Islam fundamentalis transnasional], dan Ketiga, menjadi bagian dari status-quo. Jaringan Islam liberal misalnya, terjebak menjadi pendukung sistem politik liberal dan sistem ekonomi neoliberal,” terangnya.
Menimbang hal tersebut, ia bersama-sama dengan kelompok-kelompok intelektual Islam di Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang dan Yogyakarta akan melakukan gerakan dengan paradigma baru civic-islam guna menjawab tantangan zaman tersebut.
“Civic-Islam harusnya menjadi alternatif untuk keluar dari kebuntuan yang dialami oleh kekuatan Islam-politik formal maupun ketiga arus Islam-informal. Salah satu peranan strategis gerakan baru ini adalah memperkuat citizenship, yaitu elemen paling penting untuk lahirnya demokrasi partisipatoris,” pungkasnya.
(Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email