Pemberitaan mengenai razia dan penutupan paksa warung-warung makan selama bulan Ramadhan masih terus menjadi polemik di masyarakat, khususnya di kalangan netizen. Isu ini mencuat setelah Satpol PP merazia dan membawa makanan (menyita) makanan dagangan di warung nasi milik Ibu Saeni di Serang, Banten.
Wajah Ibu Saeni yang memelas dan menangis saat makanan yang baru dimasaknya dibawa oleh petugas Satpol PP amat "membekas" di masyarakat. Masyarakat pun mengutuk tindakan Satpol PP.
Dari penelusuran di media sosial, ternyata sebagian dari netizen menuntut agar warung makan ditutup selama bulan Ramadhan demi alasan untuk menghormati yang berpuasa.
Namun, sepertinya golongan yang pro penutupan warung makan selama puasa dengan alasan menghormati yang berpuasa harus belajar dari umat Muslim di Eropa khususnya umat muslim di St. Petersburg, Rusia.
Warga muslim di St. Petersburg benar-benar diuji imannya setiap bulan Ramadhan jatuh pada musim panas. Dan ujian ini, seperti yang dikatakan mereka, semakin menguatkan iman mereka. Jangan menjadikan puasa sebagai alasan untuk manja.
Kekuatan iman mereka benar-benar diuji setiap Ramadhan tiba, khususnya pada musim panas. Mengapa? Karena mereka harus berpuasa hingga 22 jam setiap harinya. Selama bulan Juni ini, matahari di St. Petersburg tak kunjung tenggelam.
"Di St Petersburg, penduduk muslim melihat hal ini sebagai ujian. Warga muslim yang berpuasa harus menunggu 21-22 jam untuk berbuka. Mereka hanya punya waktu makan selama tiga jam," ujar salah seorang staf di Pusat Kerohanian Muslim St Petersburg dan Regional Barat Laut Rusia yang tidak disebutkan namanya.
Seorang warga negara Indonesia bercengkerama dengan seorang warga muslim Rusia di sebuah Masjid di St. Petersburg
Dia menegaskan, bagi seorang muslim, berpuasa sudah menjadi kebiasaan. Ibaratnya seperti bangun tidur dan menggosok gigi. Sehingga, tambahnya kebiasaan ini membuat mereka semakin kuat iman dalam menghadapi masalah dan cobaan hidup.
Kondisi dimana matahari lambat tenggelam di St Petersburg ini biasanya berlangsung mulai akhir Mei hingga awal Juli. Kondisi tergelap di St Petersburg hanya berupa senja.
Tidak pernah ada data resmi jumlah penduduk muslim di kota ini. Namun, pada Idul Fitri tahun lalu, Kementerian Dalam Negeri Rusia menyebutkan ada 42 ribu warga muslim yang melakukan salat Id di dua masjid besar di kota ini. Rusia, semenjak runtuhnya Uni Soviet, menjamin kebebasan beragama.
Setiap penduduk muslim di St Petersburg mendapatkan jadwal buka puasa dan sahur. Beberapa penduduk imigran muslim yang bekerja di kota ini memilih tidak berpuasa demi keselamatan dan kesehatan mereka. Sebab, mayoritas merupakan pekerja kasar. Sejatinya penduduk St Petersburg tidak perlu berpuasa selama itu.
Warga muslim di St. Petersburg melaksanakan Shalat Ied dengan aman di jalanan kota pada tahun 2015 lalu
Sebab, beberapa literatur menyebutkan bahwa waktu puasa penduduk di kutub bisa merujuk pada terbit dan tenggelamnya matahari di Makkah ataupun di kota maupun negara muslim terdekat.
"Saya memiliki pekerjaan yang berat sehingga saya tidak bisa berpuasa. Siang terlalu panjang," ujar Shakir, salah seorang pekerja di perusahaan baja asal Tajikistan.
St. Petersburg bukan satu-satunya kota yang memiliki siang terpanjang. Penduduk muslim di Kota Reykjavik, Islandia, juga harus berpuasa selama 22 jam. Sementara itu, kota yang waktu puasanya paling pendek adalah Punta Arenas, Chile. Di kota tersebut, waktu puasa hari pertama kemarin hanya 9 jam 43 menit.
Di Rusia yang mayoritas Kristen dan Katolik, kebebasan beragama amat dijunjung tinggi. Masyarakat tidak pernah mempersoalkan mengenai agama seseorang lain. Bahkan shalat Idul Fitri yang kerap kali mengharuskan penutupan banyak jalanan umum pun tidak pernah dipersoalkan warga mayoritas yang merupakan Nasrani dan pemerintah.
Seorang wanita Rusia dengan santainya melintas di depan jemaah yang sedang sholat Idul Fitri di St. Petersburg, tahun 2014 lalu. Warga setempat (walau tak tahu ajaran Islam, contohnya: yang dilakukan wanita ini diharamkan dalam Islam) menghormati mereka yang beragama Islam dan memberikan kebebasan untuk beribadah. Dan umat Islam disana pun selalu menjaga sikap dan berbaur dengan warga setempat.
Warga muslim di Indonesia memang sudah seharusnya berkaca dalam hal pengamalan iman kepada warga Muslim di Eropa. Mereka tidak minta dihormati. Mereka berbaur dengan masyarakat setempat dan tidak eksklusif.
(The-Guardian/Huffington-Post/Demotix/Liputan-6/Memobee/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email