Kasus katabelece Wakil Ketua DPR RI yang juga politisi Partai Gerindra, Fadli Zon kepada Konsulat Jenderal Republik Indonesia New di York, Amerika Serikat untuk menjemput anaknya yang berbuntut panjang danmenuai perdebatan serta berbagai tanggapan hingga saat ini masih belum reda.
Riant Nugroho, seorang Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, menyayangkan sikap yang ditunjukan sejumlah pengamat dalam melihat kasus tersebut.
Riant Nugroho, pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI)
Menurut Riant, sejumlah pengamat menilai permintaan fasilitas dan pendampingan oleh Fadli bagi anaknya, Shafa Sabila, kepada Konsulat Jenderal RI (KJRI) New York itu menyinggung soal etika anggota dewan, yakni mencampuradukkan urusan pribadi dan negara.
Terkait hal tersebut Riant menjelaskan, setiap warga negara boleh meminta fasilitas ke KJRI di negara mana pun. Tetapi, permintaan itu dalam konteks permintaan bantuan dalam batasan wajar. Hal tersebut boleh dilakukan oleh setiap WNI yang berkunjung ke luar negeri karena menjadi hak yang harus dipenuhi oleh negara.
"Semua aset Indonesia di luar negeri itu milik rakyat Indonesia. Jadi, orang Indonesia itu kalau ke luar negeri boleh meminta itu asalkan bukan meminta duit," kata Riant.
"Semua aset bangsa indonesia yang ada di luar negeri yang ada di kedutaan di luar negeri dan turunannya itu milik rakyat. Rakyat itu mulai dari rakyat kecil hingga rakyat besar. Rakyat biasa, anggota dewan, pejabat tinggi negara itu sama, jadi kalau mereka ke luar negeri minta bantuan apa pun boleh selama permintaannya itu wajar," tambah dia.
Menurut Riant, pemberian fasilitas itu boleh dilakukan jika memungkinkan. Apalagi, rakyat sudah berkontribusi untuk negara melalui pajak. "Kita bayar pajak, mereka (pemerintah) kita bayar, maka kita boleh memanfaatkan fasilitas sewajarnya," kata dia.
Sebagai contoh, Riant pun menceritakan pengalamannya di masa lalu ketika harus mengikuti rapat di Den Haag, Belanda. Saat itu, karena ia tidak mengetahui denah dan lokasi rapat tersebut, Riant mengaku, saat itu meminta bantuan ke KJRI Den Haag, Belanda.
"Jadi saya email ke kedutaan Indonesia di Den Haag, saya minta dibantu kalau ada orang di kedutaan tolong jemput saya di Bandara Amsterdam. Karena waktu itu enggak ada mobil, saya dijemput sama orang," kata dia.
Maka dari itu, dia pun tidak sepakat jika ada seseorang yang justru dipojokkan jika ada meminta bantuan dari perwakilan kedutaan. Riant berharap, semua pihak dapat melihat persoalan tersebut secara bijak. "Ini Kalau soal begini bukan urusan negara atau bukan negara. Warga, DPR itu sama haknya, boleh minta tolong," tutup Rian.
Pantaskah kalau demi seperti ini meminta fasilitas ke KJRI
Tanggapan para netizen pun amat beragam. Salah seorang netizen mengatakan, "Dalam kasus ini, jelas-jelas ini kunjungan bukan urusan penting demi negara. Jadi tak pantas".
Netizen lain mengatakan, "Seharusnya etika dan hikmat berbicara. Pak Fadli kan orang mampu, dan ini bukan urusan penting negara. Kan bisa diantar supir taksi bandara".
Ada pula komentar yang lebih pedas, "Kalau hal ini dibolehkan, kalau ada WNI secara berbarengan memanfaatkan ini...bisa-bisa tekor deh Kedubes dan KJRI".
Bagaimana menurut pendapat Anda?
(Kompas/Twitter/Instagram/Memobee/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email