Pesan Rahbar

Home » » Saudi dan Pelanggaran HAM Sistemik

Saudi dan Pelanggaran HAM Sistemik

Written By Unknown on Monday, 13 June 2016 | 11:19:00


Kaum perempuan menanggung banyak penderitaan dan penindasan di sepanjang sejarah serta banyak dari hak-hak dan kebebasan dasar mereka dirampas. Fenomena ini mendorong munculnya gerakan-gerakan pembela hak-hak perempuan di tingkat dunia. Gerakan membela hak-hak perempuan berkembang luas pada permulaan abad ke-21 dan berkat kerja keras para aktivis dan tokoh masyarakat untuk melindungi kaum hawa.

Sejak tahun 1945 yakni berakhirnya Perang Dunia II dan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertugas menjaga perdamaian dan keamanan dunia serta membela hak asasi manusia, isu perempuan sampai sekarang telah menjadi subjek lebih dari 20 dokumen hukum internasional, di mana masing-masing darinya merefleksikan problema khusus dalam hubungannya dengan kondisi perempuan.


Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) tahun 1979, merupakan salah satu upaya luas untuk perbaikan kondisi perempuan di dunia. Meskipun ada upaya internasional dan pengesahan dokumen dunia di bidang hak-hak perempuan, namun kasus pelanggaran luas hak-hak mereka masih ditemukan di sebagian negara dan bahkan terjadi secara sistemik dan struktural. Mungkin tidak perlu bersusah payah untuk mengakui bahwa salah satu catatan yang paling kelam dalam kasus pelanggaran hak-hak perempuan dipegang oleh Arab Saudi.

Perempuan Arab Saudi sampai akhir tahun 2004 tidak memegang Kartu Tanda Penduduk (KTP) terpisah dan identitas mereka "numpang" di KTP ayah atau suaminya. Kerajaan Saudi kemudian mengadopsi kebijakan baru yang memungkinkan warga negara perempuan untuk memiliki sendiri-sendiri. Sebagian ulama Saudi seperti Abdul Aziz ibn Al Sheikh menentang pemasangan foto perempuan di KTP milik mereka sendiri dan menolak pelepasan burka untuk pemeriksaan keamanan.

Perempuan Saudi bahkan baru dapat menggunakan hak suaranya untuk pertama kali pada Desember 2015. Sebelum ini, Saudi melarang perempuan untuk menggunakan hak pilihnya seperti dalam pemilu dewan kota. Keputusan ini juga mendapat restu dari ulama Saudi. Mereka menilai partisipasi perempuan akan menyebabkan kemungkaran dan bertentangan dengan kesucian. Salah seorang ulama Saudi, Sheikh Abdul Rahman bin Nasser Al Barrak bahkan mengharamkan pemilu dan ia juga setuju dengan larangan perempuan menyetir mobil.

Arab Saudi juga membatasi hak perempuan untuk menikmati pendidikan. Meskipun negara itu tidak melarang pendidikan perempuan dan bahkan menyediakan pendidikan gratis, namun kehadiran mereka di pusat pendidikan dan sekolah-sekolah sangat dibatasi. Menurut data resmi pemerintah Saudi, 55 persen siswa Sekolah Dasar, 79 persen siswa SMP dan 81 persen siswa SMA adalah laki-laki.

Pandangan konservatif di Arab Saudi menyebabkan banyak siswi telah meninggalkan bangku sekolah di usia yang sangat muda. Pendidikan perempuan juga dilarang di semua jurusan teknik dan juga jurusan hukum. Dengan memperhatikan adanya diskriminasi dalam penyediaan fasilitas untuk pendidikan perempuan, banyak universitas dan lembaga pendidikan di Arab Saudi sekarang membuka kelas online untuk perempuan.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga merupakan salah satu tantangan serius perempuan Saudi. Mereka sama sekali tidak memperoleh perlindungan dari tindakan kasar dan pukulan laki-laki. Samar Badawi kembali ke rumah orang tuanya setelah bercerai dari suami pertamanya. Ayahnya justru menyiksa Samar secara fisik dan ia akhirnya pada Maret 2008 berlindung di Rumah Perlindungan Perempuan di Jeddah.

Ayah Samar mengajukan tuduhan "pembangkangan" terhadap dirinya di pengadilan. Tetapi pengadilan menggugurkan dakwaan itu. Ayahnya mengajukan tuduhan "pembangkangan lain" terhadap dirinya pada tahun 2009. Namun, Samar mengabaikan surat panggilan pengadilan dan tidak hadir di ruang sidang. Pada Juni 2009, Hakim Abdullah al-'Uthaim mengeluarkan surat perintah penangkapannya. Seorang pengacara dan aktivis HAM, Abu al-Khair tampil membela Samar dalam kasus tersebut.

Samar ingin menikah kembali, tetapi ayahnya di bawah sistem perwalian laki-laki di Arab Saudi, melarang pernikahan tersebut. Dalam perkara ini, Samar mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mengambil hak perwalian dari ayahnya. Dalam menghadapi gugatan ini, ayahnya justru balik menggugat anak perempuannya dengan tuduhan "pembangkangan." Samar kemudian dipenjara atas surat perintah yang berkaitan dengan tuduhan "pembangkangan" pada April 2010, dan kemudian dilepas pada Oktober 2010 setelah kampanye dukungan lokal dan internasional, dan perwalian dia dipindahkan ke pamannya.

Otoritas Arab Saudi menerapkan sistem yang sangat ketat terhadap perempuan. Samar Badawi merupakan wanita pertama di Saudi yang mengadukan ayahnya ke pengadilan karena menyalahgunakan sistem perwalian laki-laki.

Perempuan Arab Saudi dilarang melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa didampingi muhrimnya. Akan tetapi, Kerajaan Saudi pada pertengahan 2015 mencabut aturan yang mengharuskan mereka bersama muhrim bila bepergian ke luar negeri termasuk perjalanan bisnis. Perempuan Saudi juga dilarang mengunjungi banyak tempat umum tanpa didampingi muhrim termasuk bank, restoran, dan pusat perbelanjaan.

Restoran umumnya dipisah dua bagian untuk kelompok single dan keluarga. Ruang keluarga dibagi-bagi lagi dalam bilik-bilik kecil di mana perempuan dapat membuka burkanya di sana dan menikmati makanan tanpa dilihat oleh orang asing. Perempuan Saudi diharapkan untuk menggandeng muhrimnya ketika keluar rumah jika tidak ingin berurusan dengan polisi syariah di negara itu.

Arab Saudi menjadi satu-satunya negara yang memberlakukan larangan perempuan mengemudi kendaraan. Pada tahun 1990, Dewan Senior Ulama Kerajaan mengeluarkan fatwa yang melarang perempuan mengemudikan mobilnya sendiri. Meskipun aturan itu sekarang mendapat penentangan luas dan munculnya banyak kampanye di media sosial, namun Saudi masih mempertahankan fatwa tersebut karena desakan ulama mereka.

Pada 24 Agustus 2006, salah seorang anggota Dewan Penasihat Islam di Arab Saudi mengajukan proposal untuk izin mengemudi terbatas bagi perempuan. Tapi tetap ditolak oleh kubu ulama. Mereka mengharamkan perempuan mengemudi karena akan menciptakan maksiat dan merusak kesucian publik. Seorang ulama Saudi, Sheikh Saleh Al Luhaidan bahkan mengatakan bahwa mengemudi mobil dapat merusak rahim perempuan dan menyebabkan "gangguan klinis" pada anak-anak mereka.

Polisi Lalu Lintas Arab Saudi juga menjelaskan tentang alasan larangan mengemudi bagi perempuan, mereka akan kesulitan menyetir jika tetap memakai burkanya dan meningkatkan risiko kecelakaan. Manal al-Sharif sebagai perempuan pertama yang menyetir mobil di Saudi, mampu duduk di belakang kemudi selama delapan menit di timur kota Khobar sebelum ditangkap oleh polisi.

Pada laman Facebook, yang mereka sebut "Ajari aku cara mengemudi hingga aku bisa melindungi diri," Manal al-Sharif dan sekelompok perempuan lain telah meluncurkan kampanye sukarela dengan tujuan untuk meyakinkan pihak berwenang agar mencabut larangan kontroversial itu.

Pada Oktober 2013, Amnesty International mendesak Saudi menghormati hak perempuan untuk mengemudi. Philip Luther, Direktur Amnesty International Urusan Timur Tengah dan Afrika Utara mengatakan, "Sungguh aneh bahwa pada abad 21, pemerintah Saudi terus menistakan hak perempuan untuk mengendarai mobil."

(Pars-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: