Pesan Rahbar

Home » » Menurut Salafi Tentang Orang Tua Nabi Muhammad Saw. Sunni (Sunni Yang Mengikuti Mazhab Wahabi) Mengkafir Musyrik-kan Kedua Orang Tua Nabi Saw dan Abu Thalib. Anak-Anak Ahlul Bait Nabi SAW-pun Dibunuh!

Menurut Salafi Tentang Orang Tua Nabi Muhammad Saw. Sunni (Sunni Yang Mengikuti Mazhab Wahabi) Mengkafir Musyrik-kan Kedua Orang Tua Nabi Saw dan Abu Thalib. Anak-Anak Ahlul Bait Nabi SAW-pun Dibunuh!

Written By Unknown on Thursday 11 August 2016 | 18:38:00


Tanya:

Ahmad dawilah<dawileh@yahoo.co.id>

ass ana mau tanya menurut akidahhabaib bagaimana hukum orang tua nabi mukmin ato musrik?


FORSAN SALAF menjawab:

Dalil golongan yang menyatakan orangtua Nabi masuk neraka adalah hadits riwayat Imam Muslim dari Hammad:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ فِي النَّارِ فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ

Bahwasanya seorang laki-laki bertanyakepada Rasulullah “ Ya, Rasulullah, dimana keberadaan ayahku ?, Rasulullahmenjawab : “ dia di neraka” . maka ketika orang tersebut hendak beranjak,rasulullah memanggilnya seraya berkata “ sesungguhnya ayahku dan ayahmu dineraka “.

Imam Suyuthi menerangkan bahwa Hammadperowi hadits di atas diragukan oleh para ahli hadits dan hanya diriwayatkanoleh Imam Muslim. Padahal banyak riwayat lain yang lebih kuat darinya sepertiriwayat Ma’mar dari Anas, al-Baihaqi dari Sa’ad bin Abi Waqosh :


“اِنَّ اَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُوْلِ الله اَيْنَ اَبِي قَالَ فِي النَّارِ قَالَ فَأَيْنَ اَبُوْكَ قَالَ حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ كَافِرٍ فَبَشِّّرْهُ بِالنَّارِ”

Sesungguhnya A’robi berkata kepadaRasulullah SAW “ dimana ayahku ?, Rasulullah SAW menjawab : “ dia di neraka”,si A’robi pun bertanya kembali “ dimana AyahMu ?, Rasulullah pun menawab “sekiranya kamu melewati kuburan orang kafir, maka berilah kabar gembira denganneraka “

Riwayat di atas tanpa menyebutkanayah Nabi di neraka.

Ma’mar dan Baihaqi disepakati olehahli hadits lebih kuat dari Hammad, sehingga riwayat Ma’mar dan Baihaqi harusdidahulukan dari riwayat Hammad.


Dalil mereka yang lain hadits yangberbunyi :

لَيْتَ شِعْرِي مَا فَعَلَ أَبَوَايَ

Demi Allah, bagaimana keadaan orangtuaku ?


Kemudian turun ayat yang berbunyi :

{ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيْراً وَنَذِيْراً وَلَا تُسْأَلُ عَنْ أَصْحَابِ الْجَحِيْم }

Sesungguhnya Kami telah mengutusmu(Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberiperingatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentangpenghuni-penghuni neraka.

Jawaban :Ayat itu tidak tepat untuk keduaorang tua Nabi karena ayat sebelum dan sesudahnya berkaitan dengan ahlulkitab, yaitu :

يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ

Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Kuyang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscayaAku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk)(Q.S. Albaqarah : 40).

sampai ayat 129 :

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

Semua ayat-ayat itu menceritakan ahlikitab (yahudi).

Bantahan di atas juga diperkuatdengan firman Allah SWT :

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

“dan Kami tidak akan meng’azabsebelum Kami mengutus seorang rasul.”Kedua orang tua Nabi wafat pada masafatroh (kekosongan dari seorang Nabi/Rosul).

Berarti keduanya dinyatakan selamat.


Imam Fakhrurrozi menyatakan bahwa semuaorang tua para Nabi muslim. Dengan dasar berikut :

Al-Qur’an surat As-Syu’ara’ : 218-219:

الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ * وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ

Yang melihat kamu ketika kamu berdiri(untuk sembahyang), dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antaraorang-orang yang sujud.

Sebagian ulama’ mentafsiri ayat di atas bahwa cahaya Nabiberpindah dari nenek moyang yang ahli sujud (muslim) ke orang yang ahli sujudlainnya, begitu seterusnya sampai dilahirkan ayah bundanya.

Adapun Azar yang secara jelas matikafir, sebagian ulama’ menyatakan bukanlah bapak Nabi Ibrohim yang sebenarnyatetapi dia adalah bapak asuhNya dan juga pamanNya.


Hadits Nabi SAW :

قال رسول الله (( لمازل انقل من اصلاب الطاهرين الى ارحام الطاهرات ))

“ aku (Muhammad SAW) selalu berpindahdari sulbi-sulbi laki-laki yang suci menuju rahim-rahim perempuan yang sucipula”.

Jelas sekali Rasulullah SAWmenyatakan bahwa kakek dan nenek moyang beliau adalah orang-orang yang sucibukan orang-orang musyrik karena mereka dinyatakan najis dalam Al-Qur’an. AllahSWT berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ

“Hai orang-orang yang beriman,Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis”.

Nama ayah Nabi Abdullah, cukup membuktikan bahwa beliauberiman kepada Allah bukan penyembah berhala.

Jika anda ingin mengetahui lebihbanyak, maka bacalah kitab ‘Masaliku al-hunafa fi waalidai al-Musthafa” karangan ImamSuyuthi.

Sumber: FORSAN SALAF
_____________________________________________

Jawaban Kami:

Hadis Orang Tua Nabi SAW Masuk NERAKA membuktikan adanya pemalsuan hadis sunni walau diberi label shahih !


Di zaman yang penuh kemungkaran ini, di tengah-tengah manusia yang penuh lumuran dosa dan maksyiat, masih saja ada sekelompok orang yang berani berkata dengan kedangkalan ilmunya bahwa kedua orang tua Rasul Saw masuk neraka.

Seolah dia bersih dari dosa, seolah diatelah dijamin masuk surga, seolah dia telah duduk tenang dalam surga. Bahkan dengan semangat yang menggebu mereka membuat lembaran-lembarannya dan menyebarkannya ke khalayak umum melalui masjid-masjid atau perkumpulan-perkumpulan. Dengan busung dada merasa telah membela kebenaran dengan bersih kukuh menyatakan kedua orangtua Rasul Saw di neraka. Seolah dengan berbuat demikian mereka membahagiakan hati sang Nabi Saw, seolah hanya dengan berbuat itulah mereka akan masuk surga.

Sekelompok minoritas yang tidak mau memahami ajaran agama ini melalui para ulama madzhab, mereka hanya mau berusaha memahami ajaran agama dengan mengandalkan cara berpikir mereka sendiri, mengaku berlandaskan al-Quran dan Hadits, seolah mereka lebih hebat pemahamannya daripada ulama madzhab. Sungguh jauh, sungguh jauh dari kelayakan berfatwa terlebih menandingi ulama madzhab dalam ijtihad dan istinbathnya. Mengaku pengikut salaf, padahal sungguh jauh manhaj mereka dengan manhaj salaf.

Wahai saudaraku, jika ada orang mengatakan padamu bahwa kedua orangtuamu masuk neraka, bagaimana perasaan hatimu ?? sudah tentu sakit, pedih dan marah. Demikian juga orang lain, akan marah dan sakit hatinya jika dikatakan orangtuanya masuk neraka.

Lalu, orang tua siapakah yang kau katakan masuk neraka? bahkan kau putuskan / vonis masuk neraka seolah kau telah duduk tenang di dalam surga dan menoleh kanan kiri sehingga mengetahui siapa-siapa yang masuk surga dan neraka ??

Ya, kedua orang tua Rasulullah Saw yang kau vonis masuk neraka,kedua orangtua kekasih Allah Swt, makhluk termulia, seolah kaulah pemilik neraka, seolah kaulah sang pemukul palu hakim atas masuknya seseorang ke dalam neraka. Padahal Rasul Saw sendiri pun tak mengatakannya secara shorih / jelas.

Tapi kau sudah berani mendahului beliau Saw bahkan mendahului Allah Swt. Sungguh hal ini benar-benar menyakiti hati Rasul Saw…
_______________________________________

BENARKAH KEDUA ORANG TUA NABI DI NERAKA??????

Kaum Asy`ariah, dan jumhur Syafi’iyah menetapkan bahwa mereka yang wafat pada masa fatrah (sebelum diutusnya rasul) termasuk golongan yang selamat, hal ini berdasarkan firman Allah :

..وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا) الإسراء )

“dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.
”(Q.S Al Isra`: 15).

Orang tua Nabi wafat sebelum Beliau diutusnya sebagai rasul, berarti mereka termasuk ahli fatrah yang selamat dari adzab. Lagipula tidak ada keterangan yang jelas bahwa mereka pernah melakukan perbuatan syirik.
_________________________________________

Sunni (Sunni Yang Mengikuti Mazhab Wahabi) mengkafir musyrik kan kedua orang tua Nabi dan Abu Thalib. Anak-Anak ahlulbait Nabi SAW pun Dibunuh!


Setelah pada tanggal 9 Zulhijah, Muslim bin Aqil bin Abi Thalib menjadi syahid, dua anak beliau, Muhammad dan Ibrahim juga ditahan dan dibawa ke sel bawah tanah. Diriwayatkan bahwa Muhammad waktu itu masih berumur sepuluh tahun dan Ibrahim delapan tahun.

Pada tanggal 20 Zulhijah tahun 60 H, ketika sipir penjara datang membawa makan untuk anak-anak itu, ia melihat mereka sedang salat. Sipir pun kemudian menunggu. Ketika anak-anak itu selesai salat, ia menanyakan siapa mereka sesungguhnya. Ketika sipir tahu bahwa mereka adalah anak-anak Muslim bin Aqil sekaligus cucu Imam Ali, ia melepaskannya. Anak-anak pun keluar dari penjara.

Di malam hari, yang pertama ada dipikiran mereka adalah menemui Imam Husain dan mengingatkannya untuk tidak pergi ke Kufah. Tapi kemanapun mereka pergi, mereka melihat jalanan diblokade oleh pasukan Ibnu Ziad. Tidak mungkin untuk keluar dari Kufah. Kondisi pun semakin larut. Kemana anak-anak ini akan pergi?

Mereka sadar berada di sisi sunga Eufrat. Mereka meminum air sungai dan menaiki pohon untuk bersembunyi pada hari itu. Sampai akhirnya seorang wanita datang ke sungai untuk mencari air. Ia melihat dua anak kecil dan bertanya siapa mereka. Ibrahim menjawab, “Kami adalah dua anak yatim, maukah engkau meninggalkan kami dan jangan beri tahu kalau engkau melihat kami?” Wanita itu meminta mereka untuk ikut bersama menemui majikannya yang mungkin bisa membantu.

Majikan wanita itu adalah perempuan yang baik. Setelah berbicara kepada anak-anak itu, ia sadar siapa mereka. Ia pun memberi mereka makan dan berkata, “Kalian bisa menghabiskan waktu di sini dan saya akan coba membantu kalian. Sayangnya, suamiku Harits bekerja untuk Ibnu Ziad. Kalian dapat beristirahat di ruang penyimpan makanan tapi jangan membuat suara karena ia akan segera pulang dan menemukan kalian.”

Anak-anak itu kemudian berdoa dan pergi tidur. Malam harinya Muhammad bangun dan mulai menangis. Ibrahim bertanya mengapa ia menangis, Muhammad menjawab, “Aku melihat ayah dalam mimpi. Ia memanggil kita…” Ibrahim berkata, “Saudaraku, sabarlah. Aku juga melihat ayah dalam mimpi dan memberi isyarat kepada kita.”

Kemudian mereka mulai menangis. Harits yang sudah pulang mendengar suara. Ia membuka pintu dan bertanya siapa kalian. Setelah mengetahui bahwa mereka adalah anak-anak Muslim bin Aqil, ia mengikat anak-anak itu ke tiang. Istri Harits berusaha menghentikannya tapi ia dipukul. Harits ingin mendapatkan hadiah yang Ibnu Ziad tawarkan kepada siapa saja yang bisa menangkap anak-anak itu.

Anak-anak Muslim menghabiskan malam mereka dalam ikatan. Pagi harinya, Harits menyeret mereka ke tepi sungai. Ia mengambil pedangnya. Ibrahim bertanya, “Harits, apakah engkau akan membunuh kami?” Harits menjawab, “Ya!” Ibrahim bertanya, “Kalau begitu, izinkan kami untuk menyelesaikan salat subuh kami.”

Mereka berdua pun melakukan salat dan mengangkat tangan ke atas dan menangis, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’un! Ya Allah, kami datang kepadamu. Berikan kepada ibu kami kekuatan ketika ia mendengar kematian kami dan adililah antara kami dan pembunuh kami!” Pedang itupun melayang. Mereka dilemparkan ke sungai. Dua tubuh anak-anak Muslim hanyut di sungai Furat.

Catatan: Anak-anak Muslim menjadi syahid pada tanggal 22 Zulhijah kemarin. Inilah awal-awal tragedi Muharam. Selamat datang bulan kedukaan!
__________________________________________

Bani Umayyah versus Bani Hasyim

Dengan nama Tuhan yang Mahatinggi, Pembeda antara Hak dan Batil.

Dengan referensi terbatas, saya berusaha mengisahkan tentang dua klan Quraisy ini. Dua klan yang mewakili dua sisi yang berbeda. Jangan mengira bahwa masalah ini hanya masalah keturunan. Karena bagaimana pun juga Nabi Muhammad berasal dari salah satu klan, Bani Hasyim.

Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab berasal dari kaum Quraisy yang merupakan keturunan langsung Nabi Ibrahim melalui Nabi Ismail. Selain Hasyim, Abdu Manaf memiliki tiga putera lainnya; Muthalib, Naufal dan Abdu Syams.

Saat berdagang, Hasyim meninggal dunia. Putranya ditinggalkan bersama kafilah. Muthalib, saudara lelaki Hasyim, pergi menjemput putra mendiang saudara lelakinya itu dan membawanya tinggal bersama anak-anaknya sendiri. Kemudian putra Hasyim ini dikenal dengan nama Abdul Muthalib.

Anak-anak Hasyim melalui putranya Abdul Muthalib disebut Hasyimiah. Abdul Muthalib sendiri memiliki beberapa putra dari istri berbeda, di antaranya: Abdullah (ayah Nabi Muhammad), Abu Thalib (ayah Ali bin Abi Thalib) dan Hamzah (pemimpin para syahid di masanya).

Lain kisah, Abdu Manaf pernah membeli dan memberikan seorang sahaya bernama Umayyah kepada Abdu Syams, saudara Hasyim. Umayyah, yang penyembah berhala sejak lahirnya, menghabiskan masa kecilnya di tengah-tengah orang Kristiani Romawi. Tuannya, Abdu Syams, karena menyukainya, menjadikannya sebagai anak angkat.

Sebelum meninggal, Abdu Manaf, sudah menyerahkan tanggung jawab dan tugas turun-temurunnya yang merupakan hak istimewanya, yaitu mengurus dan memelihara Kakbah Suci, kepada Hasyim putra sulungnya yang sangat mulia karakter dan temperamennya.

Namun putera angkat dari Abdu Syams yang bernama Umayyah (berasal dari Romawi) tidak menyenangi adanya kekuasaan terbagi pada Hasyim. Lalu melalui suatu sidang kekeluargaan, Umayyah mencoba menyingkirkan Hasyim, akan tetapi hal ini tidak mendapatkan persetujuan dari banyak pihak.

Akhirnya masalah itu dibawa oleh Umayyah kehadapan hakim. Sayangnya hakim tersebut justru memutuskan kebenaran berada dipihak Hasyim. Maka jatuhlah keputusan hakim untuk menempatkan Umayyah keluar dari kota Mekkah selama 20 tahun untuk selanjutnya pergi Syam. Inilah awal dari permusuhan klan Bani Umayyah terhadap Bani Hasyim.

Penyeledikan terakhir yang dilakukan oleh ahli sejarah terkenal asal Irak, al-Amini, penulis karya ternama Al-Ghadîr dan peneliti Iran, Imad Zadeh, memaparkan riwayat dari Ibnu Atsir dan lainnya mengenai Abdu Syams dan Hasyim yang merupakan putra kembar Abdu Manaf yang lahir dengan punggung menyatu, kemudian dipisahkan dengan menunggunakan sebilah pisau. Seorang peramal nasib pada masa itu meramalkan permusuhan abadi antara keturunan dua putra kembar ini.

Kebencian dan pemusuhan antara kedua klan ini semakin kuat. Bani Hasyim memegang amanat sebagai pengawas dan pemelihara Rumah Suci Allah, Kakbah, sebuah posisi yang terhormat dan sangat diinginkan orang-orang, tidak terkecuali Bani Umayyah. Karakter murah hati Bani Hasyim tak memungkinkannya menimbun kekayaan, sedangkan egoisme dan kekikiran Bani Umayyah memberikan jalan baginya untuk menimbun kekayaan.

Api kedengkian Umayyah semakin besar ketika Abdul Muthalib, putra Hasyim, secara menakjubkan menemukan sumber air alami Zam-zam yang tersembunyi dan tak pernah diketahui oleh siapapun selama berabad-abad. Penemuan ini menambah rasa hormat dan takzim orang di Jazirah Arab kepada Abdul Muthalib sebagai keturunan Ismail dan menambah kebencian Bani Umayyah.

Abdul Muthalib hanya menyembah Allah dan selalu menerima kehendak Allah tanpa protes. Kualitas imannya kepada Allah terlihat dengan segera dikabulkannya doa-doa yang dipanjatkan kepada-Nya, ketika pangeran Kristiani Abissinia sampai di derah pinggiran kota Mekkah bersama pasukan besar berkendara gajah yang hendak menghancurkan Kabah. Sejarah mencatat peristiwa ini dalam surah al-Fîl.

Perseteruan keduanya belum juga berakhir hingga munculnya Nabi Terakhir, Muhammad bin Abdullah, yang merupakan bagian keluarga Bani Hasyim. Justru, “pengakuan” diri Muhammad sebagai utusan Allah, membuat Bani Umayyah semakin benci, karena hal itu berarti mereka harus tunduk dan mengikuti ajaran Muhammad.

Kisah-kisah teladan Nabi dalam menyampaikan risalah agama sudah sering kita dengar. Namun ada beberapa kejadian lain yang menimpa Nabi dan Bani Hasyim—mulai dari fisik hingga psikis—yang jarang kita dengar. Kita bisa memulainya dari isolasi atau embargo terhadap klan Bani Hasyim di lembah (syi’ib) Abu Thalib. Tidak boleh menikah, tidak boleh jual-beli, juga tidak boleh keluar lembah selama tiga tahun!

Cobaan psikis lain adalah riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Nabi bermuka masam, juga orang tua Nabi dan paman Nabi, yang menjaga dan melindungi Nabi berada di neraka. “Dosa” kedua orang tua Nabi adalah karena mereka orang tua Nabi, dan “dosa” Abu Thalib adalah karena ia ayah dari Ali.

Sebagai tambahan, Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib atau dikenal sebagai Ali Zainal Abidin pernah mendengar orang-orang mengatakan bahwa Abu Thalib adalah kafir. Dalam dadanya terdapat kesedihan dan jeritan bahwa kakeknya dianggap kafir, lalu mengatakan, “Sungguh aneh, sangat aneh. Apakah mereka mencela Abu Thalib ataukah Rasul? Allah telah melarang Rasul membiarkan perempuan mukmin tinggal bersama lelaki kafir dalam banyak ayat Alquran. Tidak seorang pun meragukan bahwa Fatimah binti Asad (istri Abu Thalib) adalah perempuan mukmin terdahulu…”

Imam Zainal Abidin ingin mengatakan bahwa jika Abu Thalib kafir maka tidak mungkin Rasul melawan perintah Allah dengan membiarkan istri Abu Thalib yang mukmin bersama Abu Thalib.

“Dosa” Abu Thalib adalah karena ia ayah dari Ali. Mengapa Ali? Ali, telah membunuh banyak musuh Islam yang terdiri dari pembesar Quraisy di Perang Badr, sekitar 24-36 orang. Di Perang Uhud, ketika para sahabat melarikan diri, Ali tetap setia berada di sisi Nabi. Begitu juga peran Ali di Perang Khandaq dan Perang Ahzab. Di Perang Hunain, ketika sebagian sahabat lari, Ali membunuh sekitar 40 musyrikin. Begitu seterusnya kisah Ali membunuh kaum musyrik.

Setelah apa yang diperbuat Ali, mungkinkah ia menjadi khalifah pengganti Nabi dan “pemimpin” bagi daerah Hijaz? Ali Syariati mengatakan, “Ali adalah ‘korban’ karena kekerabatannya dengan Rasulullah, karena hubungan kesukuan lebih kuat dibanding hubungan keislaman. Mereka masih tetap hidup dalam kesukuan dan tidak mungkin tahan menyaksikan kenabian dan kepemimpinan berada dalam Bani Hasyim.”.

Setelah Ali, siapa lagi? Isterinya, Fatimah mengalami ujian berat. Warisan dari ayahnya direbut oleh penguasa dan bahkan rumahnya dikepung hanya agar ia dan keluarganya mengakui penguasa saat itu. Puteranya yang pertama, Hasan menerima stigma buruk oleh musuh Bani Hasyim sebagai orang lemah dan suka berganti istri. Kapan puncak ujian bagi Bani Hasyim?


Karbala; Ajang Balas Dendam

Puncak dari segala kebencian Bani Umayyah kepada Bani Hasyim ditumpahkan pada bulan Muharam. Peristiwa Karbala menjadi ajang balas dendam keluarga Umayyah yang diwakili oleh Yazid bin Muawiyah kepada Imam Husain bin Ali, tidak hanya sebagai cucu Nabi, tapi juga sebagai keturunan Hasyimiah. Salah satu tema besar yang diangkat oleh Yazid adalah dendam atas terbunuhnya leluhur Yazid.

Dendam ini telah tertanam dalam hati para pembesar Umayyah yang tidak bisa ditembus oleh cahaya agama Allah. Imam Husain selalu berusaha mencari jalan agar para musuhnya sadar atas apa yang akan mereka perbuat. Beliau berkata, “Celakalah kalian, atas dasar apa kalian memerangiku? Apakah karena aku mencampakkan kebenaran? Atau karena aku merubah syariat Allah dan meninggalkan sunah?”

Panglima perang Yazid menjawab dengan kalimat yang pasti atas kebenciannya kepada Hasyimiah, “Kami memerangimu karena kebencian kami kepada ayahmu (Ali bin Abi Thalib) dan atas apa yang telah dia perbuat terhadap kakek-kakek kami di Badr dan Hunain!”.

Tidak ada jalan lagi. Nasihat sudah tidak mampu merubah niat mereka. Imam pun berteriak, “Aku adalah putra Ali dari keluarga Hasyim. Cukuplah ini sebagai kebanggaanku. Kakekku, Rasulullah, adalah manusia paling mulia di muka bumi. Kami (ahlulbait) adalah pelita Allah di kegelapan dunia. Fatimah ibuku adalah putera Ahmad. Pamanku, Ja’far, dikenal sebagai pemilik sayap di surga. Pada kamilah Al-Quran diturunkan. Kami adalah sumber kemuliaan wahyu dan petunjuk Ilahi. Kami ahlulbait adalah bahtera keamanan bagi para penduduk bumi. Kami memberitahukan ini kepada umat manusia dalam setiap keadaan. Di hari kiamat, pengikut kami adalah sebaik-baiknya pengikut. Para pembenci kami adalah orang yang paling merugi…”.

Panglima perang berusaha membangkitkan semangat anak buahnya dengan berkata, “Celakalah kalian, tahukah kalian siapa yang kalian perangi? Ini adalah anak Ali bin Abi Thalib, pembunuh orang-orang Arab. Serang dia dari berbagai arah!” Pembantaian pun terjadi hingga akhirnya tawanan Bani Hasyim sampai di istana Yazid.

Yazid berdiri di hadapan Zainab binti Ali bin Abi Thalib dan berkata, “Andai nenek moyangku (yang terbunuh) di Badr menyaksikan pembalasan sebagaimana terhadap suku Khazraj dari pukulan-pukulan pedang. Niscaya nenek moyangku akan menyambut peristiwa Karbala dengan gembira sambil berkata, ‘Rahmat atasmu, wahai Yazid.’ Sebab kita telah berhasil membunuh salah satu tokoh dari pemimpin mereka, sehingga kita sandingkan hal itu sebagai bentuk pembalasan atas tragedi di Badr, maka hal itu akan menjadi impas. Sungguh Bani Hasyim telah dipermainkan oleh kekuasaan yang ada, tanpa hadis dari Nabi atau wahyu yang turun. Kemudian engkau berharap agar Husain tak terbunuh?”

Kalimat terakhir yang diucapkan Yazid tersebut menunjukkan bahwa dia tidak meyakini akan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan hadis-hadis yang diucapkan beliau saw. Lalu Sayidah Zainab menimpali, “Bagaimana kami dapat berharap al-Husain tak terbunuh dihadapan cucu seseorang yang telah memakan hati Hamzah? Bagaimana kami dapat menyimpan harapan terhadap seseorang yang kebencian dan kedengkiannya pada kami telah membusuk dan memenuhi hatinya. Mereka yang selalu memandang kami dengan penuh kebencian dan permusuhan.” Sebagaimana kita tahu, pemakin hati dari Sayidina Hamzah bin Abdul Muthalib adalah Hindun isteri Abu Sufyan, nenek daripada Yazid.

Yazid pun menjawab, “Pembantaian di Perang Badr telah terbalas di Karbala.”

Ini merupakan klimaksnya. Tidak cukup Abu Thalib dicap sebagai kafir dengan riwayat murahan, keturunan Abu Thalib juga dibantai. Siapa saja korban Karbala? Beberapa di antaranya; Abu Bakar bin Ali bin Abi Thalib; Ja’far bin Ali bin Abi Thalib; Ja’far bin Aqil bin Abi Thalib; Abbas bin Ali bin Abi Thalib; Abdullah bin Husain bin Ali bin Abi Thalib; Abdullah bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib; Abdullah bin Muslim bin Aqil bin Abi Thalib; Abdurrahman bin Aqil bin Abi Thalib; Utsman bin Ali bin Abi Thalib; dan tentu saja hampir seluruh keluarga Imam Husain dan Bani Hasyim.

Antiklimaksnya, pada zaman dinasti Umayyah, Ali bin Abi Thalib dan isterinya dicaci maki di mimbar ulama murahan. Pecintanya dan pengikutnya dikejar-kejar dan dibunuh. Hingga sekarang, mereka yang menganggap Abu Thalib sebagai mukmin dan menganggap puteranya, Ali, sebagai imam juga dianggap sebagai sesat dan kafir.

Makam Ahlulbait Nabi Dihancurkan karena wahabi memusuhi mazhab keluarga Nabi SAW.

Maqbarat Al-Baqi’ (مقبرة البقيع, Pemakaman Al-Baqi’) Jannatul Baqi‘ merupakan sebuah komplek pemakaman di kota Madinah, Arab Saudi, yang letaknya persis melewati Masjid Nabawi, area bagian tenggara dari masjid. Pemakaman ini juga dikenal sebagai Jannatul Baqi’ (جنة البقيع). Nama ini berarti “Taman Surga”. Nama lain yang dikenal adalah Baqi’ Al-Gharqad.

Masjid Nabawi merupakan masjid yang dibangun tepat di mana Nabi Muhammad biasa menjalani kehidupannya dan membangun masjidnya di mana saat ini beliau dimakamkan. Karena itu pemakaman ini memiliki banyak arti penting. Di tempat itu dimakamkan jasad para sahabat dan keluarga Nabi saw. Riwayat menyebutkan bahwa Nabi melakukan doa setiap kali beliau melewati pemakaman.

Pada masa pembangunan Masjid Nabawi, As’ad bin Zararah, salah seorang sahabat Nabi wafat. Nabi Muhammad memilih daerah sebagai pemakaman dan As’ad adalah orang pertama yang dimakamkan di pemakaman Al-Baqi’ dari kalangan Anshar. Riwayat lain menyebutkan sahabat pertama yang dimakamkan di Al-Baqi’ adalah Utsman bin Madhun wafat tahun 3 H.


Makam pada Masa Utsmaniah

Perluasan makam pertama dalam sejarah dilakukan oleh Muawiyah I, pemimpin Umayyah pertama. Dia membeli tanah tetangga yang luas di mana Utsman bin Affan dimakamkan sehingga berada di dalam pemakaman Al-Baqi. Umayyah membangun kubah pertama di Al-Baqi di atas kuburan Ustman bin Affan. Beberapa waktu kemudian dalam sejarah ada begitu banyak kubah dan bangunan yang dibangun di atas kuburan terkenal Al-Baqi’.


Penghancuran Makam

Sejak 1205 H hingga 1217 H kaum Wahabi mencoba menguasai Jazirah Arabia namun gagal. Akhirnya 1217 H mereka berhasil menguasai Thaif dengan menumpahkan darah Muslim yang tak bersalah. Mereka memasuki Mekah tahun 1218 H dan menghancurkan semua bangunan dan kubah suci, termasuk kubah yang menaungi sumur Zamzam. Tahun 1221, kaum Wahabi masuk kota Madinah dan menajiskan Al-Baqi dan semua masjid yang mereka lewati. Usaha menghancurkan makam Rasulullah berhenti karena protes masyarakat Muslim dunia.

Pada hari Rabu 8 Syawal 1345 H bertepatan dengan 21 April 1925, pemakaman Jannatul Baqi’ dihancurkan oleh Raja Abdul Aziz bin Saudi dari Arab Saudi. Pada tahun yang sama, ia juga menghancurkan makam manusia suci di Jannatul Mualla (Makkah) di mana ibunda Nabi Muhammad (Sayyidah Aminah as), istri Nabi, kakek dan leluhur Nabi dikuburkan. Kejadian ini menimbulkan protes dari masyarakat Muslim dunia.

Penghancuran situs suci di Hijaz oleh Saudi, yang diawali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab berlanjut hingga sekarang. Keluarga Kerajaan Arab Saudi mempraktikkan bentuk Islam kaku yang disebut Wahhabisme, dan telah melakukan pemusnahan terhadap makam tersebut. Hasilnya, kitab dan peta yang ada di makam disita oleh penguasa. Meski demikian, makam orang-orang suci ini tetap dikunjungi oleh peziarah dan pemakaman juga berlanjut di pemakaman ini.

Banyak kaum Syiah yang melanjutkan untuk mengenang hari itu ketika Dinasti Saud menghancurkan pemakaman Al-Baqi’, semata-mata karena di sanalah dimakamkan keluarga Nabi Muhammad saw. Mereka menyebut hari itu (8 Syawal) sebagai Yaum Al-Gham (Hari Kesedihan). Kaum Syiah terus melakukan protes kepada pemerintah Saudi atas penghancuran ini.


Gambaran Pemakaman Jannatul Baqi’

Umar bin Jubair melukiskan Al-Baqi saat ia berkunjung ke Madinah berkata, “Al-Baqi’ terletak di Timur Madinah. Gerbang Al-Baqi’ akan menyambut Anda saat tiba di Al-Baqi’. Saat Anda masuk kuburan pertama yang Anda lihat di sebelah kiri adalah kuburan Shafiah, bibi Rasulullah. Agak jauh dari situ terletak pusara Malik bin Anas, salah seorang Imam Ahlus Sunnah dari Madinah. Di atas makamnya didirikan sebuah kubah kecil. Di depannya ada kubah putih tempat makam putra Rasulullah, Ibrahim.

Di sebelah kanannya adalah makam Abdurahman bin Umar putra Umar bin Khatab, dikenal sebagai Abu Syahma. Abu Syahma dihukum cambuk oleh ayahnya karena minum khamar. Hukuman cambuk untuk peminum khamar seharusnya tidak hingga mati. Namun Umar mencambuknya hingga ajal merenggutnya. Di hadapan kuburan Abu Syahma adalah makam Aqil bin Abi Thalib dan Abdulah bin Ja’far Ath-Thayyar. Di muka kuburan mereka terbaring pusara istri Rasul dan Abbas bin Abdul Mutalib.

Makam Imam Hasan bin Ali, terletak di sisi kanan dari gerbang Al-Baqi’. Makam ini dilindungi kubah tinggi. Di sebelah atas nisan Imam Hasan adalah makam Abbas bin Abdul Muthalib. Kedua makam diselimuti kubah tinggi. Dindingnya dilapisi bingkai kuning bertahtakan bintang indah. Bentuk serupa juga menghias makam Ibrahim putra Rasulullah. Di belakang makam Abbas berdiri rumah yang biasa digunakan Fatimah binti Rasulullah as. Biasa disebut “Bait al-Ahzân” (Rumah Duka Cita). Di tempat ini putri Rasulullah biasa berkabung mengenang kepergian ayahnya tercinta Rasulullah saw. Di ujung penghabisan Al-Baqi’ berdiri kubah kecil tempat Utsman dimakamkan. Di dekatnya terbaring ibunda Ali bin Abi Thalib, Fatimah binti Asad.”.

Satu setengah abad kemudian pengelana terkenal Ibnu Batutah mengunjungi Al-Baqi’ dan menemukan Al-Baqi’ tidaklah berbeda dengan yang dilukiskan Ibnu Jubair. Ia menambahkan, “Al-Baqi’ adalah kuburan sejumlah kaum Muhajirin dan Anshar dan sahabat nabi lainnya. Kebanyakan mereka tidaklah dikenal.” (Hakikat Wahabi)


Atas (Makam Abbas) – Kiri ke Kanan (Makam Imam Hasan, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq).


Pribadi Penting di Jannatul Baqi’.

Di antaranya adalah keluarga langsung Nabi Muhammad saw: Seluruh istri Nabi yang disebut Ummul Mukminin termasuk Aisyah, Hafshah, Zainab, dan lain-lain terkecuali Khadijah binti Khuwailid dan Maimunah binti Al-Harits. Makam Fatimah Az-Zahra, putri Nabi yang tidak diketahui posisinya, begitu juga dengan Ruqayah putri Nabi yang lain.

Kemudian Ibrahim, putra Nabi Muhammad dari Maryam Al-Qibthiah. Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi saw. Bibi dari Nabi Muhammad seperti Shafiah dan Atikah. Begitu juga dengan bibi Nabi Muhammad yang lain, Fatimah binti Asad, yang juga ibu dari Ali bin Abi Thalib. Dari keluarga Ahlul Bait: Hasan bin Ali, cucu Nabi, putri Fatimah dan Ali (Imam Kedua Ahlul Bait), Ali Zainal Abidin (Imam Keempat), Muhammad Al-Baqir (Imam Kelima), Ja’far Ash-Shadiq (Imam Keenam).

Kerajaan Saud dan diamnya ulama Wahabi, lebih menghendaki dibangunnya jam raksasa disamping Kakbah yang dibawahnya terdapat hotel mewah milik Barat, daripada harus membangun dan memperbaiki makam keluarga dan sahabat Nabi saw.


Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir yang memiliki kemuliaan dan derajat yang tinggi,baik di langit maupun di bumi. Kemuliaannya diakui oleh Alloh SWT dengan pernyataanNya,Innaka la ‘ala khuluqin ‘adhim, sesungguhnya Engkau (ya,Muhammad) berada diatas akhlak yang agung (QS.Al Qolam 4).Jika yang kecil menyifati sesuatu dengan ‘agung’,yang dewasa belum tentu menganggapnya agung.Tetapi jika Yang Maha Besar Alloh yang menyifati sesuatu dengan kata agung,maka tidak dapat terbayangkan betapa besar keagungannya.Dan sudah tentu,makhluk yang agung tidak keluar kecuali dari rahim yang agung pula !

Nabi Muhammad SAW adalah penghuni bumi yang paling baik nasabnya secara mutlak. Nasab beliau dari segi kemuliaan berada di puncaknya. Musuh-musuh beliau memberi pengakuan untuknya atas hal tersebut. Diantara musuh beliau yang memberikan pengakuan akan indahnya nasab beliau adalah Abu Sufyan(sebelum masuk islam), yang dikala itu berhadapan denga penguasa Romawi. Kaum yang paling mulia adalah kaumnya,kabilah yang paling mulia adalah kabilahnya dan marga yang paling mulia adalah marganya (Ibnu Qoyyim al Jauziyah,Zaadul Ma’ad,I/32).

Dan Rasulullah pernah bersabda,”Aku selalu berpindah-pindah dari tulang sulbi orang-orang yang suci kedalam rahim-rahim wanita yang suci pula”(Dinukil oleh Al Hamid Al Husaini,dalam bukunya Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyyah,hal.600-601).Itu artinya Nabi saw adalah manusia tersuci yang telah disiapkan kelahirannya dengan membuatnya keluar dari rahim yang suci pula,yaitu Aminah ra.

Dinukil oleh Ibnul Jauzi,dalam kitab Al Wafa’ (terjemahan),hal.74 :Abdurrahman bin ‘Auf berkata,”Ketika Rasulullah saw dilahirkan,ada jin yang berbicara di bukit Abu Qubais di daerah ‘Ujun- yang pada mulanya tempat itu adalah sebuah kuburan dan orang-orang Quraisy merusakkan pakaian mereka di daerah itu-.Jin itu berkata dengan syair berikut :

“Aku bersumpah tidak seorang pun dari golongan manusia yang telah melahirkan Muhammad selain ia (Aminah).

Seorang wanita dari suku Zuhrah yang memiliki sifat-sifat terpuji dan selamat dari kecelaan para suku-suku, bahkan mereka memujinya.

Wanita itu telah melahirkan manusia terbaik yaitu Ahmad.

Orang yang terbaik itu dimuliakan, Serta orangtuanya pun dimuliakan juga”…Bahkan Nabi SAW pernah menjelaskan bahwa nasabnya adalah suci (ayah-ayahnya adalah keturunan manusia yang suci),”Saya Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthollib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizaar. Tidaklah terpisah manusia menjadi dua kelompok (nasab) kecuali saya berada diantara yang terbaik dari keduanya. Maka saya lahir dari ayah – ibuku dan tidaklah saya terkena ajaran jahiliyyah dan saya terlahir dari pernikahan (yang sah).Tidaklah saya dilahirkan dari orang yang jahat sejak Adam sampai berakhir pada ayah dan ibuku. Maka saya adalah pemilik nasab yang terbaik diantara kalian dan sebaik-baik nasab (dari pihak) ayah” (Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah dan Imam Hakim dari Anas ra.) Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya juz 2,hal.404 dan juga oleh Imam Ath Thobari dalam tafsirnya juz 11, hal. 76.
Juga sabda Nabi SAW,”Saya adalah Nabi yang tidak berdusta, Saya adalah putra Abdul Mutholib.”(HR.Bukhori no.2709,2719,2772,Shahih Muslim no.1776).

Lihatlah dari hadis-hadis diatas,nampak jelas sekali bahwa tidak mungkin orang tua Nabi adalah orang-orang kafir atau musyrik. Sedangkan Nabi SAW telah membanggakan kedua orang tuanya sebagai nasab yang terbaik.Bagaimana mungkin ada manusia yang tega mengatakan orang tua,bapak atau ibu Nabi saw lagi disiksa di neraka?Sungguh itu sama halnya menyakiti hati Nabi saw.

Demikian juga ucapan Nabi SAW kepada Sa’ad bin Abi Waqqash di peperangan Uhud ketika beliau SAW melihat seorang kafir membakar seorang muslim,maka Rasulullah SAW bersabda kepada Sa’ad,”Panahlah dia,jaminan keselamatanmu adalah Ayah dan ibuku!’, maka Sa’ad berkata dengan gembira,’Rasulullah SAW mengumpulkan aku dengan nama ayah dan ibunya!’ “(HR Bukhori,Bab. Manaqib Zubair bin Awam no.3442,hadis no.3446, Bab.Manaqib Sa’ad bin Abi Waqqosh Al-Zuhri.).

Bagaimana mungkin Sa’ad berbahagia disatukan dengan orang tua Rasulullah,jika keduanya orang-orang musyrik??Maka apa kata dunia? Jika nabinya ummat Islam lahir dari rahim perempuan musyrik? Padahal Isa as. Lahir dari rahim perempuan yang suci!!.Apa kata dunia jika Nabinya ummat islam lahir dari rahim perempuan kafir?Padahal banyak perempuan yang beriman melahirkan anak-anak yang tidak memiliki keistimewaan,sedangkan Rasul keistimewaannya diakui di dunia langit maupun bumi lahir dari perempuan musrik?. Sungguh tidak logis!!
Sungguh harus dipertimbangkan pendapat tentang kemusyrikan orang tua Nabi !
Ahlul Fatrah. Adalah suatu masa dimana terjadi kekosongan nubuwwah dan risalah. Seperti orang-orang jahiliyyah yang belum datang kepada mereka risalah kenabian,maka mereka masuk kategori ahlu fatrah,yang mereka termasuk ahli surga juga. (Prof.DR.Wahbah Zuhaili,tafsir Al Munir,juz 8, hal.42).

Hal itu berdasarkan firman Alloh QS. Al Isro’ 15 yang artinya,”Kami tidaklah mengadzab (suatu kaum) hingga kami mengutus (kepada mereka) seorang rasul”.

Dari ayat itu, maka orang-orang yang hidup sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, mereka adalahAhlu fatrah yang tidak diadzab atas perbuatannya. Karena sebagai bentuk keadilan Alloh adalah mengadzab suatu kaum setelah jelas risalah datang kepada mereka namun tidak diindahkannya.

Dan dari ayat itu pula,dapat dipahami bahwa keluarga nabi saw sebelum dirinya diangkat menjadi Nabi dan Rasul,adalah termasuk ahlu fatrah.Dan karena itu mereka tidak diadzab dan tidak digolongkan kepada orang-orang musrik atau kafir.

Bagaimana dengan riwayat bahwa Nabi saw menangis dipusara ibunya?. Dan hadis tersebut dikaitkan sebagai asbabun nuzul ayat 113 dari QS .At Taubah; “Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun[kepada Alloh] bagi orang-orang musyrik,walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya),sesudah jelas bagi mereka,bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam”.??

Beberapa ulama’ (salah satunya Ibn Katsir,Mukhtashor li Ali as Shobuni,juz 2,hal.173),menyebutkan sebuah riwayat,bahwa rasulullah saw. Suatu ketika berziarah ke kuburan dan menangis tersedu-sedu.Sayidina Umar bertanya tentang sebab tangis beliau.Beliau menjawab,”Aku menangis di kubur ibuku,Aminah. Aku memohon kepada Alloh kiranya beliau diampuni,tetapi alloh tidak memperkenankan dan turun kepadaku firmanNya (At Taubah 113-114). Aku sedih dan kasihan kepada ibuku, dan itulah yang menjadikan aku menangis”(HR.Ibn Hibbah,Abi Alatim dan Al Hakim melalui Ibn Mas’ud).

Riwayat ini dinilai dhoif oleh pakar hadis Adz Dzahabi,karena dalam renteten perawinya terdapat nama Ayyub yang berstatus lemah (Prof.DR.Quraish Shihab,Al Misbah ,jilid 5,hal.735).Dan pakar tafsir lainnya seperti DR.Wahbah Zuhaily mengomentari ulama yang menyatakan hadis tersebut sebagai sebab turunnya ayat 113,QS at Taubah,dengan komentar bahwa itu jauh dari fakta sebab orang tua Rasul hidup di masa fatrah,sehingga tidak tepat hadis tentang tangisan nabi saw dipusara ibunya sebagai sebab turunnya ayat tersebut.[lihat tafsir Al Munir ,juz 6,hal 64].

Dan banyak lagi hadis yang senada dengan itu,namun dengan redaksi yang berbeda,seperti yang diriwayatakan,Ahmad,Muslim, Abu Dawud dari jalur Abu Hurairoh. Dan jika kita terima kesahihan hadis tangisan Nabi diatas kuburan ibunya tersebut,maka ada beberapa hal harus dipertimbangkan untuk membatalkan hadis tersebut sebagai dalil kemusyrikan Ibu nabi SAW,sebagai berikut:
1. Hadis tersebut secara manthuq (tekstual) tidak menyebut kekafiran atau kemusyrikan ibu Nabi secara tegas dan jelas.Sehingga agak ceroboh kalau dengan ketidak jelasan manthuq hadis tersebut langsung menyatakan kemusrikan ibunda Nabi saw.
2. Hadis-hadis tersebut yang menyatakan bahwa kejadian rasulullah menangis di kuburan ibunya di kota Mekkah,menurut ibnu Sa’ad berita itu salah,sebab makam ibu Nabi itu bukan di Mekkah tapi di ‘Abwa (suatu wilayah yang masih masuk kota Madinah). (Al Wafa’,ibn Al Jauzi,terjemahan hal.96, Lihat juga Zaadul Ma’ad jilid I,hal.36 terkait dalil tempat wafatnya ibunda Nabi saw).
3. Hadis-hadis tersebut termasuk hadis ‘Inna Abiy wa abaaka finnar (Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka” (HR.Muslim) dibatalkan (mansukh) oleh QS.Al Isra’ 15.”Dan Kami tidak mengadzab (suatu kaum) hingga kami mengutus(kepada mereka) seorang rasul”(rujuklah pada Masaalikul Hunafa Fii Hayaati Abawayyil Musthofa,karya Imam As Suyuthi,hal.68). Alasan pembatalannya adalah mereka ayah dan ibunda Nabi saw hidup sebelum ada risalah nubuwwah,karena itu mereka termasuk ahlu fatrah yang terbebas dari syari’at Rasululloh saw.
4. Khusus hadis riwayat Muslim,Inna Abiy wa Abaaka fin Nar/Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di neraka,adalah bahwa yang dimaksud Abi di hadis tersebut adalah paman.Karena kebiasaan Alloh didalam al Quran,sering ketika ada kata-kata Abun,maka yang dimaksud adalah bukan orang tua kandung.Alloh berfirman dalam QS.Al Baqoroh 133,yang artinya ; “Adakah kamu hadir ketika Ya’qub mau meninggal,ketika Ia berkata kepada anak-anaknya;Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab;’Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu,Ibrahim,Isma’il dan Ishaq,yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepadaNya.” Padahal Ayah Ya’qub adalah Ishaq bukan Ibrahim atau Ismail.Namun Alloh menyebutkan Ibrahim dan Ismail sebagai Aaba’(ayah-ayah) dari Ya’qub,maksudnya adalah kakek atau paman dari Ya’qub.Dan untuk penyebutan orang tua kandung,biasanya Al quran menggunakan kata Waalid.Sebagaimana Alloh berfirman; “Robbanagh Fir Li Wa Li Waliidayya…/Ya Tuhan Kami Ampunilah aku dan ibu bapakku…”.QS.Ibrahim 41.
5. Hadis-hadis tersebut bertentangan dengan nash hadis lain seperti yang kami tulis diatas,bahwa nabi lahir dari nasab yang suci.
6. Dikatakan oleh Al Qadhiy Abu Bakar Al A’raabiy bahwa orang yang mengatakan orang tua Nabi saw di neraka, mereka di laknat oleh Allah swt, sebagaimana FirmanNya: “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatinya di dunia dan akhirat, dan disiapkan bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS. Al-Ahzab: 57)Berkata Qadhiy Abu Bakar, “Tidak ada hal yang lebih menyakiti Nabi SAW ketika dikatakan bahwa ayahnya atau orang tuanya berada di neraka, dan Nabi saw bersabda : ‘Janganlah kalian menyakiti yang hidup karena sebab yang telah wafat.’ (Masalikul Hunafa’ Fii Hayaati Abawayyil Musthofa, hal. 75 lil Imam Suyuthi).


Demikian pendapat ulama bahwa orang tua Nabi SAW bukan orang-orang musyrik, karena wafat sebelum kebangkitan Risalah dan menjadi ahli fatrah, dan tak ada pula nash yg menjelaskan mereka sebagai menyembah berhala. Diantara Ulama yang berpendapat bahwa orang tua Nabi bukan musyrik menurut Al Habib Munzhir bin Fuad Al Musawa adalah :

Hujjatul Islam Al Imam Syafii dan sebagian besar ulama syafii, Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Qurtubi, Al Hafidh Al Imam Assakhawiy, Al hafidh Al Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthi yg mengarang sebuah buku khusus tentang keselamatan ayah bunda nabi saw, Al hafidh Al Imam Ibn Syaahin, Al Hafidh Al Imam Abubakar Al baghdadiy, Al hafidh Al Imam At thabari, Al hafidh Al Imam Addaruquthniy dan masih banyak lagi yang lainnya.


Bagaimana dengan Abu Tholib?

Dalam QS.Al Qoshosh 56,yang artinya:”Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”.Asbabul nuzul ayat ini menurut Ibn Katsir, yang dinukil dari shohihan (Bukhori dan Muslim) terkait dengan detik-detik wafatnya pamanda Rasulullah saw.

Dari Sa’id bin Musayyab ra.,dari bapaknya katanya”Ketika Abu Tholib hampir meninggal dunia Rasulullah saw datang mengunjunginya,didapati beliau disana telah ada Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Mighiroh. Kemudian Rasullah saw bersabda,”wahai paman ,ucapkanlah La ila ha ilaallah,yaitu sebuah kalimat yang aku akan menjadi saksi bagi paman nanti dihadapan Allah”.Kemudian Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata;”Hai abu Tholib! Bencikah anda kepada agama Abdul Mutholib”.Rasulullah terus menerus mengulang-ulang ucapannya itu, tetapi akhirnya Abu Tholib mengatakan”Dia tetap memegang agama Abdul Mutholib dan enggan mengucapkan la ila ha illallah.Kemudian Rasulullah SAW bersabda:”Demi Allah! Akan kumohonkan ampun bagi paman,selama aku tidak dilarang melakukannya”.Kemudian turun QS.al Qoshos 56.(Bukhori dan Muslim,Mukhtashor Ibnu Katsir,juz 3,hal.19 oleh DR.Ali Ashobunny).

Dan ada pula anggapan bahwa hadis tersebut sebagai sebab turunnya QS.at Taubah 113,namun hal ini dibantah,karena QS.at Taubah 113 tersebut termasuk madaniyyah(Ayat yang turun di Madinah),sedangkan Abu Tholib meninggal di Mekkah sebelum hijrah,jadi tidak cocok dengan fakta sejarah.(lihat,Tafsir Al Munir,li Wahbah,juz 6,hal.61).


Dari hadis ini ada anggapan bahwa Abu Tholib mati dalam kondisi kafir,Tentu anggapan tersebut belum tentu benar karena argumentasi sebagai berikut:
1. Hadis tersebut dan nash lain tidak menyebut secara manthuq (tekstual) yang jelas tentang kekufuran Abu Tholib,sehingga masih ada peluang bagi kita untuk berkhusnudzon dengan beliau. Dan itu jauh lebih selamat dan aman bagi kita.
2. Justru ada hadis dengan redaksi yang lain yang memperkuat argument pertama tersebut yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,Tirmidzi dan Al Baihaqi dari Abu Huroiroh bahwa Rasulullah bersabda kepada pamannya’”Wahai pamanku,ucapkanlah la ilaa ha illallah,niscaya aku akan bersaksi untukmu disisi Alloh pada hari Kiamat”Abu tholib menjawab,”Seandainya kaum Quraisy tidak mencelaku dengan berkata,’Tidak ada yang mendorongnya mengucapkannya kecuali karena kesedihannya menghadapi maut,niscaya aku mengucapkannya untukmu”.Maka turunlah firman Alloh QS.Al Qoshosh 56 itu (DR.Wahbah Zuhaily,juz 10,hal.498 dan Tafsir Ibnu Kastir, Mukhtashor, Ali ash shobuni, juz 3, hal 19).
Perhatikanlah! Abu Tholib enggan mengucapkan kalimat syahadat bukan karena tidak beriman dengan kalimat tersebut,namun karena taqqiyah (strategi membela diri dengan menyembunyikan keimanannya) agar terhindar dari celaan orang Quraisy yang menganggapnya masuk Islam karena mau mati saja. Padahal hakekatnya dibatin beliau telah menerima keimanan kepada Alloh dan rasulNya.Ini dibuktikan dalam tarikh/sejarah ketika Abu Tholib mengajak nabi pada saat umur 9 tahun ke Syam dan bertemu pendeta/ rahib Bahira yang melihat tanda kenabiannya dan hal itu disampaikan ke Abu Tholib agar berhati-hati karena orang-orang yahudi tidak menyukai hal itu (Zaadul Maa’ad,juz 1,hal.37).
Sejak itu pasti beliau mengimani nubuwat yang dibawa rasul saw,Karena bagaimana mungkin beliau dianggap kafir atau musrik padahal beliau merahasiakan kenabian Muhammad dari musuh-musuhnya??Mungkin ada yang menjawab; ‘Dirahasiakannya karena dia menyayangi keponakannya itu’,namun itu dapat dibantah dengan Abu Lahab yang juga pamannya dan juga menyanginya,kenapa menentangnya? Renungkan wahai manusia yang beriman !!
Dan telah berkata al Zajjaj ; “Telah sepakat ummat islam bahwa ayat 56 dari al Qoshosh itu turun terkait pada Abu Tholib.Yang ketika itu beliau berkata disaat jelang kematiannya(kepada orang-orang Quraish) : ‘Wahai masyarakat bani abdi Manaf,ta’atlah kalian dan benarkan (shoddiquuhu) oleh kalian ajaran Muhammad!,maka kalian akan sukses dan mendapatkan petunjuk’.Maka bersabda Nabi saw : “Wahai pamanku,engkau menasehati mereka dan engkau meninggalkan dirimu?”.Berkata abu Tholib :’Maka apa yang kamu inginkan wahai keponakanku?’.Bersabda Nabi saw: “saya menginginkan darimu hanya satu kalimat saja agar di akhir hidupmu ini di dunia hendaknya dengan berkata ‘la ilaaha illalloh’,dan dengan kalimat itu saya akan bersaksi di sisi Alloh swt {kelak dikemudian hari}”.Berkata Abu Tholib:’Wahai keponakanku,sungguh saya tahu kalau [ajaran]mu benar,namun saya enggan dikatakan[kalau mengucapkan kalimat tersebut,]sebagai kesedihan saja dalam menghadapi kematian.Kalau sendainya[setelah mengucapkan kalimat tersebut] tidak terjadi pada dirimu dan bani ayahmu penghinaan dan celaan paska kematianku,sungguh aku akan mengatakan itu dihadapanmu ketika aku berpisah[mati],ketika aku lihat besarnya rasa cintamu dan nasehatmu.Namun sepertinya saya akan mati di atas agama abdul Muthollib,Hasim dan abdu Manaf.[Tafsir Al Munir,Wahbah juz 10 ,hal 499-500].
Tidak sulit untuk dibayangkan,seumpama ketika itu Abu Tholib memeluk islam dengan cara seperti yang dilakukan Oleh Hamzah,Abu Bakar,Umar dan Usman radliyallohu ‘anhum,tentu ia tidak akan dapat memberi perlindungan dan pembelaan kepada Rasululloh saw.Karena kaum musyrikin quraish pasti memandangnya sebagai musuh,bukan sebagai pemimpin masyarakat Mekkah yang harus dihormati dan disegani.Jika demikian tentu ia tidak mempunyai lagi kewibawaan untuk menumpulkan atau menekan perlawanan mereka terhadap Rasululloh saw,dan juga tidak dapat membentengi dakwah beliau.Memang benar ,pada lahirnya Abu Tholib nampak seagama dengan mereka,tetapi apa yang ada di dalam batinnya tentu hanya alloh yang tahu.Karena itu jangan ceroboh menuduhnya musyrik.
3. Bagaimana mungkin beliau dikatakan seorang yang kafir,padahal beliaulah yang membela dakwah Nabi saw dengan jiwa dan hartanya.Dan bagaimana pula beliau disamakan dengan orang kafir quraish yang selalu menentang dan mengintimidasi Nabi saw,padahal Abu Tholib melakukan sebaliknya.
4. Adapun QS Al Qoshosh 56,itu terkait bahwa nabi saw tidak dapat memaksakan kehendak berhidayahnya seseorang sekalipun kepada yang dicintai.Karena kewenangan memberikan hidayah taufiq hanya Alloh swt.Seolah ayat tersebut menginfokan kepada Nabi saw bahwa hidayah pamannya itu adalah berada dalam urusanNya.Dan tidak ada dari dhohirnya ayat tersebut yang menunjukkan kepada kufurnya Abu Tholib.
5. Perkara ini adalah khilafiyah atau terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahlus sunnah sendiri.Maka seyogjanya kita mengambil pendapat yang tidak berefek madhorrot bagi aqidah kita atau minimal mengambil pendapat yang efek madhorrotnya paling ringan.Dan pendapat yang paling ringan adalah menganggap Abu Tholib seorang paman Nabi yang tidak masuk kafir,karena minimal itu dapat menjadi sikap husnuzhon kita atas beliau.Namun jika kita mengatakan beliau kafir,dan seandainya disisi Alloh beliau ternyata mukmin maka kita sudah terkena dosa fitnah atas tuduhan kekufuran kepadanya dan itu madhorrot yang besar dalam aqidah kita.Oleh karena itu lebih baik bagi kita adalah berhusnuzhon saja karena tidak ada gunanya bagi kita untuk mengkafirkan beliau.


Di sisi lain, kalaupun seandainya tidak ada perbedaan pendapat ulama menyangkut keislaman Abu Thalib dan semua sepakat menyatakan keengganannya beriman,namun karena hal tersebut pasti menyedihkan Nabi Muhammad saw,maka demi menjaga perasaan beliauserta mengingat jasa-jasa Abu Thalib kepada Nabi saw,maka hendaknya persoalan itu tidak dibahas secara panjang lebar,apalagi ayat diatas(at taubah 113 dan al Qoshosh 56) berbicara secara umum.dan dapat mencakup siapapun dan kapanpun.

Sayyid Muhammad Rasyid dalam Tafsir Al Manar menguraikan pendapat sementara ulama tentang hadis Nabi saw. Yang menyatakan :”Seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri,niscaya pasti kupotong tangannya”(HR.Bukhari dan Muslim melalui ‘Aisyah ra).Menurutnya ada ulama yang enggan menyebut Fathimah dalam riwayat ini,dan menggantinya dengan kata Fulanah (si A) atas pertimbangan bahwa perasaan Nabi akan tersinggung bila orang lain menyebut nama putri beliau sebagai contoh untuk sesuatu yang buruk. Demikian kesimpulan dari pesan bijak DR.Quraish Shihab dalam tafsir Al Misbah.

Dan ada kata bijak lainnya yang patut direnungkan ; “Menuduh orang kafir sebagai mukmin tidaklah berdosa,namun menuduh orang mukmin sebagai orang yang kafir dan musyrik adalah dosa besar.”

(Syiah-Ali/Islam-Itu-Cinta/Tour-Mazhab/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: