Masyarakat Islam Saudi kini telah bergeliat menuju “umat modern”, sementara (sebagian) kaum Muslim Indonesia justru sedang bereuforia menjadi “masyarakat klasik” bahkan “primitif”. Benarkah demikian? Berikut paparan Sumanto al Qurtuby*.
*****
Sejak beberapa tahun terakhir mengajar di sebuah universitas riset di Arab Saudi, saya melihat ada perubahan sosio-kultural-keagamaan yang sangat fundamental di negara-kerajaan ini. Mungkin perubahan ini luput dari pengamatan para peneliti, sarjana, akademisi, jurnalis, maupun pembuat kebijakan publik.
“Wajah kultural” Saudi dulu dan kini sudah sangat berbeda, setidaknya di kawasan urban bukan di countryside atau di “daerah pedesaan”. Dulu, ketika membicarakan hal-ikhwal yang berkaitan dengan Saudi, kita langsung membayangkan Afganistan di zaman Taliban. Tapi sejak dekade terakhir, banyak perubahan positif dan signifikan di negara yang kini dipimpin oleh Raja Salman.
Perubahan sosio-kultural itu terjadi hampir di semua sektor dan isu: pendidikan, ketenagakerjaan, perekonomian, perbankan, peranan perempuan, tata-busana, bahasa, makanan-minuman, interaksi sosial, persepsi keagamaan, dlsb. Beberapa kali saya mengadakan survei ditambah dengan wawancara dan obrolan dengan ratusan warga Saudi, kesimpulannya juga sama: “wajah kultural” Saudi sedang mengalami perubahan besar.
Fenomena Menarik
Ada beberapa fenomena menarik yang bisa dijadikan sebagai alat ukur perubahan sosial ini. Misalnya, dulu tradisi berpakaian disini memang sangat “tradisional”. Yang laki-laki mengenakan jubah putih panjang (thaub) lengkap dengan kain penutup kepala dan kadang-kadang dilengkapi dengan pedang seperti penggunaan keris untuk pelengkap busana bagi orang Jawa jaman dulu. Desain jubah dan penutup kepala ini bermacam-macam. Masing-masing daerah dan suku di Saudi memilki adat dan tata-cara berbusana yang berlainan.
Tapi sekarang pemandangan ini sudah susah didapat, kecuali mungkin di kampung-kampung atau di daerah pinggiran yang belum terjamah oleh globalisasi dan modernisasi. Masyarakat laki-laki Saudi, khususnya generasi tua, sekarang lebih suka mengenakan “jubah nasional” ketimbang “jubah suku” mereka. Sementara kalangan mudanya lebih memilih pakaian kasual seperti jeans, kaos, kemeja, “katok-kolor” alias celana training, dlsb.
Yang perempuan juga sama. Dulu, kaum perempuan Saudi, jika di area publik, hanya berbusana abaya hitam gelombor lengkap dengan kain penutup wajah, baik itu bernama niqab, burqa atau khimar. Kini, perempuan Saudi mengenakan bermacam-macam desain dan jenis busana. Abaya tidak lagi melulu berwarna hitam polos tapi warna-warni (colorful), dan bahkan dilengkapi dengan pernak-pernik bordir yang sangat menawan. “Abaya bordir” yang warna-warni ini menjadi trend perempuan Saudi modern. Bahkan kini banyak desain abaya yang dibuat “slim fit” seukuran tubuh, tidak lagi gelombor ala “jilbab Syahrini”. Menurut murid-murid Saudiku, desain abaya slim fit ini supaya tampak lebih modern, gaul, dan seksi tentunya.
Bukan hanya itu, banyak perempuan Saudi yang kini hanya mengenakan abaya dan hijab (kain penutup kepala) saja tanpa dilengkapi dengan kain penutup wajah, khususnya mereka yang tinggal di Jeddah atau kota-kota metropolitan mini di Provinsi Ash-Sharqiyah. Jika mereka sedang liburan ke manca negara, baik di Arab Teluk (khususnya Uni Emirat Arab) apalagi ke negara-negara Barat, banyak dari mereka yang bahkan tidak mengenakan abaya, apalagi kain penutup kepala dan penutup wajah, melainkan pakai celana panjang “pantalon” atau “busana perempuan modern” lain. Fenomena ini sudah menjadi “rahasia umum”. Tentu saja masih banyak juga yang tetap memelihara tradisi berbusana “ala Saudi” meskipun berada di luar Saudi.
Kebangkitan Perempuan
Contoh perubahan sosial lain adalah tentang “gerakan feminisme” yang cukup menggeliat sejak dekade terakhir. Memang dibanding dengan negara-negara Arab Teluk lain seperti Uni Emirat Arab atau Qatar, Arab Saudi agak terlambat menanggapi isu-isu peranan perempuan ini. Tetapi bukan berarti tidak ada perubahan sama sekali menyangkut hak-hak kaum perempuan Saudi. Misalnya, sudah sejak Raja Faisal, kaum perempuan mendapatkan kesempatan menuntut ilmu sampai perguruan tinggi, bukan hanya di bangku-bangku madrasah. Saudi bahkan memiliki “kampus perempuan” terbesar di dunia bernama Princess Nora University.
Sejak Raja Abdullah bertahta, kaum perempuan memiliki kesempatan dan posisi lebih besar. Bukan hanya menikmati dunia pendidikan saja tetapi juga kesempatan bekerja di semua sektor publik (kecuali kemiliteran). Bahkan sejumlah perempuan menjadi penggerak dunia bisnis, industri, penerbitan, teknologi, dlsb. Sejumlah elit perempuan juga menjadi anggota “Shura Council” yang bertugas memberi nasehat dan masukan-masukan kepada raja terkait berbagai isu menyangkut pemberdayaan perempuan.
Kolegaku Mark Thompson, spesialis kajian Arab Saudi dari Inggris, menyatakan bahwa kelompok elit perempuan inilah yang berada di balik perubahan sosial menyangkut hak-hak kaum perempuan Saudi. Mark Thompson telah menulis sebuah buku berjudul Saudi Arabia and the Path to Political Change yang merekam dengan baik proses-proses perubahan sosial-politik-kultural di Saudi.
Peran Elit Agama Dipreteli, Polisi Syariat Dipangkas Fungsinya
Wajah keagamaan juga mengalami perubahan besar. Kelompok Islam konservatif-radikal-ekstrimis semakin terisolasi dan kehilangan pengaruh publik. Sejak mendiang Abdullah bin Abdulaziz Al Saud memegang tapuk kekuasaan dan kendali pemerintahan, baik saat menjadi Putra Mahkota di era Raja Fahd maupun ketika menjadi raja, berbagai reformasi pemikiran dan praktik keagamaan serta kebijakan publik dilakukan untuk mendorong terwujudnya wajah keislaman yang modern, toleran, moderat, dan damai. Beliaulah yang memprakarsai dialog kultural-nasional dengan para tokoh dan komunitas Syiah. Beliau jugalah yang membuka peluang lebar-lebar bagi warga Syiah Saudi untuk bekerja di semua sektor publik.
Beliau juga yang “memereteli” pengaruh dan peran sejumlah elit agama konservatif serta memangkas fungsi “Polisi Syariat” yang dulu sangat dominan mengontrol “kesalehan publik”. Berbagai kebijakan Raja Abdullah tersebut dilanjutkan dan bahkan ditingkatkan ritmenya oleh Raja Salman saat ini. Sejak beberapa tahun terakhir, Saudi juga memerangi kaum teroris-ekstrimis yang sering berbuat onar dan menganggu stabilitas politik-ekonomi negara.
Putra Mahkota Muhammad Bin Nayef menjadi aktor utama yang memimpin langsung perang melawan “terorisme gobal” dan “kekerasan domestik”. Sehingga dengan begitu tidak memberi ruang secuilpun pada kelompok radikal-ekstrimis untuk berkembang biak dan melampiaskan kekerasan di jalan-jalan dan arena publik lain. Saudi adalah negara yang sangat mementingkan “keamanan dan kenyamanan nasional” sehingga segala tindakan massa dan “kekerasan sipil” yang dipandang mengganggu atau berpontensi mengancam stabilitas kerajaan dan masyarakat akan ditindak tegas.
Kontras Dibanding Indonesia
Sejumlah fenomena perubahan sosio-kultural di Saudi dewasa ini cukup kontras dengan dinamika perkembangan di Indonesia belakangan ini, khususnya sejak lengsernya Presiden Suharto dari kursi kepresidenan. Sejumlah kelompok Islam di Indonesia bukannya menjadi lebih modern, progresif, toleran, dan damai tetapi justru semakin “kolot”, konservatif, intoleran, dan keras.
Wajah keislaman di Indonesia dewasa ini, khususnya di Jakarta dan beberapa kawasan urban, dipenuhi dengan munculnya berbagai ormas Islam ekstrim yang serba anti dengan minoritas agama: Syiah, Ahmadiyah, non-Muslim, dan berbagai sekte agama lain, termasuk agama-agama dan kepercayaan lokal.
Sejumlah aksi kekerasan, verbal maupun fisik, yang dilakukan oleh sejumlah kelompok Islam atas kaum minoritas beserta properti keagamaan mereka juga menjamur di berbagai daerah. “Polisi Syariat” yang sudah dipreteli wewenangnya di Saudi malah berkembang biak di Indonesia, bukan hanya di Aceh saja tetapi juga di berbagai daerah di Jawa Barat, Banten, dan lainnya.
Sejumlah massa dan kelompok sipil yang mengatasnamakan agama dan umat Islam juga bertebaran di sejumlah daerah. Mereka begitu gagah dan “pede”-nya mengaku sebagai “asisten Tuhan” untuk memusnahkan apa yang mereka anggap dan yakini sebagai “kemaksiatan” dan “kemungkaran”. Fenomena “kekerasan kolektif” yang diprakarsai oleh sejumlah ormas Islam ini “genuine” Indonesia yang tidak pernah saya temukan di Saudi yang memang melarang keras warganya untuk melakukan tindakan kekerasan komunal.
Berbagai elemen ormas Islam dan tokoh-tokoh Muslim juga bereuforia dengan “simbol-simbol keislaman” klasik, termasuk simbol-simbol kebudayaan Arab zaman dulu yang kini sudah ditinggalkan oleh masyarakat Arab kontemporer seperti tradisi tata-busana yang saya sebutkan di atas. Pula, sejumlah umat Islam, khususnya kaum Muslim kota, bereuforia dengan Bahasa Arab yang menurut mereka sebagai “bahasa agamis” dan “bahasa surga” seraya “mengkafirkan” Bahasa Inggris. Padahal di Saudi sendiri (dan juga kawasan Arab Teluk lain), penggunaan Bahasa Inggris kini telah berkembang pesat, bukan hanya di dunia pendidikan saja tetapi juga di sektor bisnis-perekonomian dan komunikasi sehari-hari.
Apakah berbagai fenomena sosial-kultural yang cukup kontras terjadi di kedua negara berpenduduk mayoritas Muslim ini menunjukkan bahwa masyarakat Islam Saudi kini telah bergeliat menuju “umat modern”, sementara (sebagian) kaum Muslim Indonesia justru sedang bereuforia menjadi “masyarakat klasik” dan bahkan “komunitas primitif” –khususnya mereka yang hobi melakukan tindakan barbar dan kekerasan? Wallahu ‘alam bi-shawab.
Sumanto al Qurtuby
*Dosen Antropologi Budaya dan Kepala Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University. Ia telah menulis lebih dari 17 buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & new York: Routledge, 2016).
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email