Pesan Rahbar

Home » » Apa Hukum Gelatin Babi?

Apa Hukum Gelatin Babi?

Written By Unknown on Wednesday 9 March 2016 | 22:58:00


Gelatin merupakan protein yang diperoleh dari hidrolisis kolagen yang secara alami terdapat pada tulang atau kulit binatang seperti ikan, sapi dan babi. Gelatin yang diperoleh dari babi merupakan gelatin yang paling luas dipakai dalam industri pangan dan obat-obatan, mengingat gelatin yang didapat dari hewan ini paling murah dibanding hewan lainnya.

Sebuah keputusan yang dihasilkan dalam sebuah konferensi di Kuwait pada 1997, dimana Ulama Dr. Yusuf Al-Qaradhawi bertindak sebagai keynote speaker ketika itu, gelatin disebut ‘halal’.. Menurut Syaikh Al-Qaradhawi, sesuatu bahan yang berasal dari babi yang berstatus najis (haram) apabila berubah menjadi sesuatu yang “bersih”, maka statusnya menjadi halal. Contohnya seperti kolagen babi yang berubah menjadi gelatin atau lemak babi yang berubah menjadi sabun.

Istihalah adalah berubahnya sesuatu dari tabiat asal atau sifatnya yang awal. Dengan dasar istihalah inilah, sebagian negara-negara di dunia menghalalkan produk makanan yang dibuat dari gelatin babi.

Hal ini memunculkan kegalauan dalam diri Lukmanul Hakim, Ketua Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).

“Tidak rela hati nurani saya mengatakan gelatin (babi) itu halal. Padahal 80 persen produk obat-obatan dan 60 persen produk makanan mengandung gelatin (babi),” kata Lukman di hadapan para ulama yang mengikuti Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia ke-5 di Pesantren At-Tauhidiyah, Cikura, Tegal, Jawa Tengah, Senin malam (08/06/2015).

Saat Lukman hadir dalam sebuah forum internasional di Amerika Serikat yang membahas mengenai produk halal, ia tetap mempertahankan pendapat MUI yang menetapkan bila gelatin babi adalah haram. Sementara negara-negara lain, terutama negara-negara Timur Tengah, dengan menggunakan pendapat Ketua Persatuan Ulama Sedunia Syaikh Doktor Yusuf Al Qaradhawi, mengatakan bila gelatin dari babi halal dengan alasan merupakan produk istihalah. Bahkan saat itu, delegasi-delegasi negara lain berucap, “Mengapa Anda berbeda pendapat dengan mereka (negara-negara Timteng, red), sementara Islam turun di tempat mereka.” “Kami kesulitan untuk menjawabnya.” Kata Lukman.

Kejadian itu mendorong Lukman untuk meneruskan pendidikan strata tiga di di Islamic University of Europe (IUE), Rotterdam, Belanda, dengan rancangan disertasi berjudul “An Islamic and Scientific Perspective on Istihalah .”

Sayangnya hasil dari konferensi ini dinilai sangat minim dengan data ilmiah, sehingga dibutuhkan suatu studi atau pendekatan ilmiah mengenai istihalah ini dalam rangka membantu menghasilkan suatu keputusan yang komprehensif dan representatif mengenai istihalah pada suatu produk. Setelah melakukan penelitian selama lima tahun, dengan hujah-hujah syar’i dan pendekatan sains, Lukman akhirnya berkesimpulan, gelatin bukan merupakan produk istihalah, sebab perubahan yang dialami tidak persis sama sebagaimana perubahan yang dialami khamr (etanol) menjadi cuka (vinegar).

“Pada perubahan khamr (etanol) menjadi cuka (vinegar) terjadi perubahan keseluruhan yang mencakup perubahan molekul kimia, sifat kimia, bentuk fisik, serta sifat fisik. Oleh karena itu, perubahan khamr (etanol) menjadi cuka (vinegar) dikategorikan sebagai perubahan dari segi bahasa (lughatan) dan substansi (syar’an),” jelas alumni IPB yang juga Presiden World Halal Food Council (WHFC) ini.

Sedangkan pada perubahan kolagen menjadi gelatin, hanya terjadi perubahan sebagian yaitu perubahan sifat kimia dan sifat fisik saja. Oleh karena itu, Lukman berpendapat, perubahan kolagen babi menjadi gelatin hanya dapat dikategorikan sebagai perubahan dari segi bahasa (lughatan) saja dan tidak mencakup perubahan substansi (syar’an). “Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gelatin babi bukanlah produk istihalah,” simpulnya.

Lukman pun berhasil mempertahankan disertasinya ini dalam sebuah ujian doktoral pada 1 April 2015 lalu dan memperoleh gelar Doktor (Ph.D) dari IUE, Rotterdam, Belanda dengan predikat cum laude. Rektor IUE Belanda Prof. Dr. Nadiem Bahcakapelly berharap, disertasi Lukmanul Hakim ini akan mengakhiri perdebatan selama ini seputar istihalah.

(Tv-Shia/Liputan-Islam/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: