Pesan Rahbar

Home » » Bukti Tokoh-tokoh Ulama Ahlusunnah Yang Meyakini Tahrif Al Qur’an. Ini Faktanya!

Bukti Tokoh-tokoh Ulama Ahlusunnah Yang Meyakini Tahrif Al Qur’an. Ini Faktanya!

Written By Unknown on Monday, 20 February 2017 | 02:36:00

Foto: Imam Malik Bin Anas

Tidak sedikit ulama Ahlusunnah yang meyakini dan menegaskan keyakinannya bahwa Al Qur’an yan sekaraang beredar ini telah mengalami tahrîf, baik dengan gugur dan hilangnya banyak ayat Al Qur’an dalam rangkaian sebuah surah atau beberapa kalimat dari sebuah ayat.

Mungkin hingga sementara ini, akidah seperti itu drai para pembesar ulama Ahlusunnah sengaja dirahasikan demi alasan-alasan tertentu, yang tentunya para ulama dan para kyai lebih mengerti mengapa data-data seperti itu dirahasikan.

Namun kini, dengan terpaksa saya membongkarnya, agar para pemerhati dan pengkaji dapat menelitinya lebih lanjut.

Di antara para tokoh ulama Ahlusunnah itu adalah:


Imam Malik

- Surah Bara’ah Banyak Yang Hilang Ayatnya!

Imam Malik meyakini bahwa telah banyak ayat Al Qur’an yang hilang. Dalam beberapa riwayat ulama Ahlusunnah, dikatakan bahwa sahabat Hudzaifah ibn al Yamân menyalahkan penamaan surah Barâ’ah dengan nama surah al Taubah, sebab pada kenyataannya surah itu mengandung siksa dan membongkar kedok kaum munafikin… kesalahan penamaan itu dikarenakan manusia hanya membaca seperempatnya saja, sementara tiga perempatnya telah musnah. Andai mereka membacanya dengan lengkap pastilah tidak akan menamakannya dengan nama surah at Taubah!

Sebenarnya ayat-ayat surah tersebut yang duturunkan Jibril kepada Muhammad jauh lebih banyak dari yang sekarang ini. Ibnu Abi Syaibah, ath Thabarâni, Abu Syeikh, al Hakim dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada sahabat Hudzaifah, ia berkata, “Yang kalian namakan surah at Taubah itu sebenarnya adalah surah adzab/siksa. Demi Allah surah itu tidak menyisakan seorangpun melainkan ia sebut (keburukannya), dan kalian sekarang tidak membacanya kecuali hanya seperempatnya saja.” [1]

Al Hakim dalam kesempatan lain meriwayatkan dari Hudzaifah, “Yang kalian baca itu hanya seperempatnya saja, dan dia itu surah adzab.”[2]

Dalam kesempatan lain, Al Haitsami juga meriwayatkan dari Hudzaifah, “Kalian menamianya surah at Taubah, itu sebanarnya adalah surah adzab. Dan kalian hanya membaca seperempat dari yang dahulu kami baca.”[3]


- Imam Malik Membongkar Rahasia Hilangnya Basmalah Itu!

Imam Malik –salah seorang ulama besar Ahlusunnah, pendiri mazhab Malikiyah- meyakini bahwa beran-benar telah terjadi kekurangan pada surah Bara’ah… telah gugur banyak bagian darinya entah kemana dan entah siapa yang bertanggung jawab atas kemusnahan itu! Pasalnya, ketika bagian awalnya gugur/hilang maka gugurlah pula-lah basmalah-nya.

Demikian dilaporkan para ulama dan pakar ahli Al Qur’an seperti Burhanuddin az Zarkasyi dalam al Burhân-nya dan Jalaluddin as Suyuthi dalam al Itqân-nya.

Imam Malik berkata tentang sebab gugurnya basmalah pada pembukaan surah Barâ’ah, “Sesungguhnya ketika bagian awalnya gugur/hilang maka gugur pulalah basmalahnya. Dan telah tetap bahwa ia sebenarnya menandingi surah al Baqarah (dalam panjangnya)”[4]

Selain Imam Malik, Ibnu ‘Ajlân juga meyakininya demikian.

Dan seperti kita ketahui bersama bahwa ayat-ayat surah Barâ’ah sekarang hanya berjumlah129 ayat sementara ayat-ayat surah al Baqarah berjumlah 286, jadi yang hilang sekitar 157 ayat.

Dari dokumen-dokumen yang diriwayatkan ulama Islam dapat diketahui bahwa telah terjadi berubahan dalam Al Qur’an dalam bentuk pengurangan banyak bagian Al Qur’an dimana sekarang tidak lagi dapat dibaca umat Islam, sebab ia telah musnah ditelan masa.


Tokoh ulama Ahlusunnah lain yang juga meyakini terjadinya tahrîf Al Qur’an adalah:

- Seorang Tokoh Besar Ahlusunnah Memporak-Porandakan Kesucian Al Qur’an

Suara sumbang dan pendapat menyimpang tentang telah terjadinya tahrîf pada Al Qur’an telah dipekikkan oleh seorang tokoh Ahli Qira’at terkenal Ahlusunnah wal Jama’ah, sehingga memaksa para ulama Ahlusunnah untuk membantahnya dan membongkar kesalahannya, walaupun terkesan adanya upaya untuk menutup-nutupi identitas dan jati diri si alim yang meyakini terjadinya tahrîf tersebut.

Karena kedudukan dan ketersorohoran si alim, ahli dan tokoh Qira’at tersebut maka keyakinannya akan terjadinya tahrîf Al Qur’an tidak tertahan di antara dinding-dindingg rumahnya semata, akan tetapi keyakinan yang mantap dan “berdalil” itu mendapat dukungan dan diterima oleh sekelompok ulama, santri dan pengikutnya.

Karena keyakinannya yang ia imani bahwa telah banyak ayat Al Qur’an yang digugurkan maka ia berpendapat dan berkeyakinaan bahwa ayat-ayat yang digugurkan itu (namun masih dapat ditemukan dalam riwayat dan ajaraan para sahabat) tetap boleh dan sah untuk dibaca dalam shalat, dan ia telah mendemonstrasikan dengan membacanya ketika mengimami shalat di masjid kotanya yang ia pimpin!

Siapa tokoh ulama tersebut, dan bagaimana keyakinan serta pandanggannya tentang Al Qur’an yang sekarang beredar, saya ajak Anda mengikuti laporang para ulama Ahlusunnah, seperti Ibnu al Abâri (w.328 H) dan al Qurthubi.

Dalam bab Mâ Jâa Min al Hujjah Fî ar Raddi Alâ Man Tha’ana fî al Qur’ân Wa Khâlafa Mush-hafa Utsmân bi az Ziyâdah wa an Nuqshân/tentang hujjah yan datang dalam menolak seiapa yang mencela Al Qur’an dan menyalahi mush-haf Utsman dengan menambah dan mengurangi, al Qurthubi membebar munculnya sekelompok yang meyakini terjadinya tahrîf yang dipelopori oleh seorang ulama besar Ahli Qira’at yang berpengaruh:

Al Imam Abu Bakar ibn al Qasim ibn Basysyâr ibn Muhammad ibnu al Anbâri berkata, ‘Senantiasa para pemilik keutamaan dan akal sehat mengenali kemuliaan dan kedudukan tinggi Al Qur’an… sehingga muncul di zaman kita ini seorang yang menyimpangg dari agama dan menyerang umat dengan upaya untuk membatalkan syari’at yang senantaiasa dijaga dan dibela Allah serta dikokohkan dasar-dasarnya… .

Orang tersebut mengklaim bahwa mush-haf yang dikumpulkan Utsman ra. –yang disepakati para sahabat Nabi saw.[5] akan ketepatan pada apa yang ia lakukan- tidak merangkum seluruh Al Qur’an, sebab di dalamnya terdapat kekurangann sebanyaak lima (500) huruf[6], aku telah membaca sebagiannya dan sisanya akan aku baca. Di antaranya:

و العصْرِ* و نَوائِبِ الدَّهْرِ*

Ayat و نَوائِبِ الدَّهْر telah gugur dari Al Qur’anya kaum Muslimin.[7]

Dan:

…. إِذا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَها وَ ازَّيَّنَتْ وَ ظَنَّ أَهْلُها أَنَّهُمْ قادِرُونَ عَلَيْها أَتاها أَمْرُنا لَيْلاً أَوْ نَهاراً فَجَعَلْناها حَصيداً كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ وَ ما كان اللهُ لِيُهْلِكَها إلاَّ بِذُنُوْبِ أهلِها كَذلِكَ نُفَصِّلُ الْآياتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ .

“ …. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan- akan belum pernah tumbuh kemarin. Dan Allah tidak akan membinasakan taman-taman itu kecuali dikeranakan dosa-dosa pemiliknya. Demikianlah Kami menjelaskan tanda- tanda kekuasaan (Kami) kepada orang- orang yang berpikir.” (QS.Yunus [10];24)

Orang itu mengklaim bahwa telah gugur atas kaum Muslimin bagian dari Al Qur’an ini:

وَ ما كان اللهُ لِيُهْلِكَها إلاَّ بِذُنُوْبِ أهلِها

Dan ia menyebut banyaak bagian lainnya.

Ia mengklaim bahwa Utsman dan para sahabat telah menambah-nambah ke dalam Al Qur’an sesuatu yang bukan darinya. Ia membaca dalam shalat fardhunya, sementara orang-orang mendengarnya:

اللهُ الواحِدُ الصَّمَدُ

Ia mengugurkan:

قُلْ هو

Lalu merubah lafadz/kata: أَحَدٌ menjadi الواحِدُ. Ia mengklaim bahwa beginilah yang benar, sedangkan yang dibaca oran-orang (kaum Muslimin) adalah batil dan mustahil.

Ia membaca dalam shalat fardhunya:

قُل للذِيْنَ كَفَرُوا لا أعْبُدُ ما تَعْبُدُون

Ia mengecam/mencela bacaan kaum Muslimin.[8]

Ia mengklaim bahwa Al Qur’an yang di tangan-tangan kita (kaum Muslimin) ini memuat banyak kesalahan yang merusak dan merubah, di antaranya ialah:

إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبادُكَ وَ إِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزيزُ الْحَكيمُ.

“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba- hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.5 [al Mâidah] ;118)

Ia mengklaim bahwa penyebutan sifat Azîz dan hakîm (Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana) tidak sesuai dengan pengampunan yang dijanjikan dalam ayat tersebut. Yang benar semestinya adalah:

وَ إِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الغَفُورُ الرَّحِيْمُ.

dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau Yang Maha Pengampun lagi Maha Belas Kasih.

Ia terus melesit dalam kesesatan ini dan yang semisalnya, sampai-sampai ia mengklaim bahwa kaum Muslimin telah merubah-rubah ayat:

وَ كانَ عِنْدَ اللهِ وَجِيْهًا

“Dan ia di sisi Allah mempunyai kedudukan.”

Sedangkan yang benar sebelum mengalami perubahan adalah:

وَ كانَ عَبْدًا لِلَّهِ وجِيْهًا.

“Dan ia adalah hamba yang mempunyai kedudukan.”

Sampai-sampai ia membaca dalam shalat fardhunya, seperti yang diberitakan sekelompok orang yang mendengar dan menyaksikan langsung:

لاَ تُحَرِّكْ بِهِ لِسانَكَ* إنَّ عليْنا جَمْعَهُ و قِراءَتَهُ* فَإِذَا قَرَأْناهُ فأتَّبِعْ قِراءَتَهُ ثُمَّ إِنَّا علينا نبأ بِهِ.[9]

Sekelompok orang lainnya dari sekelompok lainnya mengisahkan bahwa mereka mendengarnya membaca:

وَ لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللهُ بِبِدْرٍ بِسَيْفِ عَلِيٍّ و أَنتُمْ أَدِلَّةٌ.

Dengan menambah kalimat:

 بِسَيْفِ عَلِيٍّ

Mereka meriwayatkan darinya bahwa ia membaca:

هَذَا صِراطُ عَلِيٍّ مُسْتَقِيْمٌ

Mereka mengabarkan keepada kami bahwa ia memasukkan ke dalam Al Qur’an kalimat-kalimat yang tidak sediktipun menandingi kefashihan Rasulullah saw. dan tidak pula seirama dengan bahasa kaumnya Nabi yang Allah berfirman tentang mereka, “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul melainakn dengaan lisan/habasa kaumnya.”. ia membaca:

أَ لَيْسَ قُلْتَ لِلناسِ.

أَ أَنْتَ قُلْتَ لِلناسِ.

Susunan pertama itu tidak dikenal dalam bahasa Arab yang bernahwu/fashih dan tidak bisa dicarikan pembenarannya dalam aliran ahli bahasa Arab,…..

Ia mengklaim bahwa Utsman salah ketika menyerahkan pengumpulan Al Qur’an kepada Zaid, sebab Abdullah ibn Mas’ud dan Ubay lebih berhak berdasaarkan sabda Nabi saw., “Paling pandainya umatku dalam Qira’at adalah Ubay ibn Ka’ab.” Dan “Barang siapa yang ingin membaca Al Qur’an segar seperti ketika diturunkan maka bacalah sesuai dengan bacaaan Ibnu Ummu Abdin (Ibnu Mas’ud).”

Orang itu berkata bahwa ia berhak menyalahi mush-haf Utsmani sebagaimana Abu ‘Amr ibn al “alâ’ menyalahinya. Ia membaca:

إِنَّ هَذَيْنِ

فَأَصدق و أكون

و بشر عِبادِيَ الذين

Dengan membaca fathah huruf yâ’-nya.

فَما أتانِيَ اللهُ

Dengan membaca fathah huruf yâ’-nya.

Sedangkan yang tertera dalam mush-haf ayat tersebut berbunyi demikian:

إِنَّ هَذَانِ

Dengan alif.

فَأَصدق و أكُنْ

Dengan tanpa huruf waw pada kata: أكُنْ

و بشر عِبادِ

فَما أتانِ اللهُ

Dengan tanpa huruf yâ’ dalam keduanya.

…..

Orang tersebut mengatakan bahwa Ubay ibn Ka’ab membaca:

كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ وَ ما كان اللهُ لِيُهْلِكَها إلاَّ بِذُنُوْبِ أهلِها

Dan bacaan ini adalah batil, sebab Abudullah ibn Katsir membacanya dari Mujahid, dan Mujahid membacanya dari Ibnu Abbas, dan Ibnu Abbas membacanya Al Qur’an dari Ubay ibn Ka’ab:

حَصيداً كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآياتِ.

Dan dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Ubay memembaca Al Qur’an dari Rasulullah saw. Sanad di atas bersambung kepada Rasulullah saw. dengan penukilan para periwayat adil dan terpercaya. Jika telah tetap sebuah perkara dari Rasulullah saw. maka tidak akan diambil hadis yang menyalahinya. ….

Al Qurthubi berkata, “Al Qur’an yang dikumpulkan Utsman dengan kesepakatan para sahabat apabila ada yang mengingkari sebagian darinya maka hukumnya adalah hukum orang yang murtad, ia harus diminta segera bertaubat, jika ia mau bertaubat ia bebas, jika tidak, maka kepalanya harus dipenggal,

Abu Ubaid berkata,[10] “Perbuatan Utsman dalam mengumpulkan Al Qur’an senantiasa dihargai sebagai keutamaannya yang agung. Dan sebagian orang yang menyimpang telah mengecamnya, lalu terbongkarlah cacatnya dan tersingkap aib-aibnya.

Abu Ubaid berkata, “Aku telah dikabari oleh Yazid ibn Zurai’ dari Imrân ibn Jarir dari Abu Mijlaz, ia berkata, ‘Sebagian kaum –dengan kebodohannya- mencacat Utsman dalam pengumpulan Al Qur’an, lalu mereka tetap membaca ayat-ayat yang telah dimansukhkan.

Abu Ubad berkata, “Abu Mijlaz berpendapat bahwa Utsman telah menggugurkan banyak huruf (bagian Al Qur’an) dengan kesadaran/pengetahuanya, sebagaimana ia juga menetapkan yang ia tetapkan dalam mush-haf dengan kesadaran/ pengetahuanya. …. .

Abu Bakar berkata, “Kami menemukan orang itu menambah[11] Al Qur’an pada ayat:

وَ كفَى الللهُ المُؤْمنين القتالَ بِعَلِيٍّ وَ كان اللهُ قَوِيًّا عزيزًا.

Ia berkata ngawur tentang Al Qur’an dan menyebut-nyebut Ali dengan sebutan andai didengar Ali pasti ia akan memberlakukan hukum pedang atasnya dan menetapkan hukuman mati.

Orang itu menggugurkan dari firman Allah: قُلْ هُوَ dan merubah kata: أَحَد

Ia membacaanya demikian:

اللهُ الواحِدُ الصَّمَدُ

Dan penggugurang yang ia lakukan adalah menafikan kequr’anan ayat tersebut dan itu adalah kekafiran. Maka barang siapa mengingkari satu huruf dari Al Qur’an ia telah kafir dengan keseluruhannya dan membatilkan makna ayat….

Maka dikatakan kepada orang itu dan yang mendukung pendapatnya, “Beritahukan kepada kami apakah Al Qur’an yang sekarang kami baca ini yang tidak kami ketahui dan juga para pendahulu kami selain dia sendirian, apakah ia telah memuat seluruh Al Qur’an mulai awal hingga akhir, shahih lafadz dan maknanya dan sunyi dari kerusakan dan cela? Atau ia hanya terdapat pada sebagian Al Qur’an saja, sementara sebagian lainnya hilang dari kita seperti juga hilang dari para pendahulu kita yang memeluk agama ini?

Jika mereka menjawab bahwa Al Qur’an yang sekarang bersama kita ini telah memuat seluruh Al Qur’an, tidak ada bagian manapun yang gugur, shahih lafadz dan mankanya, selamat dari cela dan cacat, maka mereka telah menetapkan kekafiran atas diri mereka sendiri ketika mereka menambah-nambah Al Qur’an:

فَليسَ لَهُ اليومَ هَاهُنا حَميمٌ و ليسَ له شرابٌ إلاَّ مِنْ غِسْلين من عينٍ تجْرِيْ من تَحْتِ الجحِيْم.

“Maka tiada bagi mereka pada hari ini teman akrab, dan tiada baginya minuman kecuali dari ghislîn yang mengalir dari bawah neraka jahim.”

Penambahan apa dalam Al Qur’an yang lebih nyata dari ayat di atas?! Bagaimana tambahan itu dicampur adukkan dengan Al Qur’an, padahal Allah telah menjaganya dari penambahan dan mencegah setiap pendusta dan pembatil untuk menggabungkan kepada Al Qur’an sesuatu lain….

Penambahan itu merusak makna, sebab setelahnya Allah berfirman:

لاَ يَأْكُلُهُ إلاَّ الخاطِؤونَ

“Tidak memakanya kecuali orang-orang yang salah.”

Bagaimana minuman kok dimakan?… ini jelas kontradiksi yang sebagiannya merusak sebagian yang lainnya….

Jika orang itu mengklaim bahwa ayat: لاَ يَأْكُلُهُ إلاَّ الخاطِؤونَ bukan dari ayat Al Qur’am agar susunanya sesuai dengan tambahan yang bawakan, maka ia telah kafir sebab ia telah mengingkari sebuah ayat Al Qur’an!

Ini semuaa sudah cukup untuk membantah pendapatnya dan menghinakan pandangannya….

Keterangan panjang lebar di atas kami kutip langsungg dari tafsir al jâmi’ Li Ahkâm al Qur’ân oleh Imam al Qurthubi,1/80-86..



Ibnu Jakfari berkata:

Dari pemaparaan panjang dan detail di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1. Tokoh tersebut meyakini terjadinya tahrîf baik dalam bentuk penambahan ataupun pengguguran ayat-ayat tersebut.
2. Pelaku pengguguran itu adalah Utsman.
3. Mush-haf Utsman tidak merangkum total ayat-ayat Al Qur’an, banyak bagian yang tidak terangkum di dalamnya.
4. Tokoh tersebut meyakini bahwa ia berhak menyalahi bacaan Al Qur’an yang termuat dalam mush-haf Utsmani.
5. Tokoh tersebut tidak sekedar meyakini terjadinya tahrîf dengan digugurkan atau dirubahnya ayat-ayat Al Qur’an, tetapi lebih dari itu ia mendemonstrasikannya dalam shalat ketika ia memimpin shalat berjamaah di masjid yang ia pimpin.
6. Tokoh tersebut cukup berpengaruh, sehingga banyak yang mendukungnya dalam keyakinan adanya tahrîf Al Qur’an tersebut. Hal itu terlihat jelas dari pernyataan al Qurthubi di atas, “Maka dikatakan kepada orang itu dan yang mendukung pendapatnya.”
7. keyakinan itu dianut akibat ia membenarkan banyak hadis/riwayat dari para sahabat yang menunjukkan terhadinya tahrîf. Jadi ia adalah korban riwayat!
8. Para ulama telah membantahnya dn menyalahkan sikap dan keyakinannya.


o Siapakah Sejatinya Tokoh Tersebut?

Setelah mengetahui data di atas, Anda pasti sudah tidak sabar untuk mengenali jati diri tokoh kontrovesi yang satu ini.

Sebelumnya, perlu Anda yakini bahwa ia bukan sembaran tokoh yang tidak pendapat-pendapatnya tidak perlu ditanggapi serius oleh teman-teman ulama sezamannya. Ia adalah tokoh berpengaruh dan mumpuni di bidang ilmu Qira’at Al Qur’an.

Ibnu Anbâri, demikian juga Al Qurthubi, entah dengan alasan apa tidak berkenan menyebutkan jati diri tokoh tersebut, munkin untuk menutup-nutupi siapa sejatinya tokoh yang satu ini agar pengaruh buruknya tidak makin melebar atau karena alasan lain, wallahu a’lam, hanya Allah yang tau.

Akan tetapi sebagian ulama lain menyebutkan siapa sebenarnya tokoh yang satu ini.

Al Khathîb al Baghdâdi dan Abu Syâmah membonggkar siapa sesungguhnya tokoh yang nyeleneh dan menyimpan dengan meyakini tahrîf Al Qur’an tersebut.

Dalam Tarikh Baghdâd-nya berkata, “Orang itu telah memilih bagi dirinya huruf/bacaan ayat yangg menyimpang yang menyalahi ijmâ’. Ia membaca Al Qur’an dengan bacaan yang syâdz, maka Abu Bakar ibn al Anbâri menulik buku membantahnya.”[12]

Abu Syâmah mempertagas bahwa orang tersebut adalah Ibnu Syanbûdz/Syannabûdz (w.328 H). Ia berkata, “Orang yan disebut di atas adalah Abu al Hasan Muhammad ibn Ahmad ibn Ayyub al muqri’/pakar qira’at, yang dikenal dengan nama Ibnu Syanbûdz/Syannabûdz al Baghdâdi. Ia satu thabaqah dengan Ibnu Mujahid.”[13]


o Siapakah Ibnu Syanbûdz/Syannabûdz al Baghdadi?

Nama lengkapnya adalah Abu al Hasan Muhammad ibn Ahmad ibn Ayyub al muqri’/pakar qira’at, Syeikh Qira’at di Irak. yang dikenal dengan nama Ibnu Syanbûdz/Syannabûdz al Baghdâdi. Ia banyak belajar dan menimba ilmu qira’at dari banyak pakar di berbagai kota besar Islam. Ia telah berkeliling ke hampir seluruh penjuru negeri Islam untuk menimba ilmu dari para masyâikh, dan ahli qira’at. Ia sezaman dan satu thabaqah dengan Ibnu Mujahid (yang membatasi qira’at hanya pada 7 qira’at saja), tetapi ia lebih luas ilmu dan pengetahuannya, khususnya tentang Qira’at dan sumber-sumbernya, dan ia lebih banyak guru dan masyâikhnya, hanya saja Ibnu Majahid lebih berkedudukan di sisi penguasa sa’at itu.

Banyak kalangan ulama qira’at belajar darinya. Abu ‘Amr ad Dâni dan lainnya mengandalkan sanad qira’at melalui jalurnya.

Ibnu Syannabûdz adalah tsiqah/terpercaya, seorang yang shaleh, konsisten dalam menjalankan agama dan pakar dalam disiplin ilmu qira’at. Ia meremehkan Ibnu Mujahid yang tidak pernah melancong ke berbagai negeri untuk menimba ilmu qira’at. Apabila ada seorang murid datang untuk belajar darinya, ia menanyainya terlebih dahulu, apakah ia pernah belajar dari Ibnu Mujahid? Jika pernah maka ia tidak akan mau mengajarinya.

Ibnu Mujahid menyimpan dendam kepadanya, dan menfitnahnya kepada al wazîr/penguasa saat itu yang bernama Ibnu Muqlah.

Ibnu Syannabûdz diadili pengguasa di hadapan para ulama dan ahli fikih, di antaranya Ibnu Mujahid atas qira’atnya yang dinilai menyimpang, setelah terjadi perdebatan seru dengan mereka. Ibnu Muqlah memintanya untuk menghentikan kebiasaannya membaca qira’at yang syâdzdzah, tetapi ia bersikeras mempertahankannya, dan berbicara keras kepadanya dan kepada Ibnu Mujahid serta al Qadhi yang dikatakannya sebagai kurang luas pengatahuan mereka berdua, sehingga Ibnu Muqlah menderanya dengan beberapa cambukan di punggunggnya yang memaksanya mengakui kesalahannya dan bersedia menghentikan bacaan syâdzdzah-nya.

Ketika Ibnu Muqlah menderanya, Ibnu Syannabûdz mendoakannya agar Allah memotongg tangannya dan mencerai-beraikan urusannya.Tidak lama kemudian, setelah tiga tahun, tepatnya pada pertengahan bulan Syawal tahun 326 H, doa itu diperkenankan Alllah dan Ibnu Muqlah pun dipoton tangannya oleh atasannya dan dipenjarakan serta dipersulit kehidupannya. Ia hidup terhina dan mati dalam sel tahanan pada tahun 328 H, tahun yang sama dengan tahun wafatnya Ibnu Syannabûdz. Sebagaimana Ibnu Mujahid juga mati setahun setelah mengadili Ibnu Syannabûdz. Demikian dilaporkan oleh Abu Bakar an Anhari.[14]


Referensi:

[1] Baca ad Durr al Mantsûr, 3/208, Mustadrak; al Hakim,3/208 dan ia komentari, “Ini adalah hadis shahih sanadnya, akan tetapi Buhari&Muslim tidak meriwayatkannya.”, Mushannaf; Ibnu Abi Syaibah,10/509 hadis no.10143, Majma’ az Zawâid,7/28 dan ia komentari, “Hadis ini diriwayatkan ath Thabarâni dalam al Awsath dan rijâl (perawi)nya tsiqât/jujur terpercaya..”

[2] Mustadrak; al Hakim,2/330, dan ia komentari, “Ini adalah hadis shahih sanadnya, akan tetapi Buhari&Muslim tidak meriwayatkannya.”,

[3] Majma’ az Zawâid,7/28 dan ia komentari, “Hadis ini diriwayatkan ath Thabarâni dalam al Awsath dan rijâl (perawi)nya tsiqât/jujur terpercaya.”.

[4] Al Itqân,1/86, baca juga al Burân,1/263.

[5] Ibnu Jakfari berkataa, “Banyak data sejarah akurat membuktikan bahwa di antara pembesar sahabat Nabi saw., seperti Ibnu Mas’ud menentang keras pengumpulan Al Qur’an yang dilakukan Utsman tersebut dan pengguguran enam ahruf yang Allah turunkan, sebagaimana disebutkan dalam banyak hadis yang dishahihkan ulama Ahlusunnah. Tentang maksud 7 ahruf yang Al Qur’an diturunkan atasnya terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam sekali. Salah satunya yang banyak dipilih para pakar ilmu Al Qur’an adalah dibolehkannya membaca ayat-ayat Al Qur’an dengan 7 model bacaan. Utman hanya menyisakan satu huruf saja. Adapun jutuh qira’at yang kita kenal itu Sesungguhnya hanya mewakili satu huruf saja. Ia bukan yang dimaksud dengan diturunkannya Al Qur’an dengan tujuh (7) huruf.”

[6] Ibnu Jakfari berkata: Apa yan dikatakan oran tersebut di atas adalah berdasarkan kepada beberapa riwayat yang dishahihkan ulama Ahlusunnah dari beberaapa sahabat Nabi saw. di antaranya Ummul Mukmin Aisyah, seperti dalam riwayat berikut ini: Urwah ibn Zubair -keponakan Aisyah, istri Nabi Muhammad saw.- meriwayatkan dari Aisyah, ia berkata:

كانَتْ سورَةُ الأحزابِ تُقْرَاُ في زمَنِ النبيِّ (ص) مِئَتَيْ آيَة، فَلَمَّا كتَبَ عثْمانُ المصاحِفَ لَمْ نَقْدِرْ مِنْها إلاَّ ما هُوَ الآنَ.

“Dahulu surah Al Ahzâb itu dibaca di masa hidup Nabi sebanyak dua ratus ayat. Lalu setelah Utsman menulis mush-haf-mush-haf kita tidak bisa membacanya kecuali yang sekarang ada ini.” (Al Itqân,2/25).

[7] Ibnu Jakfari berkata: Dalam riwayat-riwayat ulama Ahlusunnah dikatakan bahwa demikianlah Imam Ali, ibnu Mas’ud an Nakha’i daan Abdullah ibn ‘Utbah ibn Mas’ud membaca surah tersebut. Baca Ad Durr al Mantsûr, 6/391.

[8] Ibnu Jakfari berkata: Dalam Al Qur’an yang dibaca kaum Muslimin ayat tersebut berbunyi demikian:

قُلْ يا أَيُّهَا الْكافِرُونَ * لا أَعْبُدُ ما تَعْبُدُونَ.

Coba perhatikan perubahan ia lakukan!

[9] Ibnu Jakfari berkata: sementara ayat-ayat tersebut dalam Al Qur’an berbunyi demikian:

لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16)

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur’an karena hendak cepat- cepat (menguasai) nya.(16)

إِنَّ عَلَيْنا جَمْعَهُ وَ قُرْآنَهُ (17)

Sesungguhnya atas tanggungan Kami- lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.(17)

فَإِذا قَرَأْناهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18)

Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.(18)

ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنا بَيانَهُ (19)

Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami- lah penjelasannya.(19)

[10] Ibnu Jakfari berkata: Pernyataan Abu Ubaid yan dikutip al Qurthubi di atas menunjuk pada kasus lain dari kasus yang disebutkan Abu Bakar ibn Anbâri, sebab Abu Ubaid wafat tahun 224 H, sementara tokoh yan meyakini tahrif yan sedang dikisahkan dan dikecam Ibnu al Anbâri, seperti akan diketahui nanti wafat taahun328 H, sebaagaimana Ibnu al Anbâri sendiri wafat tahun 328 H. Abu Ubaid termasuk dalam Thabaaqah/ generasi ke enam, sementara Ibnu Anbâri dan tokoh kontroversi kita yang satu ini tergolong Ahli qira’at generasi ke delapan.

[11] Ibnu Jakfari berkata: Sepertinya kemarahan dan tuduhan Ibnu al Anbâri atas orang tersebut kurang beralasan, sebab pada kenyataannya penambahan ayat tersebut dengan kata بِعَلِيٍّ telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia adalah bacaan beliau. Baca tafsir ad Durr al Maatsûr; as Suyuthi,5/368. Maka jika mau menuduh melakukan penambahan dalam Al Qur’an semestinya Ibnu Mas’ud-lah yang harus dituding! Salahkan seorang yang konsisten mengikuti para sahabat mulia Nabi saw., khususnya sahabat seagung Ibnu Mas’ud yang Nabi saw. sendiri memerintah umatnya -dalam banyak hadis shahih- untuk mengikuti bacaannya?!

[12] Târîkh Baghdâd,1/280, ketika menyebut biodata no.122.

[13] Al Mursyid al Wajîz Ilâ ‘Ulûmin Tata’allaqu bi al Kitâb al Azîz:187.

[14] At Tamhîd,2/216-217.

(Jakfari/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: