Pesan Rahbar

Home » » FATWA ANEH SAUDI : Fatwa Baru Saudi Membela Pedofilia Sebagai ’Pernikahan’

FATWA ANEH SAUDI : Fatwa Baru Saudi Membela Pedofilia Sebagai ’Pernikahan’

Written By Unknown on Wednesday 22 April 2015 | 03:22:00


“Kapan pun aku melihatnya, aku bersembunyi. Aku benci melihatnya,” Tahani (mengenakan pakaian warna pink) menceritakan hari-hari awal pernikahannya kepada Majid, ketika ia berusia 6 tahun dan Majid 25 tahun. Isteri yang masih muda ini berpose untuk potret ini, bersama dengan mantan teman sekelasnya Ghada, juga seorang pengantin yang masih anak-anak, di luar rumah mereka yang ada di pegunungan Hajjah, Yaman.

July 21, 2011.
“Pernikahan Anak” dalam Islam – sebagai eufemisme untuk pedofilia – kembali menjadi berita utama setidaknya di Media Arab. Dr. Salih bin Fawzan http://www.famousmuslims.com/SHEIKH%20SALEH%20IBN%20FAWZAN%20AL-FAWZAN.htm ,seorang ulama terkenal dan merupakan anggota dari Dewan Religius tertinggi Saudi Arabia, baru-baru ini mengeluarkan sebuah fatwa yang menetapkan bahwa tidak ada usia minimum bagi pernikahan, dan bahwa anak-anak gadis bisa dinikahi “bahkan meskipun mereka masih bayi.”

Muncul di surat kabar-surat kabar Saudi http://alwatan.kuwait.tt/ArticleDetails.aspx?Id=124848
______
الفوزان قال إن تحديد سن للنكاح مخالف لشرع الله

فتوى سعودية: الشريعة لا تمنع زواج غير البالغات
2011/07/13   02:40 م


أكد الشيخ الدكتور صالح بن فوزان الفوزان -عضو هيئة كبار العلماء، عضو اللجنة الدائمة للإفتاء بالسعودية- أن تزويج الفتاة الصغيرة التي لم تصل إلى مرحلة البلوغ من كفء؛ سائغ بإجماع الفقهاء.

وقال الفوزان في فتوى نشرتها الصحف السعودية الأربعاء 13 يوليو/تموز 2011: "كثرت في هذا الوقت تدخلات الصحافة والصحفيين في الأحكام الشرعية من غير علم، وهذا عمل يُخاف من عواقبه على المجتمع، ومن ذلك تدخلهم في مسألة تزويج الصغيرة التي دون البلوغ من كفء يصلح لها، ومطالبتهم بتحديد سن لتزويج الفتاة".


ووصف ذلك بأنه "تدخل في حكم شرعي، مرجعه أهل العلم، وعلى ضوء الكتاب والسنة".

وبين الفوزان أنه ليس في الشريعة ما يُحدد السن الذي تُزوج فيه الفتاة؛ بل في الشريعة ما يدل على خلاف ذلك، مستدلا بقوله تعالى في عدة المطلقة: "واللائي يئسن من المحيض من نسائكم فعدتهن ثلاثة أشهر واللائي لم يحضن"؛ أي الصغيرات اللاتي لم يبلغن سن الحيض فعدتهن ثلاثة أشهر، مثل اليائسات من الحيض، فهذا دليل من القرآن على أن الصغيرة تُزوج وتطلق وتلزمها العدة.

وأضاف "دلت السنة على ذلك، فقد تزوج النبي -صلى الله عليه وسلم- عائشة رضي الله عنها وهي بنت ست سنين. ودخل بها وهي بنت تسع سنين، فهذا دليل من السنة على هذه المسألة، وقد أجمع العلماء على جواز ذلك".

وأشار إلى أن الإمام البخاري قال في صحيحه: باب إنكاح الرجل ولده الصغار. لقوله تعالى: "واللائي لم يحضن"، فجعل عدتها ثلاثة أشهر قبل البلوغ. حدثنا محمد بن يوسف حدثنا سفيان عن هشام عن أبيه عن عائشة رضي الله عنها: أن النبي صلى الله عليه وسلم تزوجها وهي بنت ست سنين، وأدخلت عليه وهي بنت تسع، ومكثت عنده تسعا. قال الحافظ ابن حجر رحمه الله في الفتح: قوله: لقول الله تعالى: "واللائي لم يحضن"، فجعل عدتها ثلاثة أشهر قبل البلوغ، أي فدل على أن نكاحها قبل البلوغ جائز، وهو استنباط حسن، لكن ليس في الآية تخصيص ذلك بالوالد ولا بالبكر".

ونقل عضو هيئة كبار العلماء قول ابن بطال في شرحه لصحيح البخاري في صفحة 172 - 173 على باب تزويج الصغار من الكبار: أجمع العلماء على أنه يجوز للآباء تزويج الصغار من بناتهم وإن كن في المهد؛ إلا أنه لا يجوز لأزواجهن البناء بهن إلا إذا صلحن للوطء، واحتملن الرجال، وأحوالهن تختلف في ذلك على قدر خلقهن وطاقتهن. وكانت عائشة رضي الله عنها حين تزوج بها النبي بنت ست سنين وبنى بها بنت تسع.

ونقل الفوزان قول مفتي السعودية الراحل الشيخ عبد العزيز بن باز في مجموع فتاواه ومقالاته الجزء الرابع صفحة 126 لما بلغه أن بعض الدول الإسلامية تريد تحديد سن الزواج بأن لا يقل عمر الفتى عن ثمانية عشر عاما وعمر الفتاة عن ستة عشر عاما. قال: فلما كان ذلك يخالف ما شرعه الله جل وعلا أحببت التنبيه لبيان الحق. فالسن في الزواج لم يُقيد بحد معين لا في البكر ولا في الصغير. والكتاب والسنة يدلان على ذلك. لأن فيهما الحث على الزواج والترغيب فيه من دون تقييد بسن معينة.

وخلص إلى القول: إنه "يجب على هؤلاء الذين ينادون بتحديد سن الزواج أن يتقوا الله ولا يخالفوا شرعه، أو يشرعوا شيئا لم يأذن به الله، فالحكم لله عز وجل، والتشريع حق له سبحانه لا يشاركه فيه غيره. ومن ذلك أحكام الزواج".

_____________________________

pada tanggal 13 Juli, fatwa ini mengeluhkan “meningkatnya campur tangan terhadap aturan Syariah yang dilakukan oleh media dan para jurnalis, yang memberikan dampak luas pada masyarakat, termasuk di dalamnya serangan yang berkaitan dengan pertanyaan apakah diperbolehkan anak gadis yang masih kecil dan belum dewasa untuk dinikahi; serta tuntutan mereka agar ditetapkan usia minimum bagi para gadis untuk menikah.”.

Fawzan menegaskan, tak ada aturan dalam Syariah yang membatasi usia seorang gadis untuk menikah: sama seperti para sarjana Muslim yang tak terhitung jumlahnya sebelum dia, ia mendasarinya lewat Qur’an 65:4, yang mendiskusikan tentang menikahi para wanita yang belum mendapatkan menstruasi, dan fakta bahwa Muhammad sendiri, sebagai teladan utama dalam Islam, menikahi Aisyah ketika ia masih berusia 6 tahun, dan “menggenapi” pernikahannya – atau dalam istilah modern – memperkosa Aisyah – ketika Aisyah berusia 9 tahun.

Inti dari fatwa Saudi ini bukanlah bahwa seorang anak gadis berusia 9 tahun dapat melakukan hubungan seks, berdasarkan atas contoh yang diberikan oleh Muhammad, tetapi bahwa tidak ada batasan untuk melakukannya. Sebab satu-satunya pertanyaan terbuka untuk dipertimbangkan adalah apakah si gadis secara fisik sanggup ‘menghadapi’ suaminya (“perkosaan” yang dilakukan oleh suaminya). Fawzan lebih jauh menjelaskan poinnya itu dengan mengutip tafsiran atas Sahih Bukhari yang dilakukan oleh Ibn Batal, yang dianggap sebagai tafsiran yang otoritatif.

Para ulama (penafsir Islam) telah menyetujui bahwa para ayah diijinkan untuk menikahkan anak-anak perempuan mereka yang masih kecil, bahkan meskipun mereka masih bayi. Tetapi, tidak diijinkan bagi suami-suami mereka untuk berhubungan seks dengan mereka, kecuali mereka sudah bisa dibaringkan di bawah suaminya, dan sanggup menahan beban berat tubuh suaminya itu. Dan kapabilitas mereka sehubungan dengan hal ini adalah bervariasi, bergantung atas natur dan kapasitasnya. Aisyah berusia 6 tahun ketika ia menikah dengan Nabi, tetapi ia berhubungan seksual dengannya ketika ia berusia 9 tahun [ketika ia sudah mampu melakukan hubungan seksual dengan nabi).

Fawzan menyimpulkan fatwanya dengan sebuah peringatan:”Ini adalah teguran bagi mereka yang menyerukan agar dibuat aturan minimum untuk menikah, supaya mereka itu takut pada Allah dan tidak berkontradiksi dengan Syariah-Nya, atau mencoba mengundangkan hal-hal yang tidak diijinkan Allah. Karena hukum adalah wilayah kewenangan Allah; dan aturan adalah hak-Nya yang eksklusif, yang tidak boleh dibagikan pada siapa pun. Dan diantara hukum-hukumNya itu adalah aturan mengenai pernikahan.

Tentu saja, Fawzan bukanlah orang pertama yang menegaskan legitimasi pedofilia dalam Islam http://wikiislam.net/wiki/Islam_and_Pedophilia. Bahkan Mufti Agung Saudi Arabia sebelumnya juga telah mendukung “pernikahan anak-anak”, karena hal itu ada disebutkan dalam Quran dan Sunnah Rasul.

Ini pun bukan hanya sejumlah teori atau bersifat teologis; bahwa hidup dari banyak anak-anak gadis yang masih muda sedang dihancurkan oleh karena aturan ini. Sebutlah sebagai contoh, bagaimana seorang anak gadis yang masih berusia 13 tahun, tewas ketika suaminya yang jauh lebih tua dari dirinya tengah menyetubuhinya (kemudian hari tersingkap bagaimana suaminya itu, karena anak ini menolak berhubungan seks), mengikatnya dan kemudian “memperkosa”-nya (istilah yang dipakai sebab tak ada cara lain untuk menggambarkan seks yang dilakukan dengan anak-anak); atau anak gadis berusia 12 tahun yang meninggal saat melahirkan anak; http://gulfnews.com/news/gulf/yemen/yemeni-12-year-old-dies-while-giving-birth-to-a-stillborn-1.539240
__________________________

Yemeni 12-year-old dies while giving birth to a stillborn

A 12-year-old Yemeni child-bride died after struggling for three days in labour to give birth, a local human rights organisation said.
  • Agencies
  • Published: 16:41 September 13, 2009
Child marriages are widespread in Yemen, the Arab world's poorest country, where tribal customs dominate society. More than a quarter of the country's females marry before age 15, according to a recent report by the Social Affairs Ministry.

Sana'a: A 12-year-old Yemeni child-bride died after struggling for three days in labour to give birth, a local human rights organisation said.

Fawziya Abdullah Yousuf died of severe bleeding on Friday while giving birth to a stillborn in the Al Zahra district hospital of Hodeida province, 223 kilometers west of the capital Sana'a.

Child marriages are widespread in Yemen, the Arab world's poorest country, where tribal customs dominate society. More than a quarter of the country's females marry before age 15, according to a recent report by the Social Affairs Ministry.

Yousuf was only 11 when her father married her to a 24-year-old man who works as a farmer in Saudi Arabia, Ahmad Al Quraishi, chairman of Siyaj human rights organization, said on Saturday.

Al Quraishi, whose group promotes child rights in Yemen, said he stumbled upon Yousuf in the hospital while investigating cases of children who had fled from the fighting in the north.

"This is one of many cases that exist in Yemen," said Al Quraishi. "The reason behind it is the lack of education and awareness, forcing many girls into marriage in this very early age."

Impoverished parents in Yemen sometimes give away their young daughters in return for hefty dowries. There is also a long-standing tribal custom in which infant daughters and sons are promised to cousins in hopes it will protect them from illicit relationships, he said.

Al Quraishi said there are no statistics to show how many marriages involving children are performed every year.

The issue of child brides vaulted into the headlines here two years ago when an 8-year-old Yemeni girl went by herself to a courtroom and demanded a judge dissolve her marriage to a man in his 30s. She eventually won a divorce, and legislators began looking at ways to curb the practice.

In February, parliament passed a law setting the minimum marriage age at 17. But some lawmakers are trying to kill the measure, calling it un-Islamic. Before it could be ratified by Yemen's president, they forced it to be sent back to parliament's constitutional committee for review.

Your comments

Children should be playing at this age and not getting married. How can you expect a child to be a wife and a mother on her very young age? May these people have the courage to fight for their own lives and be awaken soon. May God bless them.


MGR

Dubai,UAE
Posted: September 14, 2009, 16:08
This is so wrong


Ron

Dubai,UAE
Posted: September 14, 2009, 16:01
I think this is the most inhuman thing. Child marriages should be banned. Its wrong.


Leena

Dubai,UAE
Posted: September 14, 2009, 15:52
I think all parents to be decided by themselves before 18 years they should not agree to give marriage his/her daughters.


Kazi Abu Saeed

Abu Dhabi,UAE
Posted: September 14, 2009, 14:34
I think this is inhuman, cruel, and what else. They should stop it. Child marriages are not justifyable.They should be given education for this.


Tessy Alex

Dubai,UAE
Posted: September 14, 2009, 14:10
____________________________

atau anak perempuan berusia 10 tahun, yang beritanya menjadi topik utama, setelah ia bersembunyi http://www.memri.org/report/en/0/0/0/0/0/0/3733.htm dari “suami” nya yang berusia 80 tahun.

Juga masih ada gadis-gadis yang tak terhitung banyaknya, yang kisah mereka yang menyedihkan tidak sempat menarik perhatian media – yang mana di antara mereka ada yang tewas – atau harus belajar hidup dengan suami mereka yang lebih tua, seperti gadis yang menikah dengan ulama Islam terkenal, Yusuf Qaradawi, ketika ia masih berusia 14 tahun.

Apa yang bisa kita lakukan menghadapi fakta yang menyedihkan ini, yang sesungguhnya merupakan penerapan dari suara-suara religous dan otoritatif Islam, yang secara konstan mendemonstrasikan pemberlakukan hukum Syariah? Beberapa minggu sebelum fatwa ini, seorang politisi dan aktifis wanita Kuwait, menyerukan agar perbudakan seks dilembagakan (merekomenasikan supaya orang-orang Muslim membeli dan menjual para tawanan perempuan Rusia yang menjadi tawanan perang Chechnya). Seorang pengkotbah popular Mesir tidak hanya mengatakan hal yang sama, tetapi juga menambahkan bahwa solusi untuk kemiskinan Islam adalah dengan melakukan jihad dan merampas hidup dan harta benda orang-orang kafir.
http://www.raymondibrahim.com/muslim-persecution-of-christians/raped-and-ransacked-in-the-muslim-world/
__________________________

Raped and Ransacked in the Muslim World


Plundering the possessions, lives, and dignity of Christians in the Islamic world: is this a random affair, a product of the West’s favorite offenders—poverty, ignorance, grievance—or is it systematic, complete with ideological backing?
Consider the very latest from the Muslim world:
  • Pakistan: Muslim landowners used tractors to plough over a Christian cemetery in order to seize the land illegally. A young Christian mother was raped by six men. “In both cases, police covered up for the culprits.”
  • Iraq: A Christian youth was kidnapped and decapitated: his family could not pay the €70,000 ransom demanded by his abductors. “The murder was meant to intimidate Christians so that in the future they will more readily pay ransom demands.”
  • Egypt: Christian girls continue to be abducted and forced into conversion or concubinage (which amount to the same thing) and “kept as virtual slaves.”
None of this is surprising listening to popular Muslim preacher Abu Ishaq al-Huwaini:

If only we can conduct a jihadist invasion at least once a year or if possible twice or three times, then many people on earth would become Muslims. And if anyone prevents our dawa or stands in our way, then we must kill them or take as hostage and confiscate their wealth, women and children. Such battles will fill the pockets of the Mujahid who can return home with 3 or 4 slaves, 3 or 4 women and 3 or 4 children. This can be a profitable business if you multiply each head by 300 or 400 dirham. This can be like financial shelter whereby a jihadist, in time of financial need, can always sell one of these heads (meaning slavery) [translated by Nonie Darwish; original Arabic recording here].

Huwaini actually made these scandalous assertions some eighteen years ago. But because they were only recently exposed, he was invited to “clarify” his position on Hikma TV last week. Amazingly, though he began by saying his words were “taken out of context,” he nonetheless reasserted, in even more blunt language, that Islam justifies plundering, enslaving, and raping the infidel. (Al Youm 7 has the entire interview, excerpts of which I translate below.)

According to Huwaini, after Muslims invade and conquer a non-Muslim nation—in the course of waging an offensive jihad—the properties and persons of those infidels who refuse to convert or pay jizya and live as subjugated dhimmis, are to be seized as ghanima or “spoils of war.”
Huwaini cited the Koran as his authority—boasting that it has an entire chapter named “spoils”—and the sunna of Muhammad, specifically as recorded in the famous Sahih Muslim hadith wherein the prophet ordered the Muslim armies to offer non-Muslims three choices: conversion, subjugation, or death/enslavement.

Huwaini said that infidel captives, the “spoils of war,” are to be distributed among the Muslim combatants (i.e., jihadists) and taken to “the slave market, where slave-girls and concubines are sold.” He referred to these latter by their dehumanizing name in the Koran, ma malakat aymanukum—”what your right hands possess”—in this context, sex-slaves: “You go to the market and buy her, and she becomes like your legal mate—though without a contract, a guardian, or any of that stuff—and this is agreed upon by the ulema.”

“In other words,” Huwaini concluded, “when I want a sex-slave, I go to the market and pick whichever female I desire and buy her.”
Lest Muslims begin attacking all and sundry, however, Huwaini was careful to stress that Islam forbids Muslims from plundering and enslaving nominal or even “heretical” Muslims, such as Shias. He used the Iran-Iraq war as an example, saying that a Sunni man is not permitted to enslave and abuse a Shia woman, “for she is still a Muslim and thus considered free.”

Unfortunately Huwaini’s position is not “radical.” One is reminded of when Sheikh Gamal Qutb was asked on live TV if Islam permits men to rape their female captives. The one-time grand mufti of Islam’s most authoritative university, Al Azhar—the institution that once gave us the “adult breast-feeding” fatwa—refused to answer and, when pressed, became hostile and stormed off the set.

Let us now return to the atrocities that opened this article and ask: In light of the above, is it any wonder that Christians under Islam are routinely raped and ransacked, even as the “humanitarian” West yawns?

_______________________

Kedengarannya janggal? Barangkali, namun anjuran itu merupakan sesuatu yang sangat konsisten. Lebih dari itu, di mata orang-orang tidak beriman (kafir), hukum Syariah tidak lebih dari sebuah sistem legal yang dibangun berdasarkan perkataan dan perbuatan seorang Arab dari abad ke-7, yang perilakuknya – dari pedofilia dan perbudakan seks hingga perampasan harta kafir dalam perang-perang yang ia lakukan – benar-benar merupakan sesuatu yang berasal dari Arab abad ke-7. Setelah berhasil memikat dan memperbudak orang-orang sezamannya untuk menjadi para pengikutnya, ajaran-ajarannya juga masih memikat dan memperbudak para keturunan mereka; dan kini sebagaimana yang terjadi sebelumnya, selalu orang-orang tak berdosalah yang menderita.

Sumber: Bukti dan Saksi http://buktidansaksi.com/blogs/484/2011/07
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: