Pesan Rahbar

Home » » Mengapa perang Shiffin disebut Shiffin? Inilah Penjelasannya Dalam Sejarah Sebenarnya

Mengapa perang Shiffin disebut Shiffin? Inilah Penjelasannya Dalam Sejarah Sebenarnya

Written By Unknown on Friday 14 August 2015 | 04:38:00



Perang Shiffin
Bagian dari Perang saudara Islam pertama
Tanggal 26 Juli sampai 28 Juli 657
Lokasi Shiffin, Suriah
Hasil Perang Saudara utama umat Islam kedua-Tiada pemenang
Pihak yang terlibat
Muawiyah I Ali bin Abi Talib
Komandan
Amru bin Ash Malik al-Ashtar
Kekuatan
120,000 (ang) 90,000 (ang)
Korban
45,000 (ang)[butuh rujukan] 25,000 (ang)[butuh rujukan]


Pertanyaan:
Mengapa perang Shiffin disebut Shiffin?
Jawaban Global:
Perang Shiffin adalah salah satu perang terpenting yang terjadi pada masa pemerintahan Imam Ali As. Perang itu meletus bertepatan dengan tahun 37 Hijriah. Perang Shiffin adalah perang yang melibatkan dua kelompok, antara kelompok Imam Ali bin Abi Thalib As dan kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan di suatu tempat bernama Shiffin yang terletak di dekat Raqqah di samping sungai Furat di belahan Barat Irak yaitu antara Raqqah (Rafiqah) dan Balis.[1] Atas dasar itu, perang ini terkenal dengan sebutan perang Shiffin.

Namun bagaimanapun dewasa ini tempat ini merupakan bagian dari negara Suriah. Demikian juga disebutkan bahwa peninggalan-peninggalan bersejarah yang terdapat di tempat ini merupakan peninggalan-peninggalan yang dulu dibangun oleh para arsitek Romawi.[2] 

Referensi:
[1]. Syihabuddin Abu Abdillah Yaqut Hamawi, Mu’jam al-Buldân, jil. 3, hal. 414, Dar Shadir, Beirut, Cetakan Kedua, 1995 M; Shafiuddin Abdul Mu’min Ibnu Abdul Haq Baghdadi, Marâshid al-Itthilâ’ ‘ala Asmâ al-Amkinât al-Baqa’, Diriset dan diedit oleh Ali Muhammad Bajawi, jil. 2, hal. 846, Dar al-Jil, Beirut, Cetakan Pertama, 1412 H.  
[2]. Dzakariyyah bin Muhammad Qazwini, Âtsâr al-Balâd wa Akhbâr al-‘Ibâd, hal. 214, Dar Shadir, Beirut, Cetakan Pertama, 1998 M. 
Perang Shiffin (Arab: وقعة صفين ) (Mei-Juli 657 Masehi) terjadi semasa zaman fitnah besar atau perang saudara pertama orang Islam dengan pertempuran utama terjadi dari tanggal 26-28 Juli. Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 Hijriah.

Latar belakang

Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Talib diangkat sebagai khalifah, tetapi penerimaan dari seluruh kekhalifahan islam sangatlah sulit didapat. Muawiyah, Gubernur dari Suriah yang merupakan kerabat dari khalifah yang terbunuh, sangat menginginkan pembunuh dari sang kalifah diadili dimuka hukum. Muawwiyah berpendapat Ali bin Abi Talib tidak berniat untuk melakukan hal ini, sehingga Muawwiyah memberontak terhadap Ali bin Abi Talib dan membuat Ali bin Abi Talib berniat memadamkan pemberontakan Muawwiyah. Hasil dari keadaan ini adalah pertempuran di Shiffin antara kedua belah pihak.

Jalannya perang

Peperangan ini berlangsung imbang sehingga kemudian kedua belah pihak setuju untuk berunding dengan ditengahi seorang juru runding. Pertempuran dan perundingan membuat posisi Ali bin Abi Talib melemah tetapi tidak membuat ketegangan yang melanda kekhalifahan mereda. Oleh penganut aliran Syiah, Ali bin Abi Talib dianggap sebagai Imam pertama. Oleh penganut aliran Suni, Ali bin Abi Talib adalah khulafaur rasyidin yang ke empat dan Muawiyah adalah khalifah pertama dari Dinasti Ummayyah. Kejadian kejadian disekitar pertempuran Shiffin sangatlah kontroversial untuk Suni dan Syiah dan menjadi salah satu penyebab perpecahan di antara keduanya.

Awalnya, Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Shiffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan, dengan mengharap pertempuran bisa terhindar.

Dalam kitab "Al Bidayah wa An Nihayah" (7/272) disebutkan bahwa Abu Muslim Al Khaulani beserta beberapa orang mendatangi Muawiyah dengan mengatakan, ”Apakah engkau melawan Ali ataukah engkau juga sepertinya?” Muawiyah menjawab, ”Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengatahui kalau ia (Ali) lebih baik dariku, lebih utama dan lebih berhak dalam masalah ini (kekhalifahan) daripada aku. Akan tetapi bukanlah kalian mengetahui bahwa Utsman terbunuh dengan keadaan terdhalimi, sedangkan saya adalah sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan kepadanya, agar ia menyerahkan pembunuhnya, maka saya menyerahkan persoalan ini kepadanya.

Diriwayat yang lain juga disebutkan, bahwa Abu Darda’ dan Abu Umamah mendatangi Muawiyah, dengan isi percakapan yang hampir sama dengan riwayat sebelumnya. Setelah itu keduanya kembali kepada Ali bin Abi Thalib, dan dia mengatakan, ”Mereka adalah orang-orang yang kalian maksudkan.” Maka keluarlah banyak orang, dan mengatakan, ”Kami semua yang telah membunuh Utsman, siapa yang berkehendak maka silahkan dia melemparkan kami.”

Dalam "Minhaj As Sunnah" (4/384) juga dinukil bagaimana sikap para pendukung Muawiyah, mangapa mereka tidak membaiat Ali. ”Kami jika membaiat Ali, maka pasukannya akan mendhalimi kami, sabagaimana mereka mendhalimi Utsman, sedangkan Ali tidak mampu melakukan pembelaan terhadap kami.”

Dari periwayatan di atas semakin jelas, bahwa memang kedua belah pihak, baik Ali dan Muawiyah tidak berselisih mengenai jabatan kekhalifahan, dan keduanya memang tidak bermaksud menyerang satu sama lain, kecuali pihak pengikut Saba’iyah yang berada di barisan Amirul Mukminin, yang selalu menginginkan adanya konflik antara Ali dan Muawiyah, dan Muawiyah tetap berdiri tegak guna melawan para pengiku Abdullah bin Saba’ yang berada dalam pasukan Khalifah.

Berbagai upaya menghentikan peperangan dilakukan kedua belah pihak, tapi kaum Saba’iyah terus berusaha memantiknya.

Para utusan terus melakukan perundingan, dan pasukan kedua belah pihak sama-sama menahan diri untuk melakukan serangan, hingga berakhirnya bulan-bulan haram pada tahun itu (37 H). Pasukan Kufah menyeru kepada pasukan Syam, ”Amir Al Mukminin telah menyeru kepada kalian, aku telah memberi tenggang waktu untuk kalian, agar kembali kepada al haq, dan saya telah menegakkan atas kalian hujah, akan tetapi kalian tidak menjawab…”

Pasukan Syam menjambut seruan itu, dengan mempersiapkan diri di shafnya masing-masing. Pada hari Rabu, tanggal 7 pada bulan Safar, pertempuran berlangsung pada hari Rabu, Kamis, Jumat serta malam Sabtu. Dalam "Al Aqdu Al Farid" (4/3140) disebutkan bahwa kdua pihak bersepakat bahwa mereka yang terluka harus dibiarkan, begitu pula mereka yang melarikan diri tidak boleh dikejar, mereka yang meletakkan senjata akan aman, tidak boleh mengambil benda milik mereka yang meninggal, serta mereka mendoakan dan menshalati jenazah yang berada di antara kedua belah pihak.

Mayoritas sahabat tidak ikut serta dalam pertempuran ini. Pada saat itu jumlah mereka sekitar 10 ribu, akan tetapi yang ikut serta tidak lebih dari 30 sahabat saja, sebagaimana riwayat yang disebutkan dalam "Minhaj As Sunnah" (6/237).

Riwayat mengenai jumlah pasukan yang terbunuh di kedua belah pihak berbeda satu sama lain, akan tetapi Ibnu Katsir menyebutkan dalam "Al Bidayah wa An Nihayah" (7/288) bahwa pasukan Kufah berjumlah 120 ribu orang, terbunuh 40 ribu, sedangkan pasukan Syam berjumlah 60 ribu, dan yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang.

Terbunuhnya Amar bin Yasir

Peristiwa terbunuhnya sahabat Amar bin Yasir dalam pertempuran Shiffin memberi pengaruh amat besar bagi kedua belah pihak, dimana sebelumnya rasulullah S.A.W telah berkata kepada Amar, bahwa ia tidak meninggal, kecuali terbunuh di antara dua kelompok orang-orang mukmin, sebagaimana disebutkan Al Bukhari dalam "Tarikh As Saghir" (1/104).

Sedangkan Amru bin Ash, sahabat yang bergabung dalam barisan Muawiyah pernah mendengar bahwa rasulullah S.A.W bersabda mengenai Amar bin Yasir, sebagaimana termaktub dalam "Al Majma’ Az Zawaid" (7/244). ”Sesungguhnya orang yang membunuh dan mengambil hartanya (sebagai ghanimah) akan masuk neraka.” Lalu ada yang mengatakan kepadanya, ”Sesungguhnya engkau yang memeranginya!” Amru bin Ash menjawab, ”Sesungguhnya yang disabdakan adalah pembunuh dan perampas hartanya.”

Hadits di atas menunjukkan bahwa memang kedua belah pihak mengetahui keutamaan masing-masing dan tidak ada kesengajaan untuk berniat saling membunuh.

Meninggikan Mushaf

Bisa dikatakan bahwa peristiwa penting dalam perang Shiffin adalah pangangkatan tinggi-tinggi mushaf Al Qur`an, hingga pertempuran itu berakhir. Disebutkan dalam beberapa periwayatan bahwa ketika pertempuran berlangsung amat sengit banyak para ulama yang menyeru, baik dalam barisan pasukan Syam maupun Kuffah, ”Jika kita besok baru berhenti (bertempur) maka Arab akan sirna, dan hilangnya kehormatan…”

Muawiyah yang juga mendengar khutbah itu membenarkan, ”Benar, demi Rabb Ka’bah, jika kita masih berperang esok, maka Romawi akan mengincar para wanita dan keturunan kita. Sedangkan Persia akan mengincar para wanita dan keturunan Iraq. Ikatlah mushaf-mushaf di ujung tombak kalian.”

Maka saat itu, pasukan Syam menyeru, ”Wahai pasukan Iraq di antara kami dan kalian adalah Kitabullah!” Muawiyah memerintahkan seorang utusan untuk menghadap kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, ”Iya, di antara kami dan kalian adalah Kitabullah, dan kami telah mendahulukan hal itu.” Jawab dia.

Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi sebelumnya, para pengikut Abdullah bin Saba’ enggan menerima usulan untuk berdamai, mereka ingin agar Khalifah Ali meneruskan pertempuran. Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushannaf (8/336) bahwa kaum Khawarij mendatangi Ali bin Abi Thalib, dengan pedang di atas pundak mereka, ”Wahai Amir Al Mukminin, tidakkah sebaiknya kita menyongsong mereka, hingga Allah memberi keputusan antara kita dan mereka.” Usulan ini ditentang keras oleh sahabat Sahl bin Hunaif Al Anshari. ”Tuduhlah diri kalian! Kami telah bersama rasulullah S.A.W saat peristiwa Hudaibiyah. Kalau sendainya kami berpendapat akan berperang, maka kami perangi (tapi kenyataannya mereka tidak berperang)”.
Sahl juga menjelaskan bahwa setelah perjanjian damai dengan kaum musyrikin itu turunlah surat Al Fath kepada rasulullah S.A.W. Ali bin Abi Thalib pun menyambut pendapat Sahl, ”Wahai manusia, ini adalah fath (hari pembebasan).” Seru Ali bin Abi Thalib, akhirnya pertempuran itu pun berakhir.
Berbagai upaya menghentikan peperangan dilakukan kedua belah pihak, tapi kaum Saba’iyah terus berusaha memantiknya.

Para utusan terus melakukan perundingan, dan pasukan kedua belah pihak sama-sama menahan diri untuk melakukan serangan, hingga berakhirnya bulan-bulan haram pada tahun itu (37 H). Pasukan Kufah menyeru kepada pasukan Syam, ”Amir Al Mukminin telah menyeru kepada kalian, aku telah memberi tenggang waktu untuk kalian, agar kembali kepada al haq, dan saya telah menegakkan atas kalian hujah, akan tetapi kalian tidak menjawab…”.

Pasukan Syam menjambut seruan itu, dengan mempersiapkan diri di shafnya masing-masing. Pada hari Rabu, tanggal 7 pada bulan Safar, pertempuran berlangsung pada hari Rabu, Kamis, Jumat serta malam Sabtu. Dalam "Al Aqdu Al Farid" (4/3140) disebutkan bahwa kdua pihak bersepakat bahwa mereka yang terluka harus dibiarkan, begitu pula mereka yang melarikan diri tidak boleh dikejar, mereka yang meletakkan senjata akan aman, tidak boleh mengambil benda milik mereka yang meninggal, serta mereka mendoakan dan menshalati jenazah yang berada di antara kedua belah pihak.

Mayoritas sahabat tidak ikut serta dalam pertempuran ini. Pada saat itu jumlah mereka sekitar 10 ribu, akan tetapi yang ikut serta tidak lebih dari 30 sahabat saja, sebagaimana riwayat yang disebutkan dalam "Minhaj As Sunnah" (6/237).

Riwayat mengenai jumlah pasukan yang terbunuh di kedua belah pihak berbeda satu sama lain, akan tetapi Ibnu Katsir menyebutkan dalam "Al Bidayah wa An Nihayah" (7/288) bahwa pasukan Kufah berjumlah 120 ribu orang, terbunuh 40 ribu, sedangkan pasukan Syam berjumlah 60 ribu, dan yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang.

Referensi

The Battle of Islam at Siffin:
After the battle of Jamal was over, Imam Ali (A.S.) returned from Basra to Kufa in Rajab of 36 A.H. He decided to transfer the capital of his government to Kufa from Madina because it was more centrally placed in the Muslim Empire, and he could halt Muawiya's progress into Iraq.

Before marching towards Muawiya, Imam Ali (A.S.) tried to settle matters peacefully by sending Jarir, chief of Bani Bajila and the governor of Hamdan, to Syria as an envoy. However, Jarir became so engrossed in the entertainment that Muawiya put his way, that he wasted his time in Syria. He finally returned three months later with the useless message that peace could only be negotiated if the murderers of Uthman were brought to justice. Malik al-Ashtar accused him of having wasted time in effeminate pleasures with Muawiya, who purposely kept him long enough to mature his plans of hostilities. Jarir left Kufa and joined Muawiya.

Imam Ali (A.S.) decided that matters could be only decided by war, so he marched without delay through the Mesopotamian desert to Riqqa at the banks of the Euphrates. After crossing the river by constructing a bridge they came across the Syrian outposts at Sur al-Rum. There were a few skirmishes between the armies but the Syrians gave way and in the month of Zilhaj of 36 A.H., the army of Imam Ali (A.S.) came into sight of Muawiya's main forces, which had already camped at Siffin.

At Siffin, Muawiya had stationed his general, Abul Awr, with 10,000 men on the river to stop the access to water for Imam Ali's (A.S.) army. Imam Ali (A.S.) sent Sasaa Bin Sauhan al-Abdi to Muawiya that this action was not necessary because, after all, the people whom he was refusing water were also Muslims. He further assured Muawiya that if the situation had been reversed, the river would have been open to both armies. However, Muawiya sent back a message that the murderers of Uthman had not allowed him any water when they had laid siege to his palace, and Muawiya was avenging that action.

Imam Ali (A.S.) knew that this situation would be intolerable and he launched an attack under Malike Ashtar. The brave commander secured the river after heavy fighting and Abul Awr was dislodged from its banks. Having control of the river, Imam Ali (A.S.) kept to his word and allowed unlimited access to Muawiya's side.

Imam Ali (A.S.) divided his army of 90,000 men into seven units each commanded by brave warriors. Muawiya similarly divided his army of 120,000 men into seven columns. Everyday one column from each army would engage one another in combat.

The battles were mostly restricted to single combats or small groups fighting because Imam Ali (A.S.) was trying to avoid the serious loss of Muslim lives that would have resulted from a full scale battle. The month of Zilhaj ended in this manner and the month of Muharram, in which fighting is forbidden, set in. During this month, Imam Ali (A.S.) tried hard to resolve the crisis by negotiation, but to no avail. He pointed out that he was ready to punish the murderers of Uthman if Muawiya would point them out. However, Muawiya did not wish the matter to end so easily, because it was the issue of Uthman's unavenged death that had enabled him to gather such a large army.

In the month of Safar fighting was resumed. For a week, fierce battles raged all day. Everyday the conflict got more severe and bitter. In the second week Imam Ali (A.S.) came to the battlefield for the first time. After a series of single combats, in which he overcame every opponent with his awesome skill, no body would come to fight him.

He was forced to disguise himself to get anybody to challenge him. On one such occasion, an unsuspecting warrior from Muawiya's side attacked Imam Ali (A.S.). The man was struck with a single sweep of Zulfiqar with such force by Imam Ali (A.S.) that the upper half of his body was severed from the lower half. Those who watched thought that the blow had missed, and it was only when the horse moved and the two halves fell to the ground, that people realized what had happened.

Day after day the loss of lives increased, especially in the ranks of Muawiya. However, Imam Ali (A.S.) also lost several distinguished Companions of the Holy Prophet (S.A.W.) from his side. Amongst them were Hashim bin Utba and Ammar Yasir.

Ammar, who was 93 years old, had been informed by the Holy Prophet (S.A.W.) that he would die fighting rebels and enemies of Islam. This was well known by all, and when he died there was some commotion in Muawiya's army. He managed to quieten them down by saying that, since Ammar had been brought to fight by Imam Ali (A.S.), it was he who was the cause of his death. He said that Imam Ali (A.S.) therefore was the rebel that the prophecy talked about, and not Muawiya. This incredible argument was accepted by his men and war continued until the 13th night.

On that day the commander-in-chief of Imam Ali's (A.S.) army, Malike Ashtar, attacked the enemy ferociously. His shout of Allahu Akbar, every time he killed a man, was heard no less than 400 times.

The hero of the battle began to bring on victory when Amr al-Aas on Muawiya's side said, "Call the enemy to the Word of God."

Muawiya eagerly accepted these words and his men raised 500 copies of the Holy Qur'an on their spears, saying that the Holy Book would decide their differences. This trick had a strange effect on some people in the army of Imam Ali (A.S.), who dropped their weapons and agreed that the Holy Qur'an should decide the matter.

Imam Ali (A.S.) stepped into the battlefield urging his men to continue fighting and ignore the tricks of Muawiya, but they disobeyed. The war thus came to an unsatisfactory end, and it was decided that one representative from each side should meet to reach a final decision.

Imam Ali (A.S.) wanted Abdullah bin Abbas or Malike Ashtar to represent him, but his men insisted that Abu Musa Ash'ari be chosen instead. Muawiya appointed Amr al-Aas to represent him. Abu Musa had neither wit nor tact and was no match for the cunning Amr al-Aas.

In the meeting that took place some months later, Abu Musa was badly tricked by Amr into giving up the rights of Imam Ali (A.S.), and it is as follows.


Decision of the umpires
The time for arbitration having come, the umpires proceeded to Dumat-al-Jondel or Azroh, each with a retinue of four hundred horsemen according to the agreement. Many a leading Chief from Mecca, Medina, Iraq and Syria went there to watch the proceedings, which were to decide the future of Islam. Abdallah bin Abbas, who accompanied Abu-Musa to preside at the daily prayers, while having a discourse with Abu-Musa upon the topic of arbitration, urged him to beware of the crafty ways of his astute colleague and to keep particularly in his mind the fact that Ali had no blemish to render him incapable of government, nor Muawiya any virtue to qualify him for it. When Abu-Musa reached Duma, Amr bin Aas received him with great respect. A private conference was held between the two alone in a pavilion erected for the purpose. Amr was already well aware of the weaknesses in Abu-Musa's character. He treated Abu-Musa with utmost respect and civility till he brought him completely under his influence. Having won his confidence, he made him admit that Osman was foully murdered. Then he asked him why the avenger of his blood, a near relation of his and an able administrator viz. Muawiya should not be taken as his successor. To this Abu-Musa replied that the succession should not be determined on such a basis which would give preference to Osman's Sons as legitimate claimants; but that they must above all things take care lest a mutiny should be kindled or civil wars break again. Upon this Amr bin Aas asked Abu-Musa to reject both Ali and Muawiya, and let the Faithful elect a third. This is the simplest and safest solution of the problem. 'I agree,' said Abu-Musa, let us go forth to pronounce. A tribunal was erected from which each of the umpires was to declare publicly his decision. Abu-Musa wished Amr to go up first, but Amr, alleging reasons to give preference to Ali's man, overcame all his scruples and insisted upon Abu-Musa going up first. Abu-Musa ascended and addressed the people thus: 'Brethren! I and Amr bin Aas, both of us, have given full consideration to the matter and have come to the conclusion that no other course to restore peace and to remove discord from the people can possibly be better than to depose both Ali and Muawiya in order that people may have their choice of a better man in their stead. I therefore depose both Ali and Muawiya from the Caliphate to which they pretend, in the manner as I draw this ring from my finger.' Having made this declaration Abu-Musa came down. Amr bin Aas now took his turn and went up to announce what he had to declare. 'You have heard,' he said, 'how Abu-Musa on his part has deposed his chief Ali; I, on my part, do depose him too and I invest my chief Muawiya with the Caliphate and I confirm him to it, as I put this ring upon my finger. I do this with justice because Muawiya is the avenger of Osman and his rightful successor.' So saying, he came down. This arbitration took place in the month of Ramadan, 37 A.H. or February 658 A.D.

Muawiya thus managed to escape certain defeat at Siffin. The damage done at the battle was great. Muawiya lost 45,000 men and 25,000 men were killed on the side of Imam Ali (A.S.).

Battle of Siffin
Arabic: siffīn


Battle of 657, fought between the forces of Caliph Ali and troops of Mu'awiyya, governor of Damascus. The scene, the field of Siffin, was near modern Raqqa in northern Syria, and the battle lasted for about 2 weeks during the months of June and July.

The battle had important consquences for Islam, causing its first schism when the group of Kharijis leaft the main fold of Islam, as well as paving the ground for the Umayyad Dynasty.
The background for the battle was the situation after the assassination of Caliph Uthman in 656, a kinsman of Mu'awiyya. Mu'awiyya claimed revenge for the killing, and indicated that Ali had been implicated. He therefore proposed a claim for the caliphate, and the two armies facing each other at Siffin was Ali's way of trying to regain control over Syria, thereby legitimizing his position as leader of the Muslim territories.


The battle would last for a couple of weeks, with Ali's party on the offensive. With few of his men left, one day Mu'awiya sent his troops out to fight with leaves of the Koran to their lances. Thereby they both claimed that they would leave the judgement of the caliphate to God, and also prevented Ali's troops from attacking.


Instead the two agreed to settle their differences by negotiations. The negotiations took place about half a year later, in February 658, with an envoy from each side. Ali's was outsmarted by Mu'awiyya's, and managed to stage an event in which it seemed as if he accepted Mu'awiyya being appointed caliph. Ali immediately protested, and the conflict between him and Mu'awiyya would continue for 3 more years, when Ali died and Mu'awiyya assumed the caliphate and had its court and administration moved to Damascus.


A group of Ali's followers had never accepted the negotiations, and now 4,000 of them rose in revolt against him. From them, the Kharijis would come.

THE RIGHTLY GUIDED CALIPHS:

With the death of Muhammad, the Muslim community was faced with the problem of succession. Who would be its leader? There were four persons obviously marked for leadership: Abu Bakr al-Siddiq, who had not only accompanied Muhammad to Medina ten years before, but had been appointed to take the place of the Prophet as leader of public prayer during Muhammad's last illness; 'Umar ibn al-Khattab, an able and trusted Companion of the Prophet; 'Uthman ibn 'Affan, a respected early convert; and 'Ali ibn Abi Talib, Muhammad's cousin and son-in-law. To avoid contention among various groups, 'Umar suddenly grasped Abu Bakr's hand, the traditional sign of recognition of a new leader. Soon everyone concurred and before dusk Abu Bakr had been recognized as the khalifah of Muhammad. Khalifah- anglicized as caliph - is a word meaning "successor" but also suggesting what his historical role would be: to govern according to the Quran and the practice of the Prophet. 

Abu Bakr's caliphate was short but important. An exemplary leader, he lived simply, assiduously fulfilled his religious obligations, and was accessible and sympathetic to his people. But he also stood firm when, in the wake of the Prophet's death, some tribes renounced Islam; in what was a major accomplishment, Abu Bakr swiftly disciplined them. Later, he consolidated the support of the tribes within the Arabian Peninsula and subsequently funnelled their energies against the powerful empires of the East: the Sassanians in Persia and the Byzantines in Syria, Palestine, and Egypt. In short, he demonstrated the viability of the Muslim state. 

The second caliph, 'Umar- appointed by Abu Bakr in a written testament - continued to demonstrate that viability. Adopting the title Amir al-Muminin, "Commander of the Believers," 'Umar extended Islam's temporal rule over Syria, Egypt, Iraq, and Persia in what from a purely military standpoint were astonishing victories. Within four years after the death of the Prophet the Muslim state had extended its sway over all of Syria and had, at a famous battle fought during a sandstorm near the River Yarmuk, blunted the power of the Byzantines - whose ruler Heraclius had shortly before disdainfully rejected the letter from the unknown Prophet of Arabia. 

Even more astonishingly, the Muslim state administered the conquered territories with a tolerance almost unheard of in that age. At Damascus, for example, the Muslim leader Khalid ibn al-Walid signed a treaty which read as follows:
This is what Khalid ibn al-Walid would grant to the inhabitants of Damascus if he enters therein: he promises to give them security for their lives, property and churches. Their city wall shall not be demolished, neither shall any Muslim be quartered in their houses. Thereunto we give them the pact of Allah and the protection of His Prophet, the caliphs and the believers. So long as they pay the poll tax, nothing but good shall befall them. 

This tolerance was typical of Islam. A year after Yarmuk, 'Umar, in the military camp of al-Jabiyah on the Golan Heights, received word that the Byzantines were ready to surrender Jerusalem and rode there to accept the surrender in person. According to one account, he entered the city alone and clad in a simple cloak, astounding a populace accustomed to the sumptuous garb and court ceremonials of the Byzantines and Persians. He astounded them still further when he set their fears at rest by negotiating a generous treaty in which he told them:
In the name of God ... you have complete security for your churches which shall not be occupied by the Muslims or destroyed. 

This policy was to prove successful everywhere. In Syria, for example, many Christians who had been involved in bitter theological disputes with Byzantine authorities- and persecuted for it- welcomed the coming of Islam as an end to tyranny. And in Egypt, which 'Amr ibn al-'As took from the Byzantines after a daring march across the Sinai Peninsula, the Coptic Christians not only welcomed the Arabs, but enthusiastically assisted them. 

This pattern was repeated throughout the Byzantine Empire. Conflict among Greek Orthodox, Syrian Monophysites, Copts, and Nestorian Christians contributed to the failure of the Byzantines - always regarded as intruders - to develop popular support, while the tolerance which Muslims showed toward Christians and Jews removed the primary cause for opposing them. 

'Umar adopted this attitude in administrative matters as well. Although he assigned Muslim governors to the new provinces, existing Byzantine and Persian administrations were retained wherever possible. For fifty years, in fact, Greek remained the chancery language of Syria, Egypt, and Palestine, while Pahlavi, the chancery language of the Sassanians, continued to be used in Mesopotamia and Persia. 

'Umar, who served as caliph for ten years, ended his rule with a significant victory over the Persian Empire. The struggle with the Sassanid realm had opened in 687 at al-Qadisiyah, near Ctesiphon in Iraq, where Muslim cavalry had successfully coped with elephants used by the Persians as a kind of primitive tank. Now with the Battle of Nihavand, called the "Conquest of Conquests," 'Umar sealed the fate of Persia; henceforth it was to be one of the most important provinces in the Muslim Empire.
His caliphate was a high point in early Islamic history. He was noted for his justice, social ideals, administration, and statesmanship. His innovations left all enduring imprint on social welfare, taxation, and the financial and administrative fabric of the growing empire. 

After the death of 'Umar an advisory council composed of Companions of the Prophet selected as the third caliph 'Uthman, during whose rule the first serious strains on Islamic unity would appear. 'Uthman achieved much during his reign. He pushed forward with the pacification of Persia, continued to defend the Muslim state against the Byzantines, added what is now Libya to the empire, and subjugated most of Armenia. 'Uthman also, through his cousin Mu'awiyah ibn Abi Sufyan, the governor of Syria, established an Arab navy which fought a series of important engagements with the Byzantines. 

Of much greater importance to Islam, however, was 'Uthman's compilation of the text of the Quran as revealed to the Prophet. Realizing that the original message from God might be inadvertently distorted by textual variants, he appointed a committee to collect the canonical verses and destroy the variant recensions. The result was the text that is accepted to this day throughout the Muslim world. 


These successes, however, were qualified by serious administrative weaknesses. 'Uthman was accused of favoritism to members of his family - the clan of Umayyah. Negotiations over such grievances were opened by representatives from Egypt but soon collapsed and 'Uthman was killed - an act that caused a rift in the community of Islam that has never entirely been closed. 

This rift widened almost as soon as 'Ali, cousin and son-in-law of the Prophet, was chosen to be the fourth caliph. At issue, essentially, was the legitimacy of 'Ali's caliphate. 'Uthman's relatives - in particular Mu'awiyah, the powerful governor of Syria, where 'Ali's election had not been recognized - believed 'Ali's caliphate was invalid because his election had been supported by those responsible for 'Uthman's unavenged death. The conflict came to a climax in 657 at Siffin, near the Euphrates, and eventually resulted in a major division between the Sunnis or Sunnites and the Shi'is (also called Shi'ites or Shi'ah), the "Partisans" of 'Ali- a division that was to color the subsequent history of Islam.
Actually the Sunnis and the Shi'is are agreed upon almost all the essentials of Islam. Both believe in the Quran and the Prophet, both follow the same principles of religion and both observe the same rituals. However, there is one prominent difference, which is essentially political rather than religious, and concerns the choice of the caliph or successor of Muhammad. 

The majority of Muslims support the elective principle which led to the choice of Abu Bakr as the first caliph. This group is known as ahl alsunnah wa-l-jama'ah, "the people of custom and community," or Sunnis, who consider the caliph to be Muhammad's successor only in his capacity as ruler of the community. The main body of the Shi'is, on the other hand, believes that the caliphate - which they call the imamate or "leadership" - is nonelective. The caliphate, they say, must remain within the family of the Prophet - with 'Ali the first valid caliph. And while Sunnis consider the caliph a guardian of the shari'ah, the religious law, the Shi'is see the imam as a trustee inheriting and interpreting the Prophet's spiritual knowledge. 

After the battle of Siffin, 'Ali - whose chief strength was in Iraq, with his capital at Kufa - began to lose the support of many of his more uncompromising followers and in 661 he was murdered by a former supporter. His son Hasan was proclaimed caliph at Kufa but soon afterward deferred to Muiawiyah, who had already been proclaimed caliph in Jerusalem in the previous year and who now was recognized and accepted as caliph in all the Muslim territories - thus inaugurating the Umayyad dynasty which would rule for the next ninety years. 

The division between the Sunnis and the Shi'is continued to develop in 680 when Ali's son Husayn along with his followers was brutally killed at Karbala in Iraq by the forces of the Umayyad ruler Yazid. His death is still commemorated every year during the Islamic month of Muharram.

  • [indonesian] memandang-perang-shiffin-bukan-dari-mata-pendengki/ Al manar

Memandang Perang Shiffin Bukan dari Mata Pendengki

Shiffin merupakan sebuah wilayah berada di antara Kufah dan Syam. Di tempat itulah terjadi pertempuran antara pendukung Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Banyak pihak yang masih menilai bahwa perang tersebut disebabkan perebutan kekuasaan antara kedua sahabat muliya itu. Padahal kalau merujuk kembali sejarah yang ditulis para ulama, prasangka buruk tidaklah benar. Dan yang tidak pula kalah pentingnya, bahwa sebenarnya kadua sahabat tersebut beserta mayoritas umat Islam yang hidup di masa itu sama sakali tidak menginginkan pertumpahan darah, pengikut Abdullah bin Saba’ lah yang sebenarnya menjadi pemantiknya. Untuk mengetahui lebih detail mengenai persoalan itu, silahkan menyimak.


Dari Dendam terhadap Muawiyah Bermula
Peristiwa perang Shiffin tidak berdiri sendiri, dendam lama pengikut Abdullah bin Saba’ terhadap Muawiyah adalah faktor yang cukup menentukan.

Gerakan makar yang dilakukan Abdullah bin Saba’ beserta pendukungnya sudah terjadi sejak zaman Khalifah Utsman. Gerakan khas yang banyak mereka lakukan adalah menjelek-jelekkan citra pejabat negara, dan menyebarkannya di tengah-tengah rakyat, hingga mereka tidak munyukai para pemimpin mereka. Amru bin Ash, gubernur Mesir adalah sasaran pertama, hingga beliau diturunkan dari jabatannya. Selanjutnya, ”kelompok Mesir” mengajak para pendukungnya yang sudah tersebar di Syam, Kufah dan Bashrah untuk melawan gubernur mereka, tapi hanya ”kelompok Kufah yang bangkit, hingga Said bin Ash, pun turun dari jabatannya. Selanjutnya, dari Kufah bergeser menuju Mawiyah yang berada di Syam. Akan tetapi, upaya mereka untuk menjatuhkan Muawiyah tidak mampu mereka laksanakan, dan beliau tetap memimpin wilayah Syam walau selanjutnya mereka berhasil membunuh Khalifah Utsman.

Muawiyah telah menjabat sebagai gubernur di Syam sejak masa Khalifah Umar bin Al Khattab. Di masa Utsman menjadi khalifah, Muawiyah tetap menjadi gubernur wilayah itu. Keadaan ini tetap berlangsung hingga Ali bin Abi Thalib dibaiat penduduk Madinah, tidak lama setelah Ustman terbunuh oleh kelompok Saba’iyah (pengikut Abdullah bin Saba’).

Posisi Gubernur Muawiyah terjaga dari gerakan ”makar Sabaiyah” disebabkan ada beberapa hal yang mendukung, yakni, bahwa di wilayah itu banyak tinggal para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW), seperti Muadz bin Jabal, Ubadah bin As Shamit, Abu Darda, Abu Siad Al Khudri, Syadad bin Aus, Nu’man bin Bashir, Fudhalah bin Ubaid dan yang lainnya. Dengan demikian, penduduk Syam lebih mudah memperoleh pemahaman Islam yang baik, di bawah bimbingan para sahabat tersebut, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh hasutan Khawarij Saba’iyah. Selain itu, kedekatan Muawiyah dengan rakyat Syam juga mempersulit gerakan makar ini.Apalagi Muawiyah memahami kerakter kelompok ini, karena beliau pernah berhadapan dengan mereka di saat Khalifah Utsman Masih hidup. “Telah keluar kepadamu sekelompok penduduk Kufah, untuk membuat fitnah, hadapilah mereka. Jika mereka burbuat baik-baik terimalah, akan tetapi jika mereka melemahkanmu, maka kembalikan ke Kufah”, pesan Utsman kepada Muawiyah, sebagaimana dicatat dalam Tarikh At Thabari (5/138).

Benar adanya, mereka datang kepada Muawiyah, dan meminta agar Muawiyah melepas jabatannya. Muawiyah menjawab,”Seandainya ada orang lain yang lebih mampu daripada saya, maka saya dan yang lainnya tidak menduduki jabatan ini. Jangan tergesa-gesa, karena hal ini mirip apa yang diharapkan syetan”. Kamudian mereka dikeluarkan dari Syam.

Dan setelah wafatnya Utsman, kelompok inilah yang pertama-tama membaiat Ali bin Abi Thalib. Rupanya, kesegeraan mereka melakukan bai’at, memiliki misi tersembunyi, yang perlahan-lahan tersingkap setelah nanti berbagai peristiwa yang berkenaan dengan sahabat Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah terjadi.

Permulaan Perselisihan antara Ali dan Muawiyah
Sebenarnya tidak ada perselisihan antara kedua sahabat Rasulullah sebelumnya, akan tetapi yang ada malah perselisihan antara pengikut Abdullah bin Saba’ dan Muawiyah, disebabkan Muawiyah amat getol menyerukan dilakukannya hukuman hadd kepada mereka, atas terbunuhnya Utsman dan beliau yang membuka berhasil membuka kedok kelompok pembuat makar tersebut.

Dan kelompok ini sudah bergabung dalam barisan Ali bin Abi Thalib. Sehingga Dr. Hamid Muhammad Khalifah, dalam buku beliau Al Inshaf (hal.418), menyebutkan,”Sesungguhnya sebab-sebab yang membuat meruncingnya hubungan Ali dan Muawiyah adalah adanya para ”provokator” dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang ingin memerangi Muawiyah.”
Perselisihan dimulai setelah Ali memutuskan untuk mengganti Muawiyah dengan sahabat Sahl bin Hunaif. Pengganti yang telah ditunjuk tersebut bersama rombongan pergi Syam. Sesampai di wilayah Tabuk, sejumlah pasukan Muawiyah menemui rombongan itu dan meminta mereka kembali. Mengetahui demikian, Ali mengirim surat kepada gubernur Syam itu, akan tetapi surat itu tidak dibalas, hingga tiga bulan setelah syahidnya Utsman.

Sampai akhirnya Muawiyah mengutus Qubishah Al Abasi, untuk menyampaikan kepada Amir Al Mukminin Ali, bahwa alasan penduduk Syam tidak melakukan baiat, karena mereka meminta agar pelaku atas pembunuhan Utsman diadili. Ali pun mengatakan,”Ya Allah sesungguhnya saya berlepas diri kepada Engkau dari darah Utsman,”

Setelah Qubishah keluar, kaum Saba’yah mengatakan,”Ini anjing, ini adalah utusan anjing, bunuhlah ia!” Saat itu kelompok ini mengerumuni Qubishah, akan tetapi Bani Mudhar mencegah mereka, sebagaimana disebut dalam Tarikh At Thabari (5/215).

Periwayatan ini menjukkan bahwa kaum Saba’iyah memang masih menyimpan dendam, karena gagal menjatuhkan Muawiyah dari jabatannya sebagai gubernur Syam untuk ke sekian kalinya.
Di saat Ali berada di Bashrah saat terjadi perang Jamal, disebutkan Imam Al Bukhari dalam At Tarikh As Saghir (1/102), bahwa Imam Ali berada di wilayah itu hanya satu bulan, dan tidak berniat keluar menuju Syam, kecuali setelah ada desakan dari Saba’iyah.

Dalam At Tarikh At Thabari (5/282) disebutkan,”Saba’iyah inginkan Ali segera meninggalkan Bashrah, hingga mereka melakukan perjalanan tanpa meminta izin kepadanya. Sebab itulah Ali mengikuti jejak mereka, guna menyingkap apa kemauan mereka, dan itulah yang sebenarnya yang mereka inginkan.”

Al Asytar dan Ali bin Abi Thalib
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib ada kelompok ”provokator”, salah satu dari pemimpin mereka adalah seorang laki-laki yang bernama Al Asytar An Nakhai. Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa sebelum meninggalkan Bashrah, Ali bin Abi Thalib menunjuk Ibnu Abbas untuk ”memegang” wilayah itu. Al Asytar An Nakhai tidak menerima keputusan Amir Al Mukminin tersebut, dengan penuh amarah ia pergi meninggalkan beliau, sebagaimana tertulis dalam Tarikh At Thabari (5/239).

Bahkan kelompok Al Asytar sempat juga mengancam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana tertulis dalam Tarikh At Thabari (6/40), tatkalah salah satu sahabat Al Asytar, Al Asy’as bin Qais berkata kepada beliau,”Apakah kita hanya memperhatikan hukuman Al Asytar?” Amir Al Mukminin menjawab,”Apa hukumannya?” Al Asy’as berkata,”Hukumannya adalah timbulnya peperangan antara kita.” Beliau menjawab,”Tidakkah ada yang membakar bumi, kecuali Al Asytar?”
Sesampainya di Kufah, Amir Al Mukminin mengutus sahabat Jarir bin Abdullah Al Bajali kepada Muawiyah, untuk kembali menyeru agar Muawiyah melakukan baiat, dan memberi kabar bahwa kalangan Muhajirin dan Anshar telah membaiatnya, sebagaimana disebut dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/265).

Sekali lagi, Al Asytar tidak menyukai sikap yang diambil oleh Amir Al Mukminin ini, dikarenakan kemulyaan akhlak yang dimiliki Jarir. Utusan ini kembali ke Kufah dengan memberi kabar, bahwa Muawiyah enggan melakukan baiat, dikarenakan belum ditegakkan hukum hadd kepada si pembunuh Utsman. Jika ditegakkan hadd, maka beliau bersedia melakukan baiat.

Mendengar penuturan Jarir, Al Asytar mengatakan kepada Amirul Mukminin, ”Bukankah saya telah melarangmu untuk mengutus Jarir? Kalau engkau mengutusku, maka Muawiyah tidak akan membuka pintu, kecuali aku yang menutupnya.”
Mendengar ucapan Al Asytar, Jarir membalas,”Kalau engkau yang datang, mereka akan membunuhmu, disebabkan terbunuhnya Utsman.”
Al Asytar tidak mau kalah, ”Kalau Amir Al Mukminin mematuhiku, maka ia akan mengurungmu, beserta orang-orang sepertimu, hingga perkara ini menjadi lebih baik.”. Jarir marah, hingga belau mememutukan untuk keluar dari Kufah, menuju Firqisiya’ wilayah yang pernah beliau pimpin saat menjadi gubernur di masa Utsman, kisah ini disebutkan dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah (7/294).

Sikap buruk yang membuat sahabat Jarir keluar di atas menunjukkn bahwa para pembesar pembuat fitnah sudah berada dalam tubuh kekhalifahan. Dan peristiwa ini juga menunjukkan bagaiamana usaha mereka untuk selalu menggagalkan usaha perdamaian.

Bukan Perebutan Kursi Kekuasaan
Ada pihak yang menilai bahwa perang Shiffin terjadi karena perebutan kekuasaan antara Ali dan Muawiyah, sayang sekali pandangan ini tidak memiliki dasar kuat.

Setelah kembalinya utusan Amir Al Mukminin dari Syam, dan gamblangnya pendirian penduduk Syam, bahwa mereka enggan melakukan baiat, kecuali dilaksanakan hukuman hadd atas pelaku pembunuhan Utsman. Maka, eksistensi kelompok Saba’iyah semakin terncam, karena merekalah yang berdiri di balik peristiwa tragis itu.

Tidak ada cara lain bagi mereka, kacuali mendesak Amirul Mukminin untuk menghadapi Muawiyah. Disebutkan dalam Al Bidayah wa An Nihayah (8/10),”Maka para tokoh yang secara langsung terlibat pembunuhan Utsman,yang berada di sekitar Ali bin Abi Thalib, memberi saran, agar beliau memecat Muawiyah dari jabatannya sebagai gubernur Syam.”

Saat itu Amir Al Mukminin pun melihat bahwa pelaksanaan hadd tidak bisa dilakukan kacuali setelah baiat bisa diselesaikan, apalagi para pelakunya berkeliaran di sekitar beliau dan jumlah mereka pun banyak, ini semakin menyulitkan posisi beliau.

Mayoritas Umat Tak Menghendaki Perang
Sudah maklum, bahwa umat Islam di masa peperangan Siffin adalah generasi yang amat dekat dengan masa Rasulullah (SAW), dimana mereka amat memahami, bagaimana berinteraksi dengan sesama Muslim, hingga mayoritas umat Islam, baik di Syam maupun Kufah, bahkan Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib sebenarnya sama-sama menghindari adanya pertumpahan darah.Hal ini bisa dilihat, bagaimana usaha mereka dalam berunding, menghindari peperangan dan usaha penduduk Kufah yang menghalangi jalannya pasukan Khalifah menuju Syam.

Diriwayatkan dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/267), bahwa Imam Ali telah mengirimkan pasukan pembuka, yang berjumlah 8 ribu tentara. Pasukan ini menuju Syam dengan melewati sisi kanan sungai Eufrat, sedangkan pasukan Khalifah melewat sisi kirinya. Karena khawatir adanya serangan dari Muawiyah, disebabkan sedikitnya jumlah mereka, maka pasukan ini berancana bergabung dengan pasukan Khalifah di seberang, dengan melalui penyeberangan di wilayah ‘Anat, akan tetapi apa yang terjadi, penduduk kota wilayah itu menghalangi mereka. Tidak bisa melalui ‘Anat, pasukan hendak melalui penyeberangan lainnya, yang berada di wilayah Hiit, akan tetapi, seperti yang sudah-sudah, mereka dihalangi oleh penduduk setempat. Akhirnya, mereka terlambat, dan bertemu dengan pasukan Ali yang sudah berada di depan mereka.

Selanjutnya penduduk Qirqisiya’ menghalangi pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib itu, sedangkan penduduk Ar Riqah mengumpulkan seluruh perahu mereka dan enggan membantu pasukan itu menyeberang menuju Shiffin, hingga mereka memutuskan untuk menyeberang di wilayah Manbaj.
Sikap Khalifah Ali yang lemah lembut terhadap mereka yang menghalangi perjalanan pasukannya menunjukkan bahwa tujuan utama bukanlah menumpahkan darah, akan tetapi melakukan ishlah. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Al Asytar, yang juga berada dalam barisan yang sama, terhadap mereka yang enggan membantu penyeberangan ia mengancam”Jika tidak kalian lakukan, aku benar-benar akan membunuh para laki-laki, merusak tanah atau mengambil harta.” Riwayat ini termaktub dalam Tarikh At Thabari (5/229).

Awal mulanya, Khalifah masih mempercayai Al Asytar, karena tidak menilai, bahwa pria itu adalah salah satu pembunuh Utsman, walau ia adalah salah satu pemimpin Khawarij. Akan tetapi ada indikasi bahwa akhirnya beliau merubah pandangan tersebut. Diceritakan Al Hakim dalam Al Mustadrak (3/107), bahwa saat itu, penduduk Nakha’ berkumpul di dalam rumah Al Asytar. Ali bin Abi Thalib menyeru kepada mereka,”Apakah di dalam rumah hanya ada Al Asytar?” Mereka menjawab, ”tidak.” Khalifah kembali mengatakan,”Umat ini bersandar kepada kaluarga yang paling baik, akan tetapi mereka telah membunuhnya (Utsman). Sesungguhnya kami memerangi Bashrah karena baiat yang kami takwilkan, sedangkan kalian bergerak menuju sebah kaum yang kami tidak dibaiat oleh mereka (Syam), handaklah setiap orang melihat, dimana pedang harus diletakkan.”
Dialog di atas menunjukkan bahwa Amirul Mukminin telah memperingatkan Al Asytar, mengenai keputusannya untuk pergi ke Shiffin, dan menjelaskan bahwa tidak perlu dilakukan pertempuran di sebuah wilayah yang tidak terikat oleh Baiat, semisal Syam.

Niatan Amirul Mukminin untuk tidak mengutamakan kekuatan senjata didukung dengan riwayat yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah (8/127) yang menyebutkan, bahwa Khalifah Ali mengirim utusan ke Damaskus untuk membawa pesan kepada penduduk Syam, bahwa beliau telah berdiri di atas rakyat Iraq untuk ingin mengetahui ketaatan penduduk Syam terhadap Muawiyah. Ketika perkara itu sampai kepada Muawiyah, beliau naik mimbar masjid dan mengatakan kepada jama’ah,”Sesungguhnya Ali telah berdiri di penduduk Iraq untuk kalian. Apa pendapat kalian?” Para jama’ah tidak berkata-kata, hingga seorang ada yang mengatakan,”Anda yang berfikir, kami yang melaksanakan.” Akhirnya Muawiyah memerintahkan agar mereka bersiap-siap membentuk pasukan menjadi 3 bagian.

Setelah itu, kembalilah utusan menuju Khalifah Ali bin Abi Thalib lalu mengabarkan, apa yang terjadi di Syam. Ali akhirnya naik mimbar dan mengatakan kepada jama’ah,”Muawiyah telah mengumpulkan pasukan untuk memerangi kalian, apa pendapat kalian?” Semua hadirin terheran dan berbiacara satu sama lain. Khalifah Ali akhirnya turun dari mimbar, dengan mengatakan,”la haula wa la quwwata ila billah.”


Kenapa Ali Tak Segera Menghukum Para Pembunuh Utsman?

Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/242) setelah menjelaskan, bahwa kaum yang ikut serta membunuh Utsman termasuk kelompok awal yang ikut mambaiat Ali bin Abi Thalib, beliau mengatakan,”Padahal Ali membenci mereka, dan berusaha menghindar dari kelompok tersebut serta sangat menginginkan agar beliau bisa menundukkan mereka, hingga hak Allah bisa ditegakkan hak Allah (yakni hukuman hadd).”

Disebutkan juga oleh Ibnu Katsir bahwa, setelah Ali dibaiat, para tokoh sahabat beserta Thalhah dan Zubair menemui beliau dan meminta agar dilaksanakan hukuman kepada para pembunuh Utsman. Ali menyatakan udzur untuk melaksanakan hal itu di waktu itu, karena kekuatan mereka yang besar dan memiliki pendukung. Bahkan Ali meminta kepada Zubair untuk memerintah Kufah dan Thalah untuk memerintah Bashrah, dan beliau siap membekali keduanya dengan pasukan, agar bisa memperkuat dalam menghadapi kekuatan kaum Khawarij.

Akhirnya, para sahabat, termasuk Thalhah dan Zubair mendatangi lagi Ali, setelah menunggu beberapa waktu dan melihat Khalifah belum melakukan ”apa-apa” untuk menghukum kaum Khawarij. ”Wahai saudaraku, bukannya saya tidak mengerti masalah itu, akan tetapi apa yang mampu saya perbuat atas sebuah kaum yang menguasai kita akan tetapi kita tidak menguasa mereka? Mereka berada di sekitar kalian, sesuka hati mereka, apakah kalian melihat ada peluang untuk melakukan hal yang kalian inginkan?” Mereka menjawab,”Tidak”. Ali mengatakan,”Tidak, demi Allah saya tidak melihat, kacuali apa yang telah kalian lihat insyaallah.”

Jelas, dari penjelasan di atas, tidak diragukan lagi, Ali sendiri berkeinginan untuk menegakkan hadd kepada para pembunuh Utsman, tapi beliau merasa kesulitan, karena mereka sendiri berada di sekeliling khalifah, dan kekuatan mereka tidak bisa diremehkan, hingga para sahabat pun mengakui hal tersebut.


Upaya Perdamaian di Shiffin
Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Shiffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan, dengan mengharap pertempuran bisa terhindar.

Dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/272) disebutkan bahwa Abu Muslim Al Khaulani beserta beberapa orang mendatangi Muawiyah dengan mengatakan,”Apakah engkau melawan Ali ataukah engkau juga sepertinya?” Muawiyah menjawab, ”Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengatahui kalau ia (Ali) lebih baik dariku, lebih utama dan lebih berhak dalam masalah ini (kekhalifahan) daripada aku. Akan tetapi bukanlah kalian mengetahui bahwa Utsman terbunuh dengan keadaan terdhalimi, sedangkan saya adalah sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan kepadanya, agar ia menyerahkan pembunuhnya, maka saya menyerahkan persoalan ini kepadanya.

Diriwayat yang lain juga disebutkan, bahwa Abu Darda’ dan Abu Umamah mendatangi Muawiyah, dengan isi percakapan yang hampir sama dengan riwayat sebelumnya. Setelah itu keduanya kembali kepada Ali bin Abi Thalib, dan beliau mengatakan,”Mereka adalah orang-orang yang kalian maksudkan.” Maka keluarlah banyak orang, dan mengatakan,”Kami semua yang telah membunuh Utsman, siapa yang berkehendak maka silahkan dia melemparkan kami.”

Dalam Minhaj As Sunnah (4/384) juga dinukil bagaimana sikap para pendukung Muawiyah, mangapa mereka tidak membaiat Ali.”Kami jika membaiat Ali, maka pasukannya akan mendhalimi kami, sabagaimana mereka mendhalimi Utsman, sedangkan Ali tidak mampu melakukan pembelaan terhadap kami.”

Dari periwayatan di atas semakin jelas, bahwa memang kedua belah pihak, baik Ali dan Muawiyah tidak berselisih mengenai jabatan kekhalifahan, dan keduanya memang tidak bermaksud menyerang satu sama lain, kecuali pihak pengikut Saba’iyah yang berada di barisan Amirul Mukminin, yang selalu menginginkan adanya konflik antara Ali dan Muawiyah. Dan Muawiyah tetap berdiri tegak guna melawan para pengiku Abdullah bin Saba’ yang berada dalam pasukan Khalifah.


Khawarij yang Berbalik ”Menikam” Khalifah
Berbagai upaya menghentikan peperangan dilakukan kedua belah pihak, tapi kaum Saba’iyah terus berusaha memantiknya.

Para utusan terus melakukan perundingan, dan pasukan kedua belah pihak sama-sama menahan diri untuk melakukan serangan, hingga berakhirnya bulan-bulan haram di tahun itu (37 H). Pasukan Kufah menyeru kepada pasukan Syam, ”Amir Al Mukminin telah menyeru kepada kalian, aku telah memberi tenggang waktu untuk kalian, agar kembali kepada al haq, dan saya telah menegakkan atas kalian hujah, akan tetapi kalian tidak menjawab…”

Pasukan Syam menjambut seruan itu, dengan mempersiapkan diri di shafnya masing-masing. Pada hari Rabu, tanggal 7 pada bulan Safar, pertempuran berlangsung pada hari Rabu, Kamis, Jumat serta malam Sabtu. Dalam Al Aqdu Al Farid (4/3140) disebutkan bahwa kdua pihak bersepakat bahwa mereka yang terluka harus dibiarkan, begitu pula mereka yang melarikan diri tidak boleh dikejar, mereka yang meletakkan senjata akan aman, tidak boleh mengambil benda milik mereka yang meninggal, serta mereka mendoakan dan menshalati jenazah yang berada di antara kedua belah pihak.

Mayoritas sahabat tidak ikut serta dalam pertempuran ini. Pada saat itu jumlah mereka sekitar 10 ribu, akan tetapi yang ikut serta tidak lebih dari 30 sahabat saja, sebagaimana riwayat yang disebutkan dalam Minhaj As Sunnah (6/237).

Riwayat mengenai jumlah pasukan yang terbunuh di kedua belah pihak berbeda satu sama lain, akan tetapi Ibnu Katsir menyebutkan dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/288) bahwa pasukan Kufah berjumlah 120 ribu orang, terbunuh 40 ribu, sedangkan pasukan Syam berjumlah 60 ribu, dan yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang.


Terbunuhnya Amar bin Yasir

Peristiwa terbunuhnya sahabat Amar bin Yasir dalam pertempuran Shiffin memberi pengaruh amat besar bagi kedua belah pihak, dimana sebelumnya Rasulullah (SAW) telah berkata kepada Amar, bahwa ia tidak meninggal, kecuali terbunuh di antara dua kelompok orang-orang mukmin, sebagaimana disebutkan Al Bukhari dalam Tarikh As Saghir (1/104).

Sedangkan Amru bin Ash, sahabat yang bergabung dalam barisan Muawiyah pernah mendengar bahwa Rasulullah bersabda mengenai Amar bin Yasir, sebagaimana termaktub dalam Al Majma’ Az Zawaid (7/244) ”Sesungguhnya orang yang membunuh dan mengambil hartanya (sebagai ghanimah) akan masuk neraka.” Lalu ada yang mengatakan kepadanya,”Sesungguhnya engkau yang memeranginya!” Amru bin Ash menjawab,”Sesungguhnya yang disabdakan adalah pembunuh dan perampas hartanya.”.

Hadits di atas menunjukkan bahwa memang kedua belah pihak mengetahui keutamaan masing, masing dan tidak ada kesengajaan untuk berniat saling membunuh.


Meninggikan Mushaf
Bisa dikatakan bahwa peristiwa penting dalam perang Shiffin adalah pangangkatan tinggi-tinggi mushaf Al Qur`an, hingga pertempuran itu berakhir. Disebutkan dalam beberapa periwayatan bahwa ketika pertempuran berlangsung amat sengit banyak para ulama yang menyeru, baik dalam barisan pasukan Syam maupun Kuffah,”Jika kita besok baru berhenti (bertenpur) maka Arab akan sirna, dan hilangnya kehormatan…”

Muawiyah yang juga mendengar khutbah itu membenarkan,”Benar, demi Rabb Ka’bah, jika kita masih berperang esok, maka Romawi akan mengincar para wanita dan keturunan kita. Sedangkan Persia akan mengincar para wanita dan ketururnan Iraq. Ikatlah mushaf-mushaf di ujung tombak kalian.”

Maka saat itu, pasukan Syam menyeru,”Wahai pasukan Iraq diantara kami dan kalian adalah Kitabullah!” Muawiyah memerintahkan seorang utusan untuk menghadap kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, ”Iya, diantara kami dan kalian adalah Kitabullah, dan kami telah mendahulukan hal itu.” Jawab beliau.

Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi sebelumnya, para pengikut Abdullah bin Saba’ enggan menerima usulan untuk berdamai, mereka ingin agar Khalifah Ali meneruskan pertempuran. Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (8/336) bahwa kaum Khawarij mendatangi Ali bin Abi Thalib, dengan pedang di atas pundak mereka,”Wahai Amir Al Mukminin, tidakkah sebaiknya kita menyongsong mereka, hingga Allah memberi keputusan antara kita dan mereka.” Usulan ini ditentang keras oleh sahabat Sahl bin Hunaif Al Anshari. ”Tuduhlah diri kalian! Kami telah bersama Rasulullah (SAW) saat peristiwa Hudaibiyah. Kalau sendainya kami berpendapat akan berperang, maka kami perangi (tapi kenyataannya mereka tidak berperang)”.

Sahl juga menjelaskan bahwa setelah perjanjian damai dengan kaum musyrikin itu turunlah surat Al Fath kepada Rasulullah (SAW). Ali bin Abi Thalib pun menyambut pendapat Sahl, ”Wahai manusia, ini adalah fath (hari pembebasan).” Seru Ali bin Abi Thalib, akhirnya pertempuran itu pun berakhir.

Peristiwa Tahkim
Tahkim adalah penunjukkan dua pihak yang berselisih terhadap seseorang yang adil, dengan tujuan agar memberi keputusan terhadap dua pihak tersebut. Kedua pihak yang terlibat pertempuran Shiffin, yakni Ali dan Muawiyah telah sepakat memilih Abu Musa Al Asy’ari untuk menjadi penengah. Sesuai dengan yang ditulis oleh Ibnu Hibban dalam At Tsiqat (2/293), hasil tahkim berisi, bahwa Ali bin Abi Thalib ditetapkan membawahi wilayah Iraq dan penduduknya, sedangkan Muawiyah ditetapkan membawahi wilayah Syam beserta para penduduknya, tidak ada penggunaan senjata, dan hal ini berlaku dalm satu tahun. Jika sudah melewati masanya, kedua belah pihak bisa menolaknya, atau bisa memperpanjang. Dari kandungan tersebut, bisa disimpulkan bahwa Muawiyah tidak ada keharusan untuk membaiat Ali, bagitu juga Ali, tidak ada keharusan untuk menghukum pembunuh Utsman.

Dengan demikian, tidak ada lagi peperangan antara Syam dan Iraq, Muawiyah tetap tidak membaiat Ali, dan Ali pun tetap tidak menghukum para pembunuh Utsman. Dan konflik pun bergeser antara Khalifah Ali dengan Kaum khawarij, yang semula menjadi pendukung Amir Al Mukminin, yang tidak menyukai perdamaian antara Iraq dan Syam. Lantas mereka mengisukan bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak setuju dengan hasil yang telah diputuskan.Hingga akhirnya beliau menegaskan,”Barang siapa mengira bahwa aku tidak setuju dengan hasil tahkim, maka ia telah berbohong, barang siapa berfikiran demikian maka ia telah sesat. Akhirnya kaum Khawarij keluar dari masjid, dengan mengatakan,”la hukma illa lillah”, atau tidak ada hukum selain hukum Allah. Sehingga ada yang mengatakan kepada Khalifah,”Mereka telah keluar dari ketaatan terhadapmu.”Saya tidak akan memerangi mereka, hingga mereka memerangi kami, dan mereka akan melakukannya.” Hal ini disebutkan Ibnu Abdi Rabbih dalam Al Aqdu Al Farid (2/218).

Gerakan Khawarij tidak berhenti sampai di sini, mereka masih tetap bernafsu tidak hanya membunuh Muawiyah, tapi membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib serta Amru bin Ash. Ali bin Abi Thalib menjadi incaran, karena mereka merasa bahwa kedok mereka sudah terbuka secara sempurna dihadapan Khalifah, dan tidak ada yang bisa ditutupi dari gerakan mareka. Dan pembunuhan itu masih belum sempurna, kacuali jika menyertakan Muawiyah dalam terget serupa. Sedangkan Amru bin Ash ikut menjadi target, karena beliau adalah musuh pertama kelompok ini, di saat beliau berkuasa di Mesir, sehingga jika beliau tidak dibunuh, maka keberadaan beliau juga berpotensi untuk mengancam gerakan kelompok ini, beliau tidak ada bedanya dengan Muawiyah.

Ditugaskan tiga orang, untuk membunuh tiga sahabt mulia itu, Ibnu Muljim, sahabat dekat Ibnu Saba’ dari kalangan Khawarij menyerang Ali bin Abi Thalib di malam ke 17 dari bulan Ramadhan tahun 40 H, dengan menebaskan pedang, hingga mengenai kening beliau. Setelah bertahan selama dua hari, Khalifah Ali bin Abi Thalib akhirnya wafat. Sedangkan Al Burk bin Abdullah Al Khariji, yang bertugas membunuh Muawiyah malah terbunuh terlebih dahulu oleh beliau, dengan pedangnya sendiri. Sedangkan Amru bin Bukair yang ditugaskan membunuh Amru bin Ash, malah membunuh salah satu petugas, yang disangkanya sasarannya, hingga kedua sahabat itu selamat dari pembunuhan.
Inilah peristiwa beruntun yang dilakukan kelompok Abdullah bin Sabba’ terhadap para sahabat mulia, hingga terjadi fitnah besar yang menyebabkan bertumpahnya banyak darah. Mudah-mudahan umat Islam bisa mengambil ibrah dari rentetan peristiwa ini. Allahu’alam bishawab.

(Islam-Quest/Berbagai-Sumber/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: