Pesan Rahbar

Home » » Ekspedisi Cornelis De Hotman 1595, Pembuka Jalan Imperialisme Belanda di Nusantara

Ekspedisi Cornelis De Hotman 1595, Pembuka Jalan Imperialisme Belanda di Nusantara

Written By Unknown on Monday 4 April 2016 | 18:17:00


Bertahun-tahun lamanya Laut Tengah menjadi pusat perdagangan internasional antara para pedagang dari Barat dan Timur. Salah satu komoditinya adalah rempah-rempah. Para pedagang dari Barat atau orang-orang Eropa itu mendapatkan rempah-rempah dengan harga lebih terjangkau. Setelah jatuhnya Konstantinopel tahun 1453 ke tangan Turki Usmani, akses bangsa- bangsa Eropa untuk mendapatkan rempah-rempah yang lebih murah di kawasan Laut Tengah menjadi tertutup. Harga rempah-rempah melambung sangat tinggi di pasar Eropa.

Oleh karena itu, mereka berusaha mencari dan menemukan daerah-daerah penghasil rempah-rempah ke timur. Mulailah periode petualangan, penjelajahan, dan penemuan dunia baru. Upaya tersebut mendapat dukungan dan partisipasi dari pemerintah dan para ilmuwan. Portugis dan Spanyol dapat dikatakan sebagai pelopor petualangan, pelayaran dan penjelajahan samudra untuk menemukan dunia baru di timur. Portugis juga telah menjadi pembuka jalan menemukan Kepulauan Nusantara sebagai daerah penghasil rempah-rempah. Kemudian menyusul Belanda dan Inggris. Tujuannya tidak semata-mata mencari keuntungan melalui perdagangan rempah-rempah tetapi ada tujuan yang lebih luas.

Pada tanggal 2 April 1595, empat kapal ekspedisi: Amsterdam, Mauritius, Hollandia, dan Duyfken bertolak dari Amsterdam menuju Banten. Pelayaran tersebut disponsori oleh serikat dagang Compagnie van Verre (Perusahaan Jarak Jauh) yang berdiri pada tahun 1594. Pihak sponsor yang menginginkan demokrasi dalam mengambil keputusan penting, membuat armada tersebut tidak mengangkat seorang laksamana. Meskipun begitu, Cornelis yang mempunyai hubungan dekat dengan Reinier Pauw – walikota Amsterdam yang menjadi salah satu pendiri Compagnie van Verre – dianggap sebagai kepala ekspedisi.

Pada dasarnya tidak ada rencana eksplisit dalam pelayaran yang membawa total 249 awak kapal tersebut. Pengalaman pertama yang masih buta medan menimbulkan dampak buruk di segala bidang. Baru beberapa minggu berlayar, penyakit scheurbuik (seriawan) merebak akibat kurangnya makanan. Hal tersebut memicu emosi dan perkelahian sesama awak kapal hingga berujung pada pembunuhan atau pemenjaraan. Saat mencapai Madagaskar – tempat pemberhentian yang telah direncanakan – masalah baru kembali muncul. Penundaan pelayaran yang berlarut-larut, telah memancing penduduk asli untuk keluar dan memerangi para rombongan. Penyerangan tersebut menewaskan beberapa awak kapal dan memaksa ekspedisi untuk melanjutkan pelayaran.

Ekspedisi kembali singgah di pulau kecil Nosy Maritsa hanya untuk menguburkan 70 awak kapal yang tewas karena wabah seriawan. Lokasi tempat penguburan tersebut dikemudian hari dinamakan Hollandsche Kerckhoff (Kuburan Belanda). Di Nosy Maritsa, ekspedisi kembali tertunda selama enam bulan.

Pada tanggal 27 Juni 1596, rombongan ekspedisi berhasil tiba di Banten. Awalnya penerimaan penduduk asli cukup bersahabat. Aakn tetapi, tabiat kasar dan serakah yang ditunjukkan para awak kapal Belanda membuat Sultan Banten bertindak. Dibantu oleh petugas Portugis di Banten, semua kapal Belanda diusir keluar.

Ekspedisi kemudian dilanjutkan ke utara pantai Jawa dan singgah di Madura. Di tempat tersebut, tabiat buruk mereka kembali menimbulkan konflik dengan penduduk asli hingga membuat seorang pangeran terbunuh. Akibatnya beberapa awak kapal Belanda ditangkap dan ditahan, sehingga Cornelis harus membayar tebusan untuk melepasnya.

Pada tanggal 26 Februari 1597, ekspedisi Cornelis mencapai Bali dan bertemu dengan Raja Bali. Mereka berhasil memperoleh beberapa pot merica untuk dibawa pulang ke Belanda. Perjalanan pulang menuju Eropa ternyata lebih memilukan. Kapal-kapal Portugis di Samudra Atlantik melarang mereka untuk mengisi persediaan air dan keperluan lainnya di St. Helena. Pada bulan Agustus 1597, rombongan ekspedisi tiba di Belanda. Tercatat dari 249 awak kapal, hanya 89 orang yang hidup, termasuk dua awak kapal yang lebih memilih menetap di Bali.

Kembalinya rombongan Cornelis ke Belanda telah mengilhami beberapa penjelajah lain untuk melakukan hal yang sama. Mereka beranggapan bahwa Cornelis yang kacau, serakah, dan ceroboh saja bisa mencapai Hindia Timur.

Ekspedisi pertama Belanda ke Nusantara diwarnai konflik yang kuat. Cornelis yang menjadi kepala ekspedisi sempat dipenjara atas tuduhan meracuni Kapten Jan Meulenaer yang memprotes keputusannya, meskipun akhirnya dibebaskan oleh dewan kapal karena tidak cukup bukti. Bahkan dalam ekspedisi kedua ke Hindia Timur, Cornelis sering bertindak pengecut dengan bersembunyi di dalam kapal saat pasukannya bertempur di darat. Ia juga memiliki kebiasaan buruk, yaitu mabuk setiap malam hingga tidak mampu berdiri dengan baik.

Pada 20 Maret 1602 Belanda mendirikan kongsi dagang yang bernama Verenigde Oost-Indesche Compagnie (VOC) atau Persekutuan Perusahaan Hindia Timur. Peristiwa ini terjadi, setelah keberhasilan Jacob van Neck dalam ekspedisi kedua pada tahun 1598.

Rombongan Belanda kembali ke negerinya dengan muatan kapal yang penuh rempah-rempah. Keberhasilan ekspedisi Belanda kedua ini telah mendorong para pedagang Belanda untuk datang ke Indonesia. Sejak saat itu, berbondong-bondonglah kapal Belanda datang ke wilayah-wilayah di Indonesia.

Akan tetapi, di antara mereka belum terdapat satu ikatan yang dapat mempersatukan dan memperkuat kedudukannya di wilayah Nusantara. Atas dasar pertimbangan itu, seorang pakar politik Belanda, Johan van Oldenbarneveldt, kemudian mengusulkan agar masyarakat Belanda membuat sebuah kongsi dagang seperti yang dilakukan Inggris dan Prancis.

VOC dipimpin oleh sebuah dewan yang beranggotakan 17 orang, sehingga disebut “Dewan Tujuh Belas” ( de Heeren XVII). Mereka terdiri dari delapan perwakilan kota pelabuhan dagang di Belanda. Markas Besar Dewan ini berkedudukan di Amsterdam.

Dalam menjalankan tugas, VOC ini memiliki beberapa kewenangan dan hak-hak antara lain: melakukan monopoli perdagangan di wilayah antara Tanjung Harapan sampai dengan Selat Magelhaens, termasuk Kepulauan Nusantara, membentuk angkatan perang sendiri, melakukan peperangan, mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat, mencetak dan mengeluarkan mata uang sendiri, mengangkat pegawai sendiri, dan memerintah di negeri jajahan.

Sebagai sebuah kongsi dagang, dengan kewenangan dan hak-hak di atas, menunjukkan bahwa VOC memiliki hak-hak istimewa dan kewenangan yang sangat luas. VOC sebagai kongsi dagang bagaikan negara dalam negara. Dengan memiliki hak untuk membentuk angkatan perang sendiri dan boleh melakukan peperangan, maka VOC cenderung ekspansif. VOC terus berusaha memperluas daerah-daerah di Nusantara sebagai wilayah kekuasaan dan monopolinya. VOC juga memandang bangsa-bangsa Eropa yang lain sebagai musuhnya.

Mengawali ekspansinya tahun 1605 VOC telah berhasil mengusir Portugis dari Ambon. Benteng pertahanan Portugis di Ambon dapat diduduki tentara VOC. Benteng itu kemudian oleh VOC diberi nama Benteng Victoria.

(Empat-pilar-MPR/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: