Pesan Rahbar

Home » » Sering sekali Menuduh Orang Cina. Apakah Orang Indonesia Sebagaian Tidak Berasal Dari Orang Cina Yang Bermata Sipit? Berikut Asal Usul Cina Atau Tionghoa

Sering sekali Menuduh Orang Cina. Apakah Orang Indonesia Sebagaian Tidak Berasal Dari Orang Cina Yang Bermata Sipit? Berikut Asal Usul Cina Atau Tionghoa

Written By Unknown on Sunday 10 April 2016 | 00:48:00


Oleh: Nikodemus Yudho Sulistyo

Suatu saat saya berbicara dengan salah seorang teman baik saya yang kebetulan adalah keturunan tionghoa. Ia mengatakan bahwa saat ini ia sedang giat-giatnya mempromosikan penggunaan istilah ‘tionghoa’ guna menggantikan kata ‘cina’. Ia mengatakan bahwa ia keberatan bila dipanggil dengan ‘cina’ karena kata tersebut merujuk kepada sebuah nama negara, yaitu China atau People’s Republic of China (PRC).

Sedangkan orang-orang tionghoa di Indonesia bukanlah warga negara China, namun sudah benar-benar menjadi warga negara bagian dari bangsa Indonesia.

Bahkan untuk meyakinkan perbedaan tersebut, ia mengatakan lebih jauh bahwa orang-orang tionghoa di Indonesia siap untuk memberikan nyawa mereka untuk Indonesia bila terjadi peperangan atau konflik besar antar negara, sebagai bentuk cinta terhadap bangsa dan nasionalisme yang kuat. Kemudian saya tergerak untuk meneliti perbedaan penggunaan istilah ‘tionghoa’ dan ‘cina’ tersebut, terutama secara linguistis.

Selain didasarkan atas ‘insting’ bahasa saya, saya juga mengaku bahwa sering menggunakan kedua kata tersebut secara bergantian dan memiliki tingkatan yang sama. Setelah saya coba membuat penelitian kecil-kecilan, saya menyimpulkan bahwa paling tidak ada tiga alasan mengapa kata tionghoa lebih disarankan untuk digunakan dibanding kata cina.
Pertama, kata tionghoa merujuk kepada salah satu etnis/suku yang diakui di Indonesia. Berarti ini juga menunjukkan identitas kebangsaan, warna negara, dan juga nasionalisme Indonesia.
Kedua, sebagai akibatnya, kata tionghoa juga merujuk kepada bahasa cina (terutama mandarin) termasuk beragam dialeknya di Indonesia (hokkien, hakka, tiociu).

Ini berkaitan dengan bahasa tionghoa yang mengidentitaskan diri sebagai salah satu bahasa etnis tionghoa di Indonesia yang membedakan dengan bahasa cina di negara China. Ini juga dengan alasan kesopanan (lihat alasan ketiga dibawah). Ketiga, kata tionghoa juga dianggap lebih ‘sopan’ dan tidak merendahkan. Seperti kita tahu, etnis tionghoa di Indonesia mengalami sejarah diskriminasi yang sangat panjang.

Dari mulai masa kolonial Belanda sampai masa pemerintahan Orde Baru bahkan terus berlanjut hingga saat ini, meski masa Orde Baru telah tumbang dan digantikan masa Reformasi yang lebih demokratis. Bahkan pada masa Reformasi inilah budaya tionghoa mengalami perkembangan pesat dimana perayaan-perayaan budaya seperti imlek atau tahun baru China dan cap go meh dapat dirayakan secara terbuka. Agama Konghucu juga telah diakui sebagai salah satu agama di Indonesia.

Bahasa mandarin dan beragam dialek pun mulai dipelajari kembali dengan bebas. Jadi kata cina dianggap memiliki konotasi buruk serta mengejek, merendahkan atau menjatuhkan, sedangkan kata tionghoa membuat orang-orang tionghoa ‘setingkat’ dengan suku-suku lain di Indonesia.

Tionghoa Nah, analisis saya akan melibatkan unsur-unsur linguistis dan sosiologis. Namun, sebelum analisis ini saya lanjutkan, saya hanya akan memberikan informasi tambahan. Informasi ini bertujuan untuk menghilangkan bias serta ‘dugaan’ rasisme dan penghinaan terhadap etnis tertentu, terutama etnis tionghoa Indonesia.

Saya sendiri memiliki sejarah darah tionghoa dalam tubuh saya meski tidak dominan (bercampur dengan darah jawa, dayak, dan banjar). Jadi secara budaya dan pola pikir, sedikit banyak saya memahami kehidupan sosial warga etnis tionghoa.

Saya ingin menunjukkan bahwa penelitian ini adalah murni analisis dan argumentatif, namun tidak bersifat provokatif. Pembahasan akan saya mulai dari informasi umum mengenai etnis tionghoa di Indonesia. Etnis tionghoa telah ribuan tahun mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara (sebelum menjadi Indonesia).

Bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa bangsa cina lah yang pertama menyebarkan agama Islam di Nusantara. Ini dibuktikan dari silsilah Wali Songo di pulau Jawa yang memang merupakan keturunan tionghoa dari garis keturunan ayah.

Begitu pula dengan budaya bangsa Indonesia yang dalam banyak unsur dipengaruhi oleh budaya cina (selain oleh budaya hindu/buddha India dan Arab). Saat ini, populasi etnis tionghoa menurut sensus tahun 2010 di Indonesia mencapai 3.7% atau lebih dari 8.8. juta jiwa, dan ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan populasi etnis tionghoa terbesar kedua setelah Thailand.

Jumlah warga etnis tionghoa bahkan lebih besar dibanding Singapura dan Malaysia, dimana etnis tionghoa di kedua negara tersebut cukup dominan. Bahkan sebenarnya jumlahnya bisa lebih besar, dapat mencapai 4% sampai 5%, mengingat tidak semua etnis tinghoa mengaku sebagai etnis tionghoa. Mungkin ini karena alasan sosiologis dan religius.

Kata Tionghoa Kata ‘tionghoa’ sendiri berawal dari kata cung hwa atau tjung hwa atau zhonghua dalam bahasa mandarin. Ini merujuk pada wacana Cung Hwa di negara China pada tahun 1880. Yaitu sebuah gerakan yang ingin membentuk sebuah negara yang lebih demokratis dan terbebas dari kekuasan dinasti kerajaan saat itu.

Wacana dan semangat ini kemudian terdengar sampai pada orang-orang asal China yang berdiam di Nusantara. Orang-orang keturunan China ini pun kemudian merasa perlu mempelajari bahasa dan budaya asal mereka dan kemudian mendirikan sekolah di bawah HIndia-Belanda yang dinamakan ‘Tjung Hwa Hwei Kwan’ pada tahun 1880.

Ini kemudian lafalnya dalam bahasa Indonesia menjadi ‘Tiong Hoa Hwe Kwan’ (THHK). THHK kemudian menjadi pergerakan persatuan orang-orang China di HIndia Belanda dan mulai mengubah istilah cina menjadi tionghoa. Cina Atau Tionghoa?

Dalam tulisan saya ini, saya ingin mencoba membuat sedikit argumentasi ‘alternatif’ mengenai kedua alasan penggunaan kata tionghoa. Pertama, kata tionghoa merujuk pada salah satu etnis di Indonesia, bukannya cina yang merujuk pada nama negara. Untuk alasan ini sebenarnya ada argumentasi yang saya ajukan. Sebenarnya kata ‘cina’ sudah cukup membedakan antara negara China dan salah satu etnis di Indonesia.

Negara China memiliki lafal yang berbeda, baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris. Saat ini PRC telah disebut dengan China /ʧaɪnə/ dalam fonetik bahasa Inggris dan /caɪnɑ:/ dalam fonetik bahasa Indonesia, sedangkan cina dalam bahasa Indonesia yang merujuk pada etnis dilafalkan dengan /ci:nɑ:/. Sebagai akibatnya, tentu saja kata ‘China’ dan ‘cina’ sudah barang tentu berbeda, baik dari tulisan, pelafalan, maupun rujukan.

Lagipula. Bila kata tionghoa membedakan kewarganegaraan antara China dan Indonesia, lalu bagaimana dengan orang-orang Arab atau India yang telah lama tinggal di Indonesia dan telah menjadi warga negara Indonesia?
Apakah kata-kata Arab dan India juga harus diganti dengan kata-kata lain yang merujuk kepada kewarganegaraan Indonesia?

Di Amerika Serikat, tidak ada istilah khusus untuk orang tionghoa. Kata Chinese, lebih merujuk kepada identitas diri dan ras, bukan kewarganegaraan. Orang-orang tionghoa yang telah menjadi warna negara Amerika disebut sebagai American Chinese (Chinese American) atau Cina Amerika.

Sama halnya dengan Afro-American, Latin American, Indian American dan sebagainya. Di Filipina, orang-orang tionghoa disebut Tsinoy atau singkatan dari Tsino (Chinese) dan Pinoy (slang untuk Filipino), atau dalam bahasa Inggris menjadi Filipino Chinese. Di Malaysia, dimana populasi tionghoa mencapai 40%, sebuatannya hanya ‘Kaum Cina Malaysia’ atau dalam bahasa Inggris Malaysian Chinese. Di Thailand bahkan tidak ada sebutan khusus, karena orang-orang tionghoa telah melebur secara sempurna dengan warga Thailand.

Generasi awal orang-orang dari China lebih memilih disebut sebagai Thai. Di beragam belahan dunia pun, kata Chinese lebih digunakan dibanding istilah-istilah khusus. Secara linguistis, kata cina atau Chinese dalam bahasa Inggris sebenarnya lebih merujuk kepada ‘ras’ dibanding kewarganegaraan, sama seperti Arab, India, Jepang dan sebagainya.

Menurut saya kata tionghoa malah sebenarnya cenderung makin membedakan orang-orang tionghoa dengan etnis-etnis lain di Indonesia, apakah etnis ‘asli’ Indonesia maupun warga pendatang dari negara/bangsa atau ‘ras’ lain diluar Indonesia. Istilah tionghoa menjadi berbeda dengan etnis-etnis lain seperti jawa, sunda, melayu, batak, dayak, papua atau ras India dan Arab yang tidak memiliki istilah khusus.

Orang-orang cina akan terus menjadi bagian dari ras Chinese di dunia walau telah menjadi warga negara yang berbeda dari negara asalnya. Sama seperti orang jawa di Suriname yang akan terus menjadi orang jawa, meski warga negaranya adalah warna negara Suriname, orang ambon di Belanda yang akan terus menjadi orang ambon meski berkewarganegaraan Belanda.

Dimana orang jawa dan ambon di Suriname dan Belanda harus membela negara dan berbakti hanya kepada Suriname dan Belanda, bukan Indonesia, dimana aslinya mereka berasal. Sekali lagi, istilah tionghoa tidak secara otomatis merujuk pada warga negara Indonesia dan membedakan dengan warga negara China.

Apalagi bila melihat sejarah kata tionghoa itu sendiri, yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan nasionalisme ke-Indonesia-an, tetapi lebih kepada persatuan orang-orang keturunan China yang ada di nusantara. Kedua, bahasa tionghoa merujuk pada bahasa China (mandarin) dan beragam dialeknya di Indonesia (hokkien, hakka, tiociu).

Saya tinggal di Kalimantan Barat, sebuah propinsi dimana populasi etnis tionghoa (berbahasa Hakka [Khek/khe’] dan tiociu [teochew]) adalah yang terbesar di Indonesia. Bahasa mandarin sudah menjadi pelajaran wajib di bangku sekolah, seperti bahasa Inggris. Pelajaran bahasa mandarin kemudian juga disebut sebagai pelajaran bahasa tionghoa.

Menurut saya hal ini sangat ambigu secara linguistis dan bertentangan dengan teori sebelumnya. Tionghoa digunakan sebagai pengganti cina yang dianggap lebih merujuk kepada sebuah negara. Namun, bukankah bahasa mandarin memang adalah sebuah bahasa internasional yang memang berasal dari China?

Harusnya penggunaan istilah mandarin atau cina saja sudah cukup. Bahasa Cina (Chinese) Sama seperti bahasa Inggris (English), Spanyol (Spanish), Prancis (French), Arab (Arabic), Jepang (Japanese), atau Korea (Korean). Di negara-negara dengan populasi dominan seperti Singapura atau Taiwan pun bahasa mandarin akan disebut sebagai mandarin saja, atau Chinese atau kerap pula dengan mandarin Chinese (untuk membedakan mandarin dan dialek-dialek Chinese lain).

Kata bahasa tionghoa untuk menggantikan bahasa mandarin atau bahasa cina (bahasa China) akan menjadi ambigu, dikarenakan seakan membentuk persepsi bahwa bahasa tionghoa adalah bahasa yang berbeda dengan bahasa mandarin yang berasal dari negara China. Lalu, apakah bahasa Inggris juga harus dibedakan istilahnya karena dipelajari di Indonesia?

Ketiga, kata tionghoa dianggap lebih sopan dan tidak bersifat merendahkan dibanding kata cina.

Dalam kasus ini, sebenarnya bersifat sangat sensitif. Bila tidak hati-hati yang terjadi adalah kesan kebencian serta rasialisme dan rasisme terhadap etnis tionghoa di Indonesia. Kata cina memang memiliki beragam konotasi. Tidak sedikit kata cina berkonotasi negatif, sebut saja konotasi: kelompok masyarakat dengan sosial rendah, agama yang berbeda dari mayoritas masyarakat Indonesia (kristen, buddha, konghucu, taoisme), serta yang paling utama adalah berhubungan dengan tingkat ekonomi dan bagaimana cara memandang uang. ‘Tuduhan-tuduhan’ yang terkandung dalam kata cina ini juga sebenarnya terdapat dalam istilah bahasa jawa, CINO yang merupakan blending dari ‘benCIne oNO’ (secara literal berarti ‘bencinya ada’: walau apapun yang dilakukan oleh orang-orang tionghoa tetap saja dibenci), atau ‘dibenCI ning tetep oNO’ (secara literal berarti ‘dibenci tetapi tetap ada’: walau dibenci, tetapi selalu ada dan tidak akan musnah di kehidupan masyarakat). Kata tionghoa kemudian menjadi ‘peredam’ bagi beragam konotasi tersebut.

Hanya saja, argumentasi yang ajukan disini adalah secara sosiologis antropologis dan semantis, dimana setiap kata yang merujuk pada suku atau etnis di Indonesia tidak bisa lepas dari beragam konotasi, baik negatif maupun positif. Sebagai contoh, saya meminta tolong kepada anda sekalian untuk bertanya secara jujur kepada hati anda sendiri, konotasi apa yang muncul di dalam pikiran anda ketika saya mengucapkan kata-kata: JAWA BATAK DAYAK MELAYU MADURA PAPUA ARAB INDIA Tanyakan sekali lagi pada hati anda, adakah konotasi negatif yang muncul dalam benak anda? Saya berani pastikan pasti ada!

Saya tidak perlu menjelaskan lebih jauh konotasi macam apakah itu, saya biarkan untuk para pembaca renungkan. Nah, maksud saya adalah bahwa konotasi yang ditujukan pada sebuah etnis tertentu biasanya berdasarkan sifat-sifat umum yang sangat menonjol dalam suatu kelompok masyarakat berdasarkan etnis. Ini bisa saja karena budaya dan kebiasaan atau pola pikir.

Walau setiap konotasi tidak bersifat mutlak, karena pasti terjadi bias atau sentimen tertentu pada salah satu etnis yang dirujuk. Jadi bisa dikatakan bahwa ‘resiko’ konotasi pada sebuah kata yang merujuk pada sebuah etnis, suku atau ras tertentu memang tidak bisa dihindarkan. Tinggal bagaimana kemudian konotasi negatid tersebut dapat dikikis dengan konotasi positif.

Penggunaan kata tionghoa malah menurut saja menjadikan tingkatan atau ‘level’ etnis tionghoa menjadi berbeda dan sedikit ‘istimewa’. Apalagi didasarkan oleh penggunaan nama suku-suku lain yang tidak memiliki istilah khusus atau ‘alternatif’ lain. Saya khawatir kata tionghoa dapat ‘disalahgunakan’ menjadi istilah atau terminologi yang mengistewakan etnis tionghoa itu sendiri dibanding suku-suku lain di Indonesia.

Kesimpulan Kesimpulan saya adalah bahwa terus terang saya kerap menggunakan kata cina dan tionghoa sama banyaknya dan sama sekali tidak merujuk ke konotasi atau makna yang rumit. Secara sederhana kata cina bagi saya hanyalah merupakan identitas diri, sama seperti nama, alamat, pendidikan atau status pernikahan. Sama seperti bila saya mengidentitaskan diri saya sebagai orang jawa, atau orang lain yang mengidentitaskan diri sebagai orang bugis, padang, dan sebagainya. K

ata cina tidak mengubah apa-apa mengenai pandangan saya terhadap teman-teman atau saudara-saudara saya dari etnis tionghoa. Saya juga tidak pernah bermaksud merendahkan siapapun ketika menggunakan kata cina, sebaliknya dengan kata cina saya malah merasa lebih dekat, intim dan ‘seimbang’.

Saya tidak mengistimewakan maupun merendahkan orang-orang cina di sekeliling saya, karena baik orang cina, Arab, India, atau mungkin orang ‘bule’ Amerika, Inggris, Perancis, Paraguay atau jepang, Korea, Vietnam yang telah menjadi warga negara Indonesia, semuanya adalah orang Indonesia. Itu saja, titik!

Analisis saya mengenai penggunaan cina dan tionghoa ini sekedar analisis bahasa yang secara sederhana pula menjelaskan penggunaan kata-kata tersebut, atau istilah lainnya adalah ‘for the sake of the language itself.’ Tentu saja, di kenyataan, saya kerap menggunakan kedua kata tersebut, dan sama sekali tidak keberatan bila seseorang merujuk dirinya sebagai etnis tionghoa, bukan cina.

Mungkin ia lebih merasa nasionalis, dan itu tentu baik adanya dan saya sangat setuju. Saya hanya kembali menjelaskan bahwa toh dengan saya menggunakan kata cina tetap memiliki dasar, dan sama sekali tidak bermaksud buruk.

Well, cukup sudah tulisan kali ini. Saya harap tidak ada kelanjutan ‘dugaan’ kebencian pada tulisan blog saya ini, kecuali mungkin ada argumentasi-argumentasi lanjutan yang bersifat ilmiah, baik secara sosiologis maupun linguistis.

(Kompasiana/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: