“Pemerintah memiliki saham besar dalam membasmi kebiasaan hijab buruk di tengah masyarakat. Pemerintah bisa mengesahkan undang-undang yang melarang hijab buruk di lembaga-lembaga pemerintah.”
Begitu pernyataan Hujjatul Islam wal Muslimin Rafi‘i dalam wawancara dengan wartaran Shabestan sehubungan dengan keniscayaan amar makruf dan nahi mungkar yang harus dilaksanakan secara legal dan permanen.
“Tidak diragukan lagi bahwa amar makruf dan nahi mungkar termasuk salah satu kewajiban agama. Terlaknat orang yang meninggalkannya dan terhitung sebagai khalifah Allah orang yang melaksanakannya,” ujar Rafi‘i.
Sehubungan dengan tata cara amar makruf dan nahi mungkar, Rafi‘i menjelaskan, “Amar makruf bukan hanya dilakukan dengan lisan dan nahi mungkar juga bukan hanya dengan menjelaskan hal-hal yang mungkar. Makruf di sini disebutkan terlebih dahulu dari mungkar. Ini berarti kita harus memasyarakatkan makruf terlebih dahulu di tengah masyarakat. Jika kita ingin memasyarakatkan hijab, maka kita harus menggelar banyak pameran hijab, memperbanyak pengajian-pengajian, dan memberikan apresiasi kepada wanita-wanita yang berhijab.”
Poin yang penting di sini, menurut Rafi‘i, saham paling besar untuk membasmi kemungkaran, terutama budaya hijab buruk, berada di tangan pemerintah dan program-program yang disusun oleh pemerintah. Pemerintah bisa menetapkan sebuah undang-undang yang melarang riasan bersolek, pakaian ketat, dan lain-lain untuk lembaga-lembaga pemerintah, bandara udara, rumah sakit, dan seluruh perusahaan yang membayar pajak kepada pemerintah.
“Pegawai yang masuk terlambat setengah jam pasti terkena sanksi. Bagaimana mungkin pegawai yang masuk dengan hijab amburadul dibiarkan begitu saja?” tandas Rafi‘i.
(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email