Ya Allah, aku bermohon kepada-Mu dengan permohonan orang yang rendah diri, hina, dan takut, sudilah kiranya Engkau memaafkan aku, mengasihani aku, dan menjadikan aku merasa cukup atas pemberian-Mu, serta dalam segala keadaan senantiasa merunduk dan merendahkan diri (kepada-Mu).
Ya Allah, aku bermohon kepada-Mu dengan permohonan orang (yang) berat keperluannya; yang ketika kesulitan menyampaikan hajatnya kepada-Mu, yang besar dambaannya untuk meraih apa yang ada di sisi-Mu. Ya Allah, Mahabesar kekuasaan-Mu, Mahatinggi kedudukan-Mu selalu tersembunyi rencana-Mu, selalu nampak kekuasaan-Mu, selalu tegak kekuatan-Mu, selalu berlaku kodrat-Mu, (dan) tak mungkin lari dari pemerintahan-Mu.
Penafsiran Etimologis
Sebagaimana telah dibahas pada pembahasan, sebelumnya, kata suâl (permohonan) mengandung pengertian rendah diri (khâdhi’), hina (mutadzallil), dan takut (khâsyi’). Dalam hal ini, pengungkapan kata khâdhi’, mutadzallil, dan khâsyi’, merupakan suatu bentuk penekanan dan penegasan.
Kata khudhû’ memiliki arti perasaan ketundukan dan kerendahan yang ada dalam hati, sementara kata tawâdhu’ dan khusyû’ merupakan ketundukan dan kerendahan yang bersifat jasmaniah. Pada dasarnya, jika hati seorang dipenuhi dengan perasaan tersebut maka tubuh dan jasmaninya juga akan terpengaruh oleh berbagai kondisi yang ada, di antaranya adalah pandangan menjadi sayu, tunduk, menundukkan kepala, berbagai anggota tubuh menjadi lemah, dan seterusnya.
Kata musâmahah berarti menganggap ringan atau memaafkan. Kata qunû’ adalah lawan dari hirsh (rakus, serakah). Kata tawâdhû’ (rendah diri) adalah lawan dari takabbur (sombong). Dan kata fâqah memiliki arti fakir dan butuh. Saya rasa, arti dari berbagai kata yang lain sudah cukup jelas.
Syarah dan Penjelasan Khudhû’ dan Khusyû’
Dalam kalimat tersebut banyak kata-kata yang merupakan bentuk penekanan. Yakni, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib mula-mula (pertama) menyatakan kehinaan dirinya di hadapan Allah Swt, kemudian (kedua) beliau menjelaskan kefakiran dan kepapaannya yang amat berat. Pada tahap ketiga, beliau menunjukkan keterputusan dari yang lain dan hanya berharap kepada Allah semata. Pada tahap keempat, beiiau menyebutkan keagungan kekuasaan-Nya, dan Dia adalah Zat yang Mahaagung dan kekuasaan-Nya meliputi seluruh ciptaan yang ada di alam ini.
Kemudian, beliau mengungkapkan permintaan dan permohonannya kepada Allah Swt. Permohonan beliau adalah agar Allah bersikap lembut kepadanya, merasa iba terhadap kondisinya, dan menganugerahkan maqâm ketundukan, perasaan ridha, dan puas (qana’ah) dalam berbagai keadaan.
Jelas, ungkapan tersebut merupakan ungkapan yang elok dan indah, yang memperhatikan tatacara dalam berdoa.
Selain itu, di sini perlu disebutkan adanya ketepatan dalam memohon berbagai keperluan dan hajat. Amirul Mukiminin Ali bin Abi Thalib, pertama-tama, memohon maaf dari kasih sayang Allah di sepanjang masa kehidupan. Dan, jika pemberian maaf dan curahan kasih sayang Allah didasarkan pada maqâm ridha dan maqâm qana’ah atas pemberian-Nya, maka kasih sayang Ilahi didasarkan pada ketundukan dan kerendahdirian hamba di hadapan-Nya. Oleh karena itu, pertama kali, beliau memohon maqâm ridha dan maqâm qana’ah. Kemudian beliau memohon ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya. Akan tetapi, apa maksud dan tujuan permohonan ini? (Maksud dan tujuan permohonan ini, akan kami jelaskan pada beberapa sub-pasal berikut).
Musâmahah (Menerima Kekurangan)
Maksud dari musâmahah adalah karunia Allah Swt. Tak perlu dibahas lagi bahwa lantaran musâmahah dan karunia Ilahi itulah, maka jin, manusia, dan malaikat menerima berbagai anugerah dan karunia di dua alam. Sekiranya perlakuan Allah terhadap hamba-Nya didasarkan pada keadilan-Nya, maka mustahil mereka akan mampu meraih kenikmatan dan kebahagian di dua alam tersebut.
Mengapa demikian? Sebab, bahkan Rasulullah saww, dengan berbagai ibadah yang beliau lakukan, perjuangan dan perhatiaannya kepada Allah, kemudian semuanya itu diletakkan pada satu sisi timbangan, sementara akal, pemikiran, kemaksuman, dan berbagai anugerah lainnya yang diberikan oleh Allah kepada beliau diletakkan pada sisi timbangan yang lain, maka karunia dan pemberian Ilahi masih lebih berat ketimbang semua ibadah dan perjuangan beliau saww.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, meskipun pukulan pedangnya yang ditetakkan pada Amr bin al-Wud dalam Perang Khandak pahalanya lebih besar daripada ibadah jin dan manusia, namun, bukankah semua itu berkat bantuan dan karunia Ilahi?
Dikisahkan, Nabi Musa as dan Daud as berkata, “Bagaimanakah mungkin kami mampu untuk bersyukur kepada-Mu dengan sepenuhnya, padahal keenderungan untuk bersyukur itu sendiri merupakan anugerah dan karunia dari-Mu, dan itu juga memerlukan syukur yang lain?” Allah kemudian menurunkan wahyu kepadanya: Jika demikian, maka Aku telah ridha atas syukurmu.
Selain itu, sebagian besar ibadah yang dilakukan hamba masih tidak layak dan tidak sesuai dengan keinginan Allah, bahkan dapat dikatakan bahwa dalam peribadahan tersebut masih banyak terdapat kekurangan. Dengan demikian, mau tidak mau, dalam menerima amal ibadah hamba-hamba-Nya. Allah mendasarkannya pada musâmahah dan karunia-Nya. Jika tidak demikian, maka semua amal ibadah tak ubahnya seperti debu yang beterbangan di udara.
Bahkan, pribadi seperti Rasulullah saww masih merasa memiliki kekurangan, sebagaimana yang beliau saww tengaskan dalam sabdanya, “Sesungguhnya hati saya juga tercemari. Oleh karena itu, saya mengucapkan astaghfirullah sebanyak 70 kali.”
Dalam doa Kumayl ini, seorang pribadi agung, seperti Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib juga memohon musâmahah dan karunia Ilahi. Dengandemikian, musâmahah dan karuni Ilahi berlaku pada semua perkara, (yang menyangkut kehidupan manusia).
Tarahhum (Permohonan Belas Kasihan)
Kasih sayang dari sisi Allah, sebagaimana telah kita ketahui pada pembahasan lalu, memiliki arti curahan kebaikan dan kemuliaan. Jelas bahwa yang dimaksudkan di sini adalah pengampunan dan pemaafan atas segala kesalahan dan dosa, serta keridhaan Allah yang tidak terbatas. Oleh karena itu, dua kata ini (musâmahah dan tarahhum) tidak memiliki arti yang sama.
Kata pertama (musâmahah) berkaitan dengan amal baik yang dilakukan seorang hamba, yakni sudilah kiranya Allah tidak terlalu memperhatikan dan meneliti (detail) perbuatan tersebut dan sudilah kiranya Allah menerima amal baik tersebut sekalipun dengan berbagai cacat dan kekerangannya. Juga, memohon agar dalam memperhitungkan amal ibadah tersebut, Allah menggunakan karunia (fadhl)-Nya dan bukan keadilan (‘adl)-Nya. Sementara, kata tarahhum khusus untuk dosa dan kesalahan, yang dimohonkan agar Allah sudi menutupi dan memaafkannya. Kemungkinan besar kata tersebut sama dengan yang terdapat pada ayat ini:
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersikap keras terhadap orang-orang Kafir, berkasih sayang sesama mereka: Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia (fadhl) Allah dan keridhaan-Nya. (al-Fath: 29)
Adapun keridhaan Allah adalah sebuah perkara yang baik dalam al-Quran maupun hadis dan riwayat paling berharga bagi seorang hamba. Tidak diragukan lagi bahwa keridhaan ini bersumberkan pada keimanan. Karenanya, semakin kuat iman seorang hamba semakin besar pula keridhaan Allah terhadapnya. Dalam salah satu doa disebutkan, “Ya Allah aku memohon kepada-Mu keimanan yang menyelimuti hatiku dan keyakinan yang benar, sehingga aku mengetahui bahwa tidak ada yang menimpaku, melainkan apa yang telah Engkau tetapkan padaku. Dan berilah aku keridhaan atas apa-apa yang telah engkau berikan padaku. Wahai yang Maha Pengasih!”
Dalam al-Kâfî, disebutkan bahwa doa tersebut merupakan amanat para nabi. Allah Swt berfirman:
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (al-Fajr: 27-30)
Kalimat semacam ini disebutkan dalam al-Quran secara berulang kali untuk menyifati orang-orang mukmin. Di antaranya adalah:
Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. (al-Bayyinah: 8)
Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar. (al-Mâidah: 119)
Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah yang beruntung. (al-Mujâdilah: 22)
Sampai di sini, cukup jelas bahwa ridha dan puas atas berbagai ketentuan dan ketetapan Allah merupakan peringkat keimanan. Barangsiapa yang benar-benar mengenal Allah, sekalipun mendapatkan bencana, ia akan menyadari bencana itu adalah untuk kebaikan dirinya. Pabila ia berada dalam kekurangan, maka ia pun akan memiliki keyakinan bahwa itulah yang terbaik baginya. Sebab, Allah Maha Mengetahui kondisi dan keadaan hamba-Nya dan Dia adalah Zat yang Mahalembut, Maha Pengasih, dan lebih mengetahui kondisi hamba-Nya. Oleh karena itu, seorang hamba harus merasa ridha dan senang terhadap apa yang telah ditetapkan Allah bagi dirinya, dan sifat semacam ini memiliki dampak dan pengaruh yang cukup banyak. Di antaranya adalah bahwa dalam dunia ini ia tidak akan merasa sedih dan gelisah. Allah Swt berfirman:
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh al-Mahfûzh) sebelum Kami menciptakan-Nya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (al-Hadîd: 22)
Dan keuntungan yang lebih besar dari itu adalah bahwa Allah merasa ridha kepadanya dan ia pun merasa ridha kepada Allah. Tidak diragukan lagi bahwa keridhaan Allah kepada seorang hamba merupakan sebuah kenikmatan yangi luar biasa bagi hamba tersebut. Allah Swt berfirman:
Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar. (al-Taubah: 72)
Dalam hadis nabawi disebutkan bahwa kondisi semacam itu mendatangkan pahala yang cukup besar. Rasulullah saww bersabda, “Tatkala hari kiamat tiba, Allah Swt memberikan sayap kepada sebagian dari umatku, sehingga mereka beterbangan dari kubur mereka menuju surga. Dan di dalamnya mereka berputar dan berkeliling serta menikmati berbagai kenikmatan yang mereka inginkan. Para malaikat bertanya kepada mereka, ‘Apakah kalian menyaksikan hisâb, shirât, dan Jahanam?’ Mereka menjawab, ‘Kami tidak melihatnya.’ Malaikat bertanya, ‘Apa yang kalian kerjakan di dunia?’ Mereka menjawab, ‘Tatkala kami dalam keadaan sendirian kami merasa malu untuk bermaksiat kepada Allah, dan kami merasa ridha atas anugerah yang dia curahkan kepada kami.’ Malaikat menjawab, ‘Kalian layak untuk mendapatkannya (sayap, kebebasan, dan kenikmatan).’”
Perlu dijelaskan bahwa rasa cinta rasa cinta kepada Allah merupakan penyebab bagi keridhaan-Nya. Sebab, tatkala telah terdapat hubugan cinta seseorang akan menyukai apa saja datang dari kekasihnya itu.
Oleh karena itu, disebutkan bahwa hakikat seorang hamba adalah seseorang yang pabila Allah meletakkannya di lintasan Jahanam dan orang-orang yang melintasi jahanam menginjak injak tubuhnya dan setelah itu ia dimasukkan ke dalam Jahanam (sampai terbaker dan menjadi abu) maka dalam benaknya tidak akan terlintas pikiran, “Mengapa Allah bersikap semacam ini?” Ya, maqâm ini adalah maqâm orang-yang hatinya hanya dippenuhi oleh kecintaan kepada Allah.
Qanâ’ah (Merasa Cukup dan Puas)
Qanâ’ah dalah lawan dari hirsh, lawan dari tamak dan serakah. Dan qanâ’ah dalah memenuhi berbagai kecenderungan dan keinginan namun tidak sampai pada yang haram atau mendapatkan berbagai perkara yang dihalalkan dan dibolehkan Allah. Perbedaan antara qanâ’ah dengan keridhaan terhadap apa-apa yang telah ditetapkan Allah adalah bahwa qanâ’ah merupakan sifat perbuatan sedangkan keridhaan terhadap ketetapan Allah adalah sifat kejiwaan. Ya, qanâ’ah merupakan sifat yang amat berharga dan sangat ditekankan.
Berkenaan dengan penafsiran ayat al-Quran: Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (Al-Nahl: 97) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kehidupan yang baik (hayâtan tayyibatan) adalah diberikannya sifat qana’ah.
Juga, berkenaan dengan penafsiran firman Allah: ...dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah yang Mahapemberi, disebutkan bahwa (Nabi Sulaiman as) memohon agar beliau memiliki sifat qana’ah.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya Allah Swt menjadikan lima (perkara) pada lima (perkara): kemuliaan pada ketaatan (kepada)-Nya, kehinaan pada kemaksiatan (terhadap)-Nya, kebijakan pada pengosongan perut, kewibawaan pada shalat malam, dan kekayaan pada qana’ah.
Di antara kata-kata singkat Rasululah saww adalah “Mulialah orang yang metasa puas (qana’ah) dan terhinalah orang yang serakah (thama’). Jelas bahwa sebagian besar sifat-sifat terpuji, seperti mulia, jujur, dan amanat, sangat bergantung pada sifat qana’ah. Sedangkan sebagian besar sifat tercela merupakan akibat dari sifat tamak dan serakah, seperti; hina, pengecut, khianat, bohong, dan seterusnya.
Oleh karena itu, dalam salah satu riwayat dari Rasulullah saww dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dikatakan, “Sesungguhnya yang paling saya takutkan pada diri kalian, ada dua perkara: mengikuti hawa nafsu dan angan-angan panjang. Adapun mengikuti hawa nafsu akan menghalangi (kalian dari) kebenaran dan angan-angan panjang akan (menjadikan kalian) melupakan akhirat.”
Di antara akibat dari serakah dan tamak adalah angan-angan panjang. Oleh karena itu banyak sekali riwayat yang berisikan larangan atas sifat yang tercela tersebut. Imam Muhammad al-Baqir berkata, “Orang yang serakah terhadap dunia itu, tidak ubahnya seperti ulat sutera, dimana semakin banyak benang yang dililitkan ke tubuhnya, maka semakin sulit untuk keluar darinya; hingga akhirnya ia mati dalam keadaan menderita.” Dan, “Hindarkan diri Anda dari tipuan keserakahan karena (keserakahan) adalah tempat berseminya kejahatan.” Juga, “Barangsiapa yang tidak menyucikan dirinya dari kehinaan (sifat) tamak (serakah), maka ia telah, menghinakan dirinya dan di akhirat nanti ia akan lebih terhina dan tercela.”
Sedangkan sifat tunduk dan patuh adalah sarana peyelamat dan merupakan sebaik-baik perkara yang dapat menjamin kebahagiaan manusia di dua kehidupan. Allah mengungkapkan sifat tersebut dengan menggunakan istilah merendahkan sayap:
... dan berendahdirilah terhadap orang-orang yang beriman. (al-Hijr: 88)
Dalam penegasan yang ditujukan kepada Ayatullah Sayyid Abulhasan Madise-i Isfahani, Imam Mahdi mengisyaratkan kerendahan hati tersebut dengan menjual murah diri: “Dan jual murahlah diri Anda (jangan menyombongkan diri) dan duduk-duduklah di jalan serta penuhilah kebutuhan masyarakat dan kami akan menolong Anda.”
Dalam berbagai riwayat juga terdapat banyak tanda-tanda ketundukan dan kerendahan hati tersebut. Abu Abdillah (Imam Ja’far al-Shadiq) berkata, “Tawâdhu’ (rendah hati) itu adalah rela duduk di bawah, memberikan salam kepada siapa saja yang ditemui, menghindarkan perdebatan sekalipun dalam posisi benar, dan tidak suka jika dipuji karena ketakwaannya.”
Imam Musa al-Kazhim berkata, “Dalam tawâdhu’ itu ada beberapa peringkat, di antaranya adalah hendaklah seseorang mengetahui kadar dirinya, tidak bersikap kepada orang lain (dengan) sesuatu yang tidak ia sukai bagi dirinya sendiri, jika melihat suatu keburukan ia membalasnya dengan kebaikan, menahan amarah, dan memaafkan kesalahan orang lain.”
Manusia yang sempurna adalah manusia yang senantiasa rendah hati. Artinya, rendah hati telah menyatu dengan dirinya. Dengan begitu, ia akan senantiasa rendah hati dalam berbagai kondisi: kaya ataupun miskin, pandai ataupun bodoh; marah maupun senang, berada dalam tekanan berbagai keenderungan, dan lain-lain.
Sebagian besar manusia bahkan seandainya mereka itu adalah orang yang rendah hati ketika berada dalam desakan keenderungan dirinya atau berhasil meraih harta atau kedudukan akan merasa sombong dan lupa diri dikatakan bahwa pada suatu masa―ketika Rasulullah saw berada di Mekah dan anak-anak menyakiti tubuh beliau―dan pada masa yang lain―ketika beliau berada di Mekah dengan 12.000 pasukan lengkap dengan persenjataannya yang mengelilingi beliau diusapkan ke muka dan kepala mereka masing-masing―rasa rendah hati beliau saw pada dua masa yang berbeda itu sama tidak bebeda. Doa yang dipanjatkan oleh Amirul Mukminin Ali, “Serta dalam segala keadaan senantiasa merunduk dan merendahkan diri (kepada-Mu),” adalah perasaan rendah hati semacam itu.
Jelasan bahwa lawan dari tawâdhu’ (rendah hati) adalah takabbur, yaitu menyombongkan diri bersikap angkuh dan mengganggap dirinya besar. Bila rasa besar ini ditujukan terhadap orang lain, maka ia disebut dengan takabbur. Dan bila berhubungan dengan amal, pandangan, atau perbuatannya, maka itu disebut dengan ‘ujub (kagum diri). Kedua sifat ini akan membawa seseorang pada kehancuran.
Rasulullah saww, bersabda, “Hati-hatilah dari merasa besar dan takabur (sombong), karena sesungguhnya takabur itu adalah pakaian Allah, maka barangsiapa yang mengenakan pakaian-Nya, maka Allah akan melepasnya, dan Allah akan membinasakannya, dan pada hari kiamat nanti Dia akan menghinakannya.”
Beliau saww juga bersabda, “Sebagian besar penghuni Jahanam adalah orang-orang yang menyombongkan diri.” Dan, “Tidak akan masuk surga, seorang yang di hatinya ada setitik kesombongan atau fanatisme.” Dan, “Ada tiga perkara yang membinasakan; hawa nafsu yang diikuti, kekikiran yang ditaati, dun kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri.” Dan, “Perbuatan buruk yang membuat Anda merasa tidak senang lebih baik di sisi Allah daripada perbuatan baik yang membuat Anda terkagum- kagum.”
Beliau saww juga bersabda, “Ada dua orang yang masuk ke masjid, yang satu rajin beribadah (âbid), sedangkan yang lain adalah orang yang berbuat dosa (fâsik). Lalu keduanya keluar dari masjid dan orang yang berbuat dosa menjadi orang yang balk sementara orang yang rajin beribadah menjadi fâsik. Dan penyebabnya adalah orang yang rajin beribadah itu merasa kagum atas ibadahnya sedangkan orang yang berbuat dosa merasa menyesal atas perbuatannya lalu ia bertobat.”
Beliau saww juga bersabda, “Ada tiga perkara yang mematahkan tulang puggung usia; menghitung-hitung perbuatan (baik), melupakan dosa-dosa, merasa kagum pada pendapatnya.”
Barangsiapa memiliki sifat-sifat tersebut, maka itu merupakan wujud nyata dari firman Allah Swt ini:
Katakanlah, “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang merugi dalam perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.” (al-Kahfi: 103-104)
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email