Ya Allah, tiada kudapat pengampun bagi dosaku, tiada penutup bagi kejelekanku, dan tiada yang dapat menggantikan amalku yang jelek dengan kebaikan, melainkan Engkau. Tiada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau dengan segala puji-Mu. Telah aku aniaya diriku dan telah berani aku melanggar, karena kebodohanku, tetapi kusandarkan diri pada ingatan karunia-Mu yang berkekekalan atasku. Ya Allah, pelindungku, betapa banyak, kejelekanku yang Kau tutupi, betapa banyak melapetaka yang telah Kau hindarkan, betapa banyak rintangan yang telah Kau singkirikan, betapa banyak bencana yang telah kau tolakkan, betapa banayak pujian baik yang tak layak bagiku telah kau sebarkan.
Penafsiran Etimologis
Kata fadh memiliki arti segala bentuk beban yang berat. Dan yang dimaksud di sini adalah bencana yang berat dan besar.
Kata iqâlah memiliki arti setuju terhadap pembatalan transaksi. Dan yang dimaksud di sini adalah mengangkat dan menyingkirkan bencana.
Kata ‘atsrah dan ‘itsâr memiliki arti kesalahan dan ketergelinciran. Kata ini juga tercantum dalam sebuah doa: yâ muqîla al-‘atsarat (Wahai Yang Menyingkirkan berbagai ketergelinciran). Di sini, Allah-lah yang menyingkirkan ketergelinciran. Mengapa demikian? Karena Dia mencegah hamba-Nya dari ketergelinciran ke arah kesalahan dan dosa.
Syarah dan Penjelasan
Berbagai kalimat yang ada dalam doa ini, meskipun berbentuk kalimat berita (khabarî) atau maksudnya adalah permintaan (insyâ’î), namun dalam hal ini kalimat tersebut justru lebih memiliki arti penekanan. Oleh karena itu, kalimat, “Ya Allah ampunilah dosa-dosaku, dan tutupilah kesalahan-kesalahanku, dan ubahlah keburukan yang aku perbuat dengan kebaikan,” mengandung arti bahwa hanya Engkaulah yang mampu melakukannya dan tidak ada seorang pun yang mampu melakukannya.
Dengandemikian, sebenarnya, menyebutkan sesuatu dengan disertai penjelasan dan keterangan merupakan sebuah bentuk penekanan lain dalam doa.
Kemudian, Imam Ali menyebut Allah dengan memuji, menyucikan, dan mengagungkan-Nya. Setelah itu,beliau mengakui “dosa-dosanya” dan memohon ampun karena telah melakukan pelanggaran. Sema itu muncul bukan lantaran penentangan dan bukan pula dikarenakan mengingkari ketuhanan Allah Swt. Namun, pada tahap pertama, lantaran dikuasai oleh kebodohah dan hawa nafsu. Dan, pada tahap kedua, lantaran karunia-Nya yang senantiasa tercurah kepada beliau.
Kemudian, dengan karunia dan kemurahan ini pula beliau memohon agar sudilah kiranya Allah menyingkirkan berbagai bencana, ketergelinciran, dan rintangan. Selain itu, beliau juga memohon pujian baik yang pada hakikatnya tidak layak beliau terima.
Semua permohonan ini diungkapkan dalam bentuk kalimat berita (ikhbâr) untuk memberikan arti penekanan dan penjelasan. Karena dia adalah zat yang senantiasa mencurahkan karunia-Nya, maka pada saat ini dan yang akan datang, Dia juga akan senantiasa mencurahkan karunia-Nya. Karenanya, dengan penekananan seperti itu beliau mengungkapkan permohonannya kepada Allah, satu demi satu. Ini, sebagaimana yang telah kita bahas pada mukadimah doa Kumayl ini. Yakni, bahwa pengulangan dalam berdoa adalah lantaran Allah sangat menyukai permohonan seorang hamba yang dilakukan secara terus-menerus dan berulang-ulang. Juga, sebagaimana yang disebutkan dalam tatacara berdoa bahwa yang pertama dalah pengungkapan pujian dan sanjungan kepada Allah, baru kemudian memanjatkan permohonan seraya mengeluarkan dalil dan penjelasannya.
Dalam hal ini, menambahkan penekanan kalimat merupakan bentuk hubungan mesra antara pencinta dan Kekasihnya. hamba dan Penciptanya. Sebuah citarasa (dza’uq). Orang yang belum pernah merasakannya tidak akan mengetahui keindahan ungkapannya. Sebab, ungkapan semacam itu merupakan puncak keindahan berbahasa.
Inti pembahasan ini adalah bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, dalam doa ini, memohon kepada kepada Tuhannya, di mana doanya bukanlah doa dari sang miskin kepada Sang Kaya, dari yang dipelihara kepada Sang Pemelihara, atau dari sang hamba kepada Tuannya. Akan tetapi, doa beliau adalah doa orang yang mengenal Allah dengan sebenar-benarnya (‘ârif) dan merupakan sebaik-baik doa, sebagaimana ibadah para ârif yang berada di puncak peribadahan. Doa seorang ârif adalah doa yang berisikan dalil dan penjelasan tetapi bukan dalil filosofis. Yakni, dalil citarasa (dzûqî) dan kecintaan (‘isyqî). Karena ini, bagian awalnya berisikan berbagai macam dalil ini dengan berbagai sisinya.
Maksud dari ungkapan doa beliau adalah, “Ya Allah, dosa yang aku lakukan adalah bukan lantaran penentangan dan kesengajaan, akan tetapi karena aku dikuasai oleh nafsuku, dan terimalah permohonan ampunku. Ya Allah, demi karuniaMu yang senantiasa Engkau curahkan kepadaku, sejak saat ini pun aku senantiasa mengharapkan curahan karunia-Mu dan bimbinglah aku agar dapat menggunakan karunia-Mu pada jalan yang Engkau ridhai.”
Inilah pembahasan global pada berbagai kalimat doa di atas. Sementara rincian pembahasannya adalah sebagai berikut:
Ampunan Allah dan Kelayakan Menerima Ampunan-Nya
Pembahasan ini berhubungan dengan pembahasan tentang tobat, yang terdapat pada mukadimah pembahasan doa Kumayl ini. Di sana, semuanya telah kami paparkan secara luas dan terperinci. Di sini kami hanya akan mengungkapkannya secara garis besar saja.
Allah akan mengampuni seluruh dosa-dosa yang pernah kita lakukan sebagaimana yang dia tegaskan dalam firman-Nya:
Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa seemuanya.” (al-Zumar: 53)
Bahkan ketika seorang yang berbuat dosa ingin kembali (kepada Allah) dan bertobat maka sebelum ia bertobat, Allah telah terlebih dahulu mengucapkan salam kepadanya dan mengeluarkan pernyataan:
Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah, ‘Salâmun ‘alaikum.’ Tuhanmu telah menetapkan atas dirinya kasih sayang, (yaitu) barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan kemudian ia bertobat, setelah mengerjakan dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-An’âm: 54)
Allah sangat mencintai orang-orang yang bertobat. Dan orang yang dicintai Allah pasti akan mendapatkan kebahagiaan:
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang menyucian diri. (al-Baqarah: 222)
Allah Menutupi Dosa-dosa
Setelah seseorang bertobat atas dosa-dosa yang pernah dilakukannya maka Allah akan menutupi dosa-dosa tersebut. Imam Ja’far al-Shadiq berkata jika seorang hamba telah bertobat dengan sebenar-benarnya (nashûhan) maka Allah akan mencintainya dan menutupi (kesalahan)nya di dunia dan akhirat.”
Perawi bertanya, “Bagaimakan Allah menutupinya?” Imam Ja’far al-Shadiq menjawab, “Membuat lupa kedua malaikat akan dosa-dosa yang pernah mereka catat. Dan dia akan memerintahkan anggota tubuhnya untuk menutupi apa yang pernah diperbuatnya kepadanya dari perbuatan dosa. Dan Dia juga akan memerintahkan kepada bumi dan seisinya agar menutupi apa yang diperbuatnya. Kemudian ia akan berjumpa dengan Allah di hari pertemuan dan tak ada sesuatu pun yang bersaksi tentang perbuatan dosanya (yang pernah dilakukan).”
Dalam riwayat lain ditegaskan, “Sesungguhnya Allah Swt memberikan kepada seorang hamba 40 tirai yang menutupinya dari manusia. Dan setiap ia melakukan satu dosa terbakarlah satu di antara tirai-tirai itu. Sekiranya semua tirai itu telah terbakar, maka Allah memerintahkan para malaikat-Nya untuk menutupi hamba itu dengan menggunakan sayap mereka. Dan sekiranya ia masih juga melakukan dosa, maka para malaikat akan merasa enggan untuk menutupinya dan Allah pun mengizinkan mereka untuk meninggalkan hamba itu. Dengan demikian, maka dosanya tidak lagi tertutupi dan ia pun akan merasa malu di hadapan manusia.”
Ringkasan pembahasan ini adalah bahwa tidak diragukan lagi bahwa Allah menutupi aib dan dosa manusia, dan itu merupakan salah satu nama-Nya: Sattâr al-‘Uyûb (Yang Menutupi berbagai aib). Dia menyelamatkan manusia agar tidak merasa malu di hadapan manusia. Namun, penyelamatan dan penjagaan ini, tatkala hamba tersebut masih berada dalam lindungan-Nya. Bila ia tidak lagi berada dalam lindungan-Nya dan tidak mau lagi dilindungi, maka Allah pun akan membiarkannya menanggung malu di hadapan manusia. Sebagaimana, pada hari kiamat nanti, ia akan merasa malu dan tersesat. Kemungkinan besar, inilah arti dan makna riwayat di atas.
Semua itu merupakan penjelasan bahwa Allah menutupi berbagai aib dan cela seseorang. Namun, di sini, mungkin ia memiliki arti yang lain Yang dimaksud dengan Menutupi (Sattâr) adalah tidak menganggap besar, yaitu tatkala kita katakan bahwa Allah itu adalah Menutupi berbagai aib (Sattâr al-‘Uyûb), artinya adalah bahwa Allah tidak menganggap berat aib dan dosa yang dilakukan seorang hamba. Dalam menghadapi hamba yang berdosa itu, seakan-akan Dia tidak melihat dosa yang telah dilakukannya, seakan-akan dosa sang hamba itu berada di balik tirai. Dalam doa Abu Hamzah al-Tsumali―semoga Allah merahmatinya―disebutkan, “... dan dengan tirai-Mu, Engkau tutupi aku, sampai seakan-akan Engkau lalai terhadapku. Dan Engkau selamatkan aku dari berbagai sanksi yang layak aku terima akibat kemaksiatanku, sampai seakan-akan Engkau merasa malu kepadaku.”
Akan tetapi, sebagian besar, sifat Sattâr digunakan untuk arti yang pertama, yakni Sattâr al-‘Uyûb (Menutupi berbagai aib).
Keburukan Diganti dengan Kebaikan
Ada kemungkinan, yang dimaksudkan oleh Amirul Mukminin Ali adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina. Siapa yang melakukan demikian,itu, niscaya dia mendapat. (balasan alas) dosa-dosa(nya). (Yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal di dalamnya, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka mereka itu kejahatannya diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Furqan: 70)
Di sini kata tabdîl (diganti) memiliki arti bahwa Allah menghapus dosa-dosa tersebut dan menuliskan dalam buku catatan amalnya pahala dari bertobat, ampunan, dan rahmat- Nya, sekalipun sang hamba tidak memintanya dan tidak pula berhak untuk menerima sema itu. Akan tetapi, semua itu Dia berikan dikarenakan kemurahan dan kelembutan-Nya. Dan ada pula yang memang sang hamba tersebut berhak untuk menerimanya, sebagaimana yang ditegaskan dalam firman- Nya:
Sesungguhnya orang yang beriman dan beramal shalih, Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang. (Maryam: 96)
Imam Hasan al-Mujtaba berkata, “Barangsiapa yang menginginkan kemuliaan tanpa keluarga besar dan kebesaran tanpa kerajaan, hendaklah keluar dari kehinaan bermaksiat kepada Allah menuju kemuliaan ketaatan (kepada)-Nya.”
Oleh karena itu, dalam Hal ini, Imam Ali mengungkapkan dalam doanya, “Dan tiada yang dapat menggantikan amalku yang jelek dengan kebaikan melainkan Engkau.
Tindakan Aniaya Manusia Terhadap Diri Sendiri
Adapun penafsiran terhadap ungkapan doa beliau yang berbunyi, “Telah aku aniaya diriku,” adalah sebagai berikut:
Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan zalim dan aniaya terhadap Allah merupakan dosa, karena dosa adalah syirik dan syirik adalah kezaliman dan tindakan aniaya yang sangat besar.
Allah Swt berfirman:
Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam, supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu. (Yâsîn: 60)
Juga, firman Allah (yang menukil ucapan Luqman):
Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kezaliman yang besar. (Luqman: 13)
Jelas, bahwa perbuatan dosa adalah sebuah kezaliman terhadap masyarakat, dan menurut pandangan al-Quran pengaruh dosa terhadap masyarakat merupakan suatu perkara yang pasti. Allah Swt berfirman:
Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. (al-Anfâl: 25)
Telah timbul kerusakan di darat dan laut disebabkan perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepadanya sebagian dari (akibat) perbuatannya, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (al-Rûm: 41)
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri ini (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri ini, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (al-Isrâ’: 16)
Namun, pembahasan kita di sini berkenaan dengan perbuatan dosa yang kezaliman dan tindak aniayanya berlaku terhadap sang pelaku dosa itu sendiri. Dan tidak ada perbuatan yang lebih buruk dan lebih aniaya dari perbuatan itu. Sebab, dosa akan menghalangi manusia dan tujuan yang telah ditentukan baginya dan menjadi penghalang baginya dalam upaya menuju kesempurnaan. Juga, menghalangi turunnya rahmat dan pertolongan Allah lantaran perjalanan manusia menuju kesempurnaan sangat bergantung pada takhliah (pengosongan), sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya. Ya, dosa akan mengakibatkan perjalanan manusia menjadi semakin turun dan merendah. Allah Swt berfirman:
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang-orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian ia meepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu ia diikuti oleh setan (sampai ia tergoda), maka jadilah, ia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki tentulah Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan, lidahnya (juga). (al-A’râf: 175-176)
Dan Allah berulang kali menyatakan:
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (al-Mâidah: 108; al-Taubah: 24; al-Shaf: 5)
Sebab Munculnya Keberanian Menentang dan Meremehkan Allah
1. Karena seseorang tidak mengetahui hak Allah dan dirinya sendiri serta tidak mengetahui hakekat dari akibat dan perbuatan dosa, maka kebodohan dan ketidaktahuan ini menyebabkan munculnya keberanian untuk meremehkan hak Allah. Dengan demikian, ia tidak dapat bersikap dan berlaku secara semestinya. Selain itu, akal juga menolak keras sikap dan perbuatan semacam itu.
Jika sekiranya seorang mengenal dirinya sendiri dan menyadari bahwa ia adalah khalifah Allah di muka bumi ini, dan Allah Swt amat memuliakannya, dan ia juga telah menyatakan kesiapannya untuk memegang amanat Ilahi, maka ia sama sekali tidak akan melakukan perbuatan dosa. Allah Swt―pada akhir firman-Nya yang menjelaskan tentang penyerahan amanat kepada manusia―menyatakan:
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (al-Ahzâb: 72)
Dengan demikian, kebodohan dan kejahilan merupakan faktor yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan dosa. Oleh karena itu, sudah selayaknya kami menyinggung permasalahan ini, lantaran ini sangat diperhatikan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Beliau menyatakan bahwa dosa yang dilakukan dikarenakan kebodohan dan ketidaktahuan masih dapat dihapus dengan bertobat, tetapi jika didasarkan pada penentangan dan pembangkangan, maka pada saat itu menjadi sulit sekali untuk mendapatkan kesepatan dan keinginan untuk bertobat.
Alhasil, jika kebodohan adalah akibat dari kemalasan dan keengganan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, maka ini akan tetap mendatangkan sanksi dan hukuman. Sebab, orang semacam ini telah meremehkan (Allah) dan peremehan ini pada dasarnya adalah penentangan dan perlawanan.
Kalau kita menyelami pembahasan ini lebih dalam lagi, maka pembahasanya akan sangat dalam dan lusanya, kita cukupkan sampai di sini saja dengan kesimpulan bahwa neraka Allah hanya dikhususkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran dengan sengaja, yang hal itu tidak lain adalah penentangan.
2. Harapan yang berlebihan pada dasarnya adalah “kedunguan” dan bukan harapan. Penjelasannya, berikut ini:
Harapan sendiri merupakan sebuah sifat yang amat mulia dan terpuji. Adalah baik pabila manusia terlebih dahulu menyiap-kan berbagai sarana yang dapat mendukung terwujudnya apa yang ia harapkan itu. Selanjutnya, memohon kepada Allah agar memberikan apa yang ia inginkan dan harapkan. Misal; seorang petani yang telah menanam gandum dan senantiasa merawat dan menjaga tanamannya, layaklah jika ia memohon dan berharap untuk memperoleh hasil yang memuaskan. Namun, harapan yang berlebihan pada dasarnya adalah kedunguan; yakni seseorang tidak mempersiapkan apapun lalu berharap akan meperoleh hasil. Ini tak ubahnya seperti petani yang tidak menebarkan benih apapun,lantas, berharap akan menuai biji gandum yang bernas.
Al-Quran mulia menyinggung masalah tersebut dalam ayat berikut ini:
Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, “Tunggulah kami supaya dapat mengambil sebagian dari cahayamu.” Dikatakan (kepada mereka), “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untuk kamu).” Lalu diadakan di antara mereka dinding yang berpintu di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luar dari pintu itu ada siksa orang-orang munafik memanggil orang-orang mukmin seraya berkata, “Bukankah kami dahulu bersama kamu?” mereka menjawab, “Benar tetapi kamu mencelakakan dirimu kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong telah ditipu terhadap allah oleh (setan) yang amat penipu.” (al-Hadîd: 13-14)
Tidak diragukan lagi bahwa manusia senantiasa berada dalam berbagai bencana dan musibah kesalahan dan ketergelinciran baik yang bersifat materi maupun non-materi (maknawi). Allah Swt berfirman :
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. (al-‘Ashr: 2)
Allah juga mengisyaratkan masalah ini dalam surat al-mu’awwidztain (al-Nas dan al-‘Alaq), dan Dia memerintahkan agar manusia berlindung kepada-Nya dari berbagai macam musibah bencana, dan kejahatan; baik yang bersifat materi maupun non-materi (maknawi). Sebab, manusia itu amat lemah dan tak berdaya:
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (al-Nisa: 28)
Sebegitu lemahnya kondisi manusia, sehingga jika dalam beberapa menit saja tubuhnya tidak memperoleh asupan oksigen, ia akan binasa. Dengan demikian, dari sisi jasmani manusia sangat lemah. Selain itu berhadap dengan musuh yang datang dari ampat penjuran sedikit saja ia mengalami sakit maka itu akan menghantarkannya pada kematian. Dari sisi ruh (kejiwaan), manusia juga sangat lemah:
Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. (al-Ma’ârij: 21-22)
Di samping itu, ia juga tengah menghadapi berbagai musuh bebuyutan yang senantiasa mengancamnya. Satu di antara mereka saja sudah cukup untuk menyesatkannya:
Iblis menjawab, “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (Shâd: 82)
Secara umum, berbagai musibah dan bencana yang bersifat maknawi seperti bisikan nafsu ammârah, kecenderungan diri, serta bisikan yang datangnya dari jin dan manusia adalah cukup banyak. Namun, Allah Swt mengutus para pengawal yang akan menjaga dan melindungi manusia dari berbagai musibah dan bencana tersebut―baik yang materi maupun maknawi.
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran. Di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang ada pada suatu kaum (kecuali) bila mereka sendiri mengubah keadaannya. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali- tali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (al-Ra’d: 11) .
Semakin kuat hubungan seseorang dengan Allah, maka semakin banyak pula pengawal dan penjaga yang senantiasa menjaganya. Dan ketakwaan merupakan suatu perkara yang menjadikan manusia berada dalam wilayah (kecintaan) dan penjagaan Allah, terlebih tatkala ia, menghadapi musibah dan bencana yang bersifat maknawi (non-materi). Allah Swt berfirman:
Hai orang-orang yang beriman; jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqân (kekuatan pembeda antara hat dun batil). (al-Furqân: 29)
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dun kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (al-Mâidah: 15)
Dan al-Quran merupakan sesuatu yang amat berpengaruh dalam usaha mengindarkan diri dari musibah dan bencana, baik yang bersifat materi maupun maknawi. Rasulullah saww bersabda, “Tatkala fitnah menyelimuti kalian sebagaimana malam yang gelap gulita, maka hendaklah kalian berlindung, kepada al-Quran, karena sesungguhnya ia adalah pemberi syafaat, dan juga kutukan. Maka barangsiapa yang menjadikannya (al-Quran) berada di depannya, ia akan dibimbingnya menuju surga dan barangsiapa yang menjadikan al-Quran berada di belakangnya, maka ia akan digiringnya menuju neraka.”
Yang dapat kita ketahui dari berbagai ayat dan riwayat adalah bahwa al-Quran akan menyingkirkan berbagai musibah dan bencana, baik materi maupun maknawi. Di sini kami akan memaparkan sebagian riwayat, yang datangnya dari Ahlul Bait yang tercantum dalam al-Kâfî.
Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad berkata, “Ketika al-Quran telah bersama saya, maka saya tidak akan merasa ketakutan, sekalipun orang-orang yang ada di barat dan timur telah meninggal dunia.” Riwayat ini menunjukkan bahwa keberadaan al-Quran bersama manusiaakan melindungi dan menjaganya dari berbagai kejahatan.
Abu Abdillah (Imam Ja’far al-Shadiq) berkata, “Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, ‘Rumah yang didalamnya dibaca al-Quran dan disebut nama Allah, akan menjadi banyak berkahnya, didatahgi para malaikat, dijauhi setan, dan rumah itu akan menerangi para penghuni langit sebagaimana bintang- gemintang yang menyinari penghuni bumi. Dan sesungguhnya rumah yang di dalamnya tidak dibaca ayat-ayat al-Quran dan tidak pula disebut nama Allah, berkahnya sedikit, dijauhi para malaikat, dan dikunjungi setan.’”
Ali bin Husain (Imam al-Sajjad) berkata, “Rasulullah saww bersabda, ‘Barangsiapa yang membaca empat ayat dari awal surah al-Baqarah, dan ayat Kursi dan dua ayat setelahnya, dan tiga ayat dari akhir surah al-Baqarah, maka ia tidak akan melihat dirinya dan hartanya sesuatu yang tidak ia sukai dan setan tidak akan mendekatinya dan ia tidak akan melupakan (ayat-ayat) al-Quran.’”
Imam Musa bin Ja’far berkata, “Jika Anda merasa takut akan sesuatu, maka bacalah 100 ayat dari al-Quran, dari surah manapun yang Anda suka, kemudian ucapkanlah sebanyak tiga kali, ‘Ya Allah, singkirkanlah bencana ini dariku.’”
Abu Abdillah (Imam Ja’far al-Shadiq) berkata, “Barangsiapa yang membaca, Katakanlah, ‘Dialah Allah, Yang Mahaesa’ sebanyak 11 kali tatkala ia keluar dari rumah, maka ia berada dalam penjagaan Allah sampai kembali (ke rumah).”
Abu Abdillah (Imam Ja’far al-Shadiq) berkata, “Barangsiapa yang membaca Katakanlah, ‘Dialah Allah, Yang Mahaesa’ pada setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu, Allah akan memberinya kebaikan dunia dan akhirat.”
Abu Abdillah (Imam Ja’far al-Shadiq) berkata, “Jika surah al-Fâtihah dibacakan kepada seorang mayat, lalu ruhnya kembali, (itu) bukanlah perkara yang mengherankan.”
Imam Musa bin Ja’far berkata, “Barangsiapa yang menggunakan satu dari ayat al-Quran sebagai senjata demi memerangi barat dan timur, hal itu telah cukup, asal dengan penuh keyakinan.”
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “(Aku bersumpah) demi Yang Mengutus Muhammad sebagai Nabi dan Yang Memuliakan keluarganya. tidak ada sesuatu yang kalian inginkan dari penjagaan atas kebakaran atau tenggelam, atau pencurian, atau menjinakkan binatang terhadap pemilikinya, atau mengembalikan sesuatu yang hilang atau lari―terhadap semua bencana dan melapetaka―melainkan semua itu akan kalian dapatkan dalam. al-Quran.” Dan masih banyak lagi riwayat yang semacam ini.
Sekarang yang perlu diperhatikan adalah bahwa al-Quran merupakan perisai dalam menghadapi segala sesuatu dan merupakan pelindung serta penjaga bagi manusia terhadap berbagai musibah dan bencana, baik materi maupun non-materi terlebih surah al-Fatihah, ayat Kursi, qul huwallâhu ahad, qul yâ ayyuhal kâfirûn, dan mu’awwidzatain (surah al-Nâs dan al-Falaq).
Dan di antara yang dapat menghindarkan manusia dari berbagai musibah bencana, kesengsaraan, dan berbagai kekurangan adalah doa. Doa di sini bersifat umum dan tidak terbatas pada doa-doa tertentu. Dengan demikian, seseorang yang membiasakan diri membaca dan menghayati berbagai ungkapan dari kalimat yang ada dalam doa Kumayl ini, akan menghindarkan dirinya dari berbagai kejahatan, keburukan, dan musibah, baik yang bersifat materi maupun non-materi.
Berkaitan dengan masalah doa, ada doa-doa yang datangnya langsung dari Ahlul Bait yang suci, sebagaimana yang telah kami nukil sebagian di antaranya. Lantaran jumlah doa-doa tersebut cukup banyak, maka bagi yang mengmginkannya dapat merujuk secara langsung pada buku-buku doa, di antaranya adalah buku al-Mishbâh, Mafâtih al-Jinân, Minhâj al- Da’awât, Adâb al-Du’â’, dan lain sebagainya.
Ada beberapa doa yang amat mujarab, dan doa-doa ini telah dibuktikan kemujarabannya. Di antaranya adalah:
1. Doa untuk melenyapkan kesulitan dan membebaskan diri dari berbagai musibah, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu, demi Muhammad, dari keluarganya. Dan shalawat dan salam-Mu atas Muhammad dan keluarga Muhammad, bebaskanlah aku dan kesedihan dan penderitaan ini.”
2. Doa untuk mendapatkan kebutuhan (hajat) dan menyingkirkan berbagai musibah dan bencana, “Ya Allah, aku memohon kepadamu demi Fathimah dan ayahnya, dan suaminya, dan kedua puteranya, dan rahasia yang terpendam pada dirinya (Fathimah). Shalawat dan salam-Mu atas Muhammad dan keluarga Muhammad, dan penuhilah berbagai kebutuhan kami.” Setelah itu ucapkanlah dengan lisan kebutuhan dan keperluan Anda.
3. Doa untuk menghindarkan dari berbagai bencana dan malapetaka terhadap jiwa, raga, harta, dan keluarga. Doa ini dibaca setiap pagi dan waktu asar. “Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tiada tuhan selain Engkau. Kepada-Mu-lah aku bertawakal dan Engkau-lah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Dan tiada daya upaya melainkan dengan (seizin) Allah yang Mahatinggi dan Mahaagung.
Apa yang diinginkan Allah akan menjadi nyata dan apa yang tidak diinginkan Allah tidak akan pernah ada. Aku mengetahui bahwa Allah Mahaberkuasa atas segala sesuatu dan bahwasanya ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kejahatan diriku, dan dari qadha yang buruk, dan dari kejahatan segenap kejahatan, dan dari kejahatan jin dan manusia, dan dari kejahatan binatang yang melata, yang nasibnya berada di tangan-Mu. Sesungguhnya Tuhanku berada di jalan yang lurus.”
4. Doa untuk menolak kejahatan manusia―di antaranya adalah kejahatan imperialis dan kolonialis. “Ya Allah, sesungguhnya dikarenakan dosa-dosa kami, Engkau telah membuat kami dikuasai oleh orang-orang yang tidak mengenal-Mu. Dan demi orang yang mengenal-Mu, singkirkanlah malapetaka atas kami, yang datangnya dari orang yang tidak mengenal-Mu.”
5. Doa untuk melenyapkan berbagai kesulitan. “Segala puji bagi Allah, segenap kenikmatan datangnya dari Allah. Tidak ada yang mampu mendatangkan kebaikan kecuali Allah. Tidak ada yang mampu menyingkirkan kejahatan kecuali Allah.”
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email