Oleh: Willem Oltmans
Verrips Terbunuh
Pada tahun 1950-an, ada catatan rahasia yang dilampirkan pada laporan yang dibuat komisi kepresidenan yang menyelidiki cara memenangkan perang rahasia AS. ‘Kita harus belajar,’ demikian bunyi catatan atau surat itu, ‘untuk menjatuhkan, menyabot, dan menghancurkan musuh kita dengan cara yang lebih terarah, lebih canggih, dan lebih efektif dari cara yang mereka pakai untuk melawan kita’. Dean Rusk, menteri luar negerinya JFK mempermasalahkan pendapat ini di tahun 1960-an. ‘Amerika Serikat harus berjuang di lorong-lorong hitam di dunia. Apakah kita harus menanggapi hal ini seperti seseorang dalam kericuhan di bar yang hanya akan berkelahi menurut aturan Markis Queensberry?’(Lihat: ‘Secret Agencies, US Intelligence in a Hostile World’ oleh L.K. Johnson, Yale University Press, 1996).
Barangkali Bung Karno pada tahun 1950-an itu dihadapkan dengan percobaan pembunuhan pertama kali, yang didalangi CIA untuk menggulingkannya dari kursi kepresidenan di tangan Verrips dan konco-konconya. William Blum, mantan pejabat di Departemen Luar Negeri, merinci berbagai pembunuhan dan percobaan pembunuhan yang terjadi di seluruh dunia hingga tahun 1965.
Tahun 1949, yang hendak dihabisi ialah Kim Koo, pemimpin oposisi Korea. Pada tahun 1950-an Dinas Rahasia AS menyusun daftar dari 200 tokoh politik di Jerman Barat yang harus dilenyapkan pada saat penyerbuan Soviet terjadi. Pada tahun 1950-an itu juga, terjadi beberapa percobaan pembunuhan terhadap Chou En-lai. Lima kali percobaan pembunuhan terhadap Soekarno dilakukan selama tahun-tahun di antara tahun 1950 dan 1963. Pada tahun 1951, sasarannya ialah Kim Il Sung, Perdana Menteri Korea Utara. Pada saat yang sama, Claro M. Recto, pemimpin oposisi di Filipina. Tahun 1955, Presiden Jawaharlal Nehru dari India. Di sini saya dapat menambahkan, bahwa saya mewawancarai putri beliau, Indira Gandhi, sebanyak tiga kali. Setiap kali ia menjelaskan tentang kegiatan CIA di India dengan cukup panjang. Pada tahun 1957, menurut Blum, sasarannya ialah Gamal Abdel Nasser dari Mesir. Tahun 1959, Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja. Tahun 1973, setelah tersingkir oleh kup CIA yang diatur oleh Richard Nixon dan Henry Kissinger, pangeran ini menulis, ‘My War with the CIA’ (Allan Lane, London). Di sini saya harus menambahkan ceritera tentang pertemuan saya dengan Dewi Soekarno dan Sihanouk di Paris. Setelah Bung Karno digulingkan pada tahun 1965 oleh kup yang didalangi CIA, Kepala Negara Kamboja itu mengatakan, bahwa ia tidak dapat memahami bagaimana kawannya Soekarno bisa tiba-tiba jatuh oleh tangan para pengkhianat CIA. Setelah ia sendiri digulingkan pada tahun 1970 oleh Marsekal Lon Nol saat ia berada di Moskow, Sihanouk terpaksa berlindung di Peking. Dewi tersenyum dan mengatakan bahwa ia teringat akan kritikan Sihanouk itu mengenai Bung Karno yang tidak menyadari bahwa CIA mengincarnya.
Sejarahwan Inggris Arnold Toynbee (baca: ‘On Growth: the Crisis of Exploding Population and Resource Depletion’, Willem Oltmans, Putnam & Sons, New York, 1974) membandingkan kebangkitan kekuasaan di dunia setelah Perang Dunia II di Amerika Serikat dengan Kekaisaran Romawi. Katanya: ‘Roma secara konsisten mendukung si kaya melawan si miskin di semua kelompok masyarakat asing yang jatuh ke dalam kekuasaannya. Karena sampai sekarang yang miskin selalu dan di mana-mana jumlahnya jauh lebih banyak dari si kaya, kebijakan Roma itu menimbulkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan ketidakbahagiaan bagi sebagian terbesar orang.’ Setelah melihat dari dalam mengenai segala sesuatu yang terjadi di Washington terhadap dunia, William Blum merinci semuanya dalam ‘Rogue State, a Guide to the World's Only Super Power’ (Common Courage Press, Monroe, Maine, 2000). Sebagai contoh, ia menggambarkan bagaimana CIA tidak saja merencanakan sejumlah pembunuhan terhadap Bung Karno, tetapi mereka juga mencoba memerasnya dengan film seks palsu. Perlu ditambahkan di sini bahwa aktor yang memerankan Presiden Indonesia itu telah dioperasi wajahnya atas bantuan CIA untuk membuatnya mirip Bung Karno.
CIA bergerak total di Iran pada tahun 1953, ketika Perdana Menteri Mohammed Mossadegh digulingkan. Shah Iran dikembalikan ke tahtanya dengan baik, sehingga kepentingan Amerika, Inggris, dan Belanda terhadap minyak dapat terjamin sampai saat Ayatollah Khomeini di Iran membuang keluarga kerajaan itu untuk selama-lamanya dari negeri itu. Contoh buruk lainnya ialah campur tangan AS di Guatemala pada tahun 1953, ketika Washington dan CIA dengan sengaja menggulingkan pemerintahan Jacobo Arbenz yang progresif, yang terpilih secara demokrasi. Kup CIA ini diikuti dengan ‘pemerintahan militer selama empat puluh tahun yang penuh dengan hukuman mati, penyiksaan, pelenyapan, pembunuhan masal, dan kekejaman lainnya yang tidak terbayangkan, yang korbannya mencapai lebih dari 200.000 jiwa’. Blum mengatakan bahwa alasan sebenarnya bagi Washington menimbulkan pergolakan dan pembunuhan di Guatemala ialah kenyataan bahwa Arbenz telah mengambil alih tanah yang belum digarap, milik United Fruit Company. Amerika Serikat mengkhawatirkan dampaknya yang mungkin terjadi di negara Amerika Latin lainnya, dan oleh sebab itu AS memutuskan turut campur tangan dengan kekerasan di Guatemala, untuk dijadikan contoh bagi negara-negara lain di bagian selatan benuanya agar tidak mencoba main-main dengannya.
Selain berbagai campur tangan CIA lainnya pada tahun 1950-an itu di Haiti, Kosta Rika, Guyana, Albania, Filipina, Yunani, Italia, dan di Timur Tengah, pada tahun 1958 pandangan Direktur CIA Allan Dulles tertarik pada Irak, setelah Jenderal Abdul Karim Kassem menggulingkan monarki dan menyeret mayat Raja Faisal dan Putra Mahkota dengan mengikatkan ujung tali pengikat mayat im di belakang mobil sepanjang jalan di Baghdad, untuk menunjukkan kepada penduduk bahwa Irak telah menjadi republik. Dulles pasti menyangka bahwa Irak akan menjadi negara komunis, dan ia mulai membiayai kaum gerilyawan Kurdi. Sementara itu ia menyusun rencana rahasia bersama gabungan para kepala staf di Washington untuk menyerang Irak dengan bantuan Turki. Kassem menjadi aktif dalam mengelola OPEC (Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak) dan kegiatannya ini menjadikan dirinya orang berbahaya dan sasaran tembak Amerika Serikat. Pada tahun 1963 ia digulingkan dengan cara makar yang direkayasa CIA dan ia dihukum mati. Blum menambahkan bahwa sesudah campur tangan CIA ini, ‘beribu-ribu orang komunis telah dibantai di Irak.’
Sementara Bung Karno menyadari sepenuhnya berbagai perkembangan yang terjadi di negeri lain dan sadar betul akan apa yang dapat dilakukan oleh AS dan CIA, ia sungguh-sungguh mencoba mencari tahu tentang apa yang dilakukan Ujeng Suwargana, yang bepergian ke beberapa ibukota negara Barat untuk meramalkan akan adanya makar di Jakarta. Tiba-tiba saja saya ditelpon Kolonel Sutikno, atase militer di Washington, bahwa Jenderal Parman ingin berbicara dengan saya. Dugaan saya, ini ada hubungannya dengan upaya Bung Karno mencari tahu apa yang sedang berlangsung di puncak pimpinan Angkatan Bersenjata Indonesia. Barangkali Parman menindaklanjuti laporan Kolonel Magenda, yang telah lebih dahulu tiba di AS dan yang mengetahui bahwa informasi saya benar adanya.
Pada tanggal 18 Oktober 1964, saya bertemu Jenderal Parman di Kamar 1040 Hotel Hilton di Madison Avenue di New York. Ia berceritera bahwa ia telah mengenal Bung Karno sejak ia berusia 16 tahun. Setelah peristiwa Oktober di tubuh angkatan bersenjata yang terkenal itu pada tahun 1952, Kolonel Zulkifli Lubis adalah putra Bapak yang terkasih. Tetapi, setelah perwira ini bergabung dengan pemberontak Padang di tahun 1958, hubungan Bapak dengan Lubis jadi tegang dan Parman mendapatkan kembali kepercayaan dari Bung Karno. ‘Soekarno selalu memilih yang menang,’ demikian kata Parman kepada saya, ‘tetapi selama bertahun-tahun ini ia mempertaruhkan kartunya pada Lubis, dan bahkan lupa menyalami saya’. Ia melanjutkan, ‘Presiden kami adalah orang yang membuat setiap orang berpikir dan merasakan, Anda putra mahkota saya.’ Menurut jenderal ini, Soekarno adalah pakar dalam hal mengumpulkan kesetiaan orang-orang di kelilingnya. ‘Bahkan dr. Soebandrio pun, kadang-kadang tidak dapat berkata apa-apa ketika ia mendengarkan Bung Karno menyampaikan pendapatnya dalam sidang kabinet.’ Saya dengarkan uraian jenderal ini dengan cermat sambil mencoba menilai kepada siapa kesetiaannya ia letakkan.
Parman terutama kelihatan seperti mencela Soebandrio dan apa yang disebutnya sebagai ‘pengaruhnya yang membawa malapetaka bagi presiden’. Ia memberi saya contoh. Selama masa genting hubungan Indonesia dengan Malaysia, raja negara itu mengirim surat dengan tulisan tangan kepada Bung Karno, mengundangnya untuk kunjungan kenegaraan ke Kuala Lumpur dan mulai bermusyawarah-mufakat untuk menyelesaikan persengketaan di antara kedua negara itu. Dubes Malaysia di Jakarta menyerahkan surat tersebut kepada Djamin di kantor kesekretariatan Bung Karno di Istana Merdeka. Tetapi, mata-mata Soebandrio mencuri surat dari Raja Malaysia itu sebelum surat itu sampai ke Bung Karno. Kata-kata berikut disampaikan Parman, sebagai perwira dinas rahasia: ‘Bandrio heeft zijn spionnen overal zitten!’ Terjemahan kalimat berbahasa Belanda itu, bahasa yang kami pakai bercakap-cakap, ialah: ‘Mata-mata Bandrio betul-betul ada di mana-mana’.
Saya harus menambahkan, bahwa ketika pada tanggal 6 Juni 2001 saya menghadiri ‘Perayaan Pancasila’ untuk menghormati Bung Karno di Istana Merdeka di Jakarta, saya mendampingi Sukmawati Soekarnoputri, putri ketiga mantan presiden ini, ke acara tersebut. Kami duduk di baris depan disebelah Soebandrio dan isterinya. Terakhir kali saya melihatnya ialah pada tahun 1966, ketika saya merekamnya dalam film di pengadilan militer saat ia menjawab pertanyaan hakim militer. Saya tahu bahwa ia dibebaskan beberapa tahun yang lalu dan pernyataan politiknya yang pertama - yang kemudian ditarik kembali - adalah bahwa semua bencana yang menimpa Indonesia adalah akibat kesalahan Bung Karno. Saya menyalaminya dengan menjabat tangannya, karena kami berdua adalah tamu Presiden Abdurachman Wahid. Senyum khianatnya belum hilang meskipun ia lama meringkuk di penjara. Betapapun, saya tidak dapat mengabaikan orang yang berlindung di balik topeng ini, yang tidak jujur terhadap Bung Karno sejak ia menjadi menteri luar negeri pada tahun 1957. Saya setuju dengan angkatan bersenjata bahwa orang ini memang pantas dihukum.
Kembali ke pembicaraan saya dengan Parman. Pada akhirnya, perbincangan kami menyinggung orang CIA yang bernama Werner Verrips. Ia membenarkan apa yang dikatakan Verrips sendiri kepada saya, bahwa mereka berdua telah saling mengenal selama bertahun-tahun. Mereka bahkan bertemu belum lama ini di London untuk membahas masalah Malaysia. Verrips mengatakan bahwa ia teman Jenderal Yani dan Jenderal Parman. ‘Ia membual’, teriak Parman, ‘ia sama sekali tidak mengenal Yani’. Ia menggambarkan Verrips sebagai pembual. ‘Ia akan berkata, bila Anda mau bertemu Pangeran Bernhard, saya bisa mengaturnya dalam waktu lima menit.’ Saya bertanya-tanya apakah hal itu mungkin benar meskipun Parman menyangkalnya. Verrips memang kawan dekat Paul Rijkens, ketua kelompok pelobi Irian Barat, yang sebenarnya juga gagasan Bernhard. Rijkens membantu membiayai bungalo Verrips di daerah luar kota (berkolam renang) dan Verrips menamai putranya yang kedua Paul.
Betapapun, jenderal ini sangat ingin bertemu dengan temannya Werner Verrips, tetapi di manakah Verrips? ‘Gampang’, jawab saya, dan saya menelpon rumahnya di Huis ter Heide di Belanda dengan menggunakan telpon hotel tempat Parman menginap. Istrinya Anneke menyebutkan nomor tempat Verrips bisa dihubungi, dan segera ‘kedua sahabat lama’ itu mengobrol lewat telpon lintas-atlantik. Tak lama lagi mereka akan bertemu di Belanda, atau mungkin di London.
Beberapa hari kemudian, saya menerima telpon penting dari Verrips di apartemen saya di Long Island, pada tengah malam. Mengapa Jenderal Parman ingin menjumpainya? Apa yang saya sembunyikan darinya? Saya bingung dan tidak dapat memahami kepanikannya yang terdengar jelas. ‘Mereka mengejar saya, saya akan dibunuh!’, demikian teriaknya. Tems terang, saya tercengang. Saya mengira saya telah mempertemukan dua teman lama. Ketika saya kembali ke Negeri Belanda untuk liburan Natal pada tanggal 6 Desember 1964, berita yang pertama kali saya dengar ialah kematian Verrips. Ia celaka saat mengendarai mobil sport Mercedes-nya di jalan bawah dekat Sassenheim. Saya baru tahu bertahun-tahun kemudian bahwa cara melenyapkan agen yang tidak disukai dengan kecelakaan mobil merupakan hal yang biasa dilakukan dalam kedinas-rahasiaan. Saya mengunjungi jandanya, Anneke, yang memberondong saya dengan serangkaian pertanyaan. Apa yang dikatakan Parman di New York mengenai suaminya? Mengapa tiba-tiba ia ingin bertemu dengan suaminya? Anneke juga melihat adanya hubungan langsung di antara keinginan Parman bertemu dengan suaminya dan kematian suaminya yang mendadak.
Pada awal bulan Januari 1965 saya kembali ke rumah saya di Long Island dan saya pergi menjumpai Dubes Zairin Zain di Washington. Ia menceriterakan hal yang mencemaskan saya (dalam bahasa Belanda). Verrips sudah mati, memang benar, tetapi Angkatan Bersenjata Indonesia berniat hendak menghabisi saya juga. Pertemuan saya dengan Parman ternyata berlangsung sangat memuaskan, dan rupanya sang jenderal telah memberitahu kawan-kawannya di Jakarta, bahwa ia tidak merasakan perlunya membunuh saya. Hal yang mencengangkan saya kemudian di tahun 1965, ialah ketika kedua jenderal itu, Yani dan Parman, ada di antara enam jenderal yang terbantai pada saat terjadi makar di Jakarta.
Saya akan tampak sangat naif bila saya, di sini dan sekarang, mengatakan bahwa saya memahami cara kerja agen rahasia, atau dalam hal ini, CIA. Pada tahun 1963 JFK terbunuh di Dallas. Sejak itu boleh dikatakan ada beratus-ratus buku diterbitkan di AS, semuanya berisi penjelasan yang bertentangan mengenai hal yang sebenarnya terjadi. Komisi Warren yang resmi yang diprakarsai Presiden Lyndon B. Johnson jelas membohongi masyarakat mengenai apa yang terjadi, seperti yang diketahui umum. Komisi ini menyebutkan Lee Harvey Oswald sebagai pembunuh tunggal JFK. Bertahun-tahun kemudian, film yang dibuat Zapruder yang sekarang terkenal, mengangkat masalah penembakan presiden itu kembali di AS dan dalam film itu jelas terlihat bahwa peluru-pelurunya ditembakkan dari dua sisi iring-iringan mobil presiden itu. Dallas merupakan peristiwa penyergapan yang dilaksanakan secara profesional. Namun demikian, berjuta-juta orang di seluruh dunia, termasuk orang Amerika, masih ‘percaya’ bahwa Oswald sendirian yang membunuh Kennedy. Berabad-abad yang lalu Augustinus berkata: ‘Percaya artinya menerima hal yang tidak dapat dibuktikan sebagai kebenaran’.
Gerakan intelijen atau dinas rahasia di mana pun di dunia, dirancang untuk melindungi pembunuh yang sebenarnya dari pemberitaan. Saya tidak dapat membuktikannya, meskipun telah berbicara panjang lebar dengan Jenderal Parman di Manhattan, bahwa ia terkait atau terlibat dalam pelenyapan mantan agen CIA Werner Verrips. Hal yang dapat saya perbuat sebagai wartawan ialah mengumpulkan sebanyak mungkin bahan informasi, menyusun potongan-potongan informasi itu, dan mencoba menarik kesimpulan hasil analisis dari fakta mengenai hal yang terjadi. Pembunuh JFK yang sebenarnya mungkin tak akan pernah terungkap. Orang tidak dapat membuktikan seratus persen bahwa ada orang lain yang menembak dari arah yang berlawanan dari gedung tempat Oswald diduga melepaskan tembakan. Pria yang didakwa sebagai pembunuh JFK itu pun dibunuh di dalam kantor polisi Dallas untuk mencegahnya menceriterakan ceriteranya sendiri. Semua orang dapat melihat sendiri dari film yang dibuat Zapruder, bahwa juga ada sebutir peluru yang mengenai JFK yang ditembakkan dari arah depan. Tetapi tidak ada penembak lain yang ditangkap selain Lee Harvey Oswald. Oleh sebab itu, hal bahwa presiden ini adalah korban persekongkolan tidak pernah akan terbukti. Itulah tujuan utama operasi Dallas yang sebenarnya, menimpakan kesalahan pada satu orang pria yang gila dan kesepian.
Tetapi, berbagai ragam jejak yang sengaja ditinggalkan dinas rahasia itu hendaknya tidak menyurutkan kita untuk memeriksa dan memeriksa ulang semua bukti yang ada dan berupaya sekuat tenaga untuk memaparkan cara jahat dari semua perilaku penjahat, termasuk kegiatan sangat rahasia organisasi mata-mata seperti CIA.
(Dbnl/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email