Ya Allah, aku datang menghampiri-Mu dengan zikir (mengingat)-Mu. Aku memohon pertolongan-Mu dengan diri-Mu. Aku memohon kepada-Mu dengan kemurahan-Mu. Agar Engkau dekatkan daku keharibaan-Mu. Sempatkan daku untuk bersyukur kepada-Mu. Bimbinglah daku untuk selalu mengingat-Mu.
Penafsiran Etimologis
Kata qurb (dekat) adalah lawan dari b’ud (jauh), dan memiliki tiga bentuk: tempat, masa, dan maknawi. Sedangkan kedekatan yang dimaksud dalam doa ini adalah kedekatan maknawi.
Pendekatan dan dimaksud adalah dengan berusaha untuk “menyerupakan diri” dengan Allah, yaitu menghiasi diri, dengan berbagai sifat terpuji dan ibadah-ibadah yang bersifat jasmani. Sementara, zikir merupakan salah satu ibadah yang bersifat jasmani tersebut.
Dalam pada itu, kata wizâ’ah berarti bagian atau pemberian, sedangkan kata ilhâm berarti sesuatu yang terlintas dalam hati, yang memiliki dua bentuk: rahmânî (dari Allah) dan syaitânî (dari setan).
Syarah dan Penjelasan
Tidak perlu dibahas lagi, menyebut dan mengingat (zikir) dapat menjadikan seorang hamba dekat kepada Allah Azza wa Jalla. Mengapa demikian? Sebab, berzikir merupakan hal yang paling baik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Allah Swt berfirman:
... maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (Thâhâ: 14)
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah itu (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yangkamu kerjakan. (al- ‘Ankabût: 45)
Oleh karena itu, permasalahan ini amat ditekankan oleh al- Quran dan hadis. Allah Swt berfirman:
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (al-Baqarah: 152)
Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut, mengingat nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. (al-Ahzâb : 41-42)
Bahkan dalam salah satu ayat-Nya yang suci Allah Swt menjelaskan bahwa tanda-tanda seorang mukmin dalam adalah hatinya tergetar tatkala menyebut dan mengingat Allah Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka, yang pabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan pabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal. (al-Anfâl: 2)
Dalam riwayat disebutkan bahwa Abu Abdillah (Imam Ja’far al-Shadiq) berkata, “Segala sesuatu memiliki batasan akhir kecuali zikir; sesungguhnya zikir itu tidak ada batas akhirnya. Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan shalat wajib; barangsiapa yang menunaikannya, maka ia telah membatasinya (menyelesaikannya). Begitupun puasa di bulan Ramadhan; barangsiapa yang berpuasa, maka ia telah membatasinya (menyelesaikannya) juga haji; barangsiapa yang mengerjakannya, maka ia telah membatasinya (menyelesaikannya). Kecuali zikir, Allah tidak membuat batasan akhirnya.”
Kemudian beliau membacakan ayat ini: Hai orang-orang yang beriman berzikirlah (dengan menyebut, mengingat nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.
Kemudian beliau berkata, “Ayah saya sangat banyak berzikir. Saya pernah berjalan bersamanya dan ia selalu berzikir kepada Allah. Saya (pernah) makan bersamanya dan ia selalu berzikir kepada Allah. Dan tatkala ia berbincang-bincang dengan orang-orang yang ada di sekitarnya (pun), hal itu tidak mengganggunya dari berzikir kepada Allah... (sampai akhir riwayat).”
Macam dan Peringkat Zikir
Setelah kita mengetahui betapa besarnya nilai zikir di sini perlu juga kiranya diungkap lebih jauh mengenai zikir ini.
Zikir sendiri terdiri dari dua macam: zikir dengan lisan dan zikir dengan hati. Zikir dengan hati jauh lebih bernilai daripada zikir dengan lisan. Ada kemungkinan, zikir dengan lisan merupakan mukadimah menuju zikir dengan hati. Sedangkan awal mula dan peringkat pertama zikir (mengingat) Allah adalah adar dan ingat akan Allah tatkala (akan) melakukan suatu perbuatan maksiat dan pelanggaran.
Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Sesuatu yang amat diharuskan oleh Allah terhadap ciptaan-Nya adalah berzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya.” Kemudian beliau melanjutkan, “Saya bukan bermaksud bahwa zikir itu adalah mengucapkan subhânallâh wal hamdulillâh walâ ilâha illallâh wa Allâhu akbar, sekalipun itu adalah bagian dari zikir. Akan tetapi zikrullâh (mengingat Allah) adalah terhadap apa yang dihalalkan dan diharamkan; melaksanakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan.”
Sedangkan peringkat yang lain adalah liqâullâh (berjumpa dengan Allah), yakni tidak melihat yang lain selain Allah, hati tidak disibukkan oleh selain Allah, dan tidak melakukan apapun selain yang diinginkan Allah. (Sebuah syair menyatakan):
Kupandang padang pasir, kusaksikan batas pada padang pasir
Kupandang lautan, kusaksikan batas pada lautan
Kemana saja aku memandang, gunung, lembah, padang luas
Aku menyaksikan tanda-tanda kebesaran-Mu
Allah Swt berfirman:
(Yaitu) orang-orang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Ali ‘Imrân: 191)
... yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dan mengingati Allah.... (al-Nûr: 37)
Qurb (Dekat)
Kita telah mengetahui dengan jelas bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Allah berfirman:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menghamba kepada-Ku. (al-Dzâriat: 56)
Kata liya’budûn (supaya mereka menghamba kepadaku) berasal dari kata dasar ‘ubûdiyah (penghambaan) dan bukan dari kata dasar ‘ibâdah (beribadah). Dengan demikian, arti ayat di atas adalah bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia tidak lain adalah agar keduanya menjadi hamba Allah (tidak bergantung, terikat, menghamba, dan mengabdi kepada selain Allah).
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.... (al-Baqarah: 29)
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa, yang di bumi.... (Luqman: 20)
Bahkan dapat dikatakan bahwa hadirnya para nabi adalah agar manusia dan jin menghamba kepada Allah semata. Sebab, al-Quran menegaskan dalil dan argumen pengutusan Rasul Mulia saww sebagai berikut:
Dialah Yang mengutus di kalangan kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah. (al-Jumu’ah: 2)
Atau, tatkala Dia hendak menjelaskan alasan pengutusan para nabi, Dia menjelaskan bahwa pengutusan itu adalah untuk menegakkan keadilan dan keseimbangan di tengah manusia:
Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dantelah Kami turunkan besama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (al-Hadîd:25)
Masing-masing argumen ini menjelaskan tujuan akhir (final) dari penciptaan manusia sebagaimna tercantum dalam berbagai ayat dan hadis. Bahkan ada sebuah riwayat yang cukup populer, yang mengungkapkan tujuan Allah atas penciptaan ini: Aku adalah khazanah yang tersembunyi, dan Aku ingin agar Aku dikenal, maka Aku ciptakan ciptaan (makhluk) agar Aku dikenal. Ya semua ini merupakan mukadimah untuk menghamba dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Alhasil kedekatan dengan Allah tidak mungkin dapat terwujud melainkan bila seseorang berilmu, suci, dan bersih. Demikian pula, kedekatan berbagai individu yang ada di tengah masyarkat tidak akan terwujud melainkan dengan keadilan sosial.
Inti dari pembicaraan ini adalah bahwa penghambaan dan kedekatan kepada Allah merupakan tujuan akhir dari penciptaan dan pengutusan para nabi; dan itulah kesempurnaan manusia. Dan dasar dalam meraih kedekatan dan kesempurnaan itu adalah ilmu, penyucian, diri ibadah, dan lain-lain. Inilah kesempurnaan, dan tidak ada kesempurnaan yang lebih dari ini dan serta dengan inilah hati akan menjadi tenang dan tenteram. Allah Swt berfirman:
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (al-Ra’d: 28)
Ayat ini merupakan sebuah penegasan bahwa manusia tidak akan pernah merasa kenyang dan puas kecuali dengan mendekatkan diri kepada Allah. Kesempurnaan dan perjalananan ini merupakan sebuah langkah yang tidak akan ada akhirnya. Sebab, perjalanan ini adalah perjalanan menuju Zat Ilahi dan menuju rahmat-Nya yang amat luas serta tenggelam dan hanyut dalam Zat Allah. Oleh karena itu, setiap saat dan setiap aktu manusia berada pada sebuah peringkat kedekatan dan kesempurnaan, dan peringkat ini tidak akan ada akhirnya. Karena itu di sini tidak terdapat pengulangan peringkat.
Peringkat Kedekatan kepada Allah
Alhasil kedekatan kepad Allah memiliki berbagai peringkat dah peringkat penamanya adalah menjauhkan diri dari perkara-perkara yang haram dan menjalankan berbagai kewajiban, khususnya melaksanakan berbagai perkara yang mustahab. Peringkat semacam ini oleh kaum ‘ârif (ahli makrifah) disebut dengan tahliah (menghias).
Ada benarnya juga bahwa sebelum masuk ke peringkat ini seseorang mesti melalu peringkat takhliah (pengosongan) terlebih dulu, yaitu dengan mengadakan berbagai latihan dan penyucian diri. Sebab, jika ruh belum suci dan bersih maka itu tak ubahnya seperti botol tertutup yang dimasukkan ke dalam air sehingga tidak setetespun air yang masuk ke dalamnya demikian pula dengan ruh pabila tidak disucikan dan dibersihkan serta belum mencapai peringkat takhliah maka ia tidak mungkin akan mencapai kedekatan dengan Allah.
Sedangkan peringkat akhir dari kedekatan (qurb) kepada Allah―ini merupakan kekhususan Rasulullah saww dan tak seorang pun yang dapat mengetahui peringkat ini selain beliau saww―adalah peringkat yang disebutkan oleh Swt dalam firman-Nya: maka jadilah dia dekat (sedekat) dua ujung busur panah atu lebih dekat (lagi). (al-Najm:9)
Makna kata qaus adalah melengkung. Oleh karena itu, alat yang digunakan untuk melemparkan anak panah disebut dengan qausr (busur) dan orang tua yang punggungnya bungkuk disebut dengan muqawwas. Yang dimaksud dengan qaus adalah dua ujung busur. Mengapa demikian? Sebab dua sisi busur ini dalam keadaan melengkung.
Adapun, peringkat yang dapat dicapai oleh selain para nabi dan wasyi (wakil nabi) adalah peringkat tajliah dan fanâ’ (penampakan dan peleburan). Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (al-An’âm: 79)
Pada peringkat ini, seorang tidak akan menghadap dan berharap kepada selain Allah, tidak akan merasa takut kepada siapapun selain Allah, dan hatinya tidak akan terikat kepada yang lain selain Allah.
Diceritakan bahwa ketika Said bin Jubair dihadapkan kepada Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi (seorang yang sangat lalim), Hajjaj bertanya, “Siapakah namamu?” Said menjawab, “Said (bahagia).” Hajjaj berkata, “Katakan saja Syaqi (sengsara).” Said menjawab, “Ibuku lebih mengetahui ketimbang dirimu.” Hajjaj, “Bagaimanakah keyakinanmu terhadap Ali bin Abi Thalib?” Said, “Keyakinanku adalah sebagainiana pemyataan Allah kepadanya.” Hajjaj, “Bagaimanakah pendapatmu tentang para khalifah.” Said, “Saya bukan wakil mereka.” Hajjaj, “Manakah di antara khalifah yang paling Engkau cintai.” Said, “Yang paling dicintai oleh Allah.” Hajjaj, “Aku akan membunuhmu.” Said, “Dengan demikian maka aku akan selamat.”
Kemudian Hajjaj memerintahkan orang-orangnya untuk membunuhnya. Said berdiri menghadap kiblat seraya membacakan ayat: Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. [7] Kemudian Hajjaj memerintahkan orang-orangnya untuk menyerongkan tubuh Said dari arab kiblat. Said lantas mengucapkan (ayat): Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. [8] Kemudian Hajjaj memerintahkan orang-orangnya agar meletakkan kepala Said ke atas tanah. Said pun mengucapkan (ayat): Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu, dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu, dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain. [9] Hajjaj mengeluarkan perintah agar pertama-tama memotong lidah Said, setelah itu barulah kepalanya.
Sikap dan perbuatan Said ini semata-mata untuk menyatakan kepada orang-orang yang memiliki karakter semacam Hajjaj tentang betapa nikmatnya orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Allah. Kalimat yang diungkapkannya merupakan sebuah pernyataan bahwa ia tengah berada dalam kebahagiaan. Dan tidak ada sebuah kenikmatan yang ia rasakan melebihi kematian; tidak ada kenikmatan menjelang kematian yang melebihi pembacaan ayat-ayat al-Quran. “Sementara Engkau, wahai Hajjaj, Engkaulah yang berada dalam kesengsaraan.”
Kiranya, pendapat yang mengatakan bahwa maksud kata amanat yang terdapat pada ayat suci al-Quran adalah potensi manusia untuk mencapai maqâm (peringkat) itu, bukanlah pendapatyang sia-sia dan tak berarti. Sekalipun, manusia itu amat zalim terhadap dirinya sendiri dan amat bodoh serta tidak mengetahui potensi yang ada pada dirinya. Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka mereka takut akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (al-Ahzâb: 72)
Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu. Dari golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Dan orang-orang yang paling dahulu, yang paling dahulu. Mereka itulah yang dekat dengan Allah. (al-Waqi’ah: 8-10)
Anda mengetahui bahwa dalam ayat ini manusia terbagi menjadi tiga golongan: satu golongan tenggelam dalam kenikmatan duniawi, dan mereka mengalami kondisi yang buruk, sial, dan sengsara. Di akhirat nanti, mereka akan merasakan siksaan yang amat pedih. Allah Swt berfirman:
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat sesuai dengan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah lagi yang akan memberikan petunjuk sesudah Allah (membiarkan sesat). Maka mengapa kantu tidak mengambil pelajaran? (al-Jâtsiyah: 23)
Satu kelompok lagi mengikuti akalnya dan menjadi lurus serta terbina dengan baik lantaran memanfaatkan bimbingan para nabi dan wasyi Ilahi. Mereka inilah golongan kanan; orang-orang yang bernasib baik dan memperoleh kebahagiaan. Mereka itu merupakan wujud nyata (realitas) dari kalimat: wa man haulahâ (dan orang-orang yang berada di sekitatnya) yang tercantum dalam ayat: Maka tatkala ia tiba di (tempat) api itu, diserulah ia, “Bahwa telah diberkati orang-orang yang berada di dekat api itu. Dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Dan Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam.” (al-Naml: 8)
Adapun golongan ketiga adalah mereka yang berhasil meraih kedekatan kepada Allah, berada di sisi-Nya, dan mendapatkan curahan rahmat-Nya. Mereka mernpakan realitas dari man fi al-nâr (orang-orang yang berada di dekat api). Mereka amat bersegera. Bersegera ke mana? Mereka adalah orang-orang yang berada di bawah naungan Allah, dengan demikian mereka adalah para wali (kekasih)Nya. Merekalah yang memperoleh ketenangan dan ketenteraman hati.
Merekalah orang-orang yang diridhai Allah dan mereka pun merasa ridha kepada Allah Allah Swt berfirman:
Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun senang terhadap-Nya. (al-Bayyinah: 8).
Oleh karena itu, golongan pertama akan berada dalam kegelapan di dunia ini, dan di akhirat nanti mereka akan menjadi penghuni neraka. Allah Swt berfirman:
Sekali-kali tidak, sesungguhnya, mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhannya. Kemudian, sesunguhnya mereka benar-benar masuk neraka. (al-Muthaffifîn: 15-16) ,
Dan golongan kedua masih berada dalam bahaya yang besar. Rasulullah saww bersabda, “manusia semuanya celaka, kecuali mereka yang berilmu; dan orang-orang yang berilmu semuanya celaka, kecuali yang beramal; dan orang-orang yang beramal semuanya celaka, kecuali orang-orang yang ikhlas; dan orang-orang yang ikhlas, (berada) dalam bahaya besar.”
Sedangkan golongan ketiga adalah orang-orang yang senantiasa berada di bawah naungan dan lindungan Ilahi. Mereka adalah hamba-hamba yang setan tidak memiliki kemampuan untuk mengganggu dan menguasai mereka. Allah berfirman:
... Iblis menjawab, “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang dibesihkan (dari dosa) di antara mereka.” (Shâd: 82)
Mereka memiliki maqâm dan kenikmatan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, bahkan akal pikiran kita tidak akan mampu memahaminya.
Macam-macam Ilham
Kami telah mengatakan bahwa ilham ada dua macam: rahmanî dan syaithânî, takwînî dan tasyri’î. Allah Swt berfirman:
... dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)Nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. (al-Syams: 7-8)
Petunjuk ini disebut dengan “petunjuk takwinî”. Allah Swt berfirman:
... dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. (Fushshilat: 12)
Pada hari itu bumi menceritakan beritanya, bahwa sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang demikian itu) kepadanya. (al-Zalzalah: 4-5)
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibangun manusia. (al- Nahl: 68)
Ilham dan wahyu tasyrî’î yang datangnya dari Allah disebut dengan mubasysyirah (penggembira). Dalil atas hal itu tercantum dalam ayat Ilahi ini:
Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susukanlah ia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah ia ke dalam sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang Rasul. (al-Qashâsh: 5)
Dan argumen lain adalah hadis Rasul saww yang berbunyi, “Sesungguhnya ada lintasan inspirasi dalam hati yang (datangnya) dari malaikat dan adapula lintasan dalam hati yang (datangnya) dari setan.” Juga, “Sesungguhnya Ruhulquds meniup hatiku.”
Ada pula jenis ilham dan wahyu tasyrî’î yang datangnya khusus dari setan, yang disebut dengan waswasah (bisikan). Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, tentulah kamu menjadi orang-orang yang musyrik. (al-An’âm: 121)
... sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (al-An’âm: 112)
... dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam hati manusia, dari jin dan manusia. (al-Nâs: 4-6)
Adapun wahyu dan ilham yang diterima oleh para nabi dan Rasul, berasal dari sumber lain, yang untuk mengetahui hakikat perkara itu diperlukan pembahasan panjang dan lebar. Wahyu dan ilham sendiri merupakan sebuah bentuk hubungan dan metniliki berbagai macam peringkat. Peringkat terakhirnya adalah firman Allah ini:
Kemudian ia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah ia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu ia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah diwahyukan. (al-Najm: 8-10)
Maksud dari ayat, ini adalah sebagai berikut: Rasulullah saww telah amat dekat dengan Allah sehingga tidak ada kedekatan lain; sebuah kedekatan dan kebergantungan murni. Dan ukuran kedekatan beliau dengan Allah adalah sebagaimana dekatnya kedua ujung busur panah ataupun lebih dekat lagi dari itu.
Catatan Penting
Di akhir pembahasan bagian ini, perlu diingat hal yang penting, yaitu bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, dalam kalimat doa ini, menyebutkan pendoa (dâ’î), Zat yang dipinta (mad’ûw), yang dijadikan perantara dalam meminta (mad’ûwun bihi), dan bentuk permintaan (mad’uwun lahu). Peminta adalah beliau sendiri, yang dipinta adalah Allah yang beliau cintai, yang dijadikan sebagai perantara dalam memohon adalah karunia Ilahi, dan permohonannya adalah maqâm kedekatan (qurb), maqâm syukur, dan maqâm zikir qalbu.
Al-Quran juga menegaskan bahwa “kedekatan” merupakan maqâm tertinggi, sebagaimana doa yang dipanjatkan oleh isteri Firaun: ... ketika ia berkata, “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah ‘di sisi-Mu’ dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (al-Tahrîim: 11)
Dalam doa ini disebutkan dua kata, yaitu qurb dan dunuw. “Agar Engkau dekatkan aku ke haribaan-Mu.” Oleh karena itu, maqâm syukur dan juga maqâm zikir qalbu, yang merupakan sebuah istilah, adalah satu dan sama. Dengan demikian, maka maksud dari ungkapan beliau (Imam Ali) pada kalimat, “Bimbinglah daku untuk selalu mengingat-Mu,” adalah selain maqâm menurut istilah itu (perhatian dan kesadaran terhadap maqâm qurb itu sendiri).
Mungkin, yang dimaksud beliau adalah agar beliau memperoleh maqâm qurb dan perhatian terhadap maqâm ini. Dengan demikian, makna kalimat tersebut menjadi sebagai berikut, “Ya Allah.! Karuniailah daku maqâm qurb. Dan tatkala daku telah mencapai maqâm tersebut, karuniailah daku kesadaran untuk bersyukur dan menghargai serta senantiasa mempertahankan maqâm tersebut.”
Insya Allah, pada pembahasan mendatang, kami akan memaparkan secara lebih luas hal yang berkaitan dengan peringkat dalam perjalanan maknawiah, keikhlasan, dan arti sebenarnya dari syukur. Saya rasa, pembahasan bagian ini saya cukupkan sampai di sini.
Referensi:
7. Al -Anâm : 79.
8. Al-Baqarah : 115.
9. Thâhâ : 55.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email