Selain kehadiran Emha ‘Cak Nun’ Ainun Najib, acara ‘Malam Nuzulul Qur’an’ di Jogja Expo Center (25/6) dimeriahkan pentas musik oleh Kiai Kanjeng. Beragam lagu dilantunkan, termasuk oleh Novia Kolopaking, dari shalawatan, Melayu hingga pop Barat. Agar tidak salah memahami, Cak Nun mengingatkan untuk tidak terjebak dengan simbol-simbol yang selama ini membanjiri masyarakat minus makna atau substansinya.
“Apakah Islam itu berarti lagunya harus bernotasi atau berbahasa Arab?” tanya Cak Nun mengajak diskusi hadirin lepas Novia Kolopaking feat Kiai Kanjeng menyanyikan lagu Keluarga Cemara.
Cak Nun memberi contoh jilbab yang tidak bisa menjadi dasar ukuran baik-buruknya perempuan. Menilai orang lain, apalagi keyakinan seseorang, bukan hal yang mudah. Alih-alih menilai dari casing atau simbolnya, penulis puisi ‘Lautan jilbab’ ini bahkan mengajak untuk menghindari menilai yang bukan haknya.
“Mari kita jangan terjebak pada simbol dan mari jangan menilai sesuatu yang bukan hak kita,” katanya di depan hadirin yang memadati halaman parkir barat Jogja Expo Center, Banguntapan, Yogyakarta, 25/6.
Jika di sekolah yang berhak memberi raport ialah guru atau sekolah, maka sesama murid seharusnya tidak saling memberi “raport” kafir, mukmin, atau sesat. Lebih jauh, Cak Nun memberi contoh konflik Timur Tengah sejak Musim Semi Arab yang kerap disamakan dengan konflik agama atau mazhab. Pada wilayah ini pun, selain harus cerdas melihat frame suatu media, seseorang juga harus melek konstelasi politik global agar tidak berpikir sejengkal.
“Islam tidak sama atau sebangun dengan Arab. Ada yang sama tapi juga ada yang tidak sama. Kedua, Arab tidak sama atau tidak sebangun dengan (kerajaan keluarga) Saudi,” katanya memberi contoh salah satu pemetaan di Timur Tengah.
Seperti diketahui, sebagian Muslimin mendukung setiap kebijakan Kerajaan Saudi hanya karena dianggap simbol dari Islam. Dan tidak sedikit yang mengukur kesalehan seseorang hanya dari “atribut Arab” yang melekat di tubuhnya.
Kaitannya dengan “Nuzulul Qur’an”, Cak Nun mengajak merenung lebih dalam lagi mengenai perjalanan Al-Qur’an sejak ciptaan pertama Allah, Nur Muhammad, hingga turunnya kitab suci ke para nabi. Bagaimana “evolusi kitab suci” ini berlangsung dari kaum ke kaum, masa ke masa, hingga datangnya penutup para nabi, Muhammad Saw.
Setelah mengurai dimensi perbedaan kaum, nabi dan masa kitab suci Zabur, Taurat, Injil dan Al-Qur’an, Cak Nun menjelaskan asal usul hingga penyempurnaan yang ditandai dengan turunnya Al-Qur’an. Pada titik ini, penulis pria 63 tahun ini kembali mengajak hadirin merenung, “sejatinya mereka (empat kitab suci) itu beragam atau satu?”
Cak Nun pun menjelaskan tentang kesejatian Yang Tunggal dan keberagaman yang tampak sebagaimana wacana dalam dunia sufistik. Mulai dari analogi sederhana, seperti cahaya yang tampaknya beragam namun sejatinya satu. Jika keempat kitab suci itu sejatinya berasal dari yang satu, kata Cak Nun, mengapa kita selalu bertentangan di seluruh dunia?
“Mengapa seolah-oleh mereka adalah empat umat yang bermusuhan,” katanya menyinggung konflik yang mengatasnamakan agama. “Pasti ada pemalsuan di dalamnya, manipulasi, yang belok-belokin,” lanjut Cak Nun.
Sedemikian sehingga para pengikut ajaran kitab suci itu seolah-olah ada empat pihak yang tidak bisa bertemu dan saling bermusuhan. Tidak hanya antar agama, bahkan yang memiliki kitab suci sama juga demikian. Apalagi keempat ajaran itu dengan mudah dibiaskan oleh sejarah hingga tidak sulit untuk diseret ke perang yang berkepanjangan.
“Sampai akhirnya ada yang ditindas, (dan) ada yang dimusnahkan…”
Dengan berbagai pendekatan dan analogi, Cak Nun mencoba mengajak hadirin untuk menemukan satunya Allah yang dengannya seseorang bisa memandang dan menyikapi ciptaan-Nya yang tampak beragam itu.
“Jadi semua yang kelihatannya banyak itu, sejatinya tunggal. Bhineka sebenarnya cuman samaran, yang sejati itu tunggal ika.” []
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email