Pesan Rahbar

Home » » Kilas Balik Kebijakan Saudi Dari Tokoh NU, Muhammadiyah, Peneliti

Kilas Balik Kebijakan Saudi Dari Tokoh NU, Muhammadiyah, Peneliti

Written By Unknown on Monday 30 January 2017 | 20:07:00


Awal Maret 2017 dikabarkan Raja Saudi, Salman bin Abdulaziz al Saud akan berkunjung ke Jakarta. Pihak Saudi menyebutnya “mega kunjungan” karena Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud akan datang bersama rombongan besar, sekitar 800 orang.

Dalam hal ini Kedutaan Saudi di Jakarta memberikan keterangan resmi pada Jum’at (27/1):

“Kunjungan Yang Mulia Dua Pelayan Kota Suci -Khodim Al-Haromain Al-Syarifain- Raja Salman Bin Abdulaziz Al-Saud (semoga Allah melindunginya) ke Indonesia dilakukan untuk memenuhi undangan Yang Mulia Presiden RI/Joko Widodo, usai kunjungannya ke Saudi Arabia pada tahun 2015 M.”

Kunjungannya ke Indonesia, – sebagaimana sejumlah penguasa negara lainnya, – menjadi momentum bagi sebagian kalangan, termasuk netizen, yang ingin menyampaikan aspirasi hingga kritik. Khususnya, kebijakan sang penguasa yang berdampak lintas negara seperti persoalan, haji, budaya hingga kemanusiaan.

Di Indonesia sendiri, kebijakan rezim Saudi tak luput dari kritik tokoh masyarakat seperti KH. Ahmad ‘Gus Mus’ Mustafa Bisri hingga Prof. Ahmad Syafii Ma’arif. Sebagai Muslim, Syafi’i Ma’arif mengkritik kebijakan Saudi atas situs sejarah Islam, khususnya di sekitar Makkah, dengan menyebut rezim ini sebagai tuna-adab.

“Atas nama tauhid dan gerakan anti-syirik, kabarnya sudah lebih 98 persen tempat-tempat bersejarah itu dihilangkan jejaknya. Bahkan makam Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi, yang jasanya luar biasa terhadap Islam di masa awal yang kritikal dan teramat sulit, kini telah berubah jadi toilet umum,” kata Mantan Ketua Umum Muhammadiyah.

Kritik Buya ini mengingatkan juga pada sindiran Gus Mus soal pembangunan di tanah suci itu. Hadir bersama Emha Ainun Najib di Pondok Pesantren Rahmatul Umam Bantul, Gus Mus menyebut Kota Makkah seperti Las Vegas.

Jebolan Al Azhar Mesir itu menggambarkan fenomena menjamurnya hotel berbintang, pusat perbelanjaan seperti mall, dan lain-lain di tanah yang disucikan umat Islam itu. Sedemikian masifnya, sehingga semakin tidak mendukung orang untuk beribadah.

Menanggapi tragedi berdarah yang terulang kembali di musim haji 2015, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj pun khawatir, pembangunan ala kerajaan itu kelak akan melahirkan masalah serius.

“Puluhan bangunan megah didirikan bukan dalam rangka memperlancar proses ibadah haji, malah justru melahirkan sederet masalah,” kata Kiai Said, Jakarta Pusat, dalam pernyataannya lepas tragedi mina yang menelan 2.000 lebih korban jiwa itu.

Jebolan Ummul Quro Makkah ini menganggap pembangunan gedung megah yang dilakukan pemerintah Saudi tidak sesuai dengan kesederhanaan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Ia mengungkapkan itu dengan mengutip sejarawan Arab Saudi, Ali Al-Jurjawi dalam Himatus Tasyri wa Falsafatuh, bahwa esensi dari ibadah haji adalah menapak tilas perilaku Nabi Muhammad SAW.

Menurut Buya Syafi’i, kejadian Mina bukti buruknya manajemen haji dan Arab Saudi seharusnya membuka diri dan bekerja sama dengan negara-negara Islam agar kejadian serupa tidak terulang, kata seorang cendekiawan.

“Kerajaan itu sudah beberapa kali melakukan kesalahan yang sama dalam penyelenggaraan haji namun tidak segera memperbaikinya,” kata Buya.

Menurut pria kelahiran Minang ini, sistem pemerintahan monarki absolut yang dianut Saudi menyebabkan banyaknya informasi cenderung disembunyikan dari masyarakat dunia. Buya Syafi`i juga mendesak pemerintah mengintensifkan diplomasi kepada pihak kerajaan dalam memperbaiki manajemen keselamatan jamaah Haji.

Adapun jika berbicara hubungan Saudi dengan kawan lamanya, Amerika Serikat, tampaknya tidak berubah sebagaimana sebelumnya. Terakhir, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dilaporkan telah berdialog dengan Raja Saudi melalui sambungan telefon pada Ahad, 29/1.

Dari dialog itu, presiden yang kebijakannya dinilai diskriminatif terhadap migran Muslim itu telah melakukan kesepakat berbagai kerjasama dua negara dengan Raja Salman.

Dampaknya, kebijakan Saudi yang didukung Amerika Serikat dan Israel seperti ageresi ke Yaman, juga tampaknya tidak mengalami perubahan.

Sejak Maret 2015, menurut peneliti Indonesian Centre for Middle East Studies, Dr. Dina Sulaiman, sebanyak 11.403 orang tewas, 19.343 luka.

“Sebab sepinya suara soal Yaman (di Indonesia), sederhana saja. Yang amat berisik soal Suriah di Indonesia adalah ormas-ormas yang mendapatkan dana dari negara-negara Arab dan Teluk,” kata peneliti yang pernah menulis surat terbuka soal Aleppo dan dipublikasikan kembali oleh Gus Mus di akun facebooknya.

“Cobalah membaca Surat Terbuka ini dengan pikiran jernih. Menarik dan mencerahkan,” kata Gus Mus setalah mengunggah surat terbuka Dina, bulan lalu.

Di blog pribadinya, pengamat Hubungan Internasional ini melanjutkan, baik korban tewas dan luka, mayoritas merupakan perempuan dan anak-anak. Adapun infrastruktur yang hancur di Yaman – menurut data November 2016 – sebanyak 380.366 bangunan perumahan, 719 sekolah, 108 gedung universitas, 263 rumah sakit, 675 masjid, dan 1.553 gedung pemerintah.

Peraih gelar doktor di Universitas Padjajaran ini lalu mengingatkan bahwa di Yaman, agresornya adalah Arab Saudi yang dibantu AS, Israel, dan negara-negara Arab. Selain itu, lanjut Dina, media massa mainstream internasional juga sangat berisik memberitakan soal Suriah dengan berpihak kepada pemberontak atau teroris.

Menurutnya, ada banyak pertanyaan yang bisa membantu masyarakat Indonesia untuk melihat dan menganalisis konflik Yaman-Saudi. Seperti, jika karena alasan Syiah, bukankah di Arab Saudi sendiri juga banyak Syiah? Di sisi lain, menrutu data UNHCR, 53% populasi Muslim Yaman adalah Sunni, dan 45% Syiah.

Adapun pertanyaan selanjutnya, sebagai berikut:

Jika dengan alasan membasmi pemberontak (bughot), mengapa pemberontak di Suriah malah didukung Arab Saudi?

Jika dengan alasan Syiah, mengapa yang diserang Arab Saudi bukan Iran?

Jika Arab Saudi sedang memberikan bantuan kemanusiaan untuk warga Yaman, mengapa menggunakan bom, korban yg berjatuhan pun dari pihak sipil (wanita dan anak kecil)?

Jika Arab Saudi sedang memperjuangkan agama Islam, mengapa dibantu AS dan Israel?

Jika Arab Saudi sedang membantu sesama Arab (rezim Mansur Hadi yang minta perlindungan), bukankah Palestina juga sangat Arab?

Jika Arab Saudi ingin menegakkan demokrasi (melindungi rezim Mansur Hadi), bukankah Arab Saudi sendiri adalah rezim monarkhi non- demokratis?

Saat Hosni Mubarak (Sunni) digulingkan melalui aksi-aksi demo masif rakyatnya sendiri, Arab Saudi secara resmi menentang penggulingan itu, tapi tak melakukan apapun. Ketika Presiden Mursi dikudeta, Saudi mengucapkan selamat pada Jenderal Al Sisi (Sunni) dan memasukkan Ikhwanul Muslimin (Sunni) sebagai organisasi teroris.

Saat Presiden Bashar Assad (dituduh Syiah) diperangi oposisi dan pemberontak, Saudi mendukung (dan membiayai) pemberontak itu. Namun ketika rakyat Bahrain (sebagian Sunni, sebagian Syiah) berdemo besar-besaran untuk menuntut raja dari dinasti Al Khalifah (Sunni) mundur.

“Saudi (bahkan) mengirim pasukannya untuk menembaki dan menangkap para demonstran.”

Saat rakyat Palestina (mayoritas Sunni) lebih 60 tahun berjuang melawan Israel yang menjajah tanah air mereka, Saudi diam saja. Namun ketika rakyat Yaman dari berbagai faksi dan mazhab (Sunni dan Syiah) berdemo besar-besaran memprotes rezim Mansour al Hadi, Saudi membombadir Yaman.

Menurut Dina, peta lawan-dan-kawan Saudi sangatlah acak, tidak selalu Sunni atau Syiah. Jadi akar konflik di Yaman dan Timteng, lanjut Dina, bukan mazhab, tapi kepentingan atau uang & kekuasaan.[]

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: