Ada anak kecil yang kesurupan. Tubuhnya dimasuki jin atau sejenis makhluk halus lainnya. Oleh orang-orang kampung anak itu dipeluk erat. Tubuhnya disiram air, pipinya dipukul dengan tujuan agar jin itu keluar dari tubuh anak. Tetapi jin yang masuk dalam tubuh si anak itu tidak mau keluar juga. Akhirnya karena sudah lelah orang-orang bersepakat menanyai si jin yang menempel dalam tubuh si anak. “Jin, mengapa toh kok kamu menempel di tubuh si anak kecil ini, apa dosanya? Apa dia berbuat salah terhadapmu?”
Rupanya pertanyaan itulah yang ditunggu-tunggu oleh si Jin. Dari tadi dia tidak ditanya tetapi langsung dipukul, disiram air dan segala perbuatan tidak jelas yang lain. Si Jin menjelaskan: “Oh gini tadi anak kecil ini jalan sendiri di pinggir jalan raya. Dari pada dia salah jalan, atau turun ke jalan raya dan mendapat celakaan, tertabrak mobil misalnya, lebih baik tak masuki.” Begitu keterangan si Jin. Setelah itu Jin itu keluar dari tubuh si anak kecil.
Apa hikmah yang dapat kita ambil dari cerita ini? Selama ini kita sering berbuat, menuduh, menghujat, memaki-maki, marah-marah terhadap suatu hal tanpa mengetahui persoalannya. Kita tidak memiliki kesediaan untuk sekedar mengajukan pertanyaan “mengapa?” apa yang terjadi dan lain sebagainya.
Cerita itu disampaikan oleh Habib Anis Sholeh Ba’asyin dalam forum Suluk Maleman di Rumah Adab Indonesia Mulia Jalan Diponegoro 94, Pati. Pada malam itu Suluk Maleman mengusung tema “Bukan Bangsa Kemarin Sore”. Penguraian tema dibantu oleh Gus Yusuf Cholodri, Sutanto Mendut, dan Komunitas Lima Gunung.
Apa yang diceritakan oleh Habib Anis itu untuk merespon keadaan hari-hari ini ketika banyak orang gampang sekali menghakimi orang lain. Penghakiman itu membagi kelompok menjadi dua yaitu kelompok malaikat dan kelompok setan, dan tidak ada manusia. Padahal, kita harus memiliki kesadaran bahwa dalam diri orang lain dan diri kita ada sisi baik dan sisi buruk.
Gus Yusuf juga senada dengan yang disampaikan oleh Habib Anis. Menurutnya perbedaan oleh para ulama itu suatu hal yang biasa dan sudah terjadi sejak dahulu kala, Kiai Hasyim juga kadang-kadang berbeda pendapat dengan Kiai Wahab dan Kiah Cholil. Yang kemudian menjadi persoalan pada era media sosial sekarang ini adalah ulah para komentator. Para komentator yang tidak tahu apa-apa dan ikut berkomentar.
Habib Anis mengimbau untuk tidak semua ikut berkomentar dan ikut menilai ketika terjadi suatu hal. Cukup orang-orang yang memiliki ilmu di bidangnya saja yang menjawab agar tidak terjadi kekisruhan. “Jika tidak paham lebih baik diam.” Begitu kata Habib Anis. “Jangan mencari panggung di atas persoalan,” tambahnya.
Tema “Bukan Bangsa Kemarin Sore” ini menanggapi sebuah ramalan seorang Barat yang meramalkan dalam dua tiga tahun kedepan negara yang berpotensi hancur adalah Indonesia dan Arab Saudi. Arab karena rajanya sudah tua dan akan meninggal, suksesi itu diramalkan akan memporakporandakan Arab. Kedua, negara yang diramalkan hancur adalah Indonesia dengan alasan potensi perpecahan horisontal demikian terbuka dan dapat dilihat sekarang ini. Konflik itu mulai konfilk agama, mulai disulut lagi konflik daerah, adat, dan lain sebagainya. Menurut Habib Anis, Bangsa Indonesia bukan bangsa kemarin sore, dengan pertolongan Allah, bangsa dan negara Indonesia akan mampu menyelesaikan persoalannya.
Asal, tentu saja ada syaratnya, ada langkah-langkahnya. Dan menurut Gus Yusuf langkah-langkahnya adalah menyerap ilmu dari leluhur. Belajar pada warisan yang diberikan oleh para pendahulu. Warisan dari para pendahulu itu salah satunya kesantunan, tawadhu’, hormat kepada orang lain. Dalam kesempatan itu Gus Yusuf bercerita tentang banyak hal, tentang ketawadhu’an Kiai yang tidak menepuk dada merasa dirinya paling pandai.
Gus Yusuf juga bercerita tentang Kanjeng Nabi Muhamad ketika mendapat tamu. Demi menghormati tamu Nabi menyuruh Aisyah mengeluarkan empat piring. Tiga piring ada isinya dan satu piring kosong. Piring yang kosong itu untuk Nabi. Waktu itu Nabi tidak sedang punya makanan, tamunya adalah seorang musyafir yang seharian belum makan. Akhirnya dalam kegelapan, tanpa lampu yang memadai Nabi dengan tiga orang tamunya menyantap makanan. Namun sebenarnya Nabi sedang akting makan. Hal itu beliau lakukan karena akhlak. Agar tamunya merasa enak hati.
Gus Yusuf juga bercerita, pernah ditanyai seseorang di Borobudur sana, “Gus, kata mahasiswa yang KKN kemarin, setelah berdoa tidak boleh bakar dupa?” Gus Yusuf menjawab, “Boleh, yang tidak boleh adalah setelah berdoa membakar rumah.”
Gus Yusuf mengajak untuk tidak menyalah-nyalahkan orang kecil, orang-orang kampung. “Mas, Mbak, orang kecil, orang kampung itu membakar dupa adalah hiburan lha kok tok larang, tok musrik-musyike. Mereka itu hiburannya ya itu. Mereka tidak tahu facebook seperti kalian. Sing jelas musrik itu mbakar pasar terus golek proyeke.”
Pak Tanto Mendut menambahi, baginya mengumpulkan bunga, daun kemudian merangkai itu adalah wujud syukur saya kepada Allah karena sudah dianugrahi alam sedemikian kaya. “Cobo ning Arab gawe sesajen opo iso? Kembange opo? Entah kemudian itu dimaknai sesajen atau dianggap musyrik yo monggo.”
Ada khasanah yang menarik yang disampaikan oleh Pak Tanto yaitu tentang dengkul dan otak. “Aku sekarang tidak malu dan tidak marah jika dikatakan utekku ning dengkul. Utek ning dengkul kui ya sinau karo mlaku-mlaku. Berkunjung, silaturahhim, berbuat sesuatu. Lha jika oraknya di kening, maka yang dilakukan hanya mainan HP di kamar melulu, andalannya hanya jempol dan membagikan, terus akhirnya nesu-nesu gak jelas.”
Tentang kesantunan, Habib Anis menambahi sebuah cerita tentang Rasullulah. Suatu hari Rasulullah kedatangan tamu dari pegunungan yang membawa oleh-oleh berupa buah-buahan. Nabi menyambut tamu itu bersama para shohabat. Nabi melakukan hal yang tidak biasa. Ia memakan buah oleh-oleh dari tamu dari pegunungan itu sendiri dan tidak menawarkannya kepada sahabat lain. Ada apa?
Setelah tamu itu pulang ke pegunungan, para sahabat bertanya kepada nabi. “Nabi, mengapa engkau tidak menawarkan buah itu kepada kami. Tidak kau beri kesempatan kami untuk mencicipi. Biasanya Nabi pasti menawarkannya kepada kami jika ada hidangan?”
Nabi menjawab, “Begini, buah ini rasanya kecut dan pahit sekali. Jika aku berikan kepada kalian tadi. Saya takut kalian akan mengatakan hal yang buruk dan akan menyakiti hati tamuku. Maka lebih baik aku saja yang makan.”
Apa hikmah yang dapat kita petik dari cerita itu? Seorang pemimpin harus mau dan mampu menelan kepahitan dan menyajikan kenikmatan kepada umatnya. Seorang pemimpin juga berkewajiban untuk menjaga hati rakyatnya.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email