Pesan Rahbar

Home » » Rezim Kopi di Priangan

Rezim Kopi di Priangan

Written By Unknown on Friday 24 March 2017 | 00:23:00

Kopi Priangan menjadi primadona penguasa untuk meraup laba. Para petani menderita tapi tak tinggal diam.

Judul: Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan Dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870 | Penulis: Jan Breman | Penerbit: Obor | Terbit: Maret 2014 | Tebal: xiv + 400 halaman | (Foto: cover buku).

Para petinggi Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) di Jawa tak pernah menyangka bibit tanaman baru dari India Selatan yang mereka tanam di kebun masing-masing pada pengujung abad ke-17 bakal memberikan dampak luar biasa. Kopi menjadi sumber utama penghasilan Kerajaan Belanda.

Setelah tanaman itu berbuah, para petinggi VOC mengirim segenggam biji kopi untuk contoh ke Heeren Zeventien, para direktur VOC di Amsterdam, pada 1706. De Heeren Zeventien lalu menyarankan agar pembudidayaan kopi menjadi perhatian Gubernur-Jenderal J van Hoorn.

Van Hoorn merespon dengan membagikan tanaman itu kepada kepala-kepala pribumi di pesisir Batavia hingga Cirebon. Tak berhasil baik, penanaman bergeser ke daerah yang lebih tinggi di selatan. Hasilnya memuaskan. Pada 1711, bupati Cianjur menjadi penyetor pertama kopi Jawa ke VOC. Tingginya harga kopi membuat pembudidayaan kopi meluas. Para bupati dan bangsawan ramai-ramai menanam. VOC menjadikan Priangan sebagai pusat penghasil kopi.

Mulanya VOC membeli hasil panen petani. Namun, melihat kopi sangat menguntungkan, lambat-laun mereka memaksakan jual-beli kopi dengan harga di bawah pasar. Untuk menancapkan monopoli, VOC melarang penjualan kopi ke pedagang swasta, dan pelanggarnya bisa dikenai hukuman. Mereka juga menerapkan aturan setoran wajib kepada para kepala wilayah, yang mendapat kewenangan mengontrol dan memobilisasi rakyat menanam kopi.

Hidup petani kian terpuruk ketika gubernur jenderal mengeluarkan kebijakan penurunan harga kopi secara drastis. Para petani melawan. Mereka merusak tanaman dan kabur dari perkebunan. Banyak kebun kopi terlantar. Dampaknya, terutama di Cianjur dan Kampung Baru, pusat produksi terpenting kala itu, terjadi kemunduran, “sehingga untuk mengembalikan ke keadaan sebelumnya diperlukan waktu lebih dari enam puluh tahun,” tulis Jan Breman, guru besar emiritus Sosiologi Amsterdam Institute, Belanda.

Perluasan penanaman kopi dilakukan. Bahkan VOC memaksa petani di Priangan menanam kopi dan menyerahkannya kepada VOC. Namun perlawanan petani tak pernah surut.


Buah Perlawanan

Bangkrutnya VOC, yang kemudian digantikan dengan pemerintah kolonial, tak mengubah posisi kopi sebagai komoditas terpenting. Dan Priangan tetap menduduki tempat yang istimewa. Bahkan sistem budidaya kopi Priangan menjadi model bagi rancangan Sistem Tanam Paksa yang digagas Gubernur Jenderal Van Den Bosch.

Ketika konsumsi kopi di dunia meningkat, pemerintah kolonial menggenjot produksi dengan meningkatkan penanaman pohon kopi. Pemerintah melarang para petani menanam padi atau tanaman lain selain kopi. Bersamaan dengan itu, pemerintah terus menaikkan setoran wajib. Pemerintah juga melarang penduduk mengambil biji kopi. Untuk mengawasinya, tiap hari patroli keamanan memeriksa rumah-rumah penduduk untuk mencari biji-biji kopi yang disembunyikan. Di Priangan, hasilnya luar biasa. Pada abad ke-19, sekira separuh produksi kopi dunia berasal dari Priangan.

Para petani, dengan lahan minim atau tanpa lahan, akhirnya hanya bisa mengandalkan penghasilan dari upah buruh kopi yang besarnya tak seberapa. Kemiskinan menghimpit mereka. Kesulitan hidup para petani kopi dan keculasan pemerintah kolonial menjadi inspirasi E Douwes Dekker (Multatuli) untuk menulis novel Max Havelaar pada 1860.

Alih-alih tunduk, dengan berbagai cara para petani dan buruh perkebunan kopi melawan. “Tidak dengan melakukan aksi terbuka dan kekerasan terhadap atasan atau penguasa yang jauh tetapi denga cara terus melakukan penggelapan, sabotase, dan berbagai bentuk ketidakpatuhan lain yang akhirnya memacetkan sistem kopi,” tulis Jan Breman. Akibatnya ratusan ribu pohon kopi mati. Angka produksi menurun. Laba pemerintah anjlok.

Pada akhirnya pemerintah kolonial menghapuskan Tanam Paksa, yang berpengaruh terhadap tata niaga kopi di Priangan.


Mendobrak Pandangan Umum

Jan Breman bukan hanya menyajikan lengkap sejarah panjang perniagaan kopi di Priangan, tapi juga mendobrak pandangan sejumlah sejarawan kolonial mengenai Sistem Tanam Paksa (cultuurstelsel).

Sejarawan Robert van Niel, C Fasseur, dan RE Elson menganggap Tanam Paksa berperan penting memperbaiki taraf kehidupan penduduk di Hindia Belanda. Jan Breman menganggap ketiganya sebagai kalangan etatis –pendukung negara. Mereka mengandalkan arisp dan laporan resmi pemerintah kolonial yang menurut Breman penuh dengan kebohongan. Hal itu karena sifat cari aman para penguasa lokal yang tak mau kena damprat atasannya di Batavia. Mereka juga kurang menyoroti kekerasan struktural yang mengekang petani, serta mengingkari penolakan dan perlawanan petani terhadap sistem tanam-paksa kopi.

Menurut Jan Breman, Tanam Paksa kopi di Priangan punya kekhasan yang tak ditemui di tempat lain dan pada komoditas lain. Para petani dan buruh kopi di Priangan bukan semata dibebani tanggungjawab menanam dan merawat pohon kopi dalam jumlah jauh lebih besar dibanding daerah lain, tapi juga dibebani setoran hasil panen yang jauh lebih tinggi, upah yang jauh lebih kecil, dan kewajiban melakukan kerja pengabdian untuk kepentingan petinggi dan bangsawan. Aturan ini sudah diterapkan sejak era VOC.

Sistem Tanam Paksa juga berdampak pada ekologi. Mengutip sejarawan Peter Boomgard, Breman menulis bahwa rentang waktu antara tahun 1826 hingga 1865 menjadi periode perusakan ekologi di tanah Jawa. Pembabatan hutan besar-besaran terjadi semata-mata untuk penanaman kopi.

Kesimpulan Breman juga berbeda dari pandangan dominan mengenai kejatuhan Sistem Tanam Paksa. Bukan karena tuntutan dan penerapan liberalisasi ekonomi, tapi karena penolakan dan pelawanan petani. “Kesimpulan saya adalah bahwa keengganan mereka yang terus berkelanjutan untuk bertindak sesuai dengan yang diperintahkan oleh pemerintah kolonial merupakan hal yang sangat menentukan dalam kemunduran dan kejatuhan Sistem Tanam Paksa,” tulis Breman.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: