Di mata Emha Ainun Najib, kontroversi produk tembakau atau rokok yang terlihat di permukaan sejatinya bukan semata-mata kesehatan. Persaingan dagang perusahaan raksasa seperti farmasi turut menabuh genderang dalam kisruh pro dan kontra ini. Kalaupun dituding membahayakan kesehatan, kata pria yang akrab disapa Cak Nun ini, maka hal yang sama seharusnya berlaku bagi selain rokok selama dikonsumsi berlebihan.
“Rokok itu bahaya, saya setuju, sebagaimana nasi, gula, sate kambing, minuman suplemen itu juga bahaya. Dan mohon semua yang bahaya diberi gambar peringatan (seperti di kemasan rokok),” katanya sembari menegaskan bahwa dirinya tidak dalam rangka mengajak untuk merokok, tapi berpikir terbuka.
Jika mau digali lebih mendalam lagi, lanjut Cak Nun, sejatinya segala sesuatu di dunia ini memiliki potensi membunuh atau menghilangkan nyawa manusia. “Istri pun, dapat membunuhmu,” katanya dengan nada canda.
Namun masalah mendasarnya bukan pada sesuatu yang dapat membunuh itu, tapi kesadaran manusia bagaimana ia menyikapi segala sesuatu itu. Seperti makanan, apakah sesuai dengan kondisinya, kapan ia harus makan, kapan harus berhenti, bagaimana banyaknya, kadarnya dst.
“Saya beritahu, kalau ingin tidak mati, cuman satu jalannya. (Yaitu) jangan hidup. Kalau tidak kepengen mati, ya jangan hidup.”
Menyindir kementerian kesehatan, Cak Nun mengajukan pertanyaan, mengapa hanya produk tembakau yang diberi stiker peringatan ‘dapat membunuhmu’? Mengapa tidak memberi stiker yang sama pada setiap knalpot motor, dimana polusi yang diakibatkannya juga bahaya bagi kesehatan? Nah, pengamat Hukum Gabriel Mahal menilai, beberapa tudingan terhadap industri tembakau memang sangat tendensius.
“Di situ saya kira kita harus sangat kritis terhadap klaim seperti itu,” katanya seperti dikutip liputan6.com (31/8).
Kewaspadaan Gabriel ada pada salah satu poin dalam regulasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC). Poin itu mengharuskan pemerintah untuk menggunakan produk nikotin sintesis untuk terapi. Hal ini dikatakan akan menambah beban negara dari impor. Padahal, dana itu dari APBN bersumber dari pajak.
Karena itu, Gabriel juga melihat di antara motif kampanye dampak negatif tembakau di berbagai tempat ialah bagian dari strategi untuk menjaring konsumen nikotin replacement dalam jangka panjang.
Bagi Gabriel, salah kaprah jika kemudian harga rokok Indonesia dibandingkan dengan Singapura yang tidak memiliki kepentingan apapun terhadap tembakau apalagi negara itu juga tidak punya petani tembakau.
Meski tak punya kepentingan terhadap tembakau, di Singapura memiliki fasilitas perokok. Kemudian di Jepang ikut menyiapkan lokasi merokok di kereta, bahkan di stasiun terdapat gerbong khusus untuk perokok. “Orang boleh merokok dan disiapkan khusus tempat nyaman sampai korek apinya. Sementara di Indonesia, industri hasil tembakau dipojokkan,” katanya.
Di samping pertarungan dagang dan pro-kontra kesehatan, para ulama juga berbeda pandangan soal hukum merokok. Tidak berbeda dengan Cak Nun, pengurus PBNU, Kiai Arwani Faishal berpendapat hukum merokok tidak haram.
”Hukum ini berlaku selama tidak berlebihan. Apa saja bila berlebihan dan membawa mudarat yang signifikan, maka hukumnya haram,” kata Kiai Arwani seperti dikutip dalam portal resmi NU.
Pria yang pernah aktif di Lembaga Bahtsul Masail NU ini melanjutkan, “Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan merokok dapat pula dinyatakan tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi dan berisiko tinggi pula. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari belum tentu menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat. Kalaulah merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah.” []
(Liputan-6/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email