Presiden Sukarno terpikat oleh kemegahan bangunan Stadion Pusat Lenin di Moskow, Uni Soviet. Dalam kunjungannya ke negara tersebut pada 1956, Bung Karno menantang semua arsitek di Uni Soviet merancang sebuah stadion olahraga yang dapat melindungi semua penontonnya dari hujan dan panas matahari. Hampir semua arsitek yang ditemui Sukarno mengatakan ide itu tak lazim.
Menurut mereka, umumnya stadion hanya bisa dirancang dengan atap sebagian. Namun Sukarno keukeuh ingin membangun sebuah gelanggang olahraga di Jakarta yang lebih megah daripada Stadion Pusat Lenin. Hal itu terkait dengan mimpi Indonesia menjadi tuan rumah ASEAN Games IV.
“Tidak, saya katakan sekali lagi, tidak. Atap stadion kami harus temu gelang,” kata insinyur lulusan Technische Hogeschool te Bandoeng–sekarang Institut Teknologi Bandung–pada 25 Mei 1926 itu.
“Tidak lain, tidak bukan, saya ingin Indonesia bisa tampil secara luar biasa,” dia menambahkan, seperti dikutip dalam buku Bung Karno Sang Arsitek karya Yuke Ardhiati.
Temu gelang adalah sebuah atap yang menyambung secara melingkar mengikuti lintasan olahraga. Desain atap inilah yang kemudian digunakan saat membangun Gelora Bung Karno. Stadion dengan kapasitas 110 ribu tempat duduk itu bisa dipakai sebagai ajang ASEAN Games V pada 1962.
Yuke menyebut desain atap temu gelang tak hanya unik, tapi seluruh penampilannya juga terbentuk secara ritmis dan harmonis dalam kesatuan yang padat. Keunikan atap terletak pada pertemuan pilar-pilar tipis penyangga konstruksi.
Menurut dia, Sukarno telah mengguratkan gaya arsitektur baru pada zamannya. Hampir semua rancangan Sukarno dikerjakan dengan teknologi modern. Namun aspek utilitas (fungsi atau kegunaan), firmitas (konstruksi atau kekokohan), dan venustas (estetika atau keindahan) tetap diperhatikan.
Bagi Bung Karno, sebuah karya arsitektur bisa dipakai untuk membangun karakter bangsa. Maka, dalam setiap bangunan, meski desainnya modern, Sukarno selalu menambahkan ornamen yang merupakan ciri bangsa Indonesia. Bangunan Hotel Indonesia, misalnya, meski desainnya modern, di bagian dalamnya ada ornamen batik tradisional.
“Budaya Bali dan Jawa banyak mempengaruhi karya (arsitektur) Bung Karno,” kata Bambang Eryudhawan, arsitek dari ITB, kepada Detik kemarin.
Menurut Yudha, setelah menjadi presiden, Sukarno tak pernah mengeksekusi langsung desain sebuah bangunan. Dia selalu dibantu oleh arsitek Istana, Raden Mas Soedarsono, F. Silaban, dan Insinyur Soetami. Profesor Eko Budihardjo, mantan Ketua Dewan Pembina Persatuan Sarjana Arsitektur Indonesia, dalam harian Kompas terbitan 1 Juni 2001, mengatakan banyak karya arsitektur di Jakarta yang sekarang menjadi kebanggaan bangsa.
Eko mengakui sentuhan Bung Karno dalam bangunan tersebut sebatas ide, bukan dia sendiri yang mengerjakan. “Namun ide yang orisinal dan otentik itulah yang menjadi jiwa atau semangat dari karya-karya arsitektur yang bermunculan,” ujarnya.
(Detik/Jali-Merah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email