Pesan Rahbar

Home » , » Wawancara dengan Hilde Janssen: Pragmatisme Kekuasaan dan Kegagalan Sistem Jugun Ianfu

Wawancara dengan Hilde Janssen: Pragmatisme Kekuasaan dan Kegagalan Sistem Jugun Ianfu

Written By Unknown on Monday 21 March 2016 | 02:48:00


Penulis dan pewawancara: Anna Mariana

Dalam kurun waktu hingga 66 tahun pasca kemerdekaan, nasib para perempuan yang pernah diculik dan dipaksa untuk menjadi tenaga kerja paksa seksual pada masa Jepang masih belum mendapatkan keadilannya, baik di dalam negeri apalagi di dunia Internasional. Para perempuan yang saat ini telah menjadi nenek-nenek itu, adalah saksi tentang bagaimana penegakkan HAM di negeri ini masih jauh panggang dari api. Hal ini membuktikan bahwa persoalan pelanggaran HAM tidak pernah menjadi agenda yang diprioritaskan oleh pemerintah, maka dapat dilihat, kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya semakin merajalela dan tak pernah diselesaikan secara serius di negeri ini.

Tak banyak yang mencoba menelusuri sejarah Jugun Ianfu dan perjuangan mereka untuk mendapatkan keadilan. Meski demikian, usaha untuk menolak lupa atas peristiwa pelanggaran HAM masa lalu tersebut, mulai didobrak melalui usaha “merekam” kisah mereka sedikit demi sedikit. Salah satunya adalah keradaan sebuah buku yang ditulis oleh seorang jurnalis kewarganegaraan Belanda yang berjudul Schaamte en Onschuld, yakni Hilde Janssen.

 
Schaamte en Onschuld; karya Hilde Janssen

Penulis dalam buku itu memuat kesaksian para perempuan yang harus berada dalam situasi kerja paksa seksual, dan mengungkapkan pula bahwa para perempuan yang menjadi korban, bukan hanya yang masuk ke dalam asrama atau bordir, yang biasanya hadir dalam narasi selama ini. Tetapi juga para perempuan yang menjadi korban dalam barak-barak militer, pabrik-pabrik, gerbong kereta api, hingga rumah dinas perwira. Hal ini terjadi disebabkan sebuah kegagalan sistem pragmatis pemerintah pendudukan Jepang atas kebutuhan seksual para tentara-nya. Pemerintah Jepang mendirikan dan turut memberi restu atas “sistem perbudakan seksual” yang terwujud dalam ianjo-ianjo. Namun, aturan-aturan sebagai upaya “menertibkan” dan “mengelola” tindakan pemuasan seksual itu gagal. Maka, yang terjadi adalah perbudakan seksual “liar” terjadi dimana-mana dengan varian yang berbeda. Buku Janssen muncul seolah menjadi “oase” dalam perjalanan terik para perempuan yang senantiasa menuntut atas pelanggaran HAM di masa lalu dan belum diselesaikan hingga hari ini. Buku itu melalui proses penelitian yang panjang, memakan waktu hingga dua tahun. Tidak hanya karya literer yang dihasilkan, namun karena melibatkan kerja bersama dengan seorang fotografer dan film maker, Jan Banning, maka penelitian itu menghasilkan pula katalog foto dan sebuah film dokumenter.

Kepada awak Etnohistori, Anna Mariana, Hilde Janssen menguraikan banyak hal mengenai kisah para perempuan korban sistem Jugun Ianfu, yang menurutnya lebih tepat disebut “kerja paksa seksual” ini. Dalam perbincangan ini, ia menguraikan beberapa hal terkait akar persoalan kemandegan perjuangan HAM para penyintas Jugun Ianfu di Indonesia, lalu seperti apa sistem Jugun Ianfu dan akibat yang ditimbulkannya, hingga kisah mengenai para penyintas, baik semasa perang berlangsung dan masa sesudahnya. Wawancara ini dilakukan di sela-sela acara Pameran Foto “Troostmeisjes” yang diadakan 26 Maret—11 April 2011 di Langgeng Art Foundation, Yogyakarta beberapa waktu lalu. Berikut adalah petikan wawancaranya.


Bagaimana awal mula anda mulai tertarik dengan isu Jugun Ianfu?

Saya tertarik secara khusus mulai tahun 2007, ketika pertama kali adanya permintaan dari koran saya bekerja (Algemene Dagblad—red.) yang meminta saya untuk mencari tahu tanggapan pemerintah Indonesia atas Isu jugun ianfu. Pada tahun itu, kasus jugun ianfu sedang menjadi berita internasional yang mencoba melihat sampai sejauhmana pihak Jepang mau mengakui kejahatan perang. Sedangkan untuk pertama kali tertarik masalah ini, yakni pada tahun 2004, ketika saya ikut bersama Mbak Nur (Nursyahbani Katjasungkana—red.), berkeliling di beberapa daerah untuk mengikuti Pemilihan Umum. Kami waktu itu sempat mampir di Blitar dan menemukan seorang mantan jugun ianfu yang masih hidup dan kami mewawancarainya. Pada waktu itu, saya sangat tertarik, karena wow, ternyata saya masih dapat bertemu dengan mantan jugun ianfu. Saya menjadi lebih tahu banyak sejarah mereka. Saya mulai mencari berbagai informasi dari Mbak Nur, karena ia pernah terlibat dalam isu jugun ianfu. Mbak Nur mengatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak mau tahu atas kasus ini. Tentu saja saya heran karena pada umumnya pemerintah yang pernah di duduki Jepang, mereka marah. Ia juga menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia ternyata memilih melindungi hubungan baik dengan Jepang. Indonesia sangat tergantung terhadap Jepang sampai sekarang ini terutama dalam ekonomi, dan juga karena Jepang dianggap memiliki peranan dalam kemerdekaan. Pemerintah merasa harus berterima kasih lewat perjuangan pada masa lalu.

Dari situ saya semakin tertarik karena respon tersebut di luar dugaan saya. Begitu pula ketika saya mencari informasi di dalam pers Indonesia pada saat itu, ternyata tidak muncul kisah mengenai korban-korban. Akhirnya, saya merasa sangat ingin sekali bertemu dengan mantan jugun ianfu, namun hal ini ternyata tidak gampang. Sehingga dua bulan kemudian saya berdiskusi dengan Jan Banning, ia juga seorang sejarawan, dan saya berdiskusi bahwa banyak orang yang tidak mau tahu korban masa Jepang. Maka kami memutuskan untuk mencari kisah para korban ini. Meski orang tidak mau tahu, tetapi kami mau mencari kesaksian, merekam kesaksian nenek-nenek ini dengan pendekatan ambil foto dan ambil cerita mereka. Saya yang riset, melaksanakan penelitian dan ia (Jan Banning) lebih fokus pada ide-ide untuk visualisasi, namun ia juga banyak baca buku dan mewawancarai juga. Kami hanya berfikir, sebelum semuanya terlambat, kita harus merekam mereka.

Berapa banyak Jugun Ianfu yang anda wawancarai?

Wawancara para ibu itu sampai 50 orang lebih. Namun, di antara mereka ada yang tidak mau difoto, ada juga yang sudah pikun. Maka kami harus memilih di antara para ibu itu untuk kami tulis maupun untuk pameran. Pada awalnya saya fokus pada para ibu yang masuk bordir resmi, namun pada saat saya bertemu para ibu itu, ada banyak kasus ibu-ibu yang masuk ke dalam kamp dan mengalami perbudakan. Ada pula yang diambil dari rumah mereka setiap hari untuk melayani para tentara, ada pula yang bekerja secara paksa, dan pada malam hari harus “melayani” tentara. Saya melihat hal-hal demikian merupakan bagian dari sistem perbudakan juga. Hal ini terjadi karena didorong oleh sistem yang dibentuk oleh Jepang. Tentara yang tidak sempat masuk bordir, akhirnya melakukan berbagai pelanggaran disiplin militer. Mereka menganggap berhak untuk mendapatkan perempuan. Kadang-kadang yang membawa perempuan itu adalah komandan tangsi sendiri. Atas inisiatif sendiri, para perempuan itu dijadikan budak seks di dalam barak militer dan komandan bisa melihat. Bila berdisiplin, hal itu tentunya tidak diperbolehkan. Saya pikir pendekatan itu bisa dipakai untuk melihat kasus di beberapa tempat, terutama untuk daerah di Jawa Barat banyak sekali yang dijadikan seperti itu, seperti terjadi perbudakan yang terjadi di pabrik-pabrik. Hal ini dapat pula di lihat di bagian Timur Indonesia, biasanya di pulau-pulau kecil. Ada kasus di suatu pulau pembunuhan massal akibat balas dendam dari Jepang karena penolakan masyarakat terhadap permintaan Jepang yang meminta menyerahkan perempuan. Demikian juga di daerah Sumatera.

Bagaimana background antropologi anda membantu dalam riset sejarah ini? Dan hal yang menarik adalah mengajak seorang fotografer ikut terlibat dalam proyek bersama. Bagaimana sebenarnya proses kreatif ini berlangsung?

Saya pikir pengaruh antropolog selalu ada. Cara untuk mendekati isyu dan orang, saya belajar banyak dari riset antropologi. Dalam antropologi, untuk melihat dalam suasana kampung, situasi kontemporer dapat langsung ditangkap, tetapi hal yang tampak saat ini selalu dipengaruhi oleh masa lalu mereka. Jadi, walaupun fokus saya adalah antropologi feminisme ekonomi, namun, selalu saja tidak bisa tutup mata dari sejarah. Sejarah menjadi salah satu bagian dari budaya, bagian dari masyarakat. Sejarah selalu menjadi bagian dari masa saat ini. Maka, penelitian ini adalah oral history, dan saya menggabungkan keduanya antara sejarah dan antropologi. Tentang bagaimana keadaan sekarang saat ini dan bagaimana dampaknya dari sejarah terhadap situasi mereka saat ini. Sejauhmana kemudian akibat dari masa lalu itu masih menjadi diskusi. Yang penting untuk kami adalah merekam kesaksian mereka, supaya sejarah mereka tercatat. Supaya tidak akan dilupakan. Juga untuk menyadarkan banyak orang, bahwa ada dampak walaupun sudah lebih dari 60 tahun, bahwa masa lalu masih berdampak, dan ada keterkaitan dengan situasi bahwa kekerasan seksual dalam konflik senjata, dengan situasi kontemporer tetap terjadi, diulangi-ulangi seperti sebuah konspirasi kebisuan. Kami berharap dengan langkah ini, hal itu bisa dipecah, dibongkar, menjadi diskusi bersama. Maka kami berpendapat melalui pameran ini bisa menjangkau lebih luas perhatian lagi, kesadaran banyak orang dibandingkan hanya tulisan.

**

Apa saja kesulitan yang dihadapi dalam riset ini?

Mencari mantan jugun ianfu, tidak mudah karena ada persoalan sensifitas dan juga bukan kasus suatu fenomena dalam satu kampung saja, namun juga di banyak tempat. Bagaimana saya harus mulai? Apalagi, pada tahun 1990 organisasi yang membela jugun ianfu sudah tidak ada, karena jaringan yang terbentuk mulai tahun 1995 itu telah terpecah dan kehilangan kontak. Saya lalu mulai mengumpulkan informasi dari Mbak Nur, dan ia mengatakan bahwa ia masih mengenal seorang mantan jugun ianfu. Dari Mbak Nur, saya bertemu ibu Emah di Bandung. Ibu Emah adalah salah satu mantan jugun ianfu yang ikut ke Tokyo dan Belanda. Banyak orang yang sudah kenal dia, itu merupakan kemudahan saya, karena saya bisa mulai bekerja dari Jakarta. Jadi itu tinggal satu kontak saja. Lalu saya mendekati pula, yang terkenal ibu Mardiyem. Kemudian saya ke LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Yogyakarta, karena mereka terlibat banyak. Ternyata Pak Budi Hartono sudah menyerahkan kasus ini kepada generasi selanjutnya, tetapi beliau membantu saya untuk bertemu dengan ibu Mardiyem. Mereka membantu saya menemui satu kontak di daerah Jogja, mengunjungi satu kampung, menemui empat mantan jugun ianfu. Melalui ini, basis pengetahuan sudah saya dapatkan, menjadi starting point tentang apa yang terjadi pada mereka.

Oke, saya sudah memiliki pengetahuan awal. Tetapi ini tidak cukup karena untuk mengambil foto, karena minimal kita harus bertemu sekitar 20 atau 15 orang. Targetnya adalah untuk wawancara dan pameran. Pada awal, kegiatan masih lumayan gampang. Setelah itu kita mulai stag. Mau kemana lagi? Saya mencari informasi lewat teman-teman yang masih punya kontak. Dari situ saya ketemu Eka Hindra, terutama ia fokus ibu Mardiyem. Ia memberikan kontak seseorang di daerah Magelang, tapi ternyata orang itu kena stroke, tidak dapat bicara, dan banyak dokumen sudah dimakan rayap. Lewat informasi dari istrinya, kami mulai berkeliling mencari yang masih hidup. Dari situ kita ngga dapat siapa-siapa. Ya, memang kebanyakan dikarenakan banyak orang yang tidak mau untuk wawancara. Ada pula para ibu yang sebenarnya ia adalah korban, namun mereka tidak mau mengakui. Kami punya daftar mantan jugun ianfu, namun mereka tidak tahu masuk daftar. Banyak sekali alasan yang dikemukan. Lalu kami mendapatkan informasi dari Pak Mudiyanto, ia masih memiliki kontak di daerah lain. Dari situ kami bertemu dengan banyak sekali mantan jugun ianfu, seperti ibu Paini, ia cukup terbuka, dan kami senang sekali.

Ada satu peristiwa dalam pencarian dan meyakinkan untuk proses wawancara dengan para jugun ianfu ini yang cukup berliku. Waktu itu seharian kami mencari sebuah alamat tidak ketemu. Bersama dengan Pak Mudiyanto, dalam keadaan sakit, ia mau ikut bersama kami mencari alamat suatu kontak. Lalu melalui dokumen yang ia punya, kami mencari kontak melalui salah satu kepala kampung. Kepala kampung itu mengatakan ya, ada yang tinggal di sana, orang itu masih ada. Dan pak Mudiyanto ingat, ya.. ya ini kampungnya. Orang-orang disana terkejut melihat Pak Mudiyanto, mereka menangis, emosi keluar. Namun orang itu berkata, semua baik saja tapi ngga akan membantu lagi, mereka bilang “Saya sudah bosan, saya sudah investasi uang, tapi gimana hasilnya, tidak mendapat apa-apa.” Orang-orang kampung selalu menanyakan hal itu. Percuma saja membantu. Perlu diskusi yang melelahkan untuk meyakinkan bapak itu. Kami lalu mengatakan yang diinginkan oleh para tentara Jepang itu akan terwujud. Bahwa semua orang lupa yang terjadi kalau anda tidak mau membantu. Kami tidak akan mendapatkan sejarah, maka Jepang senang. Dari pernyataan itu, bapak tersebut malah langsung mau membantu. Oke, saya bantu, karena saya tidak ingin Jepang senang. Perjuangan saya agar tidak sia-sia.

Persoalan kompensasi selalu muncul hampir di semua tempat saat kami menelusuri untuk mewawancarai para korban. Setiap kali kami ke suatu tempat, orang-orang yang kami temui selalu mengatakan, apa yang dapat kami dapatkan? Ada satu cerita, di suatu tempat ada seseorang yang setuju akan menceritakan apa yang ia alami. Pada hari kedua, kami datang ke situ, kami juga bawa kamera, sedang siapkan studio, tiba-tiba sang suami datang sambil marah-marah. “Kalau anda mau bicara dengan istri saya, harus minta ijin saya, ini rumah saya”, begitu katanya. Saya bilang kami minta maaf, namun ia mengatakan, “Saya tuntut anda, saya tidak beri ijin, anda harus bayar dua juta.”, ancamnya. Kami lalu bilang bahwa kami tidak punya uang. Ini sudah jelas menuntut masalah uang, sehingga kami menolak permintaannya. Kami tidak mau membeli cerita mereka, karena kami merasa sama saja dengan menghina mereka.

Apakah penolakan itu terkait dengan pengalaman atas kegagalan advokasi?

Iya, itu juga termasuk. Ada orang yang frustasi karena telah menjanjikan kompensasi dengan meminjam uang untuk adminstrasi. Tiap kali ada orang yang datang ke kampung, maka orang-orang akan berkata: ”Wah kamu nanti jadi kaya-kaya ya?”; “Dapat apa dari mereka?”, semua menjadi pengetahuan banyak orang, terutama mereka yang berada di Jogja, karena telah tersebar luas di media massa. Ada memang yang menjanjikan uang, seperti kasus di Jawa Barat, pada saat saya minta tunjuk suatu alamat, lalu orang tersebut tiba-tiba saja berkata: “oo…anda yang membawa uang Jepang?” hal ini dikarenakan saat para ibu itu mendaftar, mereka dijanjikan akan mendapatkan uang dan nanti jalan yang melalui kampungnya akan diaspal.

Bagaimana dengan dana AWF (Asia Women’s Fund) yang sempat dikucurkan oleh pemerintah Jepang?

Dana itu bukan kompensasi secara resmi. Masalah itu bukan hanya menjadi perdebatan di Indonesia, tetapi di negara lain. Seperti di Korea, ada sekelompok yang menerima dana, dan ada pula gerakan yang menolak, karena dianggap sebagai uang tutup mulut. Dan uang ini bukan dari pemerintahan secara resmi, hanya dari sebuah yayasan. Bagi para ibu-ibu yang butuh, mereka tetap menerima uang tersebut, di Korea dan di Belanda ada dua kelompok yang menolak. Namun, apapun pilihan para ibu itu, isu tetap bergulir, tetap diperjuangkan dan bisa menuntut pemerintah untuk mengakui secara langsung, sehingga gerakan tidak pecah. Hal inilah yang berbeda di Indonesia dan menjadi persoalan besar karena akhirnya banyak kontak tidak dapat dihubungi. Maka tak heran setiap kali wawancara di beberapa tempat selalu muncul persoalan dana kompensasi.

Bagaimana dengan stigma-stigma yang dirasakan para ibu itu? Apakah masih dirasakan hingga hari ini pada saat anda bertemu mereka?

Di tiap daerah, stigma yang paling sering dilontarkan adalah sebutan “bekas Jepang”. Ada pula yang putus hubungan dengan pasangan mereka dengan alasan tersebut. Akibat itu pula, banyak para perempuan yang tidak pulang ke kampung halamannya. Mereka akhirnya memilih tinggal di kota, karena mereka menjadi lebih anonim, karena tetangga tidak tahu latar belakang mereka. Semua nikah di tempat pada saat Jepang hengkang. Banyak yang bersiasat langsung untuk mencari suami kala perang usai. Kalau ada suami, keluarga tidak akan tanya macam-macam apa yang menimpa mereka saat mereka pergi. Dan ada juga, seperti ibu Mardiyem, kirim uang kepada kelurga. Hal ini untuk menunjukkan bahwa saya bekerja. Mereka menjaga image mereka dengan mengirimkan uang tersebut. Mereka berangkat dari rumah-rumah mereka adalah bekerja, kebanyakan dari mereka dihinakan. Kadang-kadang mereka boleh pula keluar dari bordir, lalu jalan-jalan sedikit, paling tidak mereka mendapatkan uang sedikit, mereka bisa merokok dan hal seperti itu, bagi orang luar di luar bordir, terlihat menyenangkan. Mereka akhirnya dihinakan karena mereka adalah ransum Jepang. Kehidupan gampang yang dilihat orang luar, padahal sebagian besar orang-orang di luar para perempuan itu sangat susah, dari situlah mereka sudah mendapatkan stigma sosial. Para perempuan itu terlihat terawat.

Kadangkala ada juga usaha untuk menghilangkan stigma atas diri perempuan muda usia yang tak paham apa-apa. Mereka mengatakan “apa yang terjadi pada saya?” Anaknya itu tidak sadar, apa artinya diperkosa, lalu mereka dimandikan oleh kyai-kyai, mereka telah dibersihkan. Seringkali stigma itu dari awal, karena tahu apa yang sebenarnya terjadi terhadap para perempuan itu. Jika seorang gadis tidak muncul lagi saat hilang dari rumahnya, maka dapat dipastikan, mereka telah diperkosa. Diambil oleh Jepang artinya adalah diperkosa. Karena kehidupan mereka terlihat lebih baik dari dunia luar, tetapi juga, karena melanggar dari norma-norma setempat, bahwa perawan harus utuh sebelum ia mendapatkan suami, maka stigma menjadi berkembang. Mulai dari situ penghinaan secara terus menerus terjadi. Agar orang tidak tahu lagi siapa mereka dengan sebutan “mereka bekas”, menyebabkan mereka tidak menceritakan pengalaman mereka sendiri. Mereka tidak mau membicarakan pengalaman pahit mereka.

Kadangkala ada suami yang terima dengan keadaan itu, tetapi kemudian, harus menanggung beban-beban berat dari masyarakat. Saya sangat sedih ketika membayangkan kondisi mereka waktu itu ketika mendengar kisah-kisah mereka. Mereka sendirian harus menghadapi peristiwa tersebut dalam usia muda, tak mengerti apa-apa, kebigungan. Tiba-tiba saja ada orang lelaki dewasa, mereka terlalu kecil, mereka tidak dapat ditolong siapapun. Ketika mereka akan menceritakan apa yang terjadi “ssst, jangan bilang siapa-siapa”, lalu dikatakan seolah-olah ia yang bersalah. Kisah seorang ibu yang mengatakan bahwa pada waktu ia tidur, ketika suami mendekat ia selalu secara otomatis menolak suaminya dengan memukulnya, secara instingtif. Ia kemudian berdalih bahwa saat itu ia bermimpi.

Ada banyak orang yang di kemudian hari, tidak bisa hamil, tidak memiliki keturunan. Mereka kemudian menjadi semakin tertekan dengan tidak dapat memiliki keturunan. Mereka menjadi teringat terus akan peristiwa masa lalu itu karena di Indonesia, anak sangat penting. Ada beberapa suami yang menceraikannya, ataupun para ibu itu yang mencerai suami mereka. Tapi bisa dilihat, mereka diceraikan karena tidak memiliki anak. Pada umumnya orang yang tidak memiliki anak, mereka miskin. Ada yang dibantu oleh anak angkat. Pada umumnya tidak punya anak, dan juga tidak selalu dibantu oleh keluarga. Akhirnya ketika diajak untuk meregistrasi diri, mereka mencoba bangkit, namun kemudian ketika mereka mulai menceritakan apa yang terjadi, pemerintah mengatakan ini aib, jangan diceritakan! Tentu saja ini telah memukul mereka. Mereka merasa hanya diajak, namun kemudian dihina oleh pemerintah mereka sendiri. Mereka akhirnya frustrasi, tidak dapat uang, malah punya utang.

Istilah “Jugun ianfu”, adalah sebutan yang eufemistik, kira-kira menurut ibu istilah apa yang lebih tepat untuk menggantikan ini?

Ada banyak kata dan istlilah untuk menggambarkan situasi ini secara pas, namun banyak sekali istilah-istilah tersebut yang ditolak oleh para perempuan sendiri. Seperti contoh kata penghibur yang diartikan sebagai pelacur. Kata penghibur sebenarnya mengaburkan karena menghiburkan seseorang sama dengan comfort atau trooit dalam bahasa Belanda, dan hal itu sangat eufemistik. Siapa sebenarnya yang dihibur? Siapa yang menghibur? Ini tentu saja penghinaan besar. Kalau disebut dengan prostitusi terpaksa, orang juga tidak sependapat dengan kata prostitusi, karena kata tersebut dianggap konotasi negatif. Ada pula istilah sex slave, budak seksual, namun posisi statusnya seperti budak dengan istilah itu, mereka juga tidak mau dianggap budak. Banyak kata, bagi mereka sendiri agak sulit diterima, mulai dari karena konotasi sangat negatif, lalu ada juga kata tersebut tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya. Seringkali jika melihat dari penyataan dari para ibu itu mereka memiliki kosakata sendiri seperti “gini-gini” (dengan posisi tangan mengusap-usap tangan), ada pula istilah “perselingkuhan”. Istilah ini digunakan karena “perselingkuhan” adalah kata yang biasa disebut bagi orang yang melakukan hubungan suami-istri tanpa ikatan pernikahan. Hal ini tentunya sangat tidak tepat karena posisi mereka adalah korban. Tidak ada rasa suka sama suka yang biasanya mendasari seorang pelaku “perselingkuhan”. Mereka ini dalam posisi dipaksa. Dilihat dari situ, maka mereka tidak memiliki kata-kata sendiri untuk menggambarkan kondisi mereka. Kata-kata yang dapat mereka kemukakan biasanya yang terus terang menjelaskan apa yang terjadi, langsung menekankan seksualitas yang ada di situ.

Adapun menurut saya, sesuai dengan apa yang saya dapat dan juga cari-cari dari buku-buku referensi, mengenai kondisi yang dialami para ibu itu, kata yang paling netral adalah “kerja paksa seksual”. Kerja paksa ditekankan karena lebih netral dari pada budak, dan seksual lebih netral daripada prostitusi. Seperti kalimat dalam buku saya memang masih menggunakan trootmeijes, hanya karena sudah menjadi istilah yang terkenal, memudahkan orang untuk mendefinikan meski sebenarnya kurang tepat. Namun saya mencoba menghindari kalimat-kalimat yang menghinakan. Maka saya menggunakan kalimat dengan Mevrouw, yang berarti ibu, jadi bukan dengan dia ataupun kata lain. Bagi saya “kerja paksa seksual” lebih tepat untuk istilah ini. Karena dalam banyak kasus, kata ini pun untuk menggambarkan para jugun ianfu yang juga melakukan kerja paksa. Mereka ada yang harus bekerja di dapur, kerja paksa dalam pembuatan gorong-gorong, namun pada malam hari juga melakukan keja paksa dalah pelayanan seksual. Adapun istilah jugun ianfu hanya dipakai untuk gadis-gadis yang masuk “bordir resmi” saja, dimana ada karcis, sistem antre dan adanya pemeriksaan kesehatan.

Hal ini sebenarnya dapat dimengerti karena pada waktu kita dikenalkan dengan istilah itu, sebagai bagian dari strategi untuk memperjuangkan hak keadilan di pengadilan internasional. Dan untuk menuntut tanggungjawab Jepang, maka harus ada bukti keterlibatan tentara Jepang. Sehingga kisah yang selama ini muncul selalu yang berada dalam “bordir resmi”. Fokus terhadap kasus perbudakan bentuk yang lain tidak pernah ada kisahnya. Para tentara Jepang telah menciptakan sistem perbudakan yang harapan mereka dapat mendisiplinkan perilaku tentara mereka. Namun pada kenyataannya mereka telah menciptakan sistem yang gagal. Ada bordir-bordir agar seks terkontrol, supaya bersemangat berdisiplin, namun mereka tetap saja memperkosa secara luas, massal dan brutal di luar sistem yang mereka ciptakan. Dan itu terjadi di setiap tempat dan tentara-tentara yang tidak masuk bordir, benar-benar melakukan kekerasan seksual secara nyata. Mereka menculik, mengancam, membawa orang-orang dan itu tetap terjadi. Para perempuan itu benar-benar dikejar, seperti anjing.

Ada cerita di Sumatera, seorang perempuan tinggal di daerah perbukitan, daerah hutan. Ketika para tentara-tentara itu naik daerah atas tersebut mereka menangkap para perempuan dan membawanya dengan mengikatkan rambut para perempuan itu yang panjang di tangan mereka, dan menjinjingnya seperti membawa barang. Para tentara tersebut dengan santai naik ke pohon-pohon dengan tangan terikat rambut perempuan tersebut. (Kisah perkosaan liar tidak hanya terjadi terhadap orang Indonesia pada masa Jepang. Kisah dari Aceh, saat para TNI masuk ke dalam rumah penduduk dan jika hanya ada perempuan mereka langsung memperkosanya).

Saya juga mendengar kesaksian dari orang Australia, ketika mereka bagian dari Palang Merah. Mereka berasal dari Swiss, lalu pada masa perang itu mereka masuk ke dalam internering Belanda. Sebelumnya mereka tinggal di Sumatera, lalu tiba-tiba ada tiga orang militer masuk ke rumah, ayah ibunya lalu dibawa ke internering, sedangkan anak mereka masuk ke rumah sakit. Ayahnya tidak dapat berbuat apa-apa. Anaknya kemudian diperkosa, masuk rumah sakit, selama perang tinggal di sana. Peristiwa itu dilakukan oleh sikap tentara-tentara yang secara liar yang mencari kesenangan di luar bordir. Hal itu menujukkan kegagalan sistem, yang tidak dilihat dan dikoreksi oleh Jepang. Jepang melakukan pembiaran karena tentara seharusnya selalu mengecek semua perilaku para tentaranya. Kemungkinan akan adanya resiko luas yang ditimbulkan dari sistem bordir yang dibangun oleh tentara Jepang tidak diantisipasi. Bagi saya, kisah para perempuan ini tidak dapat dibiarkan apakah mereka bagian dari “bordir resmi” atau tidak. Mereka diperkosa, dihina sedalam-dalamnya, paling besar, intim sekali penghinaannya. Secara teoritis, ini semua adalah jugun ianfu, karena sistemnya gagal, ini hanya untuk klasifikasi pengalaman mereka, karena pekosaan itu terjadi tidak hanya yang terjadi di bordir. Ini bukan ulah oknum, tapi sebab ada pembiaran, Jepang harus bertanggung jawab!

Apakah ibu menemukan ada yang menjadi korban seksual di waktu yang lain akibat adanya stigma tersebut?

Saya tidak pernah dengar. Mereka berkisah bahwa mereka selalu merasa dihargai, meski ada istilah “bekas jepang”. Namun ada suatu kisah, pada saat itu mereka masih tinggal di dekat bordir saat perang usai, ada pasukan Amerika masuk, tentara itu meminta dilayani. Mereka lalu menolak untuk melayani dengan melakukan berbagai perlawanan dan melarikan diri.

***

Adakah perubahan sosial yang signifikan yang terjadi pada diri perempuan itu, sebagaimana para perempuan kelas menengah yang dijanjikan untuk sekolah, namun ternyata menjadi budak seks dan bertemu dengan para Tapol ’65 di Pulau Buru sebagaimana yang ditulis Pramoedya Ananta Toer mengenai Jugun Ianfu?

Satu catatan ya, Pram tidak pernah bertemu langsung para ibu itu. Pram tidak mewawancarai mereka. Sumber Pramoedya adalah tangan kedua, bahkan tangan ketiga. Pengalaman saya dalam menelusuri para ibu itu, saya tidak mendapatkan informasi khusus mengenai kelas sosial mana asal para perempuan itu. Ya, itu mungkin karena banyak orang yang saya wawancara bukan bekas anak bupati, akhirnya saya tidak menemukan seperti yang Pram tulis. Saya kira yang terjadi, yang masih dapat kita temukan dan terbuka melalui kesaksian mereka saat ini adalah golongan kelas menengah ke bawah. Seperti di Sumatera, di situ mantan eks Heiho yang mencoba untuk mencari mereka juga tidak berhasil dikarenakan stigma begitu besar, maka tidak ada seorang pun yang menceritakan kisah hidup mereka. Mereka lari dari tempat asalnya. Merasa tidak bisa pulang lagi ke kampungnya. Melalui kisah orang-orang yang saya temui, ya ada yang susah, ada yang lumayan pasca perang usai.

Memang ada beberapa kisah yang saya temui menyebabkan perubahan sosial yang besar bagi para perempuan itu. Salah satunya seorang survivor yang saat ia direkrut, masih duduk di sekolah. Ia diambil dari sekolah, lalu dibawa ke tangsi oleh tentara. Lalu papa nya mencari ke tangsi, dia meminta kembali anaknya, tapi tidak dikasih. Setelah ia keluar, dia tidak mau menikah, ia hanya hidup dengan papanya. Ia selalu bekerja bersama ayahnya, mengurus keuangan pekerjaan papa-nya. Ia sempat menikah beberapa kali, tetapi akhirnya dia dicerai dan hidup sendiri. Setelah papa-nya meninggal, uangnya mulai kurang, hingga akhirnya sekarang ia tinggal di tempat yang tidak layak, sangat miskin. Sekarang dia hidup dari belas kasihan keponakan-keponakan. Dari situ dapat dilihat bahwa ia dulu orang yang cukup. Ada kasus juga orang yang diambil, ketika berada di jalan, orangtua punya toko, ada perampokan, dia dibawa ke jakarta, setelah dua tiga bulan, ia benar-benar seperti sampah, dia dikelurkan dari bordir itu. Lalu ada seorang haji yang membawanya ke Karawang dan dipekerjakan sebagai pembantu. Haji itu mencoba mencari papa-nya, namun tidak ketemu. Akhirnya ia dianggap angkat anak meski menjadi pembantu. Sampai kemudian pernikahanya pun diurus oleh haji. Ia adalah contoh yang kehilangan semuanya. Bukan hanya pengalaman traumatis dipekosa, namun juga ia tidak pernah bertemu kembali dengan orangtuanya sesudah perang usai. Bagi keluarga yang mau menerima mereka, setidaknya bisa mempertahankan yang mereka punya, mereka punya sesuatu. Seperti kasus Ibu Emah dari Bandung, ia adalah dari keluarga petani yang cukup punya, lama-lama menjadi orang miskin.

Apa saja profesi yang dilakoni para ibu itu setelah masa perang?

Untuk itu saya masih belum dapat menganalisis, riset saya baru awal, ini sebuah kesaksian. Ya, kadang kala kebanyakan para ibu itu menjadi buruh harian, atau yang memiliki lahan, menggarap lahan. Atau seringkali kombinasi keduanya. Ada yang menjadi pemijat seperti ibu Emah, dan juga salah satu ibu di Kalimantan. Ada juga yang berjualan apa adanya di kampung, seperti jualan gorengan. Bila tidak punya modal, mereka cari pekerjaan harian, seperti pembantu. Ada kelompok yang menikah dengan mantan tentara, kehidupan mereka cukup baik, karena mereka terima pensiun. Setidaknya menjadi basis dari pendapatan mereka, sehingga mampu menyekolahkan anak mereka. Seperti kasus di Kalimantan, dimana kehidupan cukup baik, seorang ibu mempunyai anak yang menjadi pegawai, menjadi tokoh masyarakat, kemudian saat ia sering diwawancara, dan terlihat potret dirinya, sempat membuat pertunangan cucunya tertunda kerena maresa malu, kenapa nenek mereka muncul di koran-koran.

Mengenai buku kolaborasi kami, kami merencanakan dua kali perjalanan. Saya ingin mencari tiap daerah, namun itu sangat susah. Kami melihat hasil wawancara dan foto-foto dan membuat kami harus berdebat mana yang akan ditampilkan dalam buku. Kadang-kadang ada cerita yang menurut saya sangat menarik dan mewakili suatu kelompok tertentu dalam kasus jugun ianfu, tetapi kata Ian (Jan Banning), foto kurang penjiwaannya. Akhirnya kami ambil keputusan mana saja foto-foto yang masuk pameran. Sebagai fotografer, itu pilihan dia. Saya bilang pameran mewakili kisah yang berbeda, perempuan yang berbeda. Kami mengambil jalan tengah satu pameran dan mereka harus ada penjelasan, meski tidak harus lengkap. Dan bagi saya yang terpenting adalah menceritakan kisah para ibu yang belum ditulis. Cerita yang menarik,dan bisa menjelaskan apa yang terjadi. Akhirnya kami membuat dua buku, sebagai bentuk kompromis. Selain itu ada tambahan karya, yaitu film dokumenter dari perjalanan wawancara kami. Saya mencoba menunjukkan apa yang sesungguhnya terjadi dengan pintu masuk cerita para ibu ini. Saya menjelaskan sejarah mengapa terjadi sistem Jugun ianfu, namun ini bukan buku sejarah, ini adalah kesaksian, dan dalam situasi kontemporer.

Saya menempatkan kombinasi situasi saat ini melalui penjelasan sejarah, lalu menempatkan kesan ibu-ibu itu yang dapat dirasakan saat ini, dan menjelaskan sejarah yang ini juga bagian dari sejarah orang Belanda, karena pembaca buku ini adalah untuk orang Belanda. Saya menjelaskan kasus troostmeijses di Indonesia, lalu saya mulai masuk menjelaskan perbedaan antara sistem bordir dan kerja paksa seksual, melalui cerita para ibu yang mewakili kelompok itu. Seperti kisah pertama adalah kisah ibu Emah yang mewakili kelompok bordir, dan yang terakhir adalah kisah para ibu setelah mereka dibebaskan, bagaimana mereka pulang. Dalam kata singkat, saya selalu harus introduksi setiap bagian babnya. Bab awal adalah sejarah lalu bergerak secara kronologis, dan bab terakhir situasi kontemporer.

Para ibu itu banyak cerita tanpa kata. Bagaimana akan menuliskan sebuah kisah bila hanya tertangkap dengan sikap diam..diam.. kami tidak bicara sama sekali. Tidak ada cara untuk quote atas cerita mereka. Hal itu menunjukkan batapa sensifitas atas kisah mereka sangat kuat. Tidak bisa semua itu lantas menunjukkan bahwa tidak terjadi apa-apa. Semua fakta-fakta sudah tidak menarik lagi. Maka bagi saya, untuk mengungkapkan itu harus mencari cara yang lain. Supaya ada respon masa lalu yang berpengaruh hingga hari ini, maka masalah kompensasi adalah bagian yang saya ceritakan panjang lebar dalam buku saya. Ketika saya bertemu dengan peneliti dari Jepang, dia mengatakan bahwa masalah kompensasi, sangat berpengaruh, namun saya tidak punya bukti untuk menunjukkan bahwa isu itu berdampak khusus. Namun bagi saya, bagaimanapun kita harus melihat sejarah yang begitu sensitif ini ada hubungannya dengan upaya penegakkan HAM. Bagi saya, pemulihan Hak Asasinya para ibu ini layak untuk diperjuangkan. Melalui kasus jugun ianfu pembelajaran penegakkan HAM dapat dilakukan. Saya harap dengan pameran dan buku-buku ini sekali lagi, turut membantu membongkar kebisuan terhadap kekerasan seksualitas. Dengan melalui foto-foto nenek-nenek ini dapat menggugah keberanian kita semua. Kalau nenek saja berani bicara, apalagi kita yang masih muda-muda, bagaimana kita semua bisa membantu para nenek ini mengatasi trauma dengan baik. Meski trauma itu tetap ada, namun minimal ada trauma healing, dan membuat mereka menjadi percaya diri. (AM, Juli 2011)


Hilde Janssen adalah seorang jurnalis sekaligus antropolog lulusan Nijmegen Universiteit dengan spesialis ahli ekonomi feminis. Dari basis intelektualnya itu, membawa dirinya menjadi konsultan ahli jender pada saat permulaan tinggal di Indonesia pada tahun 1991−1993 di Bandung. Ia dan suaminya diminta “pindah” dari Indonesia pada tahun 1997, dikarenakan adanya pertentangan politik antara Belanda−Indonesia yang berakibat semua proyek kerjasama Indonesia−Belanda dihentikan. Namun akhirnya setelah rezim Soeharto, mereka berdua kembali “pulang kampung” ke Indonesia pada tahun 2000. Hingga tahun 2010 tinggal di Indonesia sebagai korensponden untuk koran Algemene Dagblad. Saat ini, penyuka masakan Indonesia khususnya jus mangga ini mengaku masih sangat mencintai tinggal di Indonesia, namun ia sudah harus meninggalkannya.

(Etno-Histori/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: