Ki Hadjar Dewantara (Foto: Wikimedia Commons)
Konsep pendidikan yang dicanangkan Ki Hadjar Dewantara dipercaya tidak hanya mengejar aspek intelektual belaka, tapi juga mencetak kepribadian yang unggul. Jika dilaksanakan dengan baik, maka republik ini bukan hanya aman dan damai, melainkan juga sejahtera.
“Sesuai yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara, nilai-nilai pendidikan di Tamansiswa bukan hanya mencerdaskan otak, tapi kita namakan jiwa merdeka,” Kata Ketua Harian Majelis Luhur Taman Siswa, Ki R Suharto, Senin 2 Mei 2016.
Tujuan pendidikan diantaranya bermuara pada terciptanya jiwa yang merdeka. Hal itu bukan berarti lepas dan bebas, seperti tidak ada aturan. Sebaliknya, orang yang berjiwa merdeka itu taat aturan, taat undang-undang, taat hukum, taat norma, dan lainnya.
“Memang, anak Indonesia yang merdeka sepertinya hanya raganya, tapi jiwanya sedang terjajah,” tegas pria darah biru trah Pakualam Yogyakarta ini.
Suharto memaparkan, sebaliknya jiwa terjajah itu bisa dilihat dari perilaku yang dilakukan seseorang, sejak usia remaja, dewasa, hingga menjadi orangtua. Dia memberi contoh perilaku individualis, acuh, tak taat aturan, dan lainnya.
“Seharusnya, konsep pendidikan itu jiwa raga merdeka seperti yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara,” jelasnya.
Menurutnya, tak sedikit perilaku anak bangsa tidak bisa memilah-milah, mana yang baik dan mana yang tidak baik. Contoh negatif dari pelajar yang beradu fisik lewat tawuran, perilaku menyimpang mengkonsumsi miras, dan lainnya.
“Itu kan merusak, raganya merdeka, tapi jiwanya masih terjajah. Itu semua sudah jauh dari ajaran pendidikan, terutama yang disampaikan Ki Hadjar Dewantara,” jelasnya.
Setiap tanggal 2 Mei, memang diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional yang bertepatan dengan hari ulang tahun Ki Hadjar Dewantara,
Ki Hadjar Dewantara yang ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional di Indonesia adalah sang pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Catatan sejarah menyebutkan, Hari Pendidikan Nasional memang tak bisa dilepaskan dari sosok dan perjuangan Ki Hadjar Dewantara,
Ki Hadjar Dewantara yang memiliki nama asli R.M. Suwardi Suryaningrat lahir dari keluarga ningrat di Yogyakarta, 2 Mei 1889. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Ia mengenyam pendidikan di STOVIA, namun tidak dapat menyelesaikannya karena sakit. Akhirnya, Ia bekerja menjadi seorang wartawan di beberapa media surat kabar, seperti De Express, Utusan Hindia, dan Kaum Muda.
Melansir dari National Geographic Indonesia, selama era kolonialisme Belanda, ia dikenal karena berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu, yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau kaum priyayi yang bisa mengenyam bangku pendidikan.
Kritiknya terhadap kebijakan pemerintah kolonial menyebabkan ia diasingkan ke Belanda bersama dua rekannya, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Ketiga tokoh ini kemudian dikenal sebagai “Tiga Serangkai”.
Setelah kembali ke Indonesia, ia kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa.
Tiga semboyan
Ki Hadjar Dewantara memiliki semboyan yang selalu ia terapkan dalam sistem pendidikan. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
Arti dari semboyan tersebut adalah: Ing Ngarsa Sung Tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan Tut Wuri Handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan),
Hingga kini, semboyan pendidikan Ki Hadjar Dewantara tersebut sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia dan terus digunakan dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia.
Makna penting pendidikan
Dalam Peringatan Taman Siswa ke-30 Tahun, Ki Hadjar Dewantara mengatakan, “Kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, yaitu jangan selalu ‘dipelopori’, atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain, akan tetapi biasakanlah anak-anak mencari sendiri segala pengetahuan dengan menggunakan pikirannya sendiri.”
Maksud dari pernyataan Ki Hadjar Dewantara tersebut dengan gamblang menunjukkan apa yang seharusnya lahir dari sebuah proses pendidikan, yaitu “agar anak-anak berpikir sendiri”. Dengan begitu, mereka menjadi orisinal dalam berpikir dan bertindak. Pendidikan dianggap berhasil ketika anak mampu mengenali tantangan apa yang ada di depannya dan tahu bagaimana seharusnya mereka mengatasinya.
(Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email