Pesan Rahbar

Home » » Perempuan Iran Bagai Lilin-lilin Cantik yang Berjalan

Perempuan Iran Bagai Lilin-lilin Cantik yang Berjalan

Written By Unknown on Monday 23 May 2016 | 20:03:00


Ketika di Teheran, cobalah naik taksi. Siapa tahu Anda ketiban rezeki ketika tiba-tiba ada gadis cantik duduk di samping Anda di taksi itu. Saat pertama kali ke Iran sebagai wartawan bertahun silam, saya pernah terkejut bagai disambar geledek, saat senyum kami beradu.

Ketika itu, di Ferdowsi Avenue, di sekitar pusat perbelanjaan barang antik dan dekat markas besar pemimpin oposisi Irak di Iran saat itu Sayid Muhammad Bagir Al-Hakim (kini sudah almarhum), saya terpesona akan kecantikan orang itu. Terus terang, sebagai laki-laki jantung saya hampir rontok ketika senyum kami bertemu.

Senyumnya, dengan gigi yang kata orang Jawa miji timun sungguh sulit terlupakan.

Taksi di Iran mirip mobil omprengan di Indonesia. Anda tanya kepada sopir lebih dahulu, apakah ia pergi ke jurusan yang Anda inginkan. Bila satu jurusan, dan di dalam masih ada kursi kosong, Anda bisa bergabung dengan penumpang lain yang sudah naik lebih dulu.

Cewek kece tadi juga begitu. Ia mencegat taksi yang saya tumpangi bersama seorang lainnya. Sesudah tahu bahwa taksi itu mengarah ke tujuannya, ia pun ikut naik. Asyiknya, tiba-tiba ia duduk di samping saya.

Pada kunjungan ke Iran pekan lalu, kami tidak sempat bekeliling kota dengan taksi, karena padatnya acara yang diatur pihak pengundang di Iran. Tapi dari berbagai lokasi kami sempat menyaksikan para wanita Iran naik turun taksi — bagai barisan lilin yang menyala di gulita malam.

Lilin. Ya, perempuan itu seperti lilin yang berjalan. Lilin yang tersenyum. Bening…
Aduh mak, rasanya saya belum pernah melihat orang cantik di dunia ini seperti kecantikan orang Iran. Barangkali cewek Lebanon adalah satu-satunya saingan mereka. Saya jadi ingat Selma Karamy yang menjadi pujaan sastrawan asal Lebanon, Kahlil Gibran, yang ngetop lewat bukunya ‘Sang Nabi’ (The Prophet).

Mungkin benar cerita orang: bangsa Aria, nenek moyang orang Persia, dulu, terkenal kecantikan wajahnya. Sejarah juga mencatat bahwa cucu Nabi SAW, Husain putra Khalifah Ali bin Abithalib (yang dijadikan Imam Syiah ketiga), pernah mengawini seorang putri raja Persia, Syahrul Banu dan kemudian menurunkan cucu-cucunya di belakang hari, hingga sekarang.

Pemimpin tertinggi keagamaan Iran sekarang ini, Ayatullah Khamenei, dan pendiri negara Islam Iran Ayatullah Khomeini (almarhum) serta semua ulama bersorban hitam, adalah para cucu Nabi, melalui Fathimah, isteri Ali bin Abithalib.
Mereka, yang kami jumpai di Ferdowsi Avenue, atau ketika bertandang ke Bazaar (pasar tradisional), semuanya mengenakan hijab.

Sejak Revolusi Islam Iran tahun 1979 lalu, para wanita di negeri itu telah berada di bawah tatanan baru. Kemana pun hendak pergi, selama masih dalam wilayah Iran, mereka harus menutup kepalanya dengan jilbab. Bahkan, wanita asing yang masuk negara itu pun harus berpakaian begitu. Cuma bedanya, orang asing, atau penganut agama non-Islam, lazimnya hanya menyelempangkan secarik bahan atau scarf di kepala mereka, sehingga sebagian rambutnya masih tetap menyembul.

Demikian juga tampaknya para gadis muda atau remaja, kebanyakan mereka lebih suka membiarkan bagian depan rambutnya kelihatan — kecuali jika sedang berada di sekitar masjid atau dalam acara-acara keagamaan. Saat itu, mereka semua memilih untuk mengenakan jilbab yang lebih rapat, atau dibalut baju ‘abaya hitam yang panjang menjulur ke seluruh tubuh, sebagaimana yang banyak dikenakan ibu-ibu yang lebih sepuh.

Cara berpakaian yang konvensional itu memang warisan lama, dengan corak dan warna sangat sederhana. Cadar-cadar tradisional ini, hanya dililitkan menyelimuti tubuh sang wanita, sementara tangan mereka memegangi tepinya. Jika kedua tangannya sibuk, misalnya ketika harus menggendong anak, maka tepi bahan di bagian atas akan digigitnya supaya tidak lepas. Tentu saja, banyak yang berkreasi menambahkan asesoris, seperti peniti atau broche, pada bagian-bagian tertentu pakaian itu.

Namun, tidak peduli apakah mereka mengenakan jilbab model “modern” dengan celana panjang blue jean dan stocking, atau pun yang berpakaian lebih rapat, wajah-wajah mereka tetap saja moncer, membuat para lelaki seperti rombongan kami melotot tanpa kedip, sambil berdecak kagum. Subhanallah.

(Merdeka/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: