Prof Jawahir Thontowi SH PhD (Foto: Yvesta Putu Ayu/HarianBernas.com)
Perlindungan hukum yang lemah terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bisa menyebabkan perbudakan modern terus saja terjadi. Karenanya Undang-undang Nomor 39 tahun 20014 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri perlu dikaji ulang.
"Selama ini undang-undang 39 tahun 2004 ini lebih banyak terkait pada penempatan TKI daripada perlindungan hukum. Padahal setelah penempatan TKI di luar negeri seharusnya pemerintah mampu memberikan perlindungan hukum bagi mereka," ungkap Guru besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Jawahir Thontowi SH PhD di FH UII, Jumat (20/11).
Selain itu, pengaturan proses pengiriman TKI hingga saat ini juga belum satu pintu. Akibatnya pengelolaan manajemen TKI baik di dalam maupun luar negeri rawan percaloan.
Bila persoalan-persoalan tersebut didiamkan maka dikhawatirkan akan semakin banyak terjadi perbudakan modern atas nama pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Apalagi hingga saat ini belum banyak ratifikasi perjanjian antar negara dalam mengatur perlindungan hukum bagi TKI di berbagai negara, khususnya di negara-negara Timur Tengah sebagai pemakai jasa TKI.
"Pengelolaan manajemen TKI harus satu pintu agar efisien sehingga tidak ada oknum-oknum lagi yang melindungi PJTKI (penyalur jasa tenaga kerja indonesia-red) yang nakal seperti yang banyak ditemukan saat ini. Perlu ada sistem pengelolaan dengan memutus tali pejabat yang jadi backing dari PJTKI nakal ini," tandasnya.
Menurut Jawahir, Indonesia sebenarnya memiliki bargaining position atau posisi tawar dalam proses ratifikasi dengan negara-negara pemakai jasa TKI. Tingginya kebutuhan tenaga kerja asal Indonesia di negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Qatar dan lainnya tidak bisa dipenuhi tanpa adanya suplai dari Indonesia.
Selain itu angka jemaah haji asal Indonesia yang datang ke Arab Saudi hingga 180 ribu orang per tahunnya membuat negara ini memiliki kekuatan untuk melakukan ratifikasi kerjasama dengan negara lain.
"Namun karena tidak ada ratifikasi maka perbudakan modern TKI masih saja terjadi. Karena itu adanya perubahan undang-undang," ungkapnya.
Jawahir menambahkan, FH UII berupaya ikut berperan serta dalam mengatasi persoalan tersebut. Diantaranya melalui International Conference bertema 'Perlindungan Pekerja Migran Perspektif Hukum dan HAM Internasional di Negara-negara ASEAN dan Implikasinya Terhadap Wacana Perubahan UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri'. Konferensi digelar Selasa (24/11) mendatang di The Jayakarta Hotel.
Sejumlah pengambil kebijakan dan pakar hadir dalam konferensi tersebut. Diantaranya Kepala BNP2TKI Gatot Mansyur, Duta Besar Mexico, Federico Salas, Dosen University Kebangsaan Malaysia Prof Dr Kamal Halili dan lainnya.
"Hasil dari konferensi ini akan kami sampaikan ke pemerintah dan DPR untuk ditindaklanjuti dalam penanganan kebijakan terkait TKI," jelasnya.
Sementara Dekan FH UII, Dr Aunur Rohim Faqih SH MHum mengungkapkan, UII berperan aktif dalam menyuarakan pemikiran tentang isu-isu sosial kepada masyarakat. Salah satunya melalui konferensi tersebut.
"Tugas UII menyuarakan pemikiran yang konstruktif dan dibutuhkan masyarakat seperti masalah TKI," imbuhnya.
(Harian-Bernas/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email