Pesan Rahbar

Home » » Menggali Rahasia Do'a Nabi khidir; Bab XXII: Tahap-Tahap Pengembaraan Ruhani

Menggali Rahasia Do'a Nabi khidir; Bab XXII: Tahap-Tahap Pengembaraan Ruhani

Written By Unknown on Wednesday 12 October 2016 | 02:14:00


Ya Allah, siapasaja (yang) bermaksud buruk kepadaku, tahanlah ia; siapasaja yang (ingin) memperdayaiku, gagalkanlah ia. Jadikan aku hamba-Mu yang paling baik nasibnya di sisi-Mu, yang paling dekat kedudukannya dari-Mu, yang paling istimewa tempatnya di dekat-Mu. Sungguh, semua ini tidak akan tercapai kecuali dengan karunia-Mu. Limpahkanlah padaku kemurahan-Mua, sayangi aku dengan kebaikan-Mu, jaga diriku dengan rahmat-Mu, gerakkan lidahku untuk selalu berzikir kepada-Mu, penuhi hatiku supaya selalu mencintai-Mu, berikan kepadaku yang terbaik dari pengabulan-Mu, hapuskanlah bekas keterperosokanku, ampunilah ketergelinciranku, sungguh Engkau telah wajibkan hamba-hamba-Mu beribadah kepada-Mu. Engkau perintahkan mereka untuk berdoa kepada-Mu, Engkau jaminkan kepada mereka pengabulan-Mu. Karena itu, kepada-Mu, Wahai Tuhanku, aku hadapkan wajahku; kepada-Mu, Wahai Tuhanku, aku ulurkan tanganku, Demi kebesaran-Mu kabulkanlah doaku, sampaikan aku pada cita-citaku, jangan putuskan harapanku akan karunia-Mu, (dan) lindungilah aku dari kejahatan jin dan manusia, musuh-musuhku.


Penafsiran Etimologis

Kata kaid dan makr adalah siasat, penipuan, dan pengalihan perhatian seseorang dari tujuannya dengan menggunakan tipudaya khusus. Siasat dan tipudaya itu terdiri dari dua jenis:

Pertama, siasat dan tipudaya yang baik serta terpuji, yang dengannya dilakukan perbuatan baik. Allah Swt berfirman:
Dan Allah sebaik-baik pembalas tipudaya. (Ali ‘Imrân: 54).

Demikianlah Kami atur siasat untak (tercapainya maksud) Yusuf. (Yûsûf: 76).

Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya siasat-Ku amat teguh. (al-A’râf: 183).

Kedua, siasat dan tipudaya tercela, yang dengannya menyebabkan dilakukannya perbuatan jahat. Allah Swt berfirman:
...dan bahwasannya Allah tidak meridhai tipudaya orang-orang yang berkhianat. (Yûsûf: 52).
Mereka hendak melakukan tipumuslihat terhadapnya, maka Kami jadikan mereka orang-orang yang hina. (al-Shaffûat: 98).

Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena tipudaya (siasat) mereka yang jahat. Siasat (tipudaya) yang jahat itu tidiak akan menimpa selain yang perencananya sendiri. (al-Fâthir: 43)
Dan mereka merencanakan tipudaya dengan sungguh-sungguh dan Kami pun merencanakan (pula), sedang mereka tidak menyadari. (al-Naml: 50).

Kata zulfah memiliki arti dekat dan posisi.
Kata jûd berarti kedermawanan.
Kata lahijah berarti gerakan lidah, seakan-akan senantiasa dalam keadan berzikir.
Kata taimah berarti rasacinta yang berat sehingga orang yang merasa cinta itu akan merelakan dirinya menjadi budak; dan orang semacam ini disebut dengan mutayyam.
Kata iqâlah memiliki arti pembatalan suatu transaksi (mu’âmalah) dan di sini memiliki arti memaafkan atau mengampuni.
Kata ‘atsrah adalah keterperosokan dan kesalahan.
Kata nashb al-wajh berarti menghadap atau perhatian.
Kata munâ merupakan bentuk jamak dari kata mun-yah yang berarti harapan dan cita-cita.


Syarah dan Penjelasan

Penjelasan pada bagian ini terdiri dari berbagai uraian. Kami akan memaparkannya sesingkat mungkin.
1. Di sini sang peminta (dâ’î) adalah seorang hamba yang menghadap Allah dan telah terputus dari segala sesuatu serta hanya bergantung kepada-Nya. Karena itu, ia memohon kepada-Nya dengan kamâl al-inqitâ’ ( keterputusan total dari selain-Nya).

Sementara yang dimintai (mad’uw) dalam doa ini adalah zat yang mahadermawan yang mengeluarkan perintah untuk berdoa serta berjanji akan mengabulkan doa tersebut.

Pada kalimat (doa) ini sesuatu yang diminta (mad’uwun lahu) adalah:
a. Dilenyapkannya pelbagai rintangan yang menghalangi jalan peribadahan berupa tipudaya setan, manusia, jin, dan berbagai kejahatan mereka. Dengan demikian, ini merupakan suatu hal yang sangat penting. Pada awal bagian doa ini, diungkapkan, “Ya Allah, siapasaja (yang) bermaksud buruk kepadaku, tahanlah ia, siapasaja yang (ingin) memperdayakanku gagal-kanlah ia.” Kemudian, pada akhir bagian kalimat doa, sekali lagi diungkapkan, “Lindungilah aku dari kejahatan jin dan manusia, musuh-musuhku.”

b. Maqâm al-qurb ilallâh (peringkat kedekatan dengan Allah). Ini merupakan tujuan penciptaan manusia; bahkan dapat dikatakan bahwa ini merupakan tujuan dari penciptaan alam semesta. Lantaran maqâm ini amat penting, maka kalimat pada bagian doa ini beliau ucapkan berkali-kali. Oleh karena itu, pertama beliau memohon suatu sebab dan perantara, dengan menyatakan, “Jadikan aku hamba-Mu yang paling baik nasibnya di sisi-Mu, yang paling dekat kedudukannya dari-Mu, yang paling istimewa tempatnya di dekat-Mu.” Anda juga dapat menyaksikan di sini sesuatu yang diminta (mad’uwun lahu), berupa kedekatan dengan Allah, diulang sebanyak tiga kali. Sekali lagi, beliau memohon diberikannya satu sebab dengan menyatakan, “Gerakkan lidahku untuk selalu berzikir kepada- Mu, penuhi hatiku supaya selalu mencintai-Mu.” Mengapa? Sebab, setiap orang yang telah meraih maqâm al-qurb, niscaya ia akan meraih keduanya. Dengan demikian, keduanya adalah sebab bagi teraihnya maqâm al-qurb. Untuk ketiga kalinya, beliau memohon dari Allah, agar mengabulkan doanya dan mendapatkan apa yang dicita-citakannya; dan ini beliau ulang sebanyak tujuh kali. Dengan demikian, beliau mengulang sebanyak 12 (dua belas) kali permohonan terhadap maqâm al-qurb.

c. Deakan-akan, dalam pertengahan kalimatnya, beliau khawatir pabila tobatnya tidak diterima. Oleh karena itti, sekali lagi beliau memohon pengampunan atas berbagai ketergelinciran dan kesalahan. Dengan kata lain, beliau bertobat sekali lagi.

Sedangkan mad’uwun bihi (yang dijadikan sebagai sumpah) dalam doa ini adalah karunia, rahmat, kemuliaan, dan kedermawanan Allah Swt. Di antara keindahan kalimat yang ada dalam bagian doa ini adalah bahwa sekalipun mengulang-ulang permohonannya, namun beliau mengungkapkannya dalam bermacam-macam bentuk kalimat yang berbeda.

2. Makar dan tipu daya yang datangnya dari Allah, memiliki beberapa bentuk dan tahapan.

Pertama adalah penyesatan, yaitu membiarkan orang yang berbuat dosa. Berkali-kali, telah kami sebutkan bahwa penyesatanyang dilakukan Allah adalah dengan mencabut perhatian khusus terhadapnya. Mengapa? Sebab, seseorang yang berlumuran dosa tidak lagi layak memperoleh perhatian khusus tersebut. Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orqng yang zalim. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk orang-orang yang fasik.

Dengan demikian, bagi mereka, tipudaya Allah tersebut merupakan sebuah siksaan yang sangat berat; belum lagi siksaan akhirat yang akan mereka terima. Allah Swt berfirman:
Maka janganlah hartabenda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak- anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir. (al-Taubah: 55).

Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan. (Âli ‘Imrân: 178).

Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh. (al-Hajj: 31).

Dan orang-orang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga datanglah janji Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. (al-Ra’d: 31).

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. (Thâhâ: 124).

Dan masih banyak lagi ayat yang menjelaskan bahwa siasat dan tipudaya Allah, jika tertuju pada seseorang, niscaya akan menjadikannya merasa sangat gelisah; bencana dan musibah akan menghantarnnya secara bertubi-tubi.

Begitu pula, banyak ayat lain dalam al-Quran yang menjelaskan bahwa pabila petunjuk Allah diberikan kepada seseorang, maka ia sama sekali tidak akan memiliki rasa takut dan khawatir serta akan senantiasa merasa tenang dan tenteram. Allah Swt berfirman:
Bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (al-Baqarah: 112).

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali (kekasih-kekasih) Allah, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yûnus: 62).

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (al-Ra’d: 28).

Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui. (al-An’âm: 81).

Kedua, siasat, makar, dan tipudaya Allah berbentuk hukum istidrâj, dalam arti bahwa kenikmatan seseorang akan ditambah, sehingga sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan nasib dirinya di kemudian hari. Dalam hal ini, al-Quran menegaskan bahwa yang demikian itu merupakan di antara bencana yang diturunkan Allah dan sunah ilahiah. Allah Swt berfirman:
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. (al-A’râf: 182).

Kami tiada mengutus seorang nabi kepada sesuatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk merendahkan diri. (al-A’râf: 94-95).

Maka biarlah mereka tenggelam (dalam kesesatan) dan bermain-main sampai mereka menemui hari yang dijanjikan. (al-Zukhruf: 83).

Berkaitan dengan hal ini terdapat berbagai riwayat dari para imam Ahlul Bait suci, di antaranya yang tercantum pada jilid kedua al-Kâfî. Di situ terdapat sebuah bab dengan judul Istidrâj, dan riwayat di bawah ini merupakan salah satu di antaranya.

Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Sesungguhnya Allah, pabila menginginkan kebaikan bagi seorang hamba, maka tatkala ia (hamba tersebut) berbuat dosa, Dia menurunkan suatu musibah, sehingga ia (musibah tersebut) mengingatkannya untuk beristighfar. Dan jika Dia berkeinginan berbuat jahat kepada seorang hamba, maka jika ia (hamba tersebut) berbuat dosa, maka Dia mengikutinya dengan kenikmatan, sehingga ia lupa untuk beristighfar dan senantiasa melakukan perbuatan dosa tersebut. Inilah arti dari firman Allah: ...nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui, dengan merasa nikmat dalam berbuat maksiat.”

Bahkan, yang dapat disimpulkan dari ayat yang terdapat dalam surat al-Zukhruf adalah bahwa jika bukan lantaran untuk menghindarkan manusia menjauh dari agama dan menjadi kafir semuanya, maka tentu Allah telah mencurahkan kenikmatan luar biasa kepada orang-orang yang tidak bertakwa. Allah Swt berfirman :
Dan sekiranya bukan karena hendak menghindarkan manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah Kami buatkan bagi orang-orang kafir kepada Tuhan yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) untuk mereka naiki. Dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka dan (begitu pula) dipan-dipan yang mereka bertelekan atasnya. Dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka). Dan semua itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat di sisi Tuhanmu adalah untuk orang-orang yang bertakwa. (al- Zukhruf: 33-35)


Peringatan Penting

Yang dapat kita simpulkan dari berbagai ayat al-Quran dan riwayat Ahlul Bait mulia adalah terdapat perbedaan perhitungan antara orang-orang khusus dengan orang-orang umum; dan dapat dikatakan bahwa itu merupakan kebalikan dari hukum istidrâj. Allah Swt berfirman:
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah kuberikan kepadamu kesenangan (mut’ah) dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar. Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan yang demikian itu mudah bagi Allah. (al-Ahzâb: 28).

Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat di antara mereka berdua, “Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu.” Maka setan menjadikan ia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu, tetaplah Yusuf dalam penjara beberapa tahun. (Yûsuf: 42).

Oleh karena itu, Anda dapat menyaksikan di sini bahwa lantatan Yusuf meminta pertolongan kepada selain Allah, maka ia pun mendekam dalam penjara selama bertahun-tahun. Selain itu Allah juga berfirman:
Maka kalau sekiranya ia (Nabi Yunus) tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit. (al-Shaffât: 143-144).

Anda dapat melihat di sini bahwa lantaran ia meninggalkan yang utama (tarku al-‘aulâ), ia (akan) terkurung dalam perut ikan sampai hari kiamat.

Dalam al-Kâfî disebutkan bahwa salah seorang nabi bani Israil menyaksikan seorang mukmin yang berada di bawah reruntuhan dinding; daging wajahnya tengah dimakan semut-semut (serangga). Tatkala ia (nabi tersebut) memasuki kota, ia menyaksikan seorang zalim yang mati, lalu orang-orang berduyun-duyun mengantarkan jenazahnya. Ia merasa heran dan memohon kepada Allah untuk menjelaskan duduk persoalan sebenarnya. Allah Swt (kemudian) menjelaskan kepadanya bahwa orang alim tersebut datang menemui orang zalim itu untuk suatu keperluan, lalu ia (yang zalim) pun memenuhi kebutuhan orang alim tersebut. Oleh karena itulah, Allah Swt memperlakukan keduanya semacam itu.

Ada juga kisah antara Ali bin Yaqthin dan Ibrahim al-Jammal dengan Hazrat Imam Musa al-Kazhim, dan kisah ini sangat populer. Lantaran Ali bin Yaqthin menghina Ibrahim al-Jammal, beliau (Imam Musa) tidak bersedia menemuinya. Beliau berkata kepada Ali bin Yaqthin, “Selama Anda belum mendapatkan kerelaannya, maka saya tidak akan menemui Anda.”

Penulis buku Wasâ’il al-Syi’ah memiliki berbagai riwayat dalam bukunya Jihâd bo Nafs (Jihad melawan Nafsu), di antaranya riwayat berikut ini.
Dari Mufadhdhal ibnu Umar, bahwasannya Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Wahai Mufadhdhal! Berhati-hatilah akan dosa dan peringatkanlah Syi' ah karni untuk menjauhinya. Demi Allah, tidak ada yang lebih cepat berbalik kepadamu daripadanya (dosa-dosa tersebut). Sesungguhnya, ada di antara kalian yang memperoleh murka dari raja tidak lain adalah lantaran dosa-dosanya. Sesungguhnya, ia menderita suatu penyakit tidak lain dikarenakan dosa-dosanya. Sesungguhnya, rezekinya menjadi buntu (tertahan) tidak lain lantaran dosa-dosanya. Sesungguhnya, ia merasakan kesakitan tatkala menghadapi kematian, hal itu tidak lain adalah karena dosa-dosanya. Sehingga, orang yang ada di sisinya berkata, ‘Ia (mengalami) kesulitan untuk mati.’”

Tatkala beliau menyaksikan bahwa Mufadhdhal sulit menerima persoalan ini, beliau berkata, “Tahukah Anda, mengapa demikian?” ia menjawab, “Saya tidak tahu.” Beliau berkata, “Demi Allah, itu dikarenakan kelak di akhirat kalian tidak akan merasakan pembalasan (siksaan), dan pembalasan (atas dosa-dosa kalian) dimajukan di dunia.”

Sebuah riwayat shahîh, dari Imam Ja’far al-Shadiq, beliau berkata, “Allah Swt berfirman: Jika orang yang mengenal-Ku bermaksiat kepada-Ku, maka Aku akan menjadikan ia berada di bawah kekuasaan (tekanan) orang yang tidak mengenalku.”

Ketiga, siasat, makar, dan tipudaya Allah dalam bentuk: pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa melalui dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Ini telah ditegaskan al- Quran dan riwayat; para hamba haruslah merasa takut akan hal ini. Dalam riwayat disebutkan bahwa menganggap ringan makar dan tipudaya Allah merupakan sebuah dosa besar. Seorang hamba dituntut untuk memiliki pengharapan atas rahmat Allah, namun, pada saat yang sama ia tidak boleh menganggap ringan makar dan tipudaya Allah. Sebab, murka Allah senantiasa berada di setiap kejahatan yang dilakukan manusia. Inilah arti ungkapan doa beliau (Imam Ali) dalam doa Rajabiyyah, “Wahai Yang aku berharap dari-Nya berbagai kebaikan dan aku beriman bahwa kemurkaan-Nya ada pada setiap keburukan.” Allah Swt berfirman:
Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalan naik, ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (al-A’raf: 96-99).

3. Maqâm al-qurb ilallâh (peringkat kedekatan diri dengan Allah).

Persoalan ini telah berulang kali kami paparkan, yakni bahwa tujuan penciptaan manusia, menurut pandangan al-Quran, adalah bahwa alam semesta ini diciptakan untuk manusia dan manusia (diciptakan) untuk Allah. Allah Swt berfirman:
Apakah kamu tiada melihat bahwasannya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. (al-Hajj: 65).

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku. (al-Fajr: 27-30).

Upaya untuk mencapai maqâm ini cukup sulit dan berat. Syaikh al-Ra’îs (Ibnu Sinasemoga Allah merahmatinya menyusun sebuah ungkapan yang sangat indah. Ia berkata, “Manusia diciptakan untuk Allah dan tidak mungkin mampu meraih maqâm ini melainkan dengan amal (praktik).”

Oleh karena itu, sebelum manusia mengadakan perjalanan melintasi berbagai manzil (tahapan), terlebih dahulu ia harus mengetahui beberapa perkara berikut.
Pertama, ia harus mengetahui dan menyadari dirinya adalah orang yang mampu sampai pada suatu tempat di mana ia mampu melihat dan mendengar apa-apa yang dilihat dan didengar Rasulullah saww.

Rasulullah saww bersabda, “Jika bukan lantaran banyaknya pembicaraan kalian dan kotoran yang melekat pada hati kalian, maka kalian (tentu) akan mampu menyaksikan apa yang aku saksikan dan mendengar apa yang aku dengar.”

Beliau saww juga bersabda, “Sekiranya bukan lantaran setan yang mengerumuni hati bani Adam, maka mereka (tentu) mampu untuk menyaksikan kerajaan langit dan bumi.”

Beliau saww juga bersabda, “Ketahuilah! Sesungguhnya pada hari-harimu bertiup angin rahmat, maka hendaklah kalian menghadangnya.”

Ringkasnya, pertama-tama seorang hamba harus mengetahui bahwa dalam dirinya terdapat tiupan ruh Ilahi, dan lantaran inilah, para malaikat bersujud kepadanya serta dijadikanlah dirinya sebagai khalifah di muka bumi. Allah Swt berfirman:
Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku; maka hendaklah kamu tertunduk sujud kepadanya. (Shad: 72).

Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (al-Baqarah: 30).

Selain itu, ia harus mengetahui dan menyadari bahwa dirinya memikul amanat Ilahi dan di alam semesta ini tidak satupun yang bersedia memikul amanat yang ditawarkan Allah. Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikulnya dan mereka takut akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (al-Ahzâb: 72).

Kedua, ia harus mengetahui bahwa penghalang yang merintangi perjalanannya tidak lain adalah dosa dan berbagai sifat tercela. Ini sudah seringkali kami paparkan; semua itu merupakan belenggu bagi dirinya. Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya telah Kami pasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagunya, maka karena itu keptilh mereka tertengadah. (Yâsîn: 6) .

Ketiga, ia harus mengetahui, bahwa semua penghalang itu dapat disingkirkan dengan cara bertobat, berjuang mengalahkan nafsu ammârah, dan membuang berbagai sifat tercela. Ini merupakan usaha terpenting, di mana bila belum dilaksanakan, seseorang niscaya tidak akan mampu melakukan perjalanan dan pengembaraan di jalan ini.

Suatu hal yang perlu diingat adalah bahwa dalam bertobat hendaklah (seseorang melakukannya), secara murni demi Allah, dan tobat semacam ini, dalam al-Quran, disebut dengan tobat nashûhan. Allah Swt berfirman:
Hai orang-orang yang berfirman. bertobatlah dengan tobat yang semurni-murninya (nashûhan), mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. (al- Tahrim: 8).

Ada beberapa pendapat mengenai kata nashûhan, di antaranya adalah pendapat Syaikh Thusisemoga Allah merahmatinyayang mengatakan bahwa maksud nashûhan adalah seseorang yang bertobat murni demi Allah. Dan seandainya seseorang bertobat lantaran takut akan neraka Jahanam, maka tobatnya bukanlah tobat yang nashûhan.

Keempat, ia harus mengetahui bahwa perjalanan ini merupakan pcrkara yang sangat mulia; dan tidak ada kemuliaan, kenikmatan, dari tujuan yang lebih baik dan penting ketimbang perjalanan ini. Mengapa demikiati? Sebab, untuk pertama kali (ia) akan mengadakan perjalanan dari al-Haq menuju makhluk (sayr min al-Haq ilâ al-khalq). Kemudian, mengadakan perjalanan dari al-Haq di dalam al-Haq (syair min al-Haq fî al-Haq) dan perjalanan ini dilakukan setelah manusia mencapai maqâm al-qurb. Ini, sebagaimana dijelaskan dalam hadis nabawi yang mengisahkan peristiwa Mi’râj.

Dalam peristiwa Mi’râj, Allah berfirman kepada Rasul mulia saww: Wahai Ahmad! Sesungguhnya di surga itu ada sebuah istana yang terbuat dari mutiara di atas mutiara, yang tidak akan hancur dan musnah. Dan yang tinggal di dalamnya adalah hamba-hamba-Ku yang khusus. Selama sehari Aku memandangi mereka sebanyak 70 (tujuh puluh) kali, dan Aku berbicara dengan mereka. Setiap Aku memandang mereka, Aku melipatgandakan kedudukan dan kerajaannya sebanyak 70 (tujuh puluh) kali, dan jika para penghuni surga merasa nikmat dengan menyantap makanan dan minuman yang adil di dalamnya, namun mereka merasakan kenikmatan dengan mengingat (menyebut) firman dan pembicaraan-Ku.

Rasul saww bertanya, “Ya Tuhanku! Apakah tanda-tanda mereka?” Allah menjawab: Mereka adalah orang-orang yang terpenjara; mereka telah memenjarakan lisannya dari perkataan yang berlebihan dan perut mereka dari makanan yang berlebihan.

Oleh karena itu, perhatikanlah firman Allah: Aku melipatgandakan kedudukan dan kerajaannya sebanyak 70 (tujuh puluh) kali. Ketahuilah, bahwa bertambahnya kerajaan mereka berarti keluasan keberadaan serta kesempurnaan mereka. Begitu juga, perhatikanlah firman mulia tersebut tatkala menegaskan: namun mereka merasakan kenikmatan dengan berzikir (mengingat dan menyebut) firman dan pembicaraan-Ku. Alangkah bahagianya mereka!

Ya, manusia diciptakan dari al-Haq menuju makhluk, sampai pada suatu hari dari makhluk (al-khalq) kembali kepada al-Haq. Namun, jika ia tetap berada dalam al-khalq (makhluk) dan perjalanannya hanya sebatas dari al-khalq menuju al-khalq saja, maka ia sama seperti binatang yang terkurung dan tidak ubahnya seperti ulat sutera yang melilitkan benang ke tubuhnya, hingga akhirnya ia mati. Amirul Mukminin Ali bin Thalib berkata, “Allah merahmati seseorang yang yang mengetahui (dirinya) dari mana dan akan ke mana.”


Berbagai tahapan perjalanan dan pengembaraan ruhani (manâzil syair wa sulûk)

Setelah memiliki pengetahuan tentang semua itu, maka seorang akan melintasi berbagai tahap berikut.
Tahap pertama adalah takhliah (pengosongan diri dari berbagai sifat tercela). Ini juga merupakan sebuah perkara yang sangat sulit dan sangat memerlukan usaha gigih, konsisten, serta pengetahuan tentang tatacara mengadakan perlawanan, yakni jihâd al-akbar.

Tahap kedua adalah tahliah (penghiasan diri). Ini juga memerlukan upaya keras dan berbagai latihan. Alhasil, perjalanan dari tahap pertama ke tahap kedua serta melewati tahap kedua menuju tahap berikutnya, merupakan sebuah urusan yang sangat sulit. Allah Swt berfirman:
Maka tidaklah sebaiknya (dengan bertanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) memerdekakan budak (fakku al-raqabah) dari perbudakan atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir. Dan ia (tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan yang saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. (al-Balad: 11-17).

Anda dapat menyaksikan bahwa al-Quran amat menekankan masalah ini; jika manusia tidak memiliki keinginan untuk berjalan di jalan ini, maka perjalanan ini akan semakin terasa sulit dan berat. Demikian pula, dengan takhliah berupa fakku raqabah (memerdekakan budak) dan tahliah berupa ith’âm (memberi makan), yaitu perjalanan melintasi ‘aqabah (jalan yang mendaki lagi sukar).

Kemudian, ashhâb al-maimanah (golongan kanan) adalah mereka yang telah berhasil menempuh berbagai ‘aqabah ini. Pabila tidak demikian, maka ia akan tergolong sebagai ashhâb al-masy’amah (golongan kiri); di dunia ini ia akan dipenjara dan diperbudak oleh hawa nafsu, sedangkan di akhirat akan dipenjara di dalam api yang mengepung mereka: Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka (innahâ ‘alaihim mu’shadah). (al-Humazah).

Tahap ketiga adalah tajaliyah (penampakan); untuk mencapai tahapan ini (seseorang) harus telah berhasil melintasi dua tahap sebelumnya. Selanjutnya, Allah Swt akan membimbingnya ke jalan yang lurus serta menyinari hatinya dengan cahaya-Nya. Ya, untuk sampai pada tahap ini, seorang harus sudah menyempurnakan kedua tahap sebelumnya, yaitu takhliah dan tahliah; sehingga hatinya akan diterangi cahaya suci Ilahi dan pasti akan mencapai tahap tajalliyah. Allah Swt berfirman:
Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). (al-Baqarah: 257).
Hai orang-orang yang beriman (kepada para Rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua kali lipat, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Hadîd: 28).
Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian ia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu ia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? (al-An’âm:. 122).

Tahap keempat adalah tahap fanâ’ dan lîqâ’, kembali kepada Allah, sampai pada tujuan, menemukan sesuatu yang hilang, memperoleh ketenteraman, memahami hakikat kebergantungan, memahami kemandirian Allah Swt, mengetahui kebatilan segala sesuatu selain Dia, mengetahui bahwa Dia adalah Awal dan Akhir serta Dhahir dan Bathin, memahami hakikat tiada tuhan selain Allah, dan memahami bahwa Allah adalah (pemberi) cahaya langit dan bumi. Dengan demikian, dalam hatinya tidak ada sesuatu selain Allah dan (hanya) untuk Allah. Maka, hatinya menjadi budak dan tawanan Allah; tidak melihat dan mendengar selain Allah, dan tidak berbicara melainkan untuk Allah.

Ya, keberadaannya hanya untukAllah, perbuatannya untuk Allah, serta niatnya adalah Allah dan untuk Allah. Allah Swt berfirman:
Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya. (al-Kahfi: 110).
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku. (al-Fajr: 27-30).
Kepunyaan-Nya kerajaan lagit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dialah yang Awal dan yang Akhir, yang dhahir dan yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (al-Hadîd: 2-3).
Allah adalah cahaya langit dan bumi. (al-Nûr: 35).
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan pada waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang. (al-Nûr: 36-37).
Adapun orang-orang yang beriman mereka sangat cinta kepada Allah. (al-Baqarah: 165).
Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (al-Insân: 9).

Dalam Munâjat Sya’baniyah, Syaikh Abbas al-Qummî menukil sebuah riwayat dari Ibnu Khaluwiyah bahwasannya munajat para imam suci Ahlul Bait adalah sebagai berikut:
“Wahal Tuhanku! Karuniakanlah kepadaku keterputusan total (dari selain-Mu) dan hanya menghadap kepada-Mu. Dan terangilah mata hatiku dengan cahaya pandangannya kepada-Mu, sehingga mata hati itu mampu menembus berbagai penghalang cahaya, sehingga sampai pada khasanah keagungan-Mu, sehingga jiwa-jiwa kami terikat dengan kesucian-Mu. Wahai Tuhanku! Jadikanlah aku di antara golongan orang yang Engkau panggil lalu menjawab panggilan-Mu; orang yang Engkau perhatikan lalu ia pingsan lantaran kebesaran-Mu; orang yang Engkau seru dengan tersembunyi, lalu ia beramal untuk-Mu secara terang-terangan.” [32]

Dalam Doa ‘Arafah, Imam Husain mengungkapkan berbagai kalimat yang amat indah:
“Bagaimanakah mungkin wujud yang keberadaannya senantiasa membutuhkan-Mu dijadikan sebagai bukti atas keberadaan-Mu? Adakah selain-Mu yang lebih jelas dari-Mu, sehingga ia yang akan menjelaskan keberadaan-Mu? Bilakah Engkau tiada, sehingga diperlukan suatu petunjuk yang (akan) menunjukkan-Mu? Dan kapankah Engkau jauh sehingga menjadikan bekas-bekas yang akan menunjukkan keberadaan- Mu? Sungguh buta mata yang tidak melihat bahwa Engkau adalah pengawas dan rugilah hati seorang hamba yang tidak Engkau karuniakan kecintaan-Mu.” [33]

Dalam doa di atas, terdapat juga ungkapan yang memiliki arti yang cukup dalam:
“Engkau yang memberikan pancaran cahaya dalam hati para kekasih-Mu, sehingga mereka mampu mengenal-Mu, mengesakan-Mu, dan Engkaulah yang membersihkan dari hati para kekasih-Mu segala yang lain, sehingga mereka tidak mencintai yang selain-Mu, dan tidak berlindung kepada selain- Mu. Engkau menemani mereka tatkala mereka berada dalam ketakutan dan Engkau bimbing mereka sehingga jelas bagi mereka keberadaan tanda-tanda. Apa yang akan didapatkan oleh orang yang kehilangan diri-Mu dan apa yang akan hilang dari orang yang telah menemukan-Mu. Sungguh merugi orang yang rela selain-Mu menjadi sebagai pengganti-Mu dan sungguh merugi orang menggantikan-Mu dengan selain-Mu. Bagaimanakah (mungkin) diharapkan dari selain-Mu sedangkan Engkau tidak pernah memutus kebaikan dan bagaimanakah (mungkin) meminta kepada selain-Mu sedangkan Engkau tidak pernah mengubah kebiasaan-Mu dalam mencurahkan karunia. Wahai Yang memberikan kepada para kekasih-Nya rasa manisnya bersama dengan-Nya, lalu mereka bergantung kepada-Nya. Wahai Yang memakaikan kepada para kekasih-Nya pakaian kewibawaan kemudian mereka berada di sisi-Nya dalam keadaan beristighfar.” [34]

Dan, di antara ungkapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib adalah:
“Wahai Thhanku! Cukup bagiku kebanggaan dengan menjadi sebagai hamba-Mu dan cukuplah bagiku kemuliaan dengan Engkau menjadi Tuhanku. Sebagaimana aku mencintai-Mu, maka jadikanlah aku sebagaimana yang Engkau suka.”

Berkenaan dengan maqâm ini, para ‘ârif (‘urafâ’) memiliki berbagai ungkapan dan syair, di antaranya adalah,
Malam telah berlalu
dan perbincangan kita belum berakhir
Apa salahnya malam?
Perbincangan kitalah yang amat panjang 

Di sini, kami akan menukil sebuah riwayatdari Imam Ja’far al-Shadiq yang tercantum dalam buku Mishbâh al-Syarî’ah, “Penghambaan hakiki merupakan sebuah permata (jauhar), yang asasnya adalah ketuhanan (rububiyyah), maka yang hilang dalam penghambaan akan ditemukan dalam ketuhanan dan yang tersembunyi dalam ketuhanan akan nampak jelas dalam peribadahan. Allah berfirman: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar. Sedangkan penafsiran dari ‘ubudiyyah (penghambaan) adalah menghilangkan berbagai ketergantungan Dan kata ‘abd (hamba) itu sendiri terdiri dari tiga huruf, yaitu ‘ain, bâ’, dâl. Dan huruf ‘ain, ilmunya (‘ilmuhu) tentang Allah, huruf bâ’ adalah kejauhannya (baunuhu) dari selain-Nya, sedangkan huruf dâl adalah kedekatannya (dunuwwuhu) dengan Allah Swt, tanpa kebagaimanaan (bilâ kaif) dan tanpa adanya penghalang (bilâ hijâb).”

Makna ungkapan beliau yang menyebutkan, “Penghambaan yang hakiki merupakan sebuah permata (jauhar), yang asasnya adalah ketuhanan (rububiyyah)...,” dengan dasar ayat yang beliau jadikan sebagai sandaran, adalah bahwa penghambaan akan menyebabkan kebebasan dan kemerdekaan, sehingga seseorang akan melupakan dirinya sendiri dan pandangannya sepenuhnya tertuju pada kemerdekaan dan kemandirian Allah Swt; ia tidak akan melihat di dalam rumah (alam semesta) keberadaan yang lain, selain Sang Pemilik rumah.

Kupandang lautan, kusaksikan batas pada lautan
Kupandang padang pasir, kusaksikan batas pada padang pasir
Kemana saja kumemandang, gunung, lembah, padang luas
Kusaksikan tanda-tanda kebesaran-Mu.

Tahap kelima adalah perjalanan dari al-Haq dalam al-Haq (sayr min al-Haq fî al-Haq). Pada hakikatnya, ini adalah tahap pertama dan semua tahap sebelumnya merupakan mukadimah untuk menemukan sesuatu yang hilang dan mencapai puncak tujuan. Ya, perjalanan ini tidak terbatas dan tanpa akhir. Mengapa? Sebab, Zat Allah yang Mahasuci demikian pula adanya (tanpa batas). Oleh karena itu, dalam setiap perjalanan dan pengembaraan terdapat suatu kenikmatan yang tidak berupa ulangan (senantiasa baru). Inilah maksud firman Allah Swt: Tiada seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yang menyedapkan pandangan mata. (al-Sajdah: 17).

Kaum ‘ârif mengadakan perjalanan dan pengembaraan yang tanpa batas ini dan mereka memberikan sebuah sebutan dan nama khusus bagi setiap tahap (manzil), misalnya saja shahw dan mahq. Mereka melintasi tidak lebih dari tujuh tahap di mana tahap pertamanya adalah takhliah (pengosongan) dan tahap akhirnya adalah haiman. Akan tetapi, adalah kesalahan besar tatkala mereka membatasi perjalanan ini hanya pada tujuh tahap saja. Mengapa demikian? Sebab, perjalanan initidak ada batasnya dan dengan beberapa argumen dapat dibuktikan bahwa tidak mungkin berbagai tahap itu dapat diberi suatu nama dan sebutan semacam itu.
Begitu juga, terdapat berbagai perbedaan di antara mereka dalam memberikan nama dan sebutan untuk berbagai tahapan itu, bahkan terkadang pembicaraan mereka tidak sesuai dengan akal dan syariat. Sementara itu, yang sesuai dengan al-Quran, hadis Nabi saww, dan riwayat Ahlul Bait serta para ulama yang agung adalah yang telah dibicarakan dan dibahas di sini.

4. Mahabbatullâh (rasa cinta kepada Allah). Rasa cinta ini termasuk dalam kategori musyakkik (bergradasi) dan lantaran suatu sebab dapat menjadi kuat atau lemah. Oleh karena itu, rasa cinta ini merupakan asas makrifatullah dan perjalanan manusia untuk mencapai berbagai tahap. Di sini, para ‘ârif memiliki bermacam pendapat dan mengakui adanya berbagai peringkat dalam kecintaan. Sebagian menyatakan bahwa kecintaan itu memiliki lebih dari sepuluh peringkat dan tahap, dan mereka memberi nama khusus bagi setiap peringkat dan tahap tersebut. Sekali lagi, di sini mereka saling berbeda pendapat dan saya akan memaparkan peringkat yang terpenting saja.

Pertama, kecintaan (mahabbah) dalam arti kecenderungan yang sangat terhadap sesuatu lantaran dorongan nafsu ammârah, akal, atau jiwa (ruh). Tanda keberadaan perasaan cinta ini adalah kepengikutan seseorang terhadap perintah dan larangan yang berasal dari sesuatu tersebut. Allah Swt berfirman:
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (Âli ‘Imrân: 31).

Di antara tanda-tanda keberadaan rasa cinta itu adalah adanya semangat, kesungguhan, dan keberanian, dalam melaksanakan berbagai keinginan yang datang dari sesuatu yang dicintai itu (mahbûb). Tidakkah Anda perhatikan bagaimana unggas, sebelum memiliki anak, tidak akan melakukan banyak aktivitas dan tidak begitu menunjukkan keberanian. Namun, tatkala memiliki anak, maka binatang yang semula pemalas ini akan berubah menjadi giat dan penuh semangat; yang semula penakut akan berubah menjadi pemberani.

Kedua, widâd. yaitu rasa cinta yang benar-benar kokoh dalam hati. Inilah makna ungkapan Imam Ali Zainal Aidin, “...Demi kemuliaan-Mu, sesungguhnya aku mencintai-Mu dengan kokohnya rasa manis kecintaan itu dalam hatiku, dan jiwaku merasa senang dengan kebahagiaan yang datang dari kecintaan itu.”

Tanda-tanda kecintaan itu adalah adanya kenikmatan untuk mengasingkan diri dan, berduaan dengan-Nya.

Ayat berikut ini mengisyaratkan bentuk kecintaan tersebut. Allah Swt berfirman:
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman mereka sangat cinta kepada Allah. (al-Baqarah: 165).

Dalam hadis qudsî juga disebutkan:
Sungguh sebuah kebohongan, seseorang yang mengaku mencintai-Ku, namun saat tiba waktu malam, ia tidur dan membiarkan-Ku. Tidakkah orang yang jatuh cinta merasa senang berduaan dengan kekasihnya?
Betapa indah ungkapan syair ini.
Sungguh mengherankan,
seseorang yang sedang jatuh cinta dapat tertidur
Sesungguhnya tidur itu haram,
bagi orang yang sedang jatuh cinta.

Ketiga, isyq (kerinduan). Ini adalah ibarat tetumbuhan yang (hidup) melingkar di batang tunibuhan lain dan melekat kuat padanya. Seseorang yang merasa rindu adalah orang yang rasacintanya telah menguasai seluruh hatinya, sehingga menahan diri dari makan, minum, tidur, dan berbagai kecenderungan lain. Benaknya hanya dipenuhi dengan pikiran akan sang kekasih, serta selalu ingin mendengarkan pembicaraan dan lantunan kata-katanya. Allah Swt berfirman:
...Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Âli ‘Imrân: 191).

Dan di antara tanda-tanda orang yang memiliki rasa kerinduan seperti itu adalah bahwa ia akan mencintai orang yang memiliki hubungan erat dengan Sang Kekasih (Allah Swt). Allah Swt berfirman:
Dan orang-orang yang telah mendiami kota Madinah dan telah beriman sebelum mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke negeri mereka. Dan mereka tiada iri dengki dalam hatinya terhadap apa-apa yang diberikan kepada orang Muhajirin itu dan mereka mengutamakan (kepentingan) orang-orang Muhajirin atas (kepentingan) diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang diperlihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (al- Hasyr: 9).

Keempat, hawâ, yakni tenggelam dalam sesuatu. Tanda- taridanya adalah bahwa Sang Kekasih tidak akan pernah hilang dari benak dan pikirannya.
Bayangan-Mu senantiasa di mataku dan zikir-Mu ada di mulutku
Tempat-Mu ada di hatiku, ke manakah Engkau kan menghilang?

Allah Swt berfirman:
...laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. (al-Nûr: 37).

Tanda-tanda lainnya adalah senantiasa khawatir akan terjauhkan dari-Nya dan yakin bahwa apa saja yang datang dari Sang Kekasih adalah kebaikan. Apapun yang dilakukan untuk Sang Kekasihsetiap langkah yang cukup besar sekalipunakan dianggapnya sebagai sedikit, remeh, kecil, dan tidak berarti. Dan apapun yang dilakukan Sang Kekasih terhadap dirinyasekalipun kecil dan sedikitakan dilihatnya sebagai banyak dan sangat berarti.

Alkisah, setelah kesyahidan Imam Ali bin Abi Thalib, ‘Adî bin Hatim datang menemui Muawiyah. Muawiyah bertanya kepadanya, “Ke manakah Turfah-turfahmu?” (‘Adi memiliki tiga orang anak yang bernama Thuraif, Thârif, dan Mathrûf, yang ketiganya syahid dalam perang Shiffîn). ‘Adî bin Hâtîm menjawab, “Di jalan Amirul Mukminin Ali bin AbiThalib.”
Muawiyah berkata, “Ali bersikap tidak adil terhadapmu; anak- anakmu meninggal dunia sementara anak-anaknya tetap hidup.”
‘Adî menjawab, “Sayalah yang bersikap tidak adil terhadap Ali bin Abi Thalib, karena ia syahid sementara saya masih hidup.” Muawiyah berkata, “Jelaskan kepadaku sifat-sifat dan kepribadian Ali.” ‘Adî menjawab, “Ia tidak berbicara melainkan berdasarkan pada keadilan. Dan tatkala malam tiba, ia bersedih dan menitikkan air mata laksana anak yang ditinggal mati (orang tuanya) seraya berkata, ‘Wahai dunia! Perdayalah (orang) selainku. Oh! Oh! Betapa sedikitnya bekal, (betapa) jauhnya perjalanan, (betapa) menakutkannya jalan (yang mesti dilalui)!’”
Muawiyah kembali bertanya, “Bagaimanakah beban yang Engkau derita setelah menyaksikan kesyahidannya?” ‘Adî menjawab, “Seperti seseorang yang kepala anaknya dipenggal saat berada di pangkuannya dan ia bersabar atas musibah itu.”

Kelima, syaghaf, yakni suatu lapisan penghalang yang menyelimuti seluruh hati. Maksudnya adalah bahwa kecintaan kepada Allah menghalangi masuknya berbagai kecintaan terhadap selain-Nya ke dalam hati. Kecintaan ini laksana sebuah dinding yang mengelilingi hatinya, sehingga lisan, mata, dan telinganya juga tertutup olehnya.

Dalam hal ini, al-Quran menyifati Zulaikha dengan julukan seperti itu. Dikatakan pula bahwa wanita-wanita yang ada di kota itu (tempat tinggal Zulaikha) juga mengalami kondisi sejenis (diselimuti perasaan cinta). Allah Swt berfirman:
Dan wanita-wanita di kota berkata, “Isteri al-Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujang itu amat mendalam... (Yûsuf: 30).

Keenam, taiym, yakni rasa rendah, hina, dan penghambaan. Di sini, mutayyam (orang yang merasa hina) merasakan dirinya benar-benar memiliki kebergantungan, tidak memiliki kebebasan dan kemerdekaan, dan Sang Kekasih adalah pemilik dirinya; ia adalah hamba serta pelayan-Nya. Ia melihat dan yakin bahwa Sang Kekasih adalah Zat yang merdeka, sementara dirinya adalah budak dan hamba sahaya; Dia adalah Zat yang Mahamandiri, sedangkan dirinya tengah menuju pada kebinasaan dan kehancuran; Dia adalah Mahamulia, dan dirinya adalah rendah dan hina.

Oleh karenaitu, mustahil ia akan mengadakan penentangan terhadap-Nya. Ia lebih menyukai kematian daripada harus melakukan pelanggaran terhadap perintah dan larangan Sang Kekasih. Allah Swt berfirman:
Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku.” (Yûsuf: 33).

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku tidak menghamba kepada-Mu dikarenakan takut akan api neraka-Mu dari bukan (pula) lantaran serakah terhadap surga-Mu, namun aku menyaksikan bahwa Engkau layak untuk disembah, maka aku pun menghambakan diri kepada-Mu.”

Beliau juga berkata, “Demi Allah! Jika saya diberi tujuh kawasan dan apa saja yang ada di bawah langitnya, lalu saya harus bermaksiat dengan mencabut butir gandum dari (mulut) seekor semut, sungguh saya tidak akan melakukannya.”

Oleh karena itu, Anda dapat menyaksikan bahwa Nabi Yusuf assekalipun terdapat lebih dari 20 (dua puluh) perkara yang (dapat) mendorongnya untuk melakukan dosatidak sampai melakukan dosa. Sementara, satu saja di antara perkara itu akan dapat menjatuhkan orang-orang mulia. Syeikh Ansari, dalam bukunya al-‘Adâlah, menukil bahwa tatkala mereka bertanya kepada Syeikh Muqaddas Ardibili, “Pabila seseorang diuji dengan seorang wanita dan tidak ada suatu penghalang apapun, apakah ia akan berzina ataukah tidak?” Ia bukannya menjawab dengan, “Tidak,” tetapi berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari ujian semacam itu.”


Catatan Penting tentang Akhlak

Pada akhir bagian pembahasan ini, kami akan menyinggung sebuah persoalan yang berkaitan dengan akhlak seraya merujuk pada sebuah riwayat dari para imam suci Ahlul Bait, “Barangsiapa meleehkan seorang mukmin sekalipun lantaran perbuatan maksiat yang dilakukannya, maka Allah akan mengujinya dengan perbuatan semacam itu pula.”

Nampaknya, al-Quran juga menyinggung persoalan ini dalam ayat: Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, (falammâ sami’at bimakrihin), maksudnya, tatkala ia mendengar berbagai pembicaraan mereka yang didasari rasa iri dan dengki itu (cobaan serupa kemudian menimpa mereka,peny.). Masalah ini perlu direnungkan.

Tatkala Amirul Mukminin berkali-kali memohon kepada Allah agar dianugerahi maqâm al-qurb, perlu diketahui bahwa maqâm ini merupakan karunia Ilahi dan Dia akan memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Karena itu, beliau mengungkapkan dalam doanya, “Sungguh semua ini tidak akan tercapai kecuali dengan karunia-Mu.” Ini mengisyaratkan pada tauhid af’alî di mana sebagian besar manusia tidak mendapatkan manfaat darinya. Allah Swt berfirman:
Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain). (Yûsuf: 106)


Jenis-jenis Tauhid

Tauhid terbagi menjadi beberapa bagian:
Pertama, adalah tauhid dzâtî. Ini sebagaimana yang dijelaskan dalam firman-Nya: Mahasuci Allah. Dialah yang Mahaesa lagi Maha Mengalahkan, [35] dan dalam istilah filsafat, ini disebut dengan wâhidiyah al-Dzât (keesaan Zat).
Kedua adalah tauhid sifâtî. Inilah yang dimaksudkan oleh ayat Ilahi: katakanlah, “Dia-lah Allah yang mahaesa.” [36]
Ketiga adalah tauhid ‘ibâdî. Ini disebutkan dalam firman Allah: Bahwa sesunguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Mahaesa. Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada tuhannya.” [37]
Keempat adalah tauhid ‘af’âlî, yang ijelaskan dalam firman-Nya: Kepunyaan Allah yang Mahaesa lagi Maha Mengalahkan. (al-Mu’min:16).

Dengan demikian usaha manusia tidak lebih hanyalah perantara saja. Allah Swt berfirman:
Maka Mahasuci (Allah ) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya kamu dikembalikan. (Yâsîn:83).

…manakah yang baik tuhan-tuhan yang bermacam macam itu ataukah Allah yang Mahaessa lagi Mahaperkasa. (Yûsûf:39).

Allah pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Mahaesa lagi Mahaperkasa. (al-Ra’d:16).

Katakanlah, “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerjaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. (Âli ‘Imrân:26).

“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jka Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (al-An’âm: 17).

Dengan demikian, dalam tauhid af’âlî, seorang muwahhid barns mengetahui beberapa perkara di bawah ini:
Pertama, mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi berada di tangan Allah.

Kedua, mengetahui bahwa apa yang ada pada dirinya merupakan karunia Allah. Allah Swt berfirman:
Katakanlah, “Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah, Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Âli ‘Imrân 73).

Ketiga, mengetahui babwa sekiranya bukan lantaran karunia Allah, maka ia pun akan termasuk golongan orang-orang yang rugi; dan kebahagiaan itu tidak akan diperoleh melainkan lantaran karunia Allah. Allah Swt berfirman:
...maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang-orang yang rugi. (al-Baqarah: 64).

Keempat, bertawakal kepada Allah serta menjadikan-Nya sebagai pemimpin, pelindung, dan penolong.
Allah Swt berfirman:
Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung. (Âli ‘Imrân: 172).
Cukuplah Allah sebagai Pemelihara. (al-Nisâ’: 132).
Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki Arsy yang agung. (al-Taubah: 129).
Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan hanya kepada-Nyalah aku kembali. (Hud: 88).
Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (al- Thalâq: 3).

Jelas, untuk memiliki rasa tawakal kepada Allah, diperlukan ketakwaan. Sebab, ketakwaan merupakan syarat bagi datangnya bantuan dan pertolongan Allah. Allah Swt berfirman:
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberi rezeki yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan apa (yang dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi segala sesuatu. (al- Thalâq: 2-3).

Dengan demikian, seseorang yang ingin mampu mengalahkan kebatilan, harus mempersiapkan berbagai kekuatan dan tabah dalam menghadapi berbagai kesulitan serta meyakini bahwa kekuatan dan kekuasaan itu datangnya (hanya) dari Allah. Karena itu, ia harus bertawakal kepada Allah. Dan seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, harus melakukan takhliah, tahliah, tabah dan bersabar dalam menghadapi berbagai kesulitan, konsisten dalam beribadah, bersabar dalam, menghadapi berbagai kemaksiatan, serta mengetahui bahwa usaha tersebut tidak mungkin berhasil kecuali dengan bantuan dan pertolongan Allah.
Kami cukupkan sampai di sini bagian pembahasan kita ini, dan demi Muhammad dan keluarganya yang suci, kami memohon kepada-Nya agar mencurahkan kepada kita berbagai kebaikan.


Referensi:

32. Mafatih al-Jinan, hal. 219.
33. Mafatih al-Jinan, doa Imam Husain pada Hari Arafah.
34. Mafatih al-Jinan, hal. 373.
35. Al-Zumar: 4.
36. Al-Ikhlas : 1.
37. Al-Kahfi : 110.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: