Pesan Rahbar

Home » » Menggali Rahasia Do'a Nabi khidir; Bab XXIII: Keagungan Nama-nama Allah

Menggali Rahasia Do'a Nabi khidir; Bab XXIII: Keagungan Nama-nama Allah

Written By Unknown on Wednesday 12 October 2016 | 01:55:00


Wahai Yang Mahacepat ridha-Nya, ampunilah orang yang tidak memiliki apapun melainkan, sungguh Engkau melakukan apa yang Engkau kehendaki. Wahai Yang nama-Nya adalah obat, dan menyebut-Nya adalah penyembuhan, dan Yang ketaatan kepada-Nya adalah kekayaan, sayangilah orang modalnya (hanyalah) harapan dan senjatanya hanyalah tangisan. Wahai penabur kenikmatan! Wahai Penolak bencana! Wahai Cahaya yang menerangi mereka yang ketakutan dalam kegelapan. Wahai Yang Maha Mengetahui tanpa diberitahu, shalawat dan salam atas Muhammad dan keluarga Muhammad, lakukan padaku apa yang layak menurut-Mu. Semoga Allah melimpahkan kesejahteraan kepada Rasul-Nya serta para imam yang penuh keberkahan dari keluarganya dan sampaikan salam kepada mereka sebnyak-banyaknya.


Penafsiran Etimologis

Kata fa’al adalah bentuk mubalaghah (mengandung arti amat, sangat) dalam fi’il (kata kerja). Ini untuk menegaskan pengertian bahwa perbuatan tersebut pasti akan dilakukan Sang Pelaku. Huruf kâf yang ditujukan kepada Allah (fa-innaka) juga merupakan sebuah penegasan. Dengan demikian, arti kalimat doa ini adalah bahwa setelah ia mengetahui Allah adalah Sarî’ al-Ridhâ (Mahacepat ridha-Nya) dan setelah memohon ampunan, ia merasa yakin bahwa Allah pasti akan mengampuninya.

Kata, sibghâh memiliki arti luas. Di sini maksudnya adalah memberikan kenikmatan penuh dan purna serta sangat berlebihan. Contoh berikut akan memperjelas arti kata tersebut; tatkala sebuah bejana dipenuhi dengan air, sehingga menjadi luber dan tumpah, maka bejana tersebut (dikatakan) sangat penuh dan berlebih. Beginilah Allah mencurahkan kenikmatan kepada hamba-hamba-Nya.

Kata mayâmîn merupakan bentuk jamak dari kata maimûn yang berarti kesenangan dan penuh berkah (kebaikan). Para imam suci Ahlul Bait senantiasa merasa senang, karena keberadaan mereka senantiasa dipenuhi keberkahan (kebaikan).


Syarah dan Penjelasan

Dalam kalimat doa ini sang peminta (dâ’î) adalah seseorang yang tidak memiliki sesuatu apapup dan fakir seutuhnya. Tidak ada sesuatu pun yang dimilikinya, yang mampu meraih keridhaan Allah, selain harapan, doa, dan tangisan. Dan ia tengah berada dalam berbagai kegelapan dan dicekam ketakutan.

Sedangkan yang diminta (mad’ûw) adalah Zat yang Mahacepat keridhaan-Nya; apapunyang hendak Dia lakukan, tidak ada sesuatu pun yangdapatmenghalangi-Nya, dan Dia juga tidak pernah menyalahi janji. Selain itu, nama-Nya adalah obat dan mengingat-Nya adalah penyembuhan; Zat yang ketaatan (kepada)-Nya menyebabkan kekayaan. Maksudnya, menuruti perintah dan larangan Allah akan menyebabkan kekayaan dan ketercukupan. Dengan demikian, ini merupakan suatu kebanggaan. Dia adalah Zat, yang mencurahkan berbagai kenikmatan tanpa batas dan berlebih. Dia adalah Zat yang menjaga dan melindungi hamba-hamba-nya dari berbagai bencana bencana dan malapetaka. Dia adalah zat yang menerangi jalan orang yang merasa ketakutan lantaran gelapnya jalan yang tengah dilaluinya. Dia adalah zat yang ilmu-Nya adalah zat itu sendiri.

Dalam bagian doa ini, terdapat beberapa bentuk permintaan (mad’uwun lahu), di antaranya adalah pengampunan dan rahmat, perlakukan dirinya dengan (sesuatu) yang baik menurut-Nya,dan shalawat serta salam atas Muhammad dan keluarganya yang suci.

Sementara, sekalipun dalam hal ini yang dijadikan sumpah (mad’uwun bihi) tidak disebutkan dengan jelas, namun itu secara tidak langsung tercantum pada kalimat, “Wahai Yang nama-Nya adalah obat (Yâ man ismuhu dawâ’).” Maksudnya, adalah nama- nama Allah yang terbaik (al-asmâ al-husnâ). Pada kalimat, “Dan menyebutnya-Nya adalah penyembuhan.” Maksudnya, al-Quran (jika yang dimaksud dengan zikir adalah al-Quran) dan Muhammad serta keluarganya.

Dalam kalimat doa ini, juga selalu dijaga dan diperhatikan tatacara dan sopan santun dalam berdoa sebagaimana yang telah disebutkan pada mukadimah pembahasan doa, yaitu:
1. Memuji.
2. Menyanjung.
3. Yakin terhadap pengabulan doa.
4. Berbaik sangka kepada Allah.
5. Mengakui kefakiran, kepapaan, dan dosa-dosanya.
6. Memohon pertolongan dan perlindangan ke hadirat Ilahi.
7. Keterputusan total dari selain Allah .
8. Memahami bahwa dirinya adalah fakir seutuhnya dan Allah adalah kaya seutuhnya.
9. Memahami bahwa tak sesuatupun yang dapat menghalangi Pemberian-Nya.
10. Allah juga mengetahui kefakiran dan kebutuhan dirinya.
11. Bertawasul kepada Rasulullah saw dan Ahlul Bait.

Di sini anda dapat menyaksikan dengan jelas bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib senantiasa menjaga dan memperhatikan tatacara serta sopan santun dalam berdoa. Dengan demikian, dari berbagai sisi, doa ini merupakan sebuah doa yang sangat sempurna.


Catatan Penting

Untuk lebih memperjelas arti dan makana berbagai kalimat yang ada pada doa ini kami akan membahas beberapa hal penting berikut.

1. Allah Swt Mahacepat Ridha-Nya, karena Dia adalah Zat yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Allah Swt berfirman:

Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah, “Salâmûn ‘alaikum.” Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) barangsiapa berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian bertobat setelah mengerjakan dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-An’âm: 54)

...Kecuali orang-orang yang bertobat beriman dan mengerjakan amal shalih; maka mereka itu kejahatannya diganti Allah dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Furqân: 70)

Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu. (Hud: 3)

Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling (untuk) berbuat dosa. (Hud: 52)

Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Mahapengampun, niscaya Dia akan mengirim hujan kepadamu dengan lebat, dan memberikan kepadamu hartadan anak-anak, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengalirkan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. (Nuh: 10)

Bahkan, dapat kita lihat dalam al-Quran bahwa untuk kali pertama, Allah Swt memberikan rahmat berupa dorongan untuk bertobat. Kemudian, sang hamba bertobat dan memohon ampunan. Setelah itu, Dia mengampuninya dan menurunkan rahmat-Nya kepadanya.

Guru kami yang agung, Allâmah Thabâthabâ’î berkali-kali memaperkan masalah ini dalam bukunya al-Mîzân, yakni bahwa tobat seorang hamba diapit oleh doa ampunan dari sisi Allah. Mengapa demikian ? Sebab, pada awalnya, Allah Swt mencurahkan ampunan-Nya dengan memberikan petunjuk dan bimbingan-Nya, agar sang hamba bertobat. Kemudian, sekali lagi Allah Swt mencurahkan ampunan-Nya setelah sang hamba bertobat, dan Dia pun mengampuni dosa-dosa sang hamba. Allah Swt berfirman:

...dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan robat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya saja. Kemudiann Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima tobat Maha Penyayang. (al-Taubah:118)

Inti pembahasan ini adalah bahwa yang dapat kita simpulkan dari lebih 100 (seratus) ayat yang dalam al-Quran, yaitu bahwa Allah Swt adalah Tawwâb, (Maha Pengampun) dan amat menyukai orang-orang yang bertobat (di sini kemungkinan besar maksud dari Tawwâb adalah bahwa Allah Swt secara berulang kali mengampuni hamba-Nya; Dia masih tetap menyukai seorang hamba yang berbuat dosa, sekalipun hamba itu berbuat dosa, lalu ia bertobat; kemudian berbuat dosa lagi, lalu bertobat; kembali berbuat dosa, kemudian bertobat lagi). Allah Swt masih akan mengampuni semua dosa-dosa itu, bahkan dosa besar sekalipun. Bahkan, jikapun seseorang memiliki dosa yang cukup banyak, Dia tetap akan mengampuninya. Dia menganggap putus asa dari rahmat-Nya adalah kekufuran.

Allah Swt berfirman:

Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesunguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Zumar: 53)

...Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum yang kafir. (Yusuf: 87)

Ringkasnya, yang dapat kita simpulkan dari ayat dan riwayat adalah bahwa Islam tidak menutup pintu tobat bagi orang-orang yang berbuat dosa, dan di dalam Islam tidak ada dosa yang tidak terampuni.

Berkaitan dengan ayat yang menjelaskan bahwa ada sebagian dosa yang tidak terampuni, kami telah membahasnya pada mukadimah pembahasan doa ini. Allah Swt mengancam para hamba-Nya yang berdosa bahwa Dia tidak akan mengampuni sebagian dosa yang mereka lakukan, di antaranya adalah syirik. Allah Swt berfirman:

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (al-Nisâ’: 48)

Maksud ayat ini adalah bahwa jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan musyrik, maka Allah Swt tidak akan pernah mengampuninya. Orang semacam itu tidak ubahnya orang yang berbuat dosa dengan unsur penentangan dan perlawanan; dan orang yang menentang dan melawan Allah Swt tidak akan pernah memiliki kesempatan, dan keinginan untuk bertobat. Rasa penentangan dan perlawanan itulah yang menghalanginya untuk bertobat dan kembali kepada Allah Swt. Sekiranya bukan karena penentangan, pembangkangan, dan kekeraskepalaan, maka ia akan bertobat dan Allah pun akan menerima tobatnya.

Orang seperti itu juga tidak ubahnya seperti orang yang bertobat tatkala di ambang kematiannya. Yang demikian ini pada hakikatnya tidaklah bertobat, tetapi ia merasa menyesal setelah menyaksikan siksaan yang akan diterimanya. Sekiranya ia bertobat sebelum di ambang kematian, niscaya Allah Swt akan menerima tobatnya itu.

Orang seperti itu sama seperti seseorang yang tidak segera bertobat tatkala melakukan sebuah perbuatan maksiat; menunda-nunda tobat telah menjadikannya lalai untuk bertobat. Sekiranya saat itu juga ia langsung bertobat, niscaya Allah Swt akan menerima tobatnya. Allah Swt berfmnan:

Sesungguhnya tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertobat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijak. Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan, hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, “Sesungguhnya saya bertobat sekarang.” Dan tidak (pula diterima tobat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. (al-Nisâ’: 17- 18)

2. Berkenaan dengan ungkapan doa, “Wahai Yang nama-Nya adalah obat, dan menyebutnya-Nya adalah penyembuhan,” dapat dipahami bahwa maksud kalimat pertama adalah bahwa nama Allah dapat mencegah berbagai penyakit, sedangkan maksud kalimat kedua adalah bahwa nama Allah melenyapkan berbagai penyakit serta menyembuhkannya. Dengan demikian, topik kalimat pertama adalah pencegahan, sedangkan kalimat kedua adalah pelenyapan dan penyembuhan.

Sehubungan dengan (pemyataan) bahwa nama Allah mampu mencegah dan menyembuhkan berbagai macam penyakit, terdapat berbagai bentuk (pencegahan dan penyembuhan):

Pertama, sang pecinta, tatkala menyebut nama Sang Kekasih, akan merasakan sebuah kenikmatan yang luar biasa dan itu mampu melenyapkan berbagai kesedihan dan kesusahan. Bahkan dapat dikatakan, tidak ada yang akan ia ingat selain nama-Nya sehingga menjadikannya mengorbankan segalanya demi Sang Kekasih. Allah Swt berfirman:

...Dan ia ingat nama Tuhannya, lalu ia shalat. (al-A’lâ: 15)

...Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Âli Imrân: 191)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal. (al-Anfâl: 2)

Ringkasnya, dalam hal ini, ada sebuah kisah di mana Nabi Ibrahim as memberikan hartanya demi nama Kekasihnya.

Tatkala Malaikat Jibril mengucapkan, “Subbûh, Quddûs,” dan kemudian Malaikat Mikail mengucapkan, “Rabbunâ wa Rabbul malâikati warrûh,” Nabi Ibrahim menjerit, “Jika sekali lagi kalian sebut nama Kekasihku, maka aku akan memberikan setengah dari harta yang kumiliki.”

Kemudian, Malaikat Jibrilmengucapkan, “Subbûh, Quddûs,” dan Malaikat Mikail pun mengucapkan, “Rabbunâi wa Rabbul malâikati warruh.” Kembali Nabi Ibrahim menjerit, “Jika sekali lagi kalian sebut nama Kekasih-ku, maka aku akan berikan kepada kalian semua hartaku dan tatkala keduanya mengulanginya. Nabi Ibrahim berkata, “Sekarang aku tidak memiliki harta, namun jika kalian menyebut nama Kekasih-ku lagi, maka aku akan menjadi seperti kalian.” Kemudian, mereka berdua kembali menyebut Allah, dan Nabi Ibrahim pun menjadi dikenal oleh para malaikat.

Kedua, nama Allah itu adalah obat dan penyembuh bagi berbagai penyakit hati (jiwa). Penjelasannya, pada diri manusia terdapat kesehatan dan keselamatan jiwa dan raga (jasmani dan ruhani). Oleh karena itu, dalam diri manusia juga terdapat berbagai penyakit dan gangguan jiwa dan raga dan masing-masing memiliki jenis obat tertentu.

Penyakit kejiwaan juga memiliki benutuk dan jenis yang cukup banyak; yang paling berat adalah kufur, nifaq, keras hati, ragu dan bimbang, gelisah, cenderung menuruti hawa nafsu, dan lain-lain. Allah Swt menjelaskan dalam Kitab suci-Nya bahwa kekufuran dan kemunafikan merupakan sebuah penyakit dan gangguan jiwa. Allah Swt berfirman:

Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati meleka ada penyaklt, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. (al-Baqarah: 9-10)

Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir. (al- Taubah:125)

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu (lemah lembut dan) tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. (al-Ahzâb: 32)

Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama1slam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (al-Zumar: 22)

Selain itu, juga disebutkan bahwa menyebut dan mengingat nama Allah akan mampu menyembuhkan berbagai penyakit tersebut. Allah Swt berfimian:

...Ingatlah, Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (al-Jumu’ah: 10)

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.(al-Ra'd: 28)

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). (al-Ankabût: 45)

Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (Thâhâ: 14)

Kendatipun dalam ayat ini maksudnya adalah zikir dengan hati (mengingat), namun sebagaimana yang tercantum dalam berbagai riwayat yang telah kami sebutkan, tidak jauh kemungkinannya untuk juga mencakup zikir dengan lisan (mengucapkan).

Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Sesuatu yang amat dibebankan Allah kepada makhluk-Nya adalah berzikir dalam jumlah banyak.” Kemudian, beliau juga berkata, “Yang saya maksudkan bukannya mengucapkan subhânallâh wal hamdulillâh wa lâilâhâ illallâh wallâhu akbar, sekalipun ini merupakan bagian darinya, namun (maksudnya) berzikir kepada Allah pada (apa) yang dihalalkan dan diharamkan. Jika itu merupakan ketaatan, maka (harus) dilaksanakan (oleh)nya, dan jika (merupakan) kemaksiatan (maka harus) ditinggalkan (oleh)nya.” [38]

Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Segala sesuatu memiliki batasan akhir, kecuali zikir; sesungguhnya zikir itu tidak ada batas akhirnya. Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan shalat wajib; barangsiapa menunaikannya, berarti telah membatasinya (menyelesaikannya). Juga, puasa di bulan Ramadhan; barangsiapa berpuasa, berarti telah membatasinya (menyelesaikannya); Dan haji; barangsiapa mengerjakannya, berarti telah membatasinya (menyelesaikannya). Kecuali zikir; Allah tidak membuat batasan akhirnya.”

Kemudian beliau membacakan ayat ini: Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut, mengingat nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.

Setelah itu, beliau berkata, “Ayah saya sangat banyak berzikir. Saya pernah berjalan bersamanya, ia senantiasa berzikir kepada Allah. Saya makan bersamanya, ia selalu berzikir kepada Allah. Ketika ia berbincang-bincang dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, hal itu tidak mengganggunya dari berzikir kepada Allah (sampai akhir riwayat).”

Rasullah saww berkata, “Barangsiapa yang anugerahi lisan yang senahtiasa berzikir; sungguh ia telah dianugerahi kebaikan dunia dan akhirat.” [39]

Dalam berbagai hadis dan riwayat disebutkan bahwa menyebut dan mengingat nama Allah adalah obat dan penyembuh segala jenis penyakit. Di antara riwayat tersebut adalah yang datang dari Abu Abdillah (Imam Ja’far al-Shadiq), “Barangsiapa mengucapkan: Bismillâh al-Rahmân al-Rahîm, lâ haulâ walâ quwwatâ illâ billâhi al-‘Aliyyi al-‘Adhîm, setiap selesai shalat Subuh dan Maghrib sebanyak tujuh kali, maka Allah akan mencegah darinya 70 (tujuh puluh) jenis bencana; yang paling ringan adalah kehausan dan sejenisnya, belang, kusta, dan gila. Dan jika ia tergolong orang yang celaka, maka ia akan dihapus (dari daftar) orang-orang yang celaka dan dicatat sebagai orang yang berbahagia.”

Rasulullah saww bersabda, “Barangsiapa diselimuti rasa sedih dan duka, atau penderitaan dan bencana, maka hendaklah ia membaca: Allâhu Rabbî walâ usyriku bihi syai’an, tawakkaltu ‘alâ al-Hayyi alladzî lâ yamûut.”

Berdasarkan pendapat ulama, setiap jumlah bacaan dan setiap nama Allah diperuntukkan bagi suatu jenis penyakit tertentu; meskipun semuanya adalah nama-nama Allah yang suci dan dapat menyembuhkan penyakit jasmani dan ruhani. Dan, setiap nama Allah khusus untuk mendapatkan suatu kebutuhan tertentu, baik kebutuhan materi dan jasmaniah ataupun kebutuhan yang non-materi dan maknawiah. Pemikiran sehat juga akan menerima pendapat mereka itu, sebab, umpama saja ada seseorang yang menginginkan untuk mendapatkan ilmu, niaka ia tidak akan menyebut nama Allah, “Wahai Yang Mahakuat dan Perkasa”, tetapi ia akan mengucapkan, “Wahai Yang MahaMengetahui dan seterusnya.”

Dan seseorang yang mengharapkan ampunan Allah, ia tidak akan mengucapkan, “Wahai Yang Maha Mengalahkan, Yang Maha Membalas,” tetapi akan mengucapkan, “Wahai Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Sementara, seseorang yang menginginkan kecukupan tidak akan mengucapkan, “Wahai Yang Maha Menghinakan,” tetapi ia akan mengucapkan, “Wahai Yang Mahakaya, Wahai Yang Mahamulia,” dan nama-nama lain seperti ini.

Oleh karena itu, al-Quran sendiri berbeda-beda dalam meletakkan nama Allah pada akhir setiap ayatnya. Pabila isi ayatnya berkaitan dengan rahmat; maka akan diakhiri dengan nama Allah yang menunjukkan Maha Pengasih atau Penyayang. Jika isi ayatnya berkaitan dengan siksaan, maka diakhiri dengan nama Allah yang menunjukkan pada sangat beratnya siksaan-Nya. Dengan demikian, nama Allah Mahahidup (al-Hayy), Maha Membalas (al-Muntaqim), dan Maha Pengasih (al-Rahmân), masing-masing memiliki posisi dan tempat tersendiri.

Para ‘ârif (‘urafâ’) menyatakan bahwa setiap satu di antara nama-nama Allah Swt memiliki bentuk nyata di alam wujud ini. Mereka mengatakan bahwa bentuk nyata dari kemarahan Allah di dunia adalah bencana dan musibah, sementara di akhirat adalah neraka Jahanam. Sementara, bentuk nyata dari rasa kasih dan ayang Allah di dunia ini adalah berbagai kenikmatan dan di akhirat adalah kebun-kebun yang ada di surga.

Manakala sifat Allah adalah Zat-Nya, maka itu tidak ada pertentangan dengan masalah ini. Sebab, Allah Zat yang Esa, mampu melakukan apa saja, namun melalui sifat zâtî-Nya. Oleh karena itu, kita mendapatkan curahan ilmu, kekuasaan, dan kenikmatan, melalui Yang Maha Mengetahui (al-‘Alim), Yang Mahakuasa (al-Qâdir), Maha Pemberi nikmat (al-Mun’im), Yang Maha Pengasih (al-Rahîm). Sementara, kekayaan dan kesempurnaan kita peroleh melalui Yang Mahakaya (al-Ghanî), Yang Mahakuasa (al-Qâdir). Dan, kebodohan, kelemahan, kehmaan, kefakiran akan menjadi lenyap lantaran ilmu, kekuasaan, kemuliaan, dan kekayaan-Nya.

Betapa indah ungkapan syair ini:

Ungkapan kita saling berbada dan kebaikan-Mu adalah satu
Namun, semuanya menunjukkan pada keindahan itu

Allah Swt berfirman:

Katakanlah, “Serulah Allah atau serulah Al-Rahmân. Dengan nama yang mana yang kamu seru, Dia mempunyai al-asmâ’ al-husnâ (nama-nama yang terbaik). (al-Isrâ’: 110)

Ketiga, nama-nama Allah yang terbaik (al-asmâ’ al-husnâ) adalah obat dan penyembuh, serta pelenyap dan pencegah berbagai bencana dan penyakit jasmani. Dalam hal ini, terdapat banyak hadis dan riwayat, namun akan kami cukupkan dengan apa yang telah kami sebutkan.


Catatan Lain

Sesuatu yang perlu kami kemukakan di sini adalah sebuah pembahasan lain, yang masih ada hubungannya dengan pembahasan kita ini.

1. Al-Quran sama seperti nama-nama Allah yang terbaik dan tidak ada perbedaan antara al-Quran dengan nama-nama Allah yang terbaik tersebut (al-asmâ’ al-husnâ). Al-Quran juga merupakan penyembuh penyakit jiwa dan menyebabkan munculnya kekuatan dan bantuan pada diri manusia, baik dari sisi ruhani maupun jasmani, serta mampu menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Allah Swt berfirman:

Dan Kami turunkan dalam al-Quran ayat-ayat yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Quran tidak menambah bagi orang-orang zalim selain kerugian. (al-Isrâ’: 82)

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit- penyakit (yang ada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orangorang yang beriman. (Yunus: 57)

Oleh karena itu, al-Quran akan memberi penerangan hati, karena al-Quran adalah cahaya: Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. [40] Dan menyembuhkan jiwa yang menyimpang: ...sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil). [41]

Dan menyembuhkan hati yang keras, serta menyembuhkan berbagai penyakit hati dan jiwa lainnya, di antaranya adalah keraguan, nifaq dan berbagai, sifat yang tercela: ...dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang ada) dalam dada.

2. Doa, inâbah, dan merendahkan diri memiliki dampak dan pengaruh sama seperti dampak dan pengaruh dari nama-nama Allah yang terbaik dan al-Quran. Apapun yang dihasilkan dari semua itu adalah sama sebagaimana yang dihasilkan oleh nama- nama Allah yang terbaik dan al-Quran, serta akan memberikan kekuatan tatkala seorang merasa lemah dan tidak berdaya. Juga, merupakan obat serta penyembuh berbagai penyakit, jiwa dan raga, materi dan non-materi (maknawi), lahir dan batin.

Allah Swt berfirman:

Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. (al- Ankabut:65)

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanyai kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabils ia berdoa kepada- Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan,hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (al-Baqarah: 186)

Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya; dan yang menghilangkan kesusahan... (al-Nam1: 62)

3. Ketaatan kepada Allah dapat menyembuhkan berbagai penyakit jiwa dan merupakan penolong tatkala seseorang merasa lemah dan tidak berdaya, serta penyembuh berbagai macam penyakit. Imam Ali bin Abi Thalib menyatakan (dalam doa ini), “Yang ketaatan kepada-Nya adalah kekayaan.”

Allah Swt berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.... (al-Anfâl: 24)

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberi rezeki yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan mencukupkan (keperluannya). (al- Thalâq: 2-3)

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqân (petunjuk yang dapat membedakan antara haq dan batil). (al-Anfâl: 29)

Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.... (al-A’râf: 96)

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (al-An’âm: 82)

4. Berdasarkan al-Quran dan riwayat dapat disimpulkan bahwa nama-nama Allah yang terbaik (al-asmâ’ al-husnâ) dan al-Quran serta doa, dapat memberikan manfaat bagi orang yang tidak zalim. Sedangkan jika hati seseorang dipenuhi dengan kekufuran, kenifaqan, dosa, dan bebagai sifat tercela, serta hatinya keras membatu, maka semua itu justru akan menambah kerugian dan kesengsaraannya. Allah Swt berfirman:

...dan al-Quran tidak menambah bagi orang-orang zalim selain kerugian. (al-Isrâ’: 82)

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya. (al-Baqarah: 10)

Dan kalau menghendaki tentulah Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi ia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing; jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya (menggonggong) dan jika kamu membiarkannya, ia mengulurkan lidahnya (juga). (al-A’râf: 176)

Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka atau tidak memberi peringatan, mereka tetap tidak beriman. Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah walaupun ia tidak melihat-Nya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia. (Yâsîn: 10-11)

...Yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata, “Itu adalah dongengan orang-orang dahulu.” Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhannya. (al-Muthaffifîn: 13-14)

Permasalahan ini telah kami bahas secara panjang lebar dalam mensyarahi ungkapan doa beliau yang berbunyi, “Ya Allah, ampunilah dosa-dosakuyang merintangi doa.”


Pembahasan Nama Allah yang Agung (Ismullah al-A’dham)

Guru kami yang mulia, Allamah Thabâthabâ’isemoga Allah merahmatinyamengatakan bahwa nama Allah yang agung itu bukan berupa nama khusus atau huruf tertehtu, yang kemudian saling tersusun. Bahkan, tatkala seseorang hanya semata-mata berharap kepada Allah dan memutus total harapan kepada selain-Nya, lalu berdoa dengan menyebut di antara nama Allah yang sesuai dengan bentuk keperluannya, maka doanya pasti akan terkabul, Dan nama yang sesuai dengan kebutuhannya itu, baginya, adalah nama Allah yang agung (ismu al-a’dham). Karena itu, menurut beliau, semuanama Allah yang terbaik (al-asmâa’ al-husnâ) adalah ismu al-a’dham.

Namun, ada pula yang berpendapat bahwa ismu al-a’dham adalah sebuah nama yang terdiri dan tersusun dari beberapa hurnf yang tidak diketahui; bahkan bentuk susunannya pun tidak diketahui. Barangsiapa berhasil mengetahui jenis hutuf dan bentuk susunan nama tersebut, maka semuanya akan patuh dan tunduk di hadapannya.

Banyak riwayat yang mendukung pendapat ini. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ismu al-a’dham tersebut terdapat pada ayat al-Kursi dan awal surat Âli Imrân, akhir surat al-Hasyr, dan awal sural al-Hadîd. Begitu juga, disebutkan bahwa ismu al- a’dham tersebar dalam surat al-Fatihah dan para imam suci Ahlul Bait mengetahuinya. Sekiranya memerlukan, mereka akan menyusun dan menggabungkannya lalu berdoa dengannya. Ada juga riwayat yang menyatakan bahwa sesungguhnya pada ismu al- a’dham terdapat 73 (tujuh puluh tiga) huruf dan Allah membagikannya kepada para nabi, namun Dia menyimpan satu di antaranya.

Para ahli ilmu angka dan doa berpendapat bahwa ada sebuah kata yang memberikan makna khusus bagi Allah dan bentuk penyusunan hurufnya berbeda-beda, bergantung pada jenis keperluannya. Mereka juga memiliki cara khusus untuk menemukan jenis huruf tersebut lalu menyusun dan mempergunakannya untuk keperluan tertentu; mereka berdoa menggunakan kata itu demi memenuhi keperluannya.

Kemungkinan besar, kisah Ashif bin Barkhiya, perdana menteri Nabi Sulaiman asyang setelah berdoa, dalam sekejap mata mampu mendatangkan singgasana Ratu Sabâ’ ke hadapannyaadalah sebagaimana yang dikatakam para ahli ilmu angka tersebut.

Sebagian riwayat menyatakan bahwa ismu al-a’dham merupakan bagian dari nama-nama Allah yang terbaik (al-asmâ’ al-husnâ) yang diketahui para kekasih (wali) Allah, sementara manusia pada umumnya tidak mengetahuinya. Ada kemungkinan bahwa pemyataan Imam Ja’far al-Shadiq, “Sesungguhnya bismillâh al-Rahmân al-Rahîm itu lebih dekat pada ismullah al-a’dham daripada (bagian) putihnya mata dengan (bagian) hitamnya,” merupakan sebuah penjelasan atas persoalan ini.

Pendapat lain, ismu al-a’dham adalah nama Allah yang tidak diketahui; tatkala seseorang telah mencapai maqâm mahmûd (tempat yang terpuji) dan berada di sisi Allah, maka ia akan mampu menguasai apa saja.

Sementara, kami berpendapat:

1. Yang dimaksud ismu al-a’dham bukanlah satu nama Allah yang ada di antara nama-nama Allah yang terbaik dan nama ini tidak diketahui. Namun, ia memberikan sebuah arti yang bersifat umum dan memiliki bentuk bermacam-macam serta (memiliki sifat) kuat dan lemah sebagaimana cahaya. Maksudnya adalah sampainya seseorang pada maqâm liqâ’ dan fanâ’. Dengan demikian, pribadi seperti Rasul mulia saww yang berada pada maqâm tertinggi, merupakan bentuk purna dari pertian tersebut. Oleh karena itu, al-Quran pun menyatakan:

Kemudian ia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah ia dekat (pada Muhammad sejarak), dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi. (al-Najm: 8-9)

Dengan demikian, Rasul saww sendiri adalah ismu al-a’dham dan memiliki kemampuan terhadap apa-apa yang beliau inginkan. Seorang seperti Ashif bin Barkhiya, yang hanya mengetahui sebagian dari ilmu Kitab, (pada) sebatas kemampuannya (telah) mencapai maqâm al-qurb; dan itu merupakan sebuah ismu al- a’dham. Begitu pula, seluruh nabidengan berbagai perbedaan dalam maqâm dan peringkat merekamerupakan ismu al-a’dham.

2. Hakikat bismillâh al-Rahmân al-Rahîm, lantaran memiliki suatu wujud yang nyata dan hakiki, juga merupakan ismu al-a’dham. Begitu pula, dengan nama Allah atau nama-nama yang lain. Inilah bentuk penggabungan dari berbagai pendapat dan riwayat yang ada.

3. Dari ungkapan doa Amirul Mukminin, “Wahai Cahaya yang menerangi mereka yang ketakutan dalam kegelapan,” dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah Swt adalah Cahaya. Sedangkan dunia, harta, kenikmatan, nafsu ammârah, dan sifat-sifat tercela, semua itu merupakan kegelapan di atas kegelapan, yang satu sama lain saling tumpang tindih.

Ya, seseorang yang tenggelam dalam kemegahan dunia ini, telah tenggelam dalam kegelapan dan ia kan selalu merasakan ketakutan yang semakin bertambah. Perasaan takut ini takkan dapat dilenyapkan selain dengan cahaya Allah. Karena itu, seseorang yang mendapatkan petunjuk melalui Allah Swt, lalu memperoleh sebuah perhatian khusus (dari-Nya), maka hatinya akan terang lantaran cahaya Allah. Sedangkan yang tidak mendapatkan cahaya Allah, lantaran tenggelam dalam berbagai kegelapan, tidak akan memperoleh perhatian khusus Allah, dan ia akan selalu berada dalam kegelapan. Persoalan ini dijelaskan dalam ayat-ayat surat al-Nûr, mulai dari ayat: Allah cahaya langit dan bumi... (al-Nûr: 35)

Dan jika cahaya itu sendiri secara substansial (zâtî) adalah wujud yang terang dan menerangi yang lain, maka Allah adalah, Zat yang Mahaterang dan jelas; keberadaan-Nya berdiri sendiri, sedangkan keberadaan yang lain menjadi ada lantaran keberadaan-Nya. Dengan demikian, Allah adalah Cahaya dan Yang menerangi alam semesta ini.

Berkenaan dengan firman Allah: Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dapat dipahami dengan jelas bahwa untuk mengetahui cahaya ini diperlukan bimbingan khusus, dan ini sendiri memerlukan takhliah dan tahliah, serta pertolongan Allah. Setelah seseorang mengetahui semua itu, maka ia tidak akan lagi berada dalam kegelapan. Sebab, orang semacam ini akan melanjutkan perjalanannya dengan bantuan cahaya al-Haq. Allah Swt berfirman:

Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian ia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu ia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar darinya? (al-An’âm: 122)

...dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan. (al-Hadîd:28)

Maka capakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? (al-Zumar: 22)

Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan pada waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang. (al-Nûr: 36-37)

Ayat di atas menjelaskan tentang seseorang yang berjalan dengan mendapatkan cahaya dan perhatian khusus dari Allah Swt. Orang seperti ini akan senantiasa (berada) dalam keadaan berzikir dart tidak memiliki sahabat karib dan kesibukan lain kecuali menyibukkan diri dengan Allah.

Ayat dibawah ini menjelaskan kondisi dan keadaan orang yang tidak memperoleh petunjuk dan perhatian khusus Allah, sehingga tidak memiliki cahaya. Karenanya, ia senantiasa dalam kegelapan dan dicekam ketakutan. Sampai akhirnya ia diselimuti oleh kegelapan yang kelam, sehingga tidak lagi mau melihat dan mengetahui suatu apapun, bahkan dirinya sendm. Allah Swt berfirman:

Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana ditanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi bila di datanginya air itu, ia tidak mendapati sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amalnya dengan cukup dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (al-Nûr: 39) .

Ayat mulia inimemberikan sebuah penegasan lain terhadap ayat: Allah cahaya langit dan bumi. Sebagai sebuah pendekatan, lantaran Allah itu Cahaya, yakni secara substansial terang, jelas, dan menerangi yang lain, maka Dia dikenali oleh semua yang diterangi-Nya dan tidak tersembunyi bagi semua itu. Oleh karena itu, semuanya bertasbih dengan menyebut nama-Nya, dengan kesadaran dan pengetahuan yang jelas:

Tidakkah kamu tahu bahwasannya Allah; kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) shalat dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk). (al-Nûr: 41- 42) ,

Dengan demikian, lantaran semua yang ada di alam ini merupakan penampakan (mazhhar) Ilahi, maka semuanya mengetahui, berkehendak, berkuasa, memiliki perasaan, dan sibuk beribadah kepada Allah.

Ayat yang sesudahnya juga memberikan sebuah penegasan lain terhadap ayat: Allah cahaya langit dan bumi. Sebab, maksud dari (pernyataan) bahwa Allah pemilik dan penguasa alam semesta adalah bahwa Dia Mahamandiri (al-Qayyûm), dan segala selain-Nya dapat berdiri dan ada lantaran Zat-Nya, serta semuanya akan kembali kepada-Nya: ...Kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan. (al-Syûrâ: 53)

4. Shalawat dan salam atas Ahlul Bait merupakan salah satu perintah Allah yang tercantum dalam al-Quran dan harus diucapkan dalam shalat wajib dan mustahab (sunah). Diwajibkan pula bagi yang mendengar nama mereka untuk mengucapkan shalawat dan salam atas mereka. Ya, shalawat dan salam kepada mereka merupakan syarat bagi diterimanya suatu amalan dan mendatangkan pahala yang sangat besar. Shalawat dan salam atas mereka juga merupakan salah satu di antara perkara yang mampu menolak dan melenyapkan kesedihan dan bencana.

Allah Swt berfirman:

...Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk N abi dan ucapkanlah salam penghormatankepadanya. (al-Ahzâb: 56) .

Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Jika seseorang di antara kalian melakukan shalat, lalu tidak menyebut (nama) Nabi dan keluarganya (Nabi) dalam shalatnya itu, maka ia berjalan dengan shalatnya pada jalan yang bukan menuju surga.” Rasulullah saww bersabda, ‘Barangsiapa mendengar namaku disebut di sisinya lalu ia tidak bershalawat kepadaku, maka ia akan masuk ke dalam neraka dan akan dijauhkan oleh Allah (dariku).’”

Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Doa itu akan senantiasa terhalangi, hihgga dibacakan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya.”

Rasulullah saww rersabda, “Barangsiapa yang bershalawat kepddaku, maka Allah dan malaikat-Nya akan bershalawat kepadanya; terserah siapa yang ingin membaca (shalawat); sedikit atau banyak.”

Rasulullah saww bersabda, “Shalawat kepadaku dan kepada Ahlul Baitku, menghilangkan nifak.”

Rasulullah saww bersabda, “Barangsiapa memiliki suatu keperluan, maka hendaklah memulai dengan bershalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad. Kemudian, ia memohon keperluannya, dan menutup(nya) dengan shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad. Karena sesunguhnya Allah Azza wa Jalla lebih (terlalu) mulia dari hanya (sekadar) menerima dua sisi, lantas membiarkan yang di tengahnya.”


Makna Shalawat dan Salam

Sekaitan dengan makna shalawat dan salam, kami akan memaparkan beberapa poin pembahasan berikut ini.

1. Shalawat dan salam berarti bertawasul dan memohon bantuan kepada mereka (Nabi dan keluarganya). Cara semacam ini akan menunjukkan bentuk kecintaan terhadap mereka. Sebagaimana setiap mukmin diwajibkan untuk memberikan salam tatkala bertemu dengan saudaranya sesama mukmin serta menanyakan keadaan mereka, maka salam merupakan lambang Islam dan merupakan bentuk (ungkapan) kasih sayang, persaudaraan, dan penghormatan. Shalawat dan salam kepada orang-orang yang suci dan mulia tersebut, juga memiliki makna semacam itu. Sebagaimana mengucapkan salam kepada orang-orang mukmin akan mendatangkan berbagai kebaikan, maka shalawat dan salam kepada manusia-manusia suci juga seperti itu. Dapat dikatakan bahwa doa ziarah yang datangnya dari mereka akan mendatangkan dampak seperti itu. Berziarah ke kubur mereka juga akan mendatangkan berbagai kebaikan.

Seorang mukmin yang bertemu dengan mukmin lainnya dan tidak mengucapkan salam, berarti telah meninggalkan salah satu perintah Ilahi. Demikian pula halnya dengan seseorang yang tidak bershalawat dan tidak memberikan salam kepada mereka, tatkala mendengar nama mereka disebut, atau ketika menuliskan nama mereka. Berkenaan dengan hal ini, ada beberapa riwayat yang mengisyaratkan tentang keharusan tersebut.

2. Shalawat dan salam kepada mereka merupakan sebuah permohonan rahmat kepada Allah dan memohon keselamatan bagi mereka. Shalawat dan salam itu sendiri memberikan manfaat dan keuntungan bagi orang yang mengucapkannya.

3. Sedangkan yang dimaksud (dengan pernyataan) bahwa shalawat dan salam kepada mereka untuk kepentingan sang hamba itu sendiri, adalah bahwa salam dan shalawat ini akan memberikan manfaat kepada orang yang mengucapkannya. Bahkan mereka (Nabi dan keluarganya) justru akan merasa senang dan bahagia tatkala mampu memberikan syafaat kepada para pengikutnya. Allah Swt berfirman:

Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. (al-Dhuhâ: 5)

Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa ayat di atas diturunkan sekaitan dengan masalah syafaat. Dan Rasulullah saww serta para imam suci, pada hari kiamat nanti, akan memberikan syafaat yang cukup banyakk, sampai mereka merasa ridha. Tidak diragukan lagi, kebahagiaan Muhammad dan keluarganya adalah pada pemberian syafaat. Ini sebagaimana, yang telah kami sebutkan dalam doa Abu Hamzah al-Tsumali yang berasal dari Imam Ali Zainal Abidin:

“Wahai Tuhanku! Jika Engkau memasukkan aku ke neraka, maka itu akan menggembirakan musuh-Mu, dari jika Engkau memasukkan aku ke dalam surga maka itu akan menggembirakan Nabimu. Dan aku bersumpah, demi Allah, bahwa kegembiraan Nabi-Mu itu lebih Engkau sukai dari(pada) kegembiraan musuh- Mu.”


Makna Syafaat

Adapun mengenai makna syafaatmeskipun pembahasan ini keluar dari lingkup pembahasan kitakami akan bahas secara global. Makna syafaat berdasarkan al-Quran dan riwayat cukup jelas; tidak ada sanggahan sekaitan dengan keberadaan syafaat itu sendiri. Allah Swt berfirman:

Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah, melainkan dengan seizin-Nya. (al-Baqarah: 255)

...Dan mereka tiada memberi syafaai melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. (al-Anbiyâ’: 28)

Mereka tidak dapat memberi syafaat, kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan yang Maha Pemurah. (Maryam: 87)

Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya. (Thâhâ: 109)

Berada di dalam surga mereka saling bertanya tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang mengerjakan sholat, dan kami tidak pula memberi makan orang makan dankami membicarakan yang batil bersama orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian.” Maka tidak berguna bagi bagi mereka syafaat dari orang yang memberikan syafaat. (al-Mudatstsir: 40-48) ,

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa syafaat pada hari kiamat merupakan sebuah perkara yang jelas dan pasti. Juga, menjelaskan bahwa syafaat tersebut (dilakukan) atas seizin Allah serta hanya diberikan kepada mereka yang diridhai-Nya.

Pada hakikatnya, ayat-ayat berikut merupakan bantahan atas mereka yang memiliki prasangka bahwa berhala-berhala mereka akan memberikan syafaat kepada mereka. Allah Swt berfirman:

Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata, “Mereka itu pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.” Katakanlah, “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya di langit dan tidak (pula) di bumi?” Mahasuci dan Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan (itu). (Yunus: 18)

Ya, ayat-ayat tersebut bertujuan untuk membantah mereka yang mengira bahwa mereka akan memiliki keadaan sebagaimana ketika berada di dunia. Mereka tidak memiliki potensi untuk maju, lalu melakukan berbagai kezaliman dan penipuan agar dapat meraih kemajuan. Mereka juga mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan serta mengira bahwa di akhirat (keadaannya) juga semacam itu, sehingga mereka dapat melanjutkan usaha kejinya itu.

Akan tetapi, Allah Swt juga memperingatkan, dalam ayat- Nya yang lain, berkenaan dengan tidak berlakunya syafaat pada hari kiamat:

Dan jagalah dirimu dari(azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun; dan (begitu pula) tidak diterima syafaat dan tebusan darinya, dan tidaklah mereka akan ditolong. (al-Baqarah: 48)

Lantas, apakah ayat di atas menafikan (meniadakan adanya syafaat pada hari kiamat? Ayat ini membantah dugaan dan prasangka orang-orang zalim yang mengira bahwa mereka akan memperoleh syafaat pada hari kiamat.

Dengan demikian, setiap orang yang memiliki posisi dan kehormatan di sisi Allah, akan menjadi pemberi syafaat kepada orang lain, yang layak untuk diberi syafaat, dan mengeluarkannya dari api neraka serta memasukkannya ke surga. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa tobat merupakan perantara (pemberi syafaat) bagi keselamatan dan kebahagiaan manusia, Demikian juga, rahmat dan pengampunan Allah serta usaha seseorang untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan perantaraan ibadah, mempakan sebuah perantara (wasîlah) bagi keselamatan dan kebahagiaannya. Demikian pula dengan syafaat para pemberi syafaat (al-syâfi’ûn), juga merupakan perantara seperti itu.

Dari sisi itu, wasîlah (perantara) disebut dengari syafî’ (pemberi syafaat). Syafaat ini juga mesti berdasarkan pada kelayakan orang yang akan mendapatkannya. Dengan demikian, bagi seseorang yang tidak memiliki kelayakan untuk memperoleh syafaat, maka syafaat itu baginya takkan berarti sama sekali.

Sebagaimana, yang telah ditegaskan dalam ayat sebelumnya: Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang yang memberi syafaat. Kita semua tahu bahwa Allah Swt menolak syafaat bagi orang-orang yang meninggalkan shalat, tidak memberikan hak fakir miskin, tenggelam dalam kubangan hawa nafsu, dan mendustakan agama. Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Barangsiapa meremehkan shalat, tidak akan mendapat syafaat.”

Semua itu menunjukkan bahwa untuk dapat memberi dan menerima syafaat, harus memenuhi berbagai syarat tertentu, sebagaimana dijelaskan ayat-ayat berikut ini.

...Dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. (al-Anbiyâ’: 28)

Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya. (Thâhâ: 109)

Penafsiran atas berbagai ayat yang sejenis dengan ayat di atas (berkenaan dengan masalah syafaat) adalah, “Tatkala Allah merasa ridha terhadap agama seseorang.”


Hakikat Syafaat

Adapun berkaitan dengan hakikat syafaat, terdapat beberapa macam dan bentuk:

a. Allah Swt memberi izin dan wewenang penuh kepada pribadi- pribadi seperti Rasulullah saw, Sayyidah Fathimah al-Zahra, dan para imam suci Ahlul Bait, untuk memberikan syafaat pada hari kiamat. Oleh karena itu, mereka akan memberikan syafaat kepada siapa saja di antara umat Muhammad yang layak mendapatkan syafaat mereka,

Dalam tafsir al-‘Iyyâsyî terdapat sebuah riwayat yang menafsirkan ayat: ...Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji, [42] sebagai berikut, “Sesungguhnya, Rasulullah saww, pada hari kiamat, akan bersujud, lalu ada seruan, ‘Mintalah! Dan permintaanmu akan dikabulkan. Berilah syafaat dan syafaatmu akan ditebarkan terhadap orag yang telah dibakar api neraka.’ Dan pada hari kiamat, tidak seorang pun yang lebih terhormat daripada Muhammad saww.’”

Dalam tafsir al-Qummî, sekaitan dengan ayat: Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya, [43] Imam Ja’far al-Shadiq menjelaskan, “(Pada hari kiamat) tidak seorang(pun) di antara para nabi dan rasul-Nya yang akan memberi syafaat, melainkan setelah Allah memberikan izin kepadanya, kecuali Rasulullah saww. Sebab, sesungguhnya Allah telah memberinya izin untuk memberikan syafaat sebelum datang hari kiamat; demikian pula dengan para imam dari keturunanya; dan setelah itu barulah para nabi.”

b. Yang dimaksud dengan memberi syafaat adalah bahwa si pemberi syafaat (syafî’) akan memohon kepada, Allah agar mengampuni dosa-dosa orang yang berdosadan doa mereka itu pasti terkabulkemudian Allah mengampuni dan memasukkannya ke surga.

Itu merupakan sebuah kemungkinan yang telah dijelaskan oleh guru kami yang agung Imam Khomeini dalam bukunya Kasyf al-Asrâr. Dan pendapat seperti ini didasarkan pada berbagai riwayat ahlul Bait.

Dalam buku al-Hishâl terdapat sebuah riwayat dari Imam Ja’far al-Shadiq yang mengatakan, “...Aku senantiasa akan berhenti di shirât dan aku berdoa dan memohon, ‘Wahai Tuhanku, selamatkanlah syiah (pengikut)ku, pecintaku, penolongku, dan orang yang mengakui aku sebagai pemimpinnya di dunia.’ Lalu muncul seruan dari dalam Arsy, ‘Doamu telah dikabulkan dan Engkau telah memberikan syafaat kepada pengikutmu.’”

c. Hakikat syafaat adalah bahwa pada hari kiamat para pemberi syafaat akan berada di depan. Karena itu seseorang yang pada masa di dunia ini menjadikan Ahlul Bait sebagai pemimpinnya maka pada hari kiamat Ahlul Bait juga akan menjadi imamnya.

Allah Swt berfirman:

(Ingatlah) suatu hari (ketika) kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalnnya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. (al-Isrâ’:71)

Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa panji Muhammad saww akan dipegang oleh Amirul Mukhminin Ali bin Abi Thalib dan para pengikut beliau akan berada dibelakangnya. Kemudian, beliau dan para pengikutnya secara bersama-sama akan berangkat menuju surga, sementara Rasulullah saww berada di depan mereka.

Dalam tafsir al-Burhân, sekaitan dengan penafsiran ayat di atas, Imam Muhammad al-Baqir berkata, “Rasulullah saww akan datang, lalu diikuti para imam suci (Ahlul Bait), lalu para pengikut (syiah)nya akan mengikuti mereka.”

Dalam tafsir Majma’ al-Bayân disebutkan bahwa baik Syiah dan Ahlussunah meriwayatkan dan Imam Ali al-Ridha, dari datuk-datuknya, dari Rasulullah saww, bahwasannya sekaitan dengan penafsiran ayat di atas, beliau saww bersabda, “Semua manusia akan dipanggil dengan imam zaman mereka, kitab Tuhan mereka, dan sunah nabi mereka.”

d. Maksud dari syafaat adalah bahwa Rasul Saww dan Ahlul Baitnya, pada hari kiamat nanti, akan menjadi perantara bagi diturunkannya karunia Ilahi, sebagaimana mereka di dunia (merupakan perantara bagi turunnya karunia Ilahi jua).

Dalatn tafsir al-‘Iyyâsyî, Imam Ja’far al-Shadiq bersabda, “Pada hari itu, tidak seorang pun yang tidak membutuhkan syafaat Muhammad.”


Ringkasan Pembahasan

Inti pembahasan di sini adalah bahwa syafaat, pada hari kiamat, merupakan suatu kepastian, dan siapa saja yang memenuhi syarat, akan mendapatkan (kemampuan) ini. Yakni, orang yang mampu memberikan syafaat kepada orang lain. Oleh karena itu, pribadi seperti Rasulullah saww akan mampu memberikan syafaat kepada para pendosa, dan syafaat beliau pasti akan diterima Allah. Dalam hal ini, beliau saww bersabda, “Sesungguhnya syafaatku itu adalah untuk mereka yang melakukan dosa besar; sedangkan orang-orang yang baik mereka tidak memerlukannya.”

Selain itu, beliau saww akan berdoa untuk orang-orang yang berdosa agar Allah mengampuni dosa-dosa mereka dan Allah pun mengampuni dosa-dosa mereka. Juga, pada hari kiamat, Rasulullah saww akan menjadi imam dan pemimpin umat sebagaimana beliau di dunia. Di samping itu di akhirat nanti, beliau saww juga akan menjadi perantara (wasîlah) bagi turunnya karunia Ilahi.

4. Maksud dari shalawat dan salam kepada mereka adalah bahwa orang yang mengucapkan shalawat dan salam berharap, dengan perantaraan mereka, agar Allah Swt mencurahkan rahmat, ampunan, dan salam-Nya kepada dirinya sendiri. Dengan demikian, kesejahteraan, keselamatan, dan rahmat kepada mereka merupakan kesejahteraan, keselamatan, dan rahmat bagi orang yang mengucapkan shalawat dan salam itu sendiri. Sebab, mereka (Nabi dan keluargnya) merupakan perantara bagi tercurahnya karunia (faidh) Ilahi. Dan lantaran itu mereka memiliki sebuah kekuasaan, yang menurut istilah ‘irfan dan filsafat biasa disebut dengan wilâyah takwiniyyah.

Pembahasan tentang masalah ini banyak menyita waktu namun di sini kami hendak menyinggung secara singkat masalah tersebut dan sebelum memaasuki inti pembahasan terlebih dahulu kami akan memaparkan beberapa mukadimah ini.

a. Ulama dan cendekiawan masing-masing berbeda-beda dalam mengartikan wilâyah takwînîyyah ada kemungkinan perbedaan yang terjadi di antara mereka itu dalam lantaran mereka merasa takut dan khawatir jika sampai dikafirkan oleh orang-orang yang tidak mampu memahami duduk persoalan yang ada. Atau, mereka khawatir akan orang-orang yang tidak memahami dengan baik masalah wilâyah takwînîyyah ini, sehingga justru akan terjerumus ke dalam keseseatan. Begitulah, secara lahiriah ungkapan mereka bebeda-beda, namun tujuan mereka sebenarnya adalah satu kebaikan.

Di sini, yang kami rasa layak untuk dipaparkan adalah bahwa Ahlul Bait merupakan jalur bagi tercurahnya rahamat dam karunia (faidh) Ilahi, dan wahyu merupakan salah satu di antaranya. Dalam hal ini akal meyakini bahwa seseorang tidak akan memperoleh rahmat, karunia, dan anugerah-nya kecuali dengan adanya suatu perantara. Karena itu, berbagai karunia dan anugerah (fuyudhât) Ilahi yang lain, harus melalui sebuah jalur khusus agar dapar menjangkau umat manusia. Dan jalur bagi turunnya rahmat, karunia, dan anugerah Ilahi itu adalah Ahlul Bait.

b. Tidak masalah jika setiap orang memiliki peran sebagai jalur bagi diturunkannya karunia Ilahi dan tidak sesuatupun di alam ini yang tidak menjadi jalur bagi turunnya karunia Ilahi. Allah Swt berfirman:

Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. (al-Isrâ’: 44)

Tasbih merupakan sebuah pengaruh dari penciptaan dan juga merupakan karunia Ilahi. Yang merupakan jalur bagi tercurahkannya karunia ini adalah ciptaan itu sendiri. Allah Swt berfirman:

(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu. (al-An’âm: 102)

Manusia, juga merupakan salah satu makhluk yang dapat memberikan pengaruh. Di. antara bentuk pengaruhnya adalah berbagai aktivitas yang berdasarkan pada kehendaknya, khususnya berbagai ciptaan yang ada dalam benak pikirannya, yang itu merupakan hasil ciptaan dirlnya sendiri, meskipun pada dasarnya adalah ciptaan Allah jua. Allah Swt berfirman:

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat. (al-Shaffât: 96)

Dengan demikian, manusia juga merupakan jalur bagi tercurahkannya berbagai karunia tersebut dan juga setiap ciptaan lainnyasesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Oleh karena itu, sebuah ciptaanseperti atommemiliki pengaruh yang di antaranya adalah bertasbih dan memuji Allah. Dengan demikian, benda, dan ciptaan itu merupakan jalur dan perantara bagi tercurahkannya karunia dari sisi Allah.

Manusia merupakan sebuah ciptaan yang memiliki berbagai pengaruh, dan di antara pengaruhnya adalah ciptaan (bayangan, gambaran) yang ada dalam pikirannya dan juga perbuatannya yang berdasarkan pada kehendak dan keinginan dirinya. Dengan demikian, ia juga merupakan jalur dan perantara bagi tercurahkannya karunia Ilahi.

Sementara itu, pengaruh setiap makhluk tersebut adalah sesuai kapasitas keberadaannya. Karenanya, manusia biasa memiliki kemampuan untuk menciptakan suatu ciptaan dalam benak pikirannya serta aktivitas berdasarkan kehendaknya sendiri. Hanya sebatas inilah ia merupakan kehendaknya sendiri hanya sebatas inilah ia merupakan perantara dan jalur bagi tercurahkannya karunia Ilahi.

Akan tetapi, manakala manusia telah menjadi seorang “hamba”, maka ia akan memiliki pengaruh lain yang berbeda dengan bebagai pengaruh sebelumnya. Oleh karena itu, mereka dapat menguasai alam ini sesuai dengan tingkat penghambaan dan kepasitasnya juga sebagai jalur dan perantara bagi tercurahkannya karunia Ilahi.

Dalam hal ini al-Quran, riwayat, dan hasil pengalaman menunjukkan bahwa seseorangsesuai dengan kepasitasnya mampu menguasai alam semesta ini. Dan peringkat penguasaannya pun berbeda-beda di antaranya adalah:

a. 1. Penguasaan terhadap nafsu ammârah

Allah Swt berfirman:

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). (al-Ankabût:45)

Setelah mampu memegang kendali nafsunya, niscaya akan mampu memanfaatkan dan menggunakan nafsu itu sebaik mungkin.

a.2. Penguasaan terhadap angan-angan dan khayalan

Allah Swt berfirman:

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali (kekasih-kekasih) Allah, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yunus: 62)

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (al-Ra’d: 28)

Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah. (al-Nûr: 37)

Oleh karena itu, orang seperti ini bukan hanya mampu mengendalikan hati dalam shalatnya saja, tetapi di luar shalat pun, mampu mengendalikannya. Dan dalam shalat, ia hanya semata-mata hanya menghadap Allah. Allah Swt berfirman:

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya. (al-Zumar: 9)

a. 3. Penguasaan terbadap jasmani

Dalam hal ini, tubuh dan jasadnya sepenuhnya berada dalam kendali dan kontrolnya.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa salah seorang sahabat dari Jabir al-Ju’afi merasa rindu kepada Imam Ja’far al- Shadiq. Ia lalu mengungkapkan isi hatinya kepada Jabir al-J u’afi. Jabir bertanya kepadanya, “Apakah engkau ingin pergi ke Madinah?” Ia menjawab, “Ya, benar” Jabir berkata, “Pejamkanlah kedua matamu.”

Lalu ia pun memejamkan kedua matanya dan seketika itu juga ia merasa berada di depan pintu rumah Imam Ja’far al-Shadiq. Perawi (sahabat Jabir) itu berkata, “Saya ragu atas apa yang terjadi, apakah ini merupakan sebuah kenyataan. Jangan-jangan, saya tengah disihir (dihipnotis). Lalu saya berpikir, saya akan menancapkan sebuah paku di dinding rumah itu sebagai suatu tanda dan jikainsya Allahtahun depan saya pergi haji dan datang ke Madinah untuk bertemu dengan beliau, maka saya akan melihat apakah tanda tersebut masih ada. Tiba-tiba saya melihat Jabir datang menghampiri saya dan menyerahkan kepada saya sebuah paku dan batu lalu berkata tancapkanlah setelah itu ia pun menghilang.”

“Tatkala saya datag menemui Imam Ja’far al-Shadiq, saya melihat Jabir telah duduk di samping beliau. Saya kemudian keluar dari rumah, merenung, dan merasa sedih. Jabir lalu datang menghampiri saya dan bertanya tentang penyebab rasa sedih saya. Saya menjawab, ‘Mari kita pergi ke Kufah.’ Jabir berkata, ‘Pejamkanlah kedua matamu.’ Saya pun memejamkan kedua mata saya dan tiba-tiba saya telah berada di sebuah lorong yang ada di kota Kufah.”

Alhasil, seseorang yang telah mencapai maqâm ini, jasad dan tubuhnya akan berada di bawah kekuasaannya.

a. 4. Penguasaan untuk melepas tubuh.

Terdapat beberapa orang tertentu yang mampu melakukan pemisahan ini. Mir Damad Syahrudi mengatakan bahwa seseorang yang tidak mampu melepaskan jasadnya, bukanlah seorang hakim (filosof ilahiah).

a. 5. Penguasaan terhadap benda-benda di luar diri.

Jelas, penguasilan ini berdasarkan pada kemampuan dan kekuatan jiwa. Dalam hal ini, terdapat berbagai peringkat dan tahap yang beragam. Sebagaimana seseorang mampu menciptakan sesuatu dalam benaknya, maka ia pun memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu di luar dirinya. Rusyaid al-Hujri misalnya, mampu menguasai penglihatan. Ada yang bercerita tentangnya, “Suatu hari, ia saya ikat di rumah saya, lalu saya pergi menemui Ibnu Ziyad. Tiba-tiba, saya melihatnya tengah berada di samping Ibnu Ziyad, sementara Ibnu Ziyad juga memerintahkan pasukannya untuk menangkap Rusyaid al-Hujri.”

“Rusyaid duduk disamping Ibnu Ziyad dan bercakap-cakap dengannya, kemudian ia pun pergi. Setelah kepergiannya, Ibnu Ziyad berkata kepada saya bahwa yang baru saja berbicara dengannya adalah temannya yang berasal) dari Syam (bukan Rusyaid al-Hujri).

Allah Swt berfirman:

Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” (al-Naml: 40)

Karena itu, Asyif bin Barkhiyameskipun ilmunya hanya sedikit, hanya memiliki sebagian dari ilmu al-Kitab; dalam riwayat disebutkan bahwa ilmunya hanyalah setetes dari lautan ilmu Ahlul Bait dan setetes dari lautan ilmu al-Quran; dan dalam riwayat disebutkan bahwa ismu al-a’dham adalah 73 (tujuh puluh tiga) huruf dan ia hanya mengetahui dua di antara 73 (tujuh puluh tiga) huruf ini; dan semua huruf-huruf itu ada pada Ahlul Bait, kecuali satu huruf yang itu disimpan oleh Allahtelah mampu untuk melakukan pekerjaan yang sangat menakjubkan itu, apalagi para pribadi yang Allah menurunkan ayat di bawah ini untuk mereka. Allah Swt berfirman:

Berkatalah orang-orang kafir, “Kamu bukan seorang rasul.” Katakanlah, “Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan kamu, dan (kesaksian) orang yangmempunyai ilmu al-Kitab.” (al-Ra’d: 43)

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib memiliki seluruh ilmu al-Quran. Alhasil, dengan perantaraan ilmu dan amal, seseorang akan mampu menguasai alam semesta.

Dalam al-Kâfî disebutkan bahwa Rasulullah saww bersabda, “Allah Swt berfirman, ‘Seorang hamba yang mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan sesuatu yang Aku sukai selain dari yang Aku wajibkan atasnya; dan sesungguhnya ia akan mendekatkan diri kepadaku dengan nafilah (shalat sunah) sampai Aku benar-benar niencintai-Nya. Dan jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar; dan penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; serta lisannya yang ia gunakan untuk berbicara; dan Aku adalah tangannya yang ia gunakan untuk menyerang; dan jika ia berdoa akan Aku kabulkan, dan jika ia meminta Aku akan memberinya.’”

Muhaqqiq al-Thusisemoga Allah merahmatiyadalam mensyarahi buku al-Isyarât (karya Ibnu Sina), ketika mengartikan sabda Rasul saww ini berkata, “Tatkala seorang ‘ârif melepas dirinya dan bergabung dengan Allah, maka semua kekuatan-Nya ada pada dirinya. Begitu pula, semua ilmu-Nya akan ada dalam dirinya dan tidak ada satupun yang tersembunyi darinya. Dan semua kehendak-Nya akan berada pada dirinya, sehingga tidak ada satupun yang, lepas darinya. Sehingga, Allah akan menjadi matanya yang dengannya ia melihat; menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar; dan menjadi kekuatannya; dan ilmu Allah akan menjadi ilmunya; dan seorang ‘ârif ini menjadi berakhlak dengan akhlak Allah.”

Dalam hadis qudsi juga disebutkan, “Wahai hambaku, taatilah Aku! Sehingga engkau Aku jadikan seperti-Ku; Aku berkata kepada sesuatu, ‘Jadilah!’ Lalu jadilah ia, dan engkau pun akan berkata kepada sesuatu, ‘Jadilah!’ Lalu jadilah ia.”

Dalam tafsir al-Mîzân ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahlussunah, bahwasannya Rasulullah saw bersabda, “Jika bukan karena banyaknya pembicaraan kalian dan kotoran yang melekat pada hati kalian, maka kalian akan mampu menyaksikan apa yang aku saksikan dan mendengar apa yang aku dengar.”

Allah Swt berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah,” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (Fushshilat:30)

Kemungkinan besar, hal itu (penguasaan terhadap benda-benda yang ada di luar diri) merupakan sebuah mukjizat. Sebab, al-Quran mengatakan bahwa mukjizat itu ada pada para nabi, serta menyatakan bahwa perbuatan mereka itu adalah atas seizin Allah.

Allah Swt berfirman:

Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka), “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu membawa sesuatu mukjizat dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang yang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh beriman.” (Âli ‘Imrân: 49)

Tatkala masalah ini telah terasa jelas, maka itu sudah cukup bagi Anda. Ketahuilah bahwa Ahlul Bait merupakan perantara dan jalur bagi tercurahkannya rahmat, anugerah, dan karunia Ilahi. Di sini, kami akap kemukakan beberapa ayat dan riwayat yang ditujukan kepada mereka.

Allah Swt berfirman:

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (al-Baqarah: 143)

Kendatipun secara harfiah nampaknya ayat ini ditujukan kepada umat Islam yang adil dan seimbanglantaran agama mereka adalah di tengah-tengah dan menyembah Tuhan yang Esa, serta merupakan teladan bagi seluruh manusia, sebagaimana Rasulullah saww merupakan teladan bagi seluruh umat manusianamun ayat ini memiliki makna batin, sebagaimana dijelaskan berkali-kali dalam berbagai ayat dan riwayat, yakni bahwa pada ayat ini, yang dimaksud dengan menjadi saksi (syuhada’) adalah penyaksian pada hari kiamat. Dalam al-Quran dan riwayat dijelaskan berulang kali bahwa pada hari kiamat nanti Ahlul Bait akan menjadi saksi bagi berbagai amal perbuatan manusia.

Ada sebuah riwayat yang tercantum dalam al-Kâfi, yang menjelaskan masalah ini.

Buraid al-‘Ijli bertanya kepada Imam Ja’far al-Shadiq, “Apakah maksud dari firman Allah yang berbunyi: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu umat yang adil dan pilihan (ummatan washathan)?” Beliau menjawab, “Kami adalah umat yang adil dan pilihan (ummatan washathan), dan kami adalah para saksi Allah atas makhluk-Nya dan hujah-Nya di muka bumi.” [44]

Setelah melewati berbagai pembahasan ini, kita akan memahami dengan jelas bahwa maksud ayat ini adalah wilâyah takwînîyah. Dengan penjelasan, bahwa memberi kesaksian pada hari kiamat memerlukan suatu pengetahuan yang jelas semasa di dunia dan penguasaan terhadap berbagai batin manusia. Sebab, sebuah pekerjaan (amal) bergantung pada niatnya. Dengan demikian, seseorang yang memberikan kesaksian pastilah mengetahui hakikat perbuatan manusia dari sisi lahiriah maupun batiniahnya.

Allah Swt berfirman:

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan mereka dalam keadaan ruku. (al-Mâidah: 55)

Semua pihak, baik Syiah maupun Ahlussunah, seperti bahwa maksud dari alladzîna âmanû (orang-orang yang beriman)

adalah Imam Ali bin Abi Thalib. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kekuasaan Rasulullah terhadap manusia (wilâyah takwînîyyah) yang sedemikian itu juga dimiliki oleh para imam Ahlul Bait. Sebagaimana kita mengetahui bahwa kekuasaan (wilâyah) Allah terhadap manusia adalah dalam perkara syariat (tasyri’îyyah) dan penciptaan (takwînîyyah), maka kekuasaan Rasul saww dan para imam suci Ahlul Bait terhadap manusia adalah juga dalam perkara syariat dan penciptaan (wilâyah tasyri’îyyah dan wilâyah takwînîyyah). Jika tidak demikian, maka selayaknya kata waliyyukum diulang sebagaimana kata yu’minû (percaya) yang tercantum dalam ayat di bawah ini:

...Ia percaya kepada Allah, ia percaya kepada orang-orang mukmin... (al-Taubah: 61)

Dalam ayat ini, pengulangan kata yu’minû (percaya) memberikan arti bahwa iman kepada Allah berbeda dengan iman kepada orang-orang mukmin.

Dan argumen lain (tentang kesaksian di hari kiamat) adalah bahwa penglihatannya adalah penglihatan Allah Swt; baik terhadap perbuatan yang lahir maupun yang batin, yang disaksikan langsung oleh mata (hâdhir) maupun yang tidak mata (ghâib). Semua ini memerlukan pengetahuan dan informasi yang sempurna, dan ini tidak mungkin, kecuali dengan adanya wilâyah takwînîyyah.

Di antara berbagai hadis dan riwayat yang mendukung masalah ini adalah:

“Mereka (Ahlul Bait) adalah ciptaan Allah yang pertama.”
“Mereka adalah cahaya Allah.”
“Dengan perantaraan mereka, Allah melapangkan dan menyempitkan.”
“Dengan perantaraan mereka, kerugian, kesedihan, dan penderitaan akan tersingkirkan.”
“Jika bukan karena mereka, maka bumi dan seisinya tidak akan tercipta.”
“Mereka adalah hujah Allah di muka bumi.”
“Lantaran merekalah, Allah tetap menjaga langit agar tetap tegak (tidak runtuh).”
“Mereka adalah tonggak-tonggak penyangga langit.”

Dan masih banyak lagi hadis dan riwayat yang menjelaskan keutamaan dan keagungan mereka (Ahlul Bait).

Inilah akhir pembahasan kami berkenaan dengan doa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib yang sangat mulia.

Alhamdulillâhi Rabbil ‘âlamîn, shalawat dan salam Allah kepada sebaik-baik makhluk-Nya, Muhammad dan keluarganya yang suci.

(Malam 29 Safar 1402 Hijriah, tulisan sang miskin di depan pintu Ahlul Bait, Husain bin Hasan Mazhahiri, telah selesai. Semoga Allah sudi memaafkan keduanya.)


Referensi:

38. Ushul al-Kafî, juz II, hal. 80.
39. Idem., hal. 498.
40. Al-Mâidah: 15.
41. Al-Baqarah: 185.
42. Al-Isrâ’: 79.
43. Thâhâ: 109.
44. Ushul al-Kafi, hal. 190.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: