Rasisme bukan barang baru dalam kehidupan. Rasisme justru merupakan basis awal keangkuhan yang terjadi dalam kehidupan ini. Itulah yang menjadikan iblis menolak sujud dalam penghormatan kepada Adam (alaihis salam). Dia menolak perintah Pencipta langit dengan keangkuhan rasisme seraya berkata: “Apakah saya akan bersujud (hormat) kepada seorang manusia, sedangkan saya lebih baik dari dia? Engkau cipatakan aku dari api. Sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”
Memahami kemuliaan atau harga ciptaan dari “objek fisik” inilah yang menjadi kesombongan iblis dan ini pulalah sejarah awal dari sikap rasis dalam sejarah kehidupan itu sendiri.
Berbagai kekerasan dalam sejarah juga disebabkan oleh tendensi rasis dalam kehidupan manusia. Hitler, misalnya, membantai kaum Yahudi di Eropa, salah satunya karena Yahudi dianggap “polusi” bagi ras Eropa asli (Arian). Mereka dianggap melakukan kontaminasi terhadap warga kulit putih di Eropa. Karenanya mereka harus dieminir dari bumi Eropa.
Dalam sejarah Islam sendiri hal ini bukan sesuati yang baru. Sejak sebelum Islam datang, di Mekah, rasisme adalah salah satu penyakit kronis yang menggerogoti masyarakat Arab. Manusia ditimbang-ditimbang, dinilai berdasarkan ras dan warna kulit. Perbudakan juga umumnya dibangun di atas pertimbangan ras.
Maka Islam datang salah satunya untuk membawa dobrakan terhadap penyakit ini. Semua sisi ajarannya mengajarkan kesetaraan yang sejati.
Aqidah Tauhid tidak sekedar ajaran keesaan Tuhan semata. Melainkan sebuah konsep teologi yang memiki konsekuensi sosial yang tinggi. Percaya kepada Tuhan yang Maha Satu (Ahad) sekaligus mengajarkan bahwa selain yang “Satu” itu semuanya sama (ciptaan). Yang unik, yang khas, yang istimewa, dan beda dari semuanya hanya Dia yang mencipta segalanya.
Oleh karenanya keyakinan tauhid yang tidak dibarengi oleh jiwa kesetaraan adalah keyakinan yang timpang. Keyakinan seperti ini berbahaya karena terancam: “Barang siapa yang memiliki arogansi dalam dadanya, walau sebesar zat atom, maka dia tidak akan masuk surga.” Percaya kepada Tuhan yang satu tapi melebihkan diri atas orang lain, boleh karena ras, etnik, golongan sosial ekonomi, warna kulit, dan seterusnya adalah arogansi dan rasisme yang dikutuk.
Demikan halnya ibadah-ibadah dalam Islam. Semuanya mengarah ke penegakan “ekualitas” yang murni. Salat, misalnya, ketika sudah memasuki area kolektif (jamaah) maka semuanya sama. Semua berdiri pada barisan sama siapapun dan apapun status sosialnya. Seorang tukang sapu akan berdiri sejajar dengan seorang menteri ketika sudah menghamba kepada sang Pencipta.
Barangkali akan lebih nampak ketika umat ini melakukan ibadahnya yang paling universal: haji. Ibadah haji dimulai dengan ihram sebagai penggambaran fitrah kesucian. Bahwa yang melandasi kemanusiaan kita, kehormatan dan kemuliaan kita, bukan pada sisi material dan fisiknya. Tapi ada pada tataran fitrah kesuciannya.
Semua aspek penghambaan ibadah haji terpusat pada ketuhanan dan kemanusiaan. Tuhan yang Maha Satu dan kemanusiaan yang satu juga.
Sejak awal Rasulullah menyampaikan ajarannya di Mekah, penekanan kesetaraan manusia itu menjadi perhatian besar. Bahkan Allah merencanakan pengikut-pengikutnya datang dari berbagai kalangan dan latar belakang. Ada Abu Bakar dari kalangan Quraysh, Suhaeb dari kalangan Eropa (Roma), Salman dari kalangan Persia, dan Bilal dari kalangan Afrika.
Karakteristik keumatan itu direkam dalam risalah Alquran: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang wanita. Lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Yang terbaik di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Sadar.”
Hal yang sama kemudian dikuatkan oleh pernyataan baginda Rasul SAW: “Semua kalian berasal dari Adam dan Adam tercipta dari tanah. Tiada kelebihan orang Arab di atas nonArab, atau nonArab di atas Arab. Tiada kelebihan orang putih di atas orang hitam atau orang hitam di atas orang putih kecuali dengan ketakwaan.”
Kriteria kehormatan dan kemuliaan yang dibangun di atas ketakwaan inilah kemuliaan dan kehormatan universal. Kemuliaan dan kehormatan yang tidak dibatasi oleh batasan-batasan material dan fisik. Anda hitam, Anda bisa jadi yang termulia. Anda putih, Anda juga bisa jadi yang termulia. Ketakwaan hanya didefenisikan oleh dua hal, yaitu “hati dan karya.”
Jika hati Anda dihiasi oleh keimanan yang ikhlas kepada Allah dan kepada rasul-Nya serta semua hal yang menjadi tuntutannya, maka Anda sudah memiliki dasar (pilar) kemuliaan Anda. Dan jika di atas pilar itu Anda bangun bangunan karya dan karakter yang indah dan solid, maka dengan sendirinya Anda telah memiliki kriteria takwa. Dan itu intisari kemuliaan dalam Islam. Anda bisa pria dan Anda paling bertakwa. Maka Anda terhormat dan mulia karenanya. SebaliknyaAanda mungkin wanita dan Anda paling bertakwa. Maka Anda juga menjadi terhormat dan mulia karenanya.
Mispersepsi kemuliaan kemudian terjadi di saat manusia membangun kemuliaan dan kehormatannya di atas definisi-definisi duniawi. Dan karena sifatnya duniawi, yang sudah relatif dan terbatas, maka di situlah rentang terjadi manipulasi kemuliaan. Yang mulia dan terhormat dihinakan. Yang hina dan rendahan (di mata Allah) menjadi dimuliakan.
Perhatikan dunia kita saat ini. Kekuasaan dan kekayaan seringkali menjadi sepupu keangkuhan. Manusia menjadi arogan dan sebaliknya manusia menjadi menghinakan diri karena jabatan atau kekayaan.
Dalam dunia kita saat ini, di saat manusia merasa semakin pintar dan beradab terjadi paradoks yang luar biasa. Kepintaran justru seringkali menjadi pijakan kebodohan, baik dalam wawasan maupun perilaku. Banyak manusia yang mengaku civilized alias beradab. Tapi dalam pemikiran dan karakter perilakunya lebih rendah dari perilaku hewan.
Di sinilah Islam harus tampil menawarkan solusi alternatif—maaf, saya katakan ISLAM, bukan Muslim—karena memang tantangan terbesar kaum Muslimin saat ini adalah merealisasikan Islam dalam kehidupannya sehingga mereka memang berhak menyandang titel “MUSLIM” itu.
Dan salah satu solusi terhadap penyakit kronis dunia kita sekarang, termasuk di dunia Islam, adalah penyakit rasisme. Eksistensinya real, baik pada tataran individual maupun kolektif. Rasisme di kalangan umat sesungguhnya masih tinggi. Keberagamaan sebagian masih dibangun di atas dasar ras dan etnik. Seolah agama seseorang hebat jika orang itu tergolong ke dalam ras dan etnik tertentu.
Idealisme Amerika yang dibanggakan sebagai “American value” ini juga teruji dari masa ke masa. Belum terlalu lama berakhirnya gerakan perjuangan hak-hak sipil dalam hal kesetaraan. Bahkan, kini setelah berakhirnya tugas kepresidenan Afro American pertama dalam sejarah negeri ini, dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika, rasisme kembali melangit. Donald Trump sendiri didukung sepenuhnya oleh kelompok KKK, sebuah kelompok terroris putih yang sangat anti non kulit putih. Singkatnya, kelompok yang selama ini dikenal dengan “white supremacy” menampilkan diri dengan selangit arogansinya.
Di sinilah Islam sesungguhnya datang sebagai solusi. Bahwa dalam Islam tidak ada white supremacy, black suprmacy, brown supremacy, dan seterusnya. Tidak juga Arab supremacy, European supremacy, Asian supremacy, atau African supremacy. Yang ada dalam Islam adalah “God Supremacy.“ Semua selain tuhan adalah terbatas bahkan tiada (‘adamul wujud) tanpa “Al-Wujud” (Allah SWT).
Oleh karenanya penyakit rasisme perlu untuk segera diselesaikan. Jika tidak manusia akan tetap berada dalam penyakit yang kronis dan berbahaya ini. Dunia goncang dan tercabik karena cara pandang manusia dibatasi oleh warna kulit, bentuk wajah (karena ras dan etnik) atau status sosial dan ekonomi. Islam harusnya mampu menampilkan konsep kesetaraan universal ini, sehingga menjadi solusi bagi penyakit kronis dunia kita.
New York, 29 April 2017
Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email